Otonomi Pendidikan Tinggi dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

dengan mengacu kepada anggaran yang telah disahkan. Pimpinan Universitas menetapkan alokasi, batas alokasi anggaran misalnya bagian pembiayaan honorarium, kegiatan administrasi pemeliharaan, pengembangan staf dan lain-lain. Dengan demikian perguruan tinggi memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh di dalam mengelola keuangannya, baik pemasukan dan pengeluaran yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sumber keuangan tidak hanya didasarkan kepada anggaran pendidikan dari pemerintah. Dengan kata lain, diperbolehkan berusaha secara mandiri untuk mencari biaya operasional agar proses belajar mengajar di kampus tersebut dapat terus berlangsung.

2.4 Otonomi Pendidikan Tinggi dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Lahirnya RUU PT yang mengusung semangat otonomisasi dan internasionalisasi perguruan tinggi dalam melakukan pengeloaan perguruan tinggi memang dapat dipandang sebagai suatu angin segar dalam memperbaiki sistem dan kualitas pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia namun, tidak dapat di tepis justru otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi ini bernuasa individualistik dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia sebab, dengan adanya RUU PT ini kita akan dihadapkan dengan drama “kelinci dan kura- kura” yaitu sebuah gambaran bagaimana universitas yang memiliki kapasitas yang mumpuni akan dapat maju pesat layaknya seekor kelinci yang mampu berlari kencang di sirkuit perlombaan, mungkin hal ini memang baik tapi, disisi lain universitas-universitas negeri dan swasta yang belum digdaya dalam melakukan pengelolaan perguruan tinggi akan ketinggalan dalam mutu dan kualitas pendidikan layaknya seekor kura-kura yang berjalan lamban dalam sirkuit perlombaan. Setelah pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus dengan segera memberi kepastian hukum yang jelas kepada perguruan tinggi yang ada di Indonesia. DPR RI kemudian menyusun sebuah rancangan peundang-undangan yang akan dijadikan sumber hukum kepada perguruan tinggi. Rancangan tersebut diberi nama Draft 20 Maret 2011 yang terdiri dari XII bab dan 102 pasal. Pada saat Draft 20 Maret 2011 dikelola oleh DPR RI muncul berbagai perdebatan karena masih memiliki unsur otonomi kampus tanpa adanya pasal yang membendung praktek komersialisasi dunia pendidikan. Perdebatan tersebut tentu saja dapat diterima akal Universitas Sumatera Utara sehat karena secara nyata universitas yang diberi label BHMN sebelumnya meningkatkan biaya operasional pendidikan sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah kebawah. Selain itu, pemberian otonomi tersebut dikhawatirkan merupakan tampilan baru Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Draft 20 Maret 2011 juga sudah memberkenalkan pendirian perguruan tinggi asing dan kerjasama pendidikan dengan negara lain. Hal itu terdapat pada pasal 73 Ayat 1 yang berbunyi, “Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” 59 Dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun Draft 20 Maret 2011 dikelola oleh DPR RI akhirnya berkas tersebut di uji kelayakannya. Panitia Panja RUU Dikti kemudian memberi nama Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dengan berbagai penambahan pasal. Dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 22 Februari 2012 yang terdiri dari X bab dan 119 pasal mengusung pasal standarisasi pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh menteri untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi memenuhi standar pendidikan secara nasional. .Sehingga memungkinkan bagi negara lain untuk mendirikan perguruan tinggi di Indonesia. Akibatnya adalah akan timbul persaingan dengan perguruan tinggi negeri terutama terkait akreditasi dan kualitas perguruan. Berdasarkan pasal 77 status pengelolaan perguruan tinggi yang dibagi menjadi tiga yaitu: 60 1. Otonom terbatas 2. Semi otonom 3. Otonom Status otonom terbatas merupakan perguruan tinggi yang hanya memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik. Status semi otonom merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan memiliki sebagian dari wewenang non akademik yang diberikan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara. Status otonom sebagaimana merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik. Wewenang non akademik adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri. Pengelolaan keuangan secara mandiri dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Setelah mengalami berbagai perbaikan karena berbagai polemik dalam berbagai pasal maka DPR RI kembali merevisi Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi 59 Draft RUU DIKTI versi 20 Maret 2011 halaman 24. 60 Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 22 Februari 2012 halaman 28. Universitas Sumatera Utara hingga kembali hadir dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 20 Maret 2011 yang terdiri dari VII bab dan 122 pasal. Adapun penambahan pasal dalam versi ini antara lain: Pasal 40 Menteri berwenang mengubah atau menarik pendelegasian tugas atau pemberian mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 dengan melakukan perubahan atau pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi. 61 Setelah kurun waktu lebih dari satu tahun sejak digulirkannya draft RUU Dikti ternyata tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan DPR RI tidak dapat terelakkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab perguruan tinggi sepertinya tidak ingin memberikan otonomi sebebas-bebasnya kepada perguruan tinggi karena perguruan tinggi negeri merupakan salah satu aset negara. Dilain pihak, DPR RI menilai bahwa untuk menciptakan