Transformasi Kebijakan Pendidikan pada Masa Orde Baru Menuju Reformasi

Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 dari GNP. Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan Indoneisa termasuk negara yang pelit. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia, Kanada dan Australia yang mengalokasikan dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak mampu menandinginya. Malaysia mengalokasikan dana pendidikan sebesar 5,2 dan Thailand sebesar 4,1. 36 Pada bab ini, penulis akan memaparkan proses terbentuknya undang-undang pendidikan tinggi serta alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sebagai upaya menganalisis permasalahan-permasalahan pendidikan sehingga kemudian memudahkan analisis kebijakan khususnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012.

2.1 Transformasi Kebijakan Pendidikan pada Masa Orde Baru Menuju Reformasi

Berselimutkan otonomi pendidikan tinggi, pemerintah memberi kesempatan leluasa kepada beberapa pendidikan tinggi untuk mengatur dan mencari dana sendiri didalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal itu disebabkan karena pemerintah kekurangan dana untuk pendidikan sehingga memberikan kesempatan kepada universitas- universitas yang telah maju untuk mencari dana tambahan selain dana yang diberikan oleh pemerintah. 37 Badan Hukum Milik Negara BHMN adalah salah satu bentuk badan hukum di Indonesia yang awalnya dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka “privatisasi” Kita mengetahui betapa konsekuensi dari kebijakan tersebut antara lain ialah naiknya SPP dan masuknya universitas-universitas dalam dunia bisnis. Dengan demikian ilmu pengetahuan telah menjadi komoditas. Hal itu memang dapat dimaklumi, tetapi pengaruh selanjutnya adalah akses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut terbatas bagi masyarakat yang mampu. Universitas-universitas BHMN secara tidak sadar menjadi universitas elit yang hanya dapat dimasuki oleh golongan atas. 38 36 Ibid., hal. 427. lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski berstatus badan usaha. 37 H.A.R Tilaar. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas. hal 266. 38 Privatisasi dalam literatur ekonomi, artinya adalah pengalihan kepemilikan pemerintah atas suatu perusahaan kepada swasta. Hanya pengelolaannya didelegasikan oleh Pemerintah kepada suatu board of trustees yang mewakili Pemerintah dan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 ini pemerintah membuka kemungkinan secara selektif kepada perguruan tinggi negeri yang dinilai sudah memiliki kemampuan pengelolaan yang mencukupi untuk dapat memiliki kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar untuk diubah status hukumnya menjadi Badan Hukum Milik Negara BHMN yang dapat berperan sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis dan mampu bersaing secara global. Perguruan Tinggi Negeri berstatus BHMN tetap menjadi aset negara yang berharga untuk memperbaiki citra bangsa. Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, keberadaan Perguruan Tinggi Negeri sebagai BHMN adalah sebagai upaya menentukan badan hukum dapat didirikan atau diakui oleh Pemerintah. Tidak ada suatu ketentuan yang mengharuskan pendirian suatu badan hukum dengan undang-undang. Pendirian suatu badan hukum dapat dilakukan dengan undang- undang, peraturan pemerintah, bahkan dengan keputusan presiden sekalipun, atau dengan konstruksi hukum 39 Ada 3 alasan mengapa pendirian Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara dilakukan dengan peraturan pemerintah, yaitu: 40 1. Pemisahan kekayaan negara harus dilakukan dengan peraturan pemerintah sehingga peraturan pemerintah bagi penetapan perguruan tinggi negeri sebagai BHMN merupakan landasan hukum bagi pemisahan kekayaan negara dan penempatannya sebagai kekayaan awal BHMN. 2. Kekayaan awal perguruan tinggi negeri BHMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, dimana sebagian kekayaan negara yang merupakan harta kekayaan tidak bergerak berupa tanah, tidak dapat dipindahtangankan oleh perguruan Tinggi Negeri BHMN kepada pihak ketiga, hubungan kepemilikan kekayaan awal tetap berada pada negara. 3. Karena penetapan perguruan tinggi negeri BHMN dilakukan dengan suatu ketentuan publik, yaitu peraturan pemerintah, eksistentsi perguruan tinggi negeri BHMN tidak lagi memerlukan pengesahan lagi dari Departemen Hukum dan HAM RI yang merupakan bagian integral dari organisasi kekuasaan umum atau pemerintah. 39 Arifin P. Soeria Atmaja. 2005. Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. hal 131. 40 Ibid, hal 131-132. Universitas Sumatera Utara Perguruan tinggi negeri yang berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara merupakan bentuk perguruan tinggi yang memiliki lima prinsip utama dalam penyelenggaraannya, yaitu otonomi, akuntabilitas, akreditasi, kualitas dan evaluasi. Kelima prinsip tersebut akhirnya menjadi paradigma baru bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Terutama dari segi akuntabilitas, dimana Badan Hukum Milik Negara harus memberikan laporan tahunan berupa: 1. Laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan arus kas dan laporan perubahan aktiva bersih. 2. Laporan akademik berupa penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang meliputi keadaan, kinerja, serta hasil-hasil yang telah dicapai universitas. 