pendidikan tinggi yang mampu bersaing dalam era globalisasi maka dibutuhkan otonomi perguruan tinggi berupa otonomi akademik dan non-akademik. Karena setiap persoalan yang terjadi dalam baik dalam hal kebijakan akademik dan pengelolaan keuangan merupakan tanggung jawab perguruan tinggi. Namun melihat adanya pasal 40 tersebut dapat penulis ambil sebuah benang merah bahwa pemerintah melalui menteri pendidikan dan kebudayaan mempunyai kekuasaan penuh atas perguruan tinggi walaupun perguruan tinggi memperoleh haknya atas otonomi. Jika tarik-menarik kepentingan terus terjadi antara pemerintah dengan perguruan tinggi maka peserta didiklah yang akan dirugikan. Karena pemerintah dapat dengan mudah mencabut izin dari perguruan tinggi. Pasal 49 1. Otonomi Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi diberikan sesuai dengan kapasitas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. 2. Status Perguruan Tinggi berdasarkan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri atas: a. Perguruan Tinggi berbadan hukum; b. Perguruan Tinggi mandiri; dan c. PTN dan PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, danatau LPNK. 62 Perguruan Tinggi berbadan hukum terdiri atas: 61 Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 20 Maret 2012 halaman 15. 62 Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 20 Maret 2012 halaman 18. Universitas Sumatera Utara 1. PTN berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik dan aspek nonakademik; dan 2. PTS berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik. Perguruan tinggi mandiri terdiri atas: 1. PTN mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik dan aspek nonakademik; dan 2. PTS mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik. DPR RI kemudian merevisi undang-undang sebelumnya dengan mendengarkan berbagai masukan dari pemerintah dan ahli yang berwenang. Sehingga dikeluarkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 4 April 2012 yang terdiri dari XI bab dan 102 pasal. Adapun perubahan yang terjadi pada rancangan undang-undang ini terdapat pada pasal 69 Ayat 1 yang berbunyi, “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu”. 63 a. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; Penyelenggaraan otonomi pendidikan tinggi kemudian disepakati menjadi dua yaitu pola pengelolaan keuangan perguruan tinggi badan layanan umum dan perguruan tinggi badan hukum. PTN yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan PTN badan hukum memiliki kewenangan: b. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; c. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; d. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan; e. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; f. wewenang untuk menyelenggarakan dan menutup Program Studi; dan g. wewenang untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. Setelah mengalami tujuh kali revisi dan penundaan akibat adanya kontrofersi dari berbagai kalangan, tepatnya pada 13 Juli 2012 pukul 11.00 WIB mengesahkan RUU Pendidikan Tinggi menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012. 63 Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 4 April 2012 halaman 24. Universitas Sumatera Utara Pengesahan Undang-Undang Pendidikan tinggi ini sebagai upaya penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia melalui payung hukum yang jelas. Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini berisi XII bab dan 100 pasal. Berdasarkan teori bagankerangka analisis kebijakan publik adalah: 1. Public Policy DPR dan pemerintah bersama-sama membuat kebijakan pendidikan yang baru khususnya untuk pendidikan tinggi setelah dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Pendidikan Nasional bahwa perlunya mengusulkan undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang Badan Hukum Pendidikan, namun untuk jangka pendek pihaknya akan mencari payung hukum dalam menyelenggarakan pendidikan. Membuat undang-undang baru cukup lama, sekarang yang dipikirkan adalah penyelenggaraan pendidikan memiliki payung hukum yang jelas. Kepastian payung hukum itu harus cepat sehingga ada kejelasan status hukum bagi perguruan tinggi negeri yang menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional harus berjalan. 2. Policy Stakeholder DPR yang tergabung dalam komisi X dan pemerintah dengan dibantu oleh individu-individu yang dianggap mempunyai kapabilitas khusus dalam merencanakan suatu sistem pendidikan tinggi seperti Prof. Dr. Johannes Gunawan. Nah, Prof. Dr. Satryo S, Brodjonegoro, Prof. Dr. Sofian Effendi, Prof. Dr. Anwar Arifin, Prof. Dr. H. Fasich, Apt., Rektor Universitas Airlangga, Prof. Dr. Johannes Gunawan, SH., LL.M, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, M.Sc. CTM, Sp.AK. 3. Policy Enviroment DPR dan pemerintah merencanakan kebijakan pendidikan yang memberi payung hukum kepada perguruan tinggi negeri setelah dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Peraturan Pemerintah no. 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan harus dilaksanakan dibawah undang-undang pendidikan yang baru sehingga proses pelaksanaan pendidikan nasional dapat berjalan dengan maksimal. Dengan melihat kondisi banyaknya aksi protes dari masyarakat terutama mahasiswa dalam pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menjadi Universitas Sumatera Utara pelajaran yang berharga bagi DPR maupun pemerintah dalam merencanakan undang- undang pendidikan yang baru. Oleh karena itu, tidak heran jika undang-undang penidikan tinggi ini mengalami tujuh kali revisi. Sehingga diharapkan dapat menjadi undang-undang yang mampu mengatur sistem pendidikan nasional sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945.

2.5 Keadaan Umum Peserta Didik di Indonesia