3. Laporan ketenagakerjaan universitas yang meliputi keadaan, kinerja, dan kemajuan yang telah dicapai. Perguruan Tinggi BHMN memiliki otonomi dalam pengelolaan kekayaan sumber dana, yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Pada PTN biasa, pengelolaan dana diatur secara sentralistik melalui rambu- rambu, yang ditetapkan melalui suprastruktur pusat serta penetapan sumber-sumber dana secara kaku otonomi pada PTN biasa ini terbatas pada kewenangan menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal dari masyarakat. Pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan. 41 Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilah prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadapi di dalam penerapan suatu sistem. Selain itu, setiap perubahan sistem biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap penerapan prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar. 42 41 Hasbullah. 2010. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal 129. 42 Ibid, hal 129. Universitas Sumatera Utara Sebagai akibat kebijakan sentralistis dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat ambivalen, afirmatif, arogan dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri. 43 Dengan demikian, pengelolaan dana perguruan tinggi BHMN memerlukan model pengelolaan yang lebih tepat, akurat dan informatif, agar dapat mengelola dana yang jumlahnya terbatas menjadi lebih efektif dan efisien serta senantiasa mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan. Suatu model pengelolaan dana yang dapat meningkatkan kinerja pengelolaan, khususnya pada aspek-aspek penting seperti pengalokasian atau pembebanan, sehingga dapat mewujudkan tuntutan masyarakat tentang pengelolaan dana secara efektif dan efisien dalam mewujudukan akuntabilitas pengelolaan dana di lingkungan perguruan tinggi. Keberhasilan gerakan reformasi tahun 1998 dengan cepat mengubah tatanan kehidupan sosial, politik dan pemerintah di Indonesia. Gagasan tentang demokratisasi politik dan desentralisasi pemerintahan dengan cepat diaplikasikan melalui berbagai undang-undang. Menyikapi desentralisasi atau otonomi pemerintahan daerah dan tuntutan dan tantangan global serta tuntutan-tuntutan lainnya maka, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR-RI memandang bahwa Sistem Pendidikan Nasional harus segera diperbaharui atau direformasi, dengan membentuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru menggantikan Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun 1989, yang tidak sesuai dengan semangat tuntutan reformasi. 44 Undang-Undang tentang Sisdiknas merupakan proses politik yang memadukan aspek-aspek filosofi, akademis, sosiologis, kultural, keuangan, hukum, politik dan pemerintahan. Reformasi dibidang pendidikan yang ditandai dengan demokratisasi pemerintahan yang sebelumnya menganut pemerintahan sentralistis. Hal ini dapat ditanggap dalam dua segi yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah Langkah tersebut dimulai pada awal 2001 dengan membentuk tim, melakukan pengkajian, dengar pendapat dan sebagainya hingga diperoleh kesepakatan lahirnya RUU Sisdiknas tanggal 28 Maret 2003 yang kemudian disempurnakan dengan penjelasan dan lain-lain menjadi naskah pada 25 April 2004. Kemudian naskah itu disempurnakan lagi pada 19 Mei 2003 dan terakhir pada 10 Juni 2003 dan akhirnya disahkan pada 11 Juni 2003 menjadi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional UU Sisdiknas 43 Ibid, hal 142. 44 Anwar Arifin. 2005. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka. hal. 33. Universitas Sumatera Utara daerah otonomi daerah. Hal ini menunjukkan peranan pemerintah akan dilimpahkan kepada pemerintahan daerah dan sekaligus memperbesar partisipasi masyarakat. Peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis selama 32 tahun lebih akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah yang kemudian dikenal dengan desentralisasi. Kedua hal tersebut harus berjalan dengan simultan dan merupakan paradigma baru yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis. Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan pasal 4 disebutkan bahwa, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia”. Karena pendidikan diselenggarakan sebagai sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat serta memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 45 Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan namun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada ditangan menteri yang diberi tugas oleh presiden yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal itu pemerintah menentukan kebijakan pendidikan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga pendidik, penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupatenkota. Kelahiran Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respon terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: ”Bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambuingan”. Undang-undang ini memberi peluang bagi peran serta pemerintah daerah dan masyarakat secara lebih optimal, kesetaraan, dan layanan bagi kaum lemah. Dengan demikian, melalui Undang-undang Sisdiknas ini diharapkan terwujudnya satu 45 Anwar Arifin, op.cit., hal 34. Universitas Sumatera Utara sistem pendidikan nasional yang lebih adaptif dengan aspirasi, semangat, dan komitmen yang berkembang di masa kini. Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional yaitu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional secara demokratis, sistemik, pembudidayaan dan pemberdayaan, keteladanan, budaya belajar, pemberdayaan masyarakat, pengendalian mutu layanan pendidikan. 46 Nuansa upaya mengurangi derajat tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisidiknas. 47 Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat dalam pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat 1 dan 2. Lengkapnya dinyatakan dalam ayat 1, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warganegara tanpa diskriminasi.”, dan juga Ayat 2, “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dan guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warganegara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”. Hal ini memungkinkan penurunan derajat kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat dalam pasal 9 UU sisdiknas yang menyatakan bahwa “masyarakat berkewajiban memberi dukungan sumber daya dalam penyelenggaraaan pendidikan” dan pasal 12 Ayat 2 b yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai dengan undang-undang yang ada. Padahal, dalam undang-undang Sisdiknas pasal 1, Bab 1 tentang ketentuan umum, Ayat 18, dengan jelas dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselanggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara Indonesia. Berikut ini bunyi ayatnya, “Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti warganegara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah”. 46 Anwar Arifin, op.cit., hal 130. 47 H.A.R Tilaar. 2008. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal 147. Universitas Sumatera Utara Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen dinyatakan dengan tegas pada pasal 31 Ayat 2, “Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal tersebut dipertegas dalam Ayat 4, “Negara memprioritaskan anggaran pendapatan sekurang kurangnya 20 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan”. Kemudian diperjelas dalam rancangan peraturan pemerintah penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat 3, “Setiap warganegara usia wajib belajar berhak mendapat pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya”. Kembali pada penerapan undang-undang dibawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. 48 Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN yang menyatakan pemerintah belum mampu memberikan pendidikan dasar secara gratis RPJMN, halaman IV.26-4. 2.2 Format Baru Kebijakan Pendidikan Nasional UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjabarkan lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan nasional yang digariskan dalam UUD 1945. Pasal 3 undang-undang tersebut dengan tegas mengatakan bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi akademik peserta didik agar menjadi mahasiswa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” 49 Fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional sudah jelas menunjukkan mengenai apa sebenarnya yang akan kita capai dengan sistem pendidikan nasional itu. Dalam 48 Anwar Arifin, op.cit., hal 131. 49 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 3 Universitas Sumatera Utara rumusan tersebut sama sekali tidak dikatakan bahwa pendidikan nasional dikembangkan di atas paradigma persaingan ataupun paradigma internasional. 50 Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan keharusan penyelenggaraan satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan yang diletakkan dalam bagian kedua Bab XIV tentang Pengelolaan Pendidikan. Satuan pendidikan di Indonesia harus mempunyai eksis, bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, seperti wujud masyarakat industri, masyarakat informasi, dan masyarakat demokratis yang memerlukan pengelolaan yang lebih rasional, profesional, transparan dan akuntabel. Sudah selayaknya jajaran pendidikan tidak bersifat konserfatif falam menghadapi perubahan sosial dan seharusnya bersifat reformis, progresif dan demokratis serta terbuka terhadap tuntutan perubahan. Setiap zaman memerlukan cara tersendiri untuk menjawab semua tantangan dan peluang yang timbul dan dunia pendidikan akan selalu dijuluki pelopor perubahan agent of change. Itulah sebabnya ketika reformasi bertiup kencang pada 1998, maka masyarakat pendidikan juga mendorong perlunya reformasi dan paradigma baru dalam sistem pendidikan nasional. Hal itu kemudian diimplementasikan oleh DPR-RI bersama pemerintah dengan membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas. Salah satu substansi penting yang dicantumkan dalam pasal 53 ayat 1 yaitu: “Penyelenggaraa danatau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Salah satu latar belakang lahirnya gagasan dan bahkan desakan perlunya badan hukum pendidikan diatur dalam UU Sisdiknas berawal dari masalah yang dihadapi sejumlah perguruan tinggi negeri yang berstatus Badan Hukum Milik Negara BHMN yang lahir berdasarkan Peraturan Pemerintah. Itulah sebabnya kehadiran BHMN dianggap tidak memiliki payung hukum yang kuat, karena tidak memiliki rujukan pada UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. Sehingga perguruan tinggi yang berstatus BHMN mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan yang hendak dilakukan secara mandiri seperti SPP Sumbangan Pembinaan Pendidikan dari mahasiswa dan sumber-sumber dana lainnya dari masyarakat. Pembentukan status BHMN bagi perguruan tinggi negeri UI, UGM,ITB dan IPB pada 1999, merupakan awal dari upaya pemerintah melakukan reformasi pendidikan tinggi 50 H.A.R. Tilaar. Kaleidoskop Pendidikan Nasional, op.cit. hal 307. Universitas Sumatera Utara untuk menjawab tuntutan demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi perguruan tinggi dan menjawab tantangan global. Hal ini dimaksudkan agar perguruan tinggi yang berstatus BHMN memberikan pelayanan yang baik kepada peserta didik untuk meningkatkan mutu dan relevansi lulusan dan pada saatnya mampu bersaing dengan perguruan tinggi di negara lain dalam era globalisasi. Pada tataran praktis, bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antarbangsa di satu sisi dan kemitraan dengan bangsa lain di sisi lain. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan daya saing dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era global, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mewujudkan darma pendidikan yaitu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas, kreatif, berbudaya, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh. Globalisasi menimbulkan sejumlah tantangan. Pertama, menguatnya globalisasi berdampak pada memudarnya batas geografis dan geopolitik diiringi dengan meningkatnya mobilitas dan migrasi antarwarga. Kecenderungan yang terjadi di berbagai belahan dunia, sejumlah negara terus membuka arus perdagangan gobal terhadap produk, barang, dan jasa. Kedua, globalisai juga ditandai dengan meningkatnya ragam kompetisi. Kapasitas kompetisi dan nilai daya saing menjadi penentu bagi keunggulan masing-masing bangsa. Ketiga, persaingan dalam memperebutkan tingkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat di berbagai belahan dunia semakin ditentukan oleh penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keunggulan seni dan budaya. Keempat, perkembangan peradaban global juga semakin bergerak ke arah masyarakat ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan. 51 Berdasarkan hal tersebut, maka DPR-RI bersama pemerintah menetapkan bahwa penyelenggaraan danatau satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan yang ditetapkan dalam undang-undang. Bentuk yayasan atau bentuk perseroan terbatas atau koperasi atau perkumpulan yang selama ini dipakai para penyelenggara pendidikan, dipandang sudah tidak sesusi lagi dengan semangat zaman baru. Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membawa paradigma baru pendidikan nasional bahwa pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya, dan perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri 51 Gelombang globalisasi menjadi salah satu alasan pemerintah untuk menciptakan pendidikan dengan kualitas tinggi yang dapat dilakukan dengan cara otonomi pendidikan tinggi. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi yang dianggap mampu bersaing memang menunjukkan prestasi yang gemilang dalam rengking dunia dilain sisi akses mendapat pendidikan dalam perguruan tinggi tersebut sangat mahal. Universitas Sumatera Utara lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dan pengabdian masyarakat, sehingga perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Prinsip otonomi dalam pengelolaan saruan pendidikan tinggi dapat diartikan sebagai demokratisasi penyelenggaraan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Yayasan, PT, Koperasi, atau Perkumpulan. Dengan kata lain perguruan tinggi harus lebih mandiri dan otonom dalam pengelolaan lembaganya untuk melaksanakan tri darma perguruan tinggi. 52 Berikut ini adalah awal lahirnya badan hukum pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan beberapa pasal pendukung, antara lain: Untuk itu, perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan dan penyelenggara masuk sebagai pendiri “BHP” dengan tetap memiliki kewenangan dan hak suara secara proporsional dalam pengelolaan satuan pendidikan yang didalam BHMN disebut wali amanah dewan pembina. Inilah bentuk reformasi pendidikan yang lahir dari tuntutan perubahan yang mengusung paradigma baru untuk memberikan pelayanan prima kepada peserta didik dalam memenuhi tantangan global. 1. Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. 2. Dalam Pasal 12 Ayat 2 b memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku. 3. Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa: Penyelenggara danatau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 1. Badan hukum pendidikan dalam Ayat 1 berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 2. Badan hukum pendidikan dalam Ayat 1 berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Berdasarkan pasal 53 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Undang-Undang Sisdiknas secara tegas menyatakan bahwa 52 H.A.R Tilaar. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas. hal 122. Universitas Sumatera Utara peran serta partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan terutama dalam pemenuhan atas pembiayaan pendidikan.

2.3 Lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan