Anggaran Pendidikan di Indonesia

Tabel 3 Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Tahun 2005-2011 Sumber : Makalah Sosialisas UU PT oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Judul Merajut Masa Depan bangsa Melalui Undang-Undang No 12. Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

2.6 Anggaran Pendidikan di Indonesia

Analisis atas kebijakan pendidikan di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat dideskripsikan seperti berikut ini. Pertama, masalah alokasi dana pendidikan nasional yang tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Komitmen pemerintah Indonesia mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai oleh masyarakat sehingga bagi masyarakat dengan ekonomi rendah sangat sulit mengakses dunia pendidikan. Pemerintah harus merealisasikan 20 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD seperti yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Berdasarkan UUD 1945 ayat 4 tersebut bahwa alokasi 20 APBN dan APBD sepenuhnya untuk pembiayaan pendidikan peserta didik. Biaya pendidikan kedinasan tidak boleh dihitung dalam alokasi 20 dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Hal ini Deskripsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Populasi Usia 19-20 21.190.000 21.184.100 21.174.900 21.171.300 21.170.300 19.844.485 19.858.146 Jumlah Mahasiswa 3.868.358 4.285.645 4.375.505 4.501.543 4.657.547 5.226.450 5.381.216 PTN 805.475 824.693 978.739 965.970 1.011.721 1.030.403 1.063.274 PTS 2.243.270 2.567.879 2.392.417 2.410.276 2.451.451 2.886.641 2.928.890 PT Kedinasan 48.493 51.318 47.253 47.253 66.535 92.971 101.351 Religious HEI 508.545 518.901 506.247 556.763 503.439 571.336 620.938 Universitas Terbuka UT 262.081 322.854 450.849 521.281 624.401 645.099 666.763 APK 18,26 20,23 20,66 21,26 22,00 26,34 27,10 Universitas Sumatera Utara dimaksudkan agar pendidikan kedinasan diklat, penataran, pengembangan SDM dan lainnya yang diselenggarakan oleh semua departemen dapat dilakukan secara efisien dan swadana. Pendidikan kedinasan tetap diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional, namun harus diselenggarakan secara mandiri. Biaya gaji guru dan dosen juga bukan berasal dari 20 alokasi APBN dan APBD sehingga alokasi dana pendidikan dapat mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis serta program Wajib Belajar 9 tahun dapat terlaksana dengan maksimal. Diagram 5 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2000-2010 Diagram 6 205.334,50 300.599,50 298.527,50 340.928,30 403.104,60 493.919,40 636.153,10 706.108 979.305,40 984.786,50 1.047.700,00 1.104.901,96 1.311.386,67 0,00 200.000,00 400.000,00 600.000,00 800.000,00 1.000.000,00 1.200.000,00 1.400.000,00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah APBN Universitas Sumatera Utara Alokasi APBN untuk Pendidikan Sumber : www.psp.kemdiknas.go.id 26 Maret 2013 pukul 23.01 WIB Namun, apakah kenaikan dana untuk pembangunan pendidikan dengan sendirinya akan menjadi pemicu bagi peningkatan kemakmuran rakyat? Memang hal tersebut menjadi suatu mitos bahwa anggaran yang besar untuk pendidikan dengan sendirinya akan membawa masyarakat kemakmuran. H.A.R Tilaar mengatakan bahwa, “Kebijakan pendidikan dewasa ini tidak terarah dengan jelas. Yang jelas pendidikan telah dijadikan sebagai komoditi perdagangan yang terlihat dalam PP No.7 Tahun 2007 yang memberi kesempatan bagi masuknya modal asing dalam bidang pendidikan”. 64 Proses pendidikan ditekankan pada kemampuan bersaing dengan memanfaatkan sumber-sumber dalam negeri sehingga potensi alam dan budaya Indonesia yang kaya raya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan Indonesia dan sekaligus melindungi kelestarian alam demi generasi berikutnya. Dengan peningkatan kecerdasan bangsa, dengan sendirinya bangsa ini akan mampu duduk sama tinggi dan sama rendah dengan bangsa lain, bahkan bangsa Indonesia mampu menyumbangkan kemampuan dan sumber-sumber kekayaannya untuk umat manusia. Tabel 4 64 H.A.R Tilaar, Kebijakan Pendidikan, op.cit. hal 326. 0,00 200.000.000.000.000,00 400.000.000.000.000,00 2009 2010 2011 2012 208.286.633.287.000, 00 209.537.587.275.000, 00 249.978.493.061.200, 00 289.957.815.783.800, 00 Alokasi APBN untuk Pendidikan Universitas Sumatera Utara Perbandingan Alokasi Pendanaan Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2011 dan 2012 Komponen Anggaran Pendidikan Tahun Anggaran 2011 65 Tahun Anggaran 2012 66

1. Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat

89.744.353.212.000 102.518.328.983.800 1. Kementrian Pendidikan Nasional 55.582.101.011.000 64.350.856.443.000 2. Kementrian Agama 27.263.218.531.000 32.007.510.602.000 3. Kementerian NegaraLembaga lainnya - Kementerian Keuangan - Kementerian Pertanian - Kementerian Perindustrian - Kementerian ESDM - Kementerian Perhubungan - Kementerian Kesehatan - Kementerian Kehutanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata - Badan Pertanahan Nasional - BMKG - Badan tenaga Nuklir Nasional - Kementerian Pemudan dan Olahraga - Kementerian Pertahanan - Kementerian Tenaga Kerja - Perpustakaan Nasional - Kementerian Koperasi dan UKM - Kementerian Komunikasi dan Informatika 6.899.033.670.000 90.935.662.000 35.708.205.000 209.641.813.000 63.637.700.000 1.478.060.511.000 1.924.160.298.000 95.599.615.000 180.992.000.000 226.998.000.000 25.346.488.000 18.755.000.000 15.874.778.000 1.372.190.000.000 124.137.600.000 786.996.000.000 100.000.000.000 150.000.000.000 6.159.961.938.800 88.385.007.000 43.600.000.000 292.400.000.000 66.819.000.000 1.795.495.324.800 1.350.000.000.000 41.229.636.000 230.500.000.000 215.970.000.000 22.790.740.000 18.800.000.000 17.948.000.000 933.500.000.000 114.193.736.000 412.000.000.000 264.492.957.000 215.000.000.000 36.837.538.000

2. Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke 158.234.139.849.200

186.439.486.800.000 65 Lihat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 28 66 Lihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 29 Universitas Sumatera Utara Daerah 1. Bagian Anggaran Pendidikan yang dialokasikan dalam DBH Pendidikan 762.991.369.000 815.613.542.000 2. DAK Pendidikan 10.041.300.000.000 10.041.300.000.000 3. Bagian Anggaran Pendidikan yang dialokasikan dalam DAU 104.289.781.242.000 113.855.500.000.000 4. Dana Tambahan Penghasilan untuk Guru PNSD 3.696.177.700.000 2.898.900.000.000 5. Tunjangan Profesi Guru 18.537.689.880.200 30.559.800.000.000 6. Bagian Anggaran Pendidikan yang dialokasikan dalam Otsus 2.706.393.898.000 3.285.773.258.000 7. Dana Insentif Daerah 1.387.800.000.000 1.387.800.000.000 8. Bantuan Operasional Sekolah 16.812.005.760.000 23.594.800.000.000

3. Anggaran Pendidikan Nasional melalui Pengeluaran Pembiayaan

1.000.000.000.000 1.000.000.000.000 Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 1.000.000.000.000 1.000.000.000.000 APBN 1.104.901.964.236.000 1.435.406.719.999.000 Persentase Anggaran Fungsi Pendidikan 20,2 20,2 Anggaran Fungsi Pendidikan 248.978.493.061.200 289.957.815.783.800 Pada tahun 2009 seharusnya anggaran untuk pendidikan adalah Rp 196.957.300.000 tetapi hanya direalisasikan sebesar Rp 77.401.700.000. Alokasi dana sebesar Rp 119.555.600 tidak digunakan sepenuhnya untuk peserta didik. Pada tahun 2011, anggaran pendidikan masih menggunakan pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan UU 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa persentase anggaran pendidikan sebesar 20,2 dari total anggaran yang disediakan atau sebesar Rp 289.957.815.783.800,00 dua ratus delapan puluh sembilan triliun sembilan ratus lima puluh tujuh miliar delapan ratus lima belas juta tujuh ratus delapan puluh tiga ribu delapan ratus rupiah. Tetapi jika dihitung anggaran untuk pendidikan murni hanya mencapai 10 Universitas Sumatera Utara dari APBN dan itu artinya setiap tahunnya tingkat partisipasi peserta didik akan terus berkurang akibatnya jumlah putus sekolah dan penyandang buta aksara. Tidak direalisasikannya 20 anggaran pendidikan mengakibatkan pendidikan Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi akan semakin mahal. Angka putus sekolah akan semakin banyak diperoleh dari lulusan Sekolah Dasar hingga Perguruan tinggi. Akibatnya adalah : 1. Semakin rendah angka generasi muda yang kreatif, inovatif dan mandiri. 2. Tidak tercipta inovasi dan kemandirian serta rendahnya penguasaan atas IPTEK. 3. Kesejahteraan masyarakat akan terus rendah akibat tidak adanya regenerasi inovasi dan teknologi masyarakat Indonesia. 4. Tingkat pendapatan daerah akan semakin rendah akibat tidak adanya generasi penerus untuk membangun daerahnya. 5. Tingkat pendapatan negara akan semakin rendah akibat tidak adanya dorongan dari pemerintah daerah untuk ikut membantu membangun pemerintah pusat. Berdasarkan fakta-fakta diatas memberikan sebuah kesimpulan bahwa alokasi dana pendidikan yang rendah tidak mampu menciptakan suatu sistem pendidikan nasional sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini juga diperkuat dengan menggunakan teori Tonny D Widiaksono yang menyatakan bahwa, “Pembiayaan pendidikan suatu negara terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja pendidikan nasional dinegara bersangkutan. Hal ini berarti semakin tinggi pembiayaan pendidikan di suatu negara semakin baik kinerja pendidikan nasionalnya. Sebaliknya semakin rendah pembiayaan pendidikan suatu bangsa semakin rendah pula kinerja pendidikan nasionalnya.” Jika melihat negara-negara maju yang mengalokasikan dana pendidikan secara memadai seperti Swedia 8.3 , Swiss 7.3, Kanada 7,0, Australia 5.6, Inggris 5.4 terbukti kinerja pendidikan nasionalnya memadai. Sekolah-sekolah dinegara tersebut, apalagi perguruan tinggi banyak diminati siswa dan mahasiswa dari manca negara. 67 67 Tonny D Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 421. Apabila negara-negara maju rata-rata sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 5.1 dari GNP maka angka untuk negara-negara berkembang hanya 3.8. Rendahnya GNP pada negara-negara berkembang masih harus didistribusikan dalam banyak prioritas. Banyaknya prioritas pembangunan sudah menjadi ciri khusus negara- Universitas Sumatera Utara negara berkembang. Alhasil, dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan menjadi problem utama karena alokasinya sangat terbatas. 68 Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 dari GNP. Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan Indoneisa termasuk negara yang pelit. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia, Kanada dan Australia yang mengalokasikan dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak mampu menandinginya. Malaysia mengalokasikan dana pendidikan sebesar 5,2 dan Thailand sebesar 4,1. 69 Alokasi dana pembiayaan pendidikan yang rendah menyebabkan buruknya kinerja sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kiranya sulit dibayangkan oleh siapapun dalam usia 67 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah belum dapat menyelesaikan masalah- masalah elementer di dalam dunia pendidikan. BAB 3 68 Ibid., hal. 422. 69 Ibid., hal. 427. Universitas Sumatera Utara ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI UNDANG-UNDANG N0.12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI Bunyi Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 adalah penegasan tentang kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan. Kata “hak” merupakan penegasan tentang kebutuhan dasar basic need. 70 Bunyi pada Pasal 31 ayat 2 UUD 1945 merupakan penjelasan mengenai hak warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan penegasan bagi Pemerintah untuk membiayainya. Ayat ini bukan berarti menghilangkan beban pembiayaan pemerintah pada pendidikan ditingkat lainnya, sebab ayat ini hanya menjelaskan wajib belajar dibiayai oleh pemerintah. Jika kembali pada bunyi pasal sebelum perubahan UUD 1945, justru ayat 2 bentuk penegasan bagi pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan di Indonesia. Penegasan ini sebagai bentuk menjelaskan bunyi Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 agar setiap warga negara mendapatkan pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, negara melalui pemerintahlah yang harus memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh warga negaranya. 71 Pasal 31 ayat 3 menjadi pasal penegas bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat 3 ini adalah ayat yang diambil dari ayat 2 sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata mengusahakan yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata menyelenggarakan berarti mengurus dan mengusahakan sesuatu. Jadi pada ayat 3, daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata ..sistem pendidikan nasional.., artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. 72 70 Jimly Asshiddique. 2009. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika. hal. 135. Bahwa Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menegaskan bentuk tanggung jawab negara melalui Pemerintah untuk memenuhi perintah dalam Pasal 31 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UUD 1945. Keinginan dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan 71 Ibid., hal. 135. 72 Ibid., hal. 136. Universitas Sumatera Utara kehidupan bangsa salah satunya terurai dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dimana keinginan negara untuk menjadi sumber dana bagi penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kata ”memprioritaskan anggaran” berarti dalam pembahasan APBN yang harus dibahas terlebih dahulu adalah kebutuhan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang dinyatakan paling sedikit atau dalam UUD disebutkan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD. 73 Kepentingan ini berkaitan dengan pemajuan peradaban manusia dan kesejahteraan umat manusia. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui suatu sistem pendidikan, maka telah diyakini peradaban manusia akan jauh lebih maju dan kesejahteraan setiap warga negara pun akan terjamin. Kata ”memajukan” berarti Pemerintah melakukan tindakan aktif untuk meningkatkan pendidikan lebih dari sebelumnya. Bahwa berdasarkan uraian dalam Pasal 31 UUD 1945, maka sudahlah tepat adanya peran Pemerintah untuk aktif memberikan jaminan kebutuhan dasar pendidikan kepada setiap warga negaranya. Kebutuhan dasar pendidikan tidak hanya sebatas pendidikan dasar tetapi meliputi pula pendidikan menengah dan tinggi. Kebutuhan dasar yang juga didukung dengan anggaran pendidikan dan Pemerintah menjadi sumber dana pendidikan untuk membiayai sistem pendidikan nasional di Indonesia. Oleh karena sudah disadari pendidikan akan membawa kemajuan peradaban dan kesejahteraan, maka penerapannya harus dilaksanakan secara konsisten dalam ketentuan perundang-undangan di bawah UUD 1945. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa: Bahwa untuk menyimpulkan seluruh ayat dalam Pasal 31 UUD 1945, pada ayat 5 adalah penegasan kepada Pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. 1. UUD 1945 menempatkan norma pendidikan sebagai norma yang sangat tinggi. Pendidikan bahkan merupakan salah satu dari tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, eksistensi atau keberadaan negara Indonesia sesuai dengan tujuannya bergantung pada apakah negara ini mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. 2. Maksud dari mencerdaskan kehidupan bangsa tidak semata-mata memfasilitasi tersedianya sarana pendidikan saja. Namun lebih dari itu, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan membuat suatu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali. Akses ini 73 Ibid., hal 136-137. Universitas Sumatera Utara dapat terbuka apabila sistem yang dibangun diarahkan untuk seluruh warga negara dengan mempertimbangkan bebagai keterbatasan yang dimiliki oleh warga negara. 3. UUD 1945 juga mengakui bahwa pendidikan adalah hak warga negara yang merupakan hak asasi manusia. Secara khusus UUD 1945 mengatur persoalan pendidikan ini dalam Pasal 31 ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 serta Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 28E ayat 1 UUD 1945. Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pembatalan Undang–Undang Badan Hukum Pendidikan sesuai Nomor 11-14-21-126-136PUU-VII2009 tanggal 31 Maret 2010 muncul keinginan pemerintah untuk membentuk payung hukum baru yang menopang penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan tinggi. Pada dasarnya pemerintah mengusung otonomi pendidikan tinggi sebagai jalan keluar atas penyelenggaraan pendidikan. Karena pemerintah menyadari alokasi dana 20 dari APBN dan APBD belum dapat menunjang penyelanggaraan pendidikan tinggi secara maksimal. Oleh karena itu perlu dibuat dalam suatu undang-undang yang menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan prinsip otonomi pendidikan tinggi. Sehingga akan memungkinkan bagi perguruan tinggi untuk membuka jalur-jalur penerimaan mahasiswa yang mampu diakses oleh mahasiswa dengan tingkat ekonomi menengah keatas serta pemberian kewenangan untuk mengelola badan usaha sebagai usaha memperoleh dana tambahan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Perlu kita sadari bahwa Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan merupakan bentuk pelanggaran Undang-Undang Dasar 1945 karena mengusung format otonomi pendidikan. Dengan demikian akan memungkinkan perguruan tinggi menaikkan biaya kuliah, membuka jalur pendidikan mandiri serta membuka badan-badan usaha. Dampaknya adalah pendidikan tinggi yang hanya dapat diakses dengan biaya mahal. Semangat otonomi perguruan tinggi juga tampak dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah karena telah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan secara khusus pada pasal 31. Namun pada kenyataannya pemerintah tetap bersikaras melanggengkan otonomi pendidikan tinggi yang tentunya akan berdampak pada diskriminasi pendidikan tinggi yang hanya dapat diakses oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah keatas. Untuk menganalisis lebih lanjut pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 maka pada bab ini penulis akan menganalisis pasal-pasal Universitas Sumatera Utara sesuai dengan yang sudah disebutkan pembatasan masalah. Sehingga dapat dianalisis lebih lanjut apakah Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 memang tepat diterapkan untuk menciptakan pendidikan tinggi yang ilmiah dan demokratis sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945. 3.1 Pasal 64 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 31 ayat 3 Pasal 64 Pengelolaan Perguruan Tinggi 1 Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik. 2 Otonomi pengelolaan di bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma. 3 Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan e. sarana prasarana. Berdasarkan pasal 64 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur pengelolaan pendidikan tinggi yang terdiri dari otonomi Perguruan Tinggi di bidang akademik dan non-akademik. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 64 tersebut antara lain: 1. Pemberian prinsip otonomi kepada pendidikan tinggi yang dimaksud dalam pasal 64 Ayat 1 bahwa,” Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 meliputi bidang akademik dan bidang nonakademik”. Pasal tersebut merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan sistem pendidikan karena Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Universitas Sumatera Utara pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Menjadi pasal penegas bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat 3 ini adalah ayat yang diambil dari ayat 2 sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata mengusahakan yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata menyelenggarakan berarti mengurus dan mengusahakan sesuatu. Jadi pada ayat 3, daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata- kata ..sistem pendidikan nasional.., artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. 2. Otonomi Perguruan Tinggi menjadikan pendidikan tinggi barang publik public good yang merupakan fungsi dan tanggung jawab Pemerintah. Pasal 64 Ayat 3 berbunyi, “Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan: a. organisasi; b. keuangan; c. kemahasiswaan; d. ketenagaan; dan e. sarana prasarana.” Penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan pinsip otonomi pengelolaan di bidang nonakademik oleh perguruan tinggi akan memungkinkan terciptanya pendidikan tinggi yang hanya diakses dengan biaya mahal. Dengan demikian, masyarakat dengan ekonomi menengah keatas yang mampu memperoleh pendidikan tinggi. Sehingga pasal tersebut bertentangan dengan amanat Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib berhak mendapat pendidikan”. Berikut ini adalah beberapa fakta yang penulis peroleh untuk meyakinkan bahwa pemberian otonomi nonakademik kepada perguruan tinggi akan menciptakan pendidikan tinggi dengan harga yang mahal. Diagram 5 Universitas Sumatera Utara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2000-2010 Diagram 6 Alokasi APBN untuk Pendidikan Sumber : www.psp.kemdiknas.go.id 26 Maret 2013 pukul 23.01 WIB Dengan naiknya anggaran pendidikan nasional dalam APBN dari tahun ke tahun kemudian memunculkan pertanyaan apakah dengan demikian kemakmuran rakyat akan meningkat? Jawaban terhadap perkembangan yang sangat fundamental ini perlu dikaji lebih mendalam karena selama lebih dari 67 tahun merdeka, rakyat Indonesia masih tetap tergolong miskin. Naiknya anggaran pendidikan nasional, meskipun belum memenuhi sebagaimana yang diinginkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, harus diakui merupakan suatu perubahan yang besar dari masyarakat dan pemerintah yang berpegang teguh akan pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa. Namun, apakah kenaikan dana untuk pembangunan pendidikan dengan sendirinya akan menjadi pemicu bagi peningkatan kemakmuran rakyat? Memang hal tersebut menjadi suatu mitos bahwa anggaran yang besar untuk pendidikan dengan 0,00 200.000.000.000.000,00 400.000.000.000.000,00 2009 2010 2011 2012 208.286.633.287.000, 00 209.537.587.275.000, 00 249.978.493.061.200, 00 289.957.815.783.800, 00 Alokasi APBN untuk Pendidikan 205.334,50 300.599,50 298.527,50 340.928,30 403.104,60 493.919,40 636.153,10 706.108 979.305,40 984.786,50 1.047.700,00 1.104.901,96 1.311.386,67 0,00 200.000,00 400.000,00 600.000,00 800.000,00 1.000.000,00 1.200.000,00 1.400.000,00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah APBN Universitas Sumatera Utara sendirinya akan membawa masyarakat kemakmuran. H.A.R Tilaar mengatakan bahwa, “Kebijakan pendidikan dewasa ini tidak terarah dengan jelas. Yang jelas pendidikan telah dijadikan sebagai komoditi perdagangan yang terlihat dalam PP No.7 Tahun 2007 yang memberi kesempatan bagi masuknya modal asing dalam bidang pendidikan”. 74 Proses pendidikan ditekankan pada kemampuan bersaing dengan memanfaatkan sumber-sumber dalam negeri sehingga potensi alam dan budaya Indonesia yang kaya raya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan Indonesia dan sekaligus melindungi kelestarian alam demi generasi berikutnya. Dengan peningkatan kecerdasan bangsa, dengan sendirinya bangsa ini akan mampu duduk sama tinggi dan sama rendah dengan bangsa lain, bahkan bangsa Indonesia mampu menyumbangkan kemampuan dan sumber-sumber kekayaannya untuk umat manusia. Tabel 4 Perbandingan Alokasi Pendanaan Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2011 dan 2012 Komponen Anggaran Pendidikan Tahun Anggaran 2011 75 Tahun Anggaran 2012 76

1. Anggaran Pendidikan melalui Belanja Pemerintah Pusat

89.744.353.212.000 102.518.328.983.800 1. Kementrian Pendidikan Nasional 55.582.101.011.000 64.350.856.443.000 4. Kementrian Agama 27.263.218.531.000 32.007.510.602.000 5. Kementerian NegaraLembaga lainnya - Kementerian Keuangan - Kementerian Pertanian - Kementerian Perindustrian - Kementerian ESDM - Kementerian Perhubungan 6.899.033.670.000 90.935.662.000 35.708.205.000 209.641.813.000 63.637.700.000 1.478.060.511.000 6.159.961.938.800 88.385.007.000 43.600.000.000 292.400.000.000 66.819.000.000 1.795.495.324.800 74 H.AR Tilaar, Kebijakan Pendidikan. op, cit.,hal 327. 75 Lihat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 28 76 Lihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2011 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 29 Universitas Sumatera Utara - Kementerian Kesehatan - Kementerian Kehutanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata - Badan Pertanahan Nasional - BMKG - Badan tenaga Nuklir Nasional - Kementerian Pemudan dan Olahraga - Kementerian Pertahanan - Kementerian Tenaga Kerja - Perpustakaan Nasional - Kementerian Koperasi dan UKM - Kementerian Komunikasi dan Informatika 1.924.160.298.000 95.599.615.000 180.992.000.000 226.998.000.000 25.346.488.000 18.755.000.000 15.874.778.000 1.372.190.000.000 124.137.600.000 786.996.000.000 100.000.000.000 150.000.000.000 1.350.000.000.000 41.229.636.000 230.500.000.000 215.970.000.000 22.790.740.000 18.800.000.000 17.948.000.000 933.500.000.000 114.193.736.000 412.000.000.000 264.492.957.000 215.000.000.000 36.837.538.000

2. Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke Daerah

158.234.139.849.200 186.439.486.800.000 1. Bagian Anggaran Pendidikan yang dialokasikan dalam DBH Pendidikan 762.991.369.000 815.613.542.000 2. DAK Pendidikan 10.041.300.000.000 10.041.300.000.000 3. Bagian Anggaran Pendidikan yang dialokasikan dalam DAU 104.289.781.242.000 113.855.500.000.000 4. Dana Tambahan Penghasilan untuk Guru PNSD 3.696.177.700.000 2.898.900.000.000 5. Tunjangan Profesi Guru 18.537.689.880.200 30.559.800.000.000 6. Bagian Anggaran Pendidikan yang dialokasikan dalam Otsus 2.706.393.898.000 3.285.773.258.000 7. Dana Insentif Daerah 1.387.800.000.000 1.387.800.000.000 8. Bantuan Operasional Sekolah 16.812.005.760.000 23.594.800.000.000

3. Anggaran Pendidikan Nasional melalui Pengeluaran Pembiayaan

1.000.000.000.000 1.000.000.000.000 Universitas Sumatera Utara Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 1.000.000.000.000 1.000.000.000.000 APBN 1.104.901.964.236.000 1.435.406.719.999.000 Persentase Anggaran Fungsi Pendidikan 20,2 20,2 Anggaran Fungsi Pendidikan 248.978.493.061.200 289.957.815.783.800 Pada tahun 2009 seharusnya anggaran untuk pendidikan adalah Rp 196.957.300.000 tetapi hanya direalisasikan sebesar Rp 77.401.700.000. Alokasi dana sebesar Rp 119.555.600 tidak digunakan sepenuhnya untuk peserta didik. Pada tahun 2011, anggaran pendidikan masih menggunakan pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan UU 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa persentase anggaran pendidikan sebesar 20,2 dari total anggaran yang disediakan atau sebesar Rp 289.957.815.783.800,00 dua ratus delapan puluh sembilan triliun sembilan ratus lima puluh tujuh miliar delapan ratus lima belas juta tujuh ratus delapan puluh tiga ribu delapan ratus rupiah. Tetapi jika dihitung anggaran untuk pendidikan murni hanya mencapai 10 dari APBN dan itu artinya setiap tahunnya tingkat partisipasi peserta didik akan terus berkurang akibatnya jumlah putus sekolah dan penyandang buta aksara. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD untuk memenihi penyelenggaraan pendidikan nasional”. Disisi lain Pasal 49 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD”. Selama orde transisi dan orde reformasi berkiprah, lagi-lagi peraturan ini tidak pernah dipatuhi. 77 Tidak direalisasikannya 20 anggaran pendidikan mengakibatkan pendidikan Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi akan semakin mahal. Angka putus 77 Tonny D. Widiastono, 2004, Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta; Kompas. hal. 433. Universitas Sumatera Utara sekolah akan semakin banyak diperoleh dari lulusan Sekolah Dasar hingga Perguruan tinggi. Akibatnya adalah : 1. Semakin rendah angka generasi muda yang kreatif, inovatif dan mandiri. 2. Tidak tercipta inovasi dan kemandirian serta rendahnya penguasaan atas IPTEK. 3. Kesejahteraan masyarakat akan terus rendah akibat tidak adanya regenerasi inovasi dan teknologi masyarakat Indonesia. 4. Tingkat pendapatan daerah akan semakin rendah akibat tidak adanya generasi penerus untuk membangun daerahnya. 5. Tingkat pendapatan negara akan semakin rendah akibat tidak adanya dorongan dari pemerintah daerah untuk ikut membantu membangun pemerintah pusat. Rektor Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa sesudah Universitas Indonesia menjadi Badan Hukum Milik Negara sejak tahun 2000, kucuran dana APBN hanya dapat memenuhi kebutuhan 15 dari total yang diperlukan, sedangkan negara lain memberikan 80-90 persen dari total kebutuhan 78 Untuk menyeimbangkan neraca keuangan maka salah satu jalan yang ditempuh dengan membuka jalur penerimaan mahasiswa reguler mandiri. Peserta didik dengan tingkat ekonomi menengah keatas akan membantu menopang biaya keuangan universitas karena pada umumnya biaya kuliah reguler mandiri lebih besar daripada mahasiswa dengan status reguler. . Implikasi pelaksanaan UU Badan Hukum Pendidikan tersebut memberatkan mahasiswa dengan tingkat perekonomian rendah. Tabel 5 Penerimaan Dana dari APBN dan Non-APBN Universitas Indonesia Tahun 2002-2006 Keterangan 2002 2003 2004 2005 2006 78 http:www.kopertis12.or.id. Diakses pada 26 Januari 2013 pukul 08.30 WIB. Universitas Sumatera Utara APBN 94.646.541.764 90.954.185.183 103.763.059.263 107.612.004.869 107.641.652.229 Non-APBN 247.088.995.561 349.776.930.983 474.424.840.892 666.299.348.663 640.503.996.192 Total Penerimaan 341.685.537.327 440.731.116.166 578.187.900.155 673.911.353.532 748.145.648.421 Sumber : UI Dalam Angka Versi 2007 Minimnya penerimaan dana APBN untuk menyelenggarakan program pendidikan menuntut perguruan tinggi menarik biaya pendidikan kepada peserta didik sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Berikut ini adalah biaya kuliah yang penulis himpun dari 7 Badan Hukum Milik Pemerintah pada tahun ajaran 20112012. Tabel 6 Biaya Kuliah 7 Badan Hukum Milik Pemerintah Tahun Ajaran 20112012 No Nama Perguruan Tinggi Keterangan Biaya Jenis Program 1 Universitas Indonesia 79 Biaya Operasional Pendidikan Rp 5.000.000 – Rp 7.500.000 Dana Kesejahteraan Fasilitas Mahasiswa Rp 100.000 Dana Pelengkap Pendidikan Rp 600.000 Uang Pangkal Rp 5.000.000 – Rp 25.000.000 Reguler Biaya Operasional Pendidikan Rp 8.500.000 – Rp 9.500.000 Uang Pangkal Rp 10.000.000 – Rp 45.000.000 Pararel 2 Universitas Gadjah Mada 80 Biaya Operasional Pendidikan Rp 5.000.000 - Rp 75.000.000 Sumbangan Pembinaan Pendidikan Rp 500.000 Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik Rp 0 – Rp 40.000.000 Eksakta dan ilmu kesehatan Biaya Operasional Pendidikan Rp 5.000.000 - Rp 60.000.000 Sumbangan Pembinaan Pendidikan Rp 500.000 Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik Rp 0 – Rp 40.000.000 Non- eksakta 3 Institut Teknologi Bandung 81 Biaya Penyelenggaraan Pendidikan per Semester Rp 5.000.000 – Rp 18.500.000 Sumbangan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Rp 55.000.000 – Rp 80.000.000 Reguler 4 Institut Pertanian Bogor Biaya operasional pendidikan Rp 7.500.000 – Rp 15.000.000 Biaya Pengembangan Institusi Rp 0 – Rp 30.000.000 Reguler 5 Universitas Biaya Biaya 79 Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia No. 028ASkRUI2012. 80 Data diperoleh dari situs resmi Universitas Gajah Mada um.ugm.ac.idsnmptnugm2012. Diakses pada 26 Maret 2013 Pukul 14.26 WIB. 81 Data diperoleh dari situs resmi Institut Teknologi Bandung www.itb.ac.id. Diakses pada 26 Maret 2013 pukul 14.30 WIB. Universitas Sumatera Utara Airlangga 82 Penyelenggaraan Pendidikan Rp 2.200.000 – Rp 27.800.000 Pengembangan Institui Rp 10.000.000 – Rp 25.000.000 6 Universitas Pendidikan Indonesia 83 Biaya Operasional Pendidikan Rp 7.000.000 – Rp 15.000.000 Biaya pengembangan dan fasilitas akademik Rp 3.400.000 – Rp 7.400.000 Biaya Penyelenggaraan Pembelajaran Rp 1.000.000 7 Universitas Sumatera Utara 84 Sumbangan Pembinaan Pendidikan Rp 750.000 Dana Kelengkapan Akademik Rp 1.425.000 – Rp 1.925.000 Reguler Sumbangan Pembinaan Pendidikan Rp 5.000.000 – Rp 50.000.000 Dana Kelengkapan Akademik Rp 1.925.000 Mandiri Dengan adanya otonomi pendidikan setiap perguruan tinggi memiliki kewenangan menetapkan jenis biaya pendidikan di luar biaya penyelenggaraan pendidikan atau yang lebih dikenal dengan SPP. Kondisi tersebut telah lama diterapkan oleh perguruan tinggi dengan menarik dana dari peserta didik dan masyarakat dengan nilai yang sangat tinggi agar dapat menutupi kekurangan dana operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Penarikan dana dari peserta didik dan masyarakat selain SPP dapat dilihat di Universitas Indonesia seperti Admission Fee yang diterapkan sejak tahun 2004 dan Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B. Kondisi ini juga terjadi di Universitas Sriwijaya seperti Dana Pengembangan Pendidikan, Dana Pengembangan Lembaga dan Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia menerapkan Dana Pengembangan Lembaga dan Biaya Peningkatan Mutu Akademik. Universitas Gajah Mada juga menerapkan Biaya Operasional Pendidikan serta Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik. Varian-varian biaya kuliah inilah yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan nilai dari biaya diluar SPP ini sangatlah besar. Walaupun konstitusi telah mengamanatkan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia, tetapi amanat konstitusi tersbut belum dapat dinikmati sepenuhnya oleh 82 http:www.unair.ac.id diakses pada 26 Maret 2013 Pukul 15.33 WIB. 83 Sirat Keputusan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia NOMOR 0646UN40KU2012. 84 Surat Keputusan Rektor Universitas Sumatera Utara Nomor 44H5.1.RSKKEU2009. Universitas Sumatera Utara rakyat. Permasalahan yang paling pokok tentang pendidikan nasional adalah mahalnya biaya pendidikan sehingga masyarakat dengan ekonomi rendah tidak dapat mengakses dunia pendidikan, selain itu peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional tidak dilaksanakan secara maksimal. Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan nasional cenderung menciptakan dunia pendidikan dengan lebel yang mahal. 3. Pasal 31 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang secara implisit menegaskan tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan nasional dengan penegasan adanya kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya 20 dana APBN dan APBD belumlah tercermin sebagaimana mestinya di dalam undang-undang ini. Pasal 31 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang normanya justru menekankan pembiayaan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab negara secara langsung dengan menggesernya menjadi tanggung jawab masing- masing perguruan tinggi yang dibungkus dengan kata-kata otonomi pengelolaan organisasi dan keuangan yang pada akhirnya pemerintah akan mengalokasikan dana secukupnya untuk membiayai pendidikan tinggi, sedang selebihnya akan dibebankan kepada mahasiswa dengan dalih otonomi pengelolaan keuangan yang tentunya akan tergantung kepada berapa besarnya pengeluaran dan pemasukan. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa pasal 64 Undang-Undang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...” Begitu pula dengan Pasal 28C ayat 1 bahwa, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Oleh karena kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan maka pengelolaan dana di badan hukum pendidikan tidak dapat dilakukan secara mandiri. Negara melalui Pemerintah dalam hal ini bertugas sebagai penyelenggara pendidikan sehingga dana-dana yang dimiliki oleh satuan pendidikan tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain dan diambil dari masyarakat. Kata “mengelola” berarti Universitas Sumatera Utara mengendalikan atau mengurus dana-dana dengan mandiri. Pemerintah untuk mencerdaskan warga negaranya tetapi justru akan memberikan beban kepada warga negaranya. Berdasarkan uraian di atas maka sumber dana dan kapitalisasi modal yang diberikan pada UU PT juga bertentangan dengan Pasal 31 ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945. Mengelola dana mandiri berarti mencari uang atau biaya pendidikan dari sumber lain. Bahwa merujuk pada Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 yang mewajibkan Pemerintah menjamin kecerdasan seluruh rakyat, maka sumber dana pendidikan sudah seharusnya menjadi beban pemerintah. Walaupun ada asas nirlaba, namun mengingat besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi, pada akhirnya PTN badan hukum itu akan membebani mahasiswa dan mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan pembiayaan yang cukup untuk menyelengarakan pendidikan tinggi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. 3.2 Pasal 65 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 31 ayat 3 Pasal 65 1. Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu. 2. PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memiliki: a. kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah; b. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; c. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; d. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; e. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan; Universitas Sumatera Utara f. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan g. wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi. Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat 4. Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat. 5. Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Berdasarkan pasal 65 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur pola keuangan pengelolaan pendidikan tinggi yang terdiri dari pengelolaan Badan Layanan Umum dan badan hukum. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 65 tersebut antara lain: 1. PTN badan hukum dan PTN menurut BLU merupakan salah satu bentuk dalam pengelolaan dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan telah secara jelas dan nyata dicabut oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136PUU-VII2009 tanggal 31 Maret 2010 point ke 8 menyatakan bahwa, “Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dalam Undang-Undang BHP dan ini sangat jelas menyatakan bahwa PTN badan hukum yang dikelola berdasarkan badan layanan umum merupakan bentuk komersialisasi dari pendidikan tinggi. Pengelolaan dengan badan layanan merupakan otonomi atau kemandirian dalam pengelolaan keuangan. Artinya, perguruan tinggi negeri memiliki otonomi atau kekuasaan untuk melakukan pengelolaan pungutan maupun penganggaran dalam penyelenggaraan pendidikannya. Pasal 65 Ayat 1 berbunyi, ”Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu”. Penulis berpendapat bahwa tujuan berdirinya negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang ada dalam Paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Universitas Sumatera Utara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...” . Semakin mahalnya biaya pendidikan akibat otonomi perguruan tinggi mengakibatkan masyarakat tingkat ekonomi menengah keatas saja yang mampu mengakses dunia pendidikan. Dengan demikian akan bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib berhak mendapat pendidikan”. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 merupakan bentuk pengelolaan pendidikan tinggi yang sebelumnya juga terdapat dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.. Pasal tersebut juga merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan sistem pendidikan karena Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintah harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat 3 ini adalah ayat yang diambil dari ayat 2 sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang- Undang. Adanya kata mengusahakan yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata menyelenggarakan berarti mengurus dan mengusahakan sesuatu. Jadi pada ayat 3, daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata ..sistem pendidikan nasional.., artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sudah pasti menjadi tanggung jawab pemerintah seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian otonomi baik dalam bentuk pengelolaan Badan Layanan Umum ataupun badan hukum merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Universitas Sumatera Utara 3.3 Pasal 73 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 28 I ayat 2, Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 31 ayat 3 Penerimaan Mahasiswa Baru Pasal 73 1 Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan bentuk lain. 2 Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional. 3 Calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 yang telah memenuhi persyaratan akademik wajib diterima oleh Perguruan Tinggi. 4 Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum Mahasiswa dalam setiap Program Studi dan kapasitas sarana dan prasarana, Dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya. 5 Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial. 6 Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional. 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional diatur dalam Peraturan Menteri. Berdasarkan pasal 73 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur pola penerimaan mahasiswa baru pada jenjang pendidikan tinggi. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 73 tersebut antara lain: 1. Undang-undang pasal 73 Ayat 1 bahwa, “Penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan bentuk lain”. Pada pasal tersebut menyatakan penerimaan mahasiswa baru PTN untuk setiap program studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional dan “bentuk lain”. Menurut penulis frasa bentuk lain mengandung sifat multitafsir. Pada penjelasan pasal 64 diketahui bahwa pemberiaan dana dari APBN yang sangat terbatas untuk pengelolaan pendidikan pada Universitas Indonesia mengharuskan perguruan tinggi tersebut membuka jalur mandiri sebagai penopang neraca keuangan universitas. Memang ketentuan Pasal 73 ayat 5 Universitas Sumatera Utara menyebutkan bahwa, “Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial”. Namun fakta yang ditemukan dilapangan dikhawatirkan akan memunculkan fenomena penerimaan mahasiswa dengan biaya yang lebih mahal dan pemberian fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa reguler. Digunakannya cara-cara tertentu dengan berbagai dalih yang pada akhirnya dijadikan sarana untuk menghimpun dana untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan membebani calon mahasiswa, akibatnya orang-orang kaya dan mampu walaupun mempunyai kemampuan akademik di bawah standar, dapat memasuki perguruan tinggi negeri melalui cara penerimaan bentuk lain ini. Dengan demikian pasal 73 Undang-Undang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...” Begitu pula dengan Pasal 28C ayat 1 bahwa, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Mahalnya biaya pendidikan mengakibatkan pendidikan tinggi hanya dapat diakses oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah keatas mengakibatkan pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 berbunyi, Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Berikut ini adalah beberapa fakta yang penulis peroleh untuk meyakinkan bahwa pemberian otonomi non-akademik kepada perguruan tinggi akan menciptakan pendidikan tinggi dengan harga yang mahal. Diagram 4 Universitas Sumatera Utara Perkembangan Angka Melanjut ke Perguruan Tinggi Sumber : www.psp.kemdiknas.go.id diakses pada 26 Maret 2013 pukul 22.00 WIB Jumlah peserta didik Sekolah Menengah Atas yang tidak dapat melanjut ke perguruan tinggi pada tahun ajaran 20082009 mencapai 1.027.777 siswa. Besarnya angka peserta didik yang tidak dapat melanjut ke perguruan tinggi disebabkan oleh mahalnya pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga kebanyakan peserta didik memilih untuk langsung bekerja dengan keterampilan seadanya. Peserta didik tersebut tidak akan mampu bertahan ditengah era globalisasi yang sangat mengedepankan inovasi, kreativitas, kemandirian dan penguasaan IPTEK. Akibatnya adalah peserta didik harus bekerja dengan upah atau gaji yang minimal dan dalam jangka waktu yang pendek karena tidak mampu bersaing. Jika perguruan tinggi memperoleh kesempatan untuk mengelola berdasarkan prinsip otonomi akan memungkinkan dibukanya jalur penerimaan mahasiswa baru secara mandiri. Dampaknya adalah sulitnya memperoleh akses pendidikan sehigga tidak mengherankan dari 1.988.429 siswa lulusan SMA hanya 960.652 yang mampu menduduki bangku pendidikan tinggi. Tabel 3 1.712.972 1.988.429 1.841.531 1.988.429 696.402 1.030.970 940.477 960.652 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 20052006 20062007 20072008 20082009 Perkembangan Angka Melanjut ke Perguruan Tinggi Lulusan SMA Angka Melanjut PT Universitas Sumatera Utara Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Tahun 2005-2011 Sumber : Makalah Sosialisas UU PT oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Judul Merajut Masa Depan bangsa Melalui Undang-Undang No 12. Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Seiring dengan meningkatnya perkembangan perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia maka semakin besar ekspektasi peserta didik untuk menduduki bangku perkuliahan. Hal ini juga dipengaruhi oleh semakin besarnya laju pertumbuhan penduduk serta upaya peningkatan kualitas peserta didik dalam menghadapi tantangan global. Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pendidikan tinggi sangat diminati oleh masyarakat karena dengan mengenyam pendidikan tinggi memungkinkan peserta didik memperoleh bekal yang lebih matang dalam memperoleh pekerjaan nantinya. Namun mahalnya biaya untuk mengakses pendidikan tinggi mengakibatkan hanya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah keatas saja yang mampu mengenyam pendidikan. 2. Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib berhak mendapat pendidikan” Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah penegasan tentang kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan. Kata “hak” merupakan penegasan tentang kebutuhan dasar basic need. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan dasar ini, negara melalui pemerintahlah yang harus memenuhi segala hal yang dibutuhkan oleh warga negaranya. Pembiayaan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab negara secara langsung dengan menggesernya menjadi tanggung jawab masing-masing perguruan tinggi yang dibungkus dengan kata-kata otonomi pengelolaan organisasi dan keuangan Deskripsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Populasi Usia 19-20 21.190.000 21.184.100 21.174.900 21.171.300 21.170.300 19.844.485 19.858.146 Jumlah Mahasiswa 3.868.358 4.285.645 4.375.505 4.501.543 4.657.547 5.226.450 5.381.216 PTN 805.475 824.693 978.739 965.970 1.011.721 1.030.403 1.063.274 PTS 2.243.270 2.567.879 2.392.417 2.410.276 2.451.451 2.886.641 2.928.890 PT Kedinasan 48.493 51.318 47.253 47.253 66.535 92.971 101.351 Religious HEI 508.545 518.901 506.247 556.763 503.439 571.336 620.938 Universitas Terbuka UT 262.081 322.854 450.849 521.281 624.401 645.099 666.763 APK 18,26 20,23 20,66 21,26 22,00 26,34 27,10 Universitas Sumatera Utara yang pada akhirnya pemerintah akan mengalokasikan dana secukupnya untuk membiayai pendidikan tinggi, sedang selebihnya akan dibebankan kepada mahasiswa dengan dalih otonomi pengelolaan keuangan yang tentunya akan tergantung kepada berapa besarnya pengeluaran dan pemasukan. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa pasal 73 Undang-Undang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Menjadi pasal penegas bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat 3 ini adalah ayat yang diambil dari ayat 2 sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata mengusahakan yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata menyelenggarakan berarti mengurus dan mengusahakan sesuatu. Jadi pada ayat 3, daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata ..sistem pendidikan nasional.., artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan maka pengelolaan dana di badan hukum pendidikan tidak dapat dilakukan secara mandiri. Negara melalui Pemerintah dalam hal ini bertugas sebagai penyelenggara pendidikan sehingga dana-dana yang dimiliki oleh satuan pendidikan tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain dan diambil dari masyarakat. Kata “mengelola” berarti mengendalikan atau mengurus dana-dana dengan mandiri. Pemerintah untuk mencerdaskan warga negaranya tetapi justru akan memberikan beban kepada warga negaranya. 3.4 Pasal 74 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 28 I ayat 2, dan Pasal 31 ayat 1 Pasal 74 Universitas Sumatera Utara 1 PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 dua puluh persen dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. 2 Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, danatau Masyarakat. Berdasarkan pasal 74 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur pola penjaringan minimal 20 calon mahasiswa baru khsusnya didaerah terdepan, terluar dan tertinggal. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 74 tersebut antara lain: 1. Dalam pasal 74 ayat 1 bahwa, “PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 dua puluh persen dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.” Hanya mewajibkan PTN untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik yang tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi, tanpa mewajibkan untuk mencari dan menjaring calon mahasiswa yang potensi akademiknya rendah dan kurang mampu. Hal ini menyebabkan anak-anak yang kurang pintar dan tidak mampu secara ekonomi akan semakin tertinggal. Negara menjamin kebutuhan dasar maka kebutuhan biaya pendidikan telah dijamin oleh Pemerintah. Dengan adanya jaminan tersebut maka tidak perlu lagi penyebutan orang mampu dan tidak mampu, oleh karena seluruh biaya pendidikan telah ditanggung Pemerintah. Bahwa frasa “potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi” arti bahwa biaya pendidikan hanya diberikan kepada orang yang tidak mampu sedangkan yang mampu tidak, artinya biaya pendidikan tidak ditanggung oleh negara. Padahal dalam Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap orang yang harus dipenuhi oleh negara, artinya termasuk di dalamnya penyediaan biaya pendidikan. Oleh karena dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI yang dirancang untuk menjamin kebutuhan dasar warga negaranya yang diatur dalam Pasal 31 ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945, maka pendidikan secara keseluruhan seharusnya dibiayai oleh Pemerintah. Oleh Karena itu pasal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat Universitas Sumatera Utara 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib berhak mendapat pendidikan”. Pasal 28C yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Serta pasal 28I ayat 2 UUD 1945 berbunyi, Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” 2. Adanya pembedaan kelas sosial peserta didik yang mampu dan tidak mampu secara ekonomi atau miskin menegaskan paradigma Undang-Undang Pendidikan Tinggi tetap menanamkan benih pembedaan kelas sosial dan menegaskan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam pendidikan jelas harus dibiayai sendiri oleh warga negara. Selain itu, pemberian beasiswa dan bantuan pendidikan sudah seharusnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi, bukan atau tidak seharusnya mengukur kemampuan ekonomi peserta didik, karena miskin maka tidak bayar, karena mampu atau “kaya” harus bayar. Sudah jelas ditegaskan dalam UUD 1945 bahwa peran utama negara melalui Pemerintah adalah berupa jaminan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan pada seluruh rakyat Indonesia sehingga tidak perlu lagi ada pembedaan kelas dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Dengan demikian pasal ini bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...” Sebenarnya pembuat undang-undang menyadari bahwa Undang-Undang Pendidikan Tinggi menciptakan pendidikan biaya tinggi. Oleh karena itu muncul ketentuan yang memberikan “jatah” bagi masyarakat miskin yang berprestasi untuk dapat ikut menikmati fasilitas pendidikan di tengah mahalnya biaya pendidikan. Namun masyarakat miskin ini harus berprestasi terlebih dahulu jika ingin bertambah pintar. Sementara masyarakat miskin yang memang tidak berprestasi tidak akan dapat jatahnya ini dah jika ingin mendapatkan pendidikan maka mereka harus bersaing dengan masyarakat mampu, baik itu berprestasi maupun tidak. Akibatnya, dengan adanya pasal 74 ini maka tidak ruang Universitas Sumatera Utara bagi kelompok masyarakat ekonomi rendah yang tidak berprestasi ini untuk mendapatkan akses pendidikan. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 wajib memprioritaskan atau mengutamakan pembahasan anggaran pendidikan sekurangkurangnya, berarti anggaran bisa lebih dari dua puluh persen untuk menjadi sumber dana pendidikan untuk penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Pasal ini jelas tidak memposisikan warga negara bertanggung jawab untuk mendanai pendidikan dari biaya sendiri. 3.5 Pasal 85 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945, Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 31 ayat 3 Pasal 85 1. Perguruan Tinggi dapat berperan serta dalam pendanaan Pendidikan Tinggi melalui kerja sama pelaksanaan Tridharma. 2. Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Berdasarkan pasal 85 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur tentang pendanaan pendidikan tinggi yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 85 tersebut antara lain: 1. Berdasarkan pasal 85 ayat 2 yang berbunyi,”Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya Pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”. Pasal tersebut merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan sistem pendidikan karena Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang- undang”. Menjadi pasal penegas bahwa pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat 3 ini adalah ayat yang diambil dari ayat 2 sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata Universitas Sumatera Utara mengusahakan yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata menyelenggarakan berarti mengurus dan mengusahakan sesuatu. Jadi pada ayat 3, daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata ..sistem pendidikan nasional.., artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan pinsip otonomi pengelolaan di bidang nonakademik oleh perguruan tinggi akan memungkinkan terciptanya pendidikan tinggi yang hanya diakses dengan biaya mahal. Dengan demikian, masyarakat dengan ekonomi menengah keatas yang mampu memperoleh pendidikan tinggi. Sehingga pasal tersebut bertentangan dengan amanat Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib berhak mendapat pendidikan”. Adapun fakta-fakta yang penulis temukan sebagai bukti bahwa otonomi pendidikan tinggi yang diwujudkan dalam salah satu pasal 85 ayat 2 yaitu: Dengan adanya otonomi pendidikan setiap perguruan tinggi memiliki kewenangan menetapkan jenis biaya pendidikan di luar biaya penyelenggaraan pendidikan atau yang lebih dikenal dengan SPP. Kondisi tersebut telah lama diterapkan oleh perguruan tinggi dengan menarik dana dari peserta didik dan masyarakat dengan nilai yang sangat tinggi agar dapat menutupi kekurangan dana operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Penarikan dana dari peserta didik dan masyarakat selain SPP dapat dilihat di Universitas Indonesia seperti Admission Fee yang diterapkan sejak tahun 2004 dan Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan, disingkat BOP-B. Kondisi ini juga terjadi di Universitas Sriwijaya seperti Dana Pengembangan Pendidikan, Dana Pengembangan Lembaga dan Sumbangan Pengembangan Fasilitas Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia menerapkan Dana Pengembangan Lembaga dan Biaya Peningkatan Mutu Akademik. Universitas Gajah Mada juga menerapkan Biaya Operasional Pendidikan serta Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik. Varian-varian biaya kuliah inilah yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan nilai dari biaya diluar SPP ini sangatlah besar. Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS, bahwa jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin per Maret 2011 mencapai 30.5 juta jiwa. Mereka yang masuk dalam kategori miskin memiliki pendapatan perkapita selama sebulan sebesar Universitas Sumatera Utara Rp 233.740 tiap bulannya. Sedangkan penduduk yang memiliki pendapatan antara Rp 233.740 hingga Rp 280.488 dalam kategori penduduk hampir miskin pada Maret 2011 berjumlah 27,12 jiwa atau 11,28 dari total penduduk. Jadi total penduduk miskin dan hampir miskin berjumlah 53,49 juta jiwa. Dengan demikian, bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik sudah pasti tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi. 85 Walaupun konstitusi telah mengamanatkan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia, tetapi amanat konstitusi tersbut belum dapat dinikmati sepenuhnya oleh rakyat. Permasalahan yang paling pokok tentang pendidikan nasional adalah mahalnya biaya pendidikan sehingga masyarakat dengan ekonomi rendah tidak dapat mengakses dunia pendidikan, selain itu peran pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional tidak dilaksanakan secara maksimal. Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan nasional cenderung menciptakan dunia pendidikan dengan lebel yang mahal. 3.6 Pasal 86 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 ayat 3 Pasal 86 1 Pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi. 2 Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pasal 86 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur pemberian insentif kepada dunia usaha, industri ataupun masyarakat yang memberikan bantuan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 86 tersebut antara lain: 1. Berdasarkan pasal 86 ayat 2 yang berbunyi, “Pemerintah memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri atau anggota Masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Fasilitasi dan pemberian insentif 85 Nanang Fattah. 2009. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. hal 84-85. Universitas Sumatera Utara kepada dunia usaha, masyarakat, dan perorangan untuk memberikan bantuan kepada Perguruan Tinggi menyebabkan dekonstruksi pada dunia pendidikan tinggi Indonesia. Pembentukan pendidikan tinggi yang berkualitas menjadi pendidikan tinggi yang menerapkan pradigma dunia usaha yang mengutamakan profit oriented. Jika dalam pendidikan tinggi sudah diterapkan profit oriented berakibat pada perubahan kurikulum Perguruan Tinggi yang lebih disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. 2. Munculnya pasal 86 ayat 2 mereduksi tanggung jawab negara atas pendidikan dengan memberi kesempatan kepada dunia usaha dan industri untuk terlibat dalam pendanaan pendidikan tinggi. Akibatnya adalah perguruan tinggi yang memiliki otonomi mempunyai kesempatan mengelola dan secara mandiri segala badan usaha dan aset yang ada baik yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat untuk menyeimbangkan neraca keuangan pendidikan tinggi atau bahkan akhirnya bersifat profit oriented. Pasal tersebut merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan sistem pendidikan karena Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Menjadi pasal penegas bahwa Pemerintah juga harus membiayai dan memberikan perhatian pada pendidikan tingkat menengah dan tinggi. Ayat 3 ini adalah ayat yang diambil dari ayat 2 sebelum UUD 1945 di amandemen. Artinya, kebutuhan dasar warga negara akan pendidikan tetap harus dipenuhi oleh pemerintah dengan merumuskannya dalam sebuah Undang-Undang. Adanya kata mengusahakan yang artinya mencarikan daya upaya dengan segala kekuatan tenaga, pikiran untuk mencapai sebuah tujuan dan kata menyelenggarakan berarti mengurus dan mengusahakan sesuatu. Jadi pada ayat 3, daya upaya dan usaha terus menerus bukan berarti pendidikan semata-mata hanya pendidikan dasar, tetapi daya upaya dan usaha juga harus pada jenjang pendidikan Iainnya sebagaimana terwakili dalam kata-kata ..sistem pendidikan nasional.., artinya ada proses atau jenjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pasal 86 ayat 2 juga bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut Universitas Sumatera Utara melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...” Kondisi tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi di PTS karena pola pengelolaan keuangan diserahkan kepada badan penyelenggara pendidikan atau dalam hal ini yayasan pendiri. Praktek pembukaan badan usaha baik PTN yang berbadan hukum dan PTS dapat kita lihat kebijakan IPB yang mendirikan Botani Square yang dijadikan sebagai sarana rekreasi dan penelitian, IPB juga mendirikan hotel berbintang lima. UPI membangun stadion sepak bola yang disewakan kepada salah satu klub sepak bola, UGM mendirikan GAMA Multi Usaha, UAD juga juga mendirikan ADI TV, UNRAM mendirikan rumah sakit pendidikan UNRAM dan UII juga membuka JIH Jogja Internasional Hospital. Dari pendirian badan usaha ini, diharapkan mampu menutupi kekurangan biaya operasional berdasarkan laba yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga. Namun, pada kenyataan hal tersebut tidak berpengaruh terhadap aksesbilitas masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi karena biaya pendidikan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi tersebut sangatlah mahal. 3. Pemberian otonomi didalam penelitian akademik sangat membuka peluang hasil dari penelitian dilakukan oleh setiap peserta didikmahasiswa dan dosen dapat dipergunakan untuk sarana komersil. Hal ini dikarenakan hasil penelitian tersebut “diperjualbelikan” kepada dunia industri dan dunia usaha. Dengan minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam bidang penelitian. Mengharuskan perguruan tinggi yang memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan industri dan usaha. Hal ini diperkuat oleh pernyataan rektor IPB yang menjelaskan bahwa orientasi dari hasil penelitian memang harus diarahkan ke hal yang komersil agar menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan oleh setiap instansi pendidikan. 86 Dengan minimnya anggaran untuk pendidikan tinggi dalam ranah penelitian. Perguruan tinggi juga memiliki otonomi untuk melakukan kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan usaha dan industri. Tentunya dari hasil kerjasama dan kemitraan tersebut, perguruan tinggi Dengan demikian, landasan hasil penelitian yang dapat diabdikan untuk kepentingan rakyat Indonesia atau dapat membangun industri nasional akan ternegasikan dengan kepentingan perusahaan–perusahaan yang hanya mengutamakan keuntungan semata. 86 Lihat Kompas tanggal 6 Juli 2011. Universitas Sumatera Utara mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dan menjual hasil penelitiannya kepada dunia usahaindustri. Sempitnya akses pendidikan akibat mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat, tidak ilmiah dan demokratisnya sistem pendidikan yang dijalankan menunjukkan permasalahan utama sistem pendidikan nasional. Sampai saat ini angka putus sekolah dan kuliah, angka anak usia sekolah yang tidak sekolah, angka buta aksara dan angka pengangguran terus meningkat. Kenyataan akan rendahnya anggaran dan mahalnya biaya pendidikan yang tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia, ditambah lagi dengan tidak adanya jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi lulusan perguruan tinggi serta masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik menunjukkan kondisi pendidikan di Indonesia. 3.7 Pasal 90 Undang-Undang Pendidikan Tinggi Bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Oleh Lembaga Negara Lain Pasal 90 ayat 1 1 Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sudah terakreditasi danatau diakui di negaranya. 3 Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Berdasarkan pasal 90 Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain. Adapun analisis kebijakan berdasarkan pasal 90 tersebut antara lain: 1. Pasal 90 ayat 1 berbunyi, “Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. menghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara atas pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang dijamin dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, Universitas Sumatera Utara ”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”Pasal tersebut merupakan indikasi paling kuat mengenai misi liberalisasi pendidikan yang terkandung dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi Tahun 2012. Pasal tersebut juga sangat sejalan dengan dokumen WTO World Trade Organization yang mengisyaratkan keharusan menerima empat model atau moda penyediaan hasil pendidikan lintas negara yaitu: 1. Cross-border supply dimana institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet atau online dalam berbentuk program degree dan seterusnya. 2. Consumption abroad, yakni mahasiswa belajar di luar perguruan tinggi luar negeri. 3. Commercial present atau kehadiran hubungan komersial dalam pengelolaan perguruan tinggi Indonesia dengan perguruan tinggi luar negeri melalui beberapa bentuk kerja sama seperti partnership, subsidiary, planning arrangement dengan perguruan tinggi lokal dan bantuan dengan mendatangkan pengajar asing pada lembaga pendidikan nasional. Cross border supply merupakan bentuk pendidikan tinggi yang menggunakan jaringan internet dalam melaksanakan program pendidikan. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh perguruan tinggi di luar negeri mengingat perkembangan zaman yang serba modern dan efisien. Wakil Presiden Boediono dalam acara sambutan Musyawarah Nasional III Asosiasi Badan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Swasta Indonesia ABP PTSI mengatakan bahwa, “Universitas Harvard pun saat ini sudah jalankan kuliah online. Jadi sangat tidak mungkin kita menghentikan masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia”. 87 2. Dengan adanya pasal 90 ini akan membuka peluang adanya persaingan yang tidak seimbang antara perguruan tinggi swasta didalam negeri dengan perguruan tinggi dari negara-negara luar. Dengan munculnya perguruan tinggi dari negara-negara Wakil presiden menyarankan agar perguruan tinggi swasta harus dapat bekerja lebih giat lagi karena berpotensi gulung tikar akibat ekspansi pendidikan tinggi luar negeri tidak dapat dibendung lagi. 87 Lihat Harian Analisa Rabu, 20 Februari 2013 halaman 12. Universitas Sumatera Utara luar akan memungkinkan sepinya minat peserta didik untuk belajar di perguruan tinggi swasta dalam negeri. Hal ini dikarenakan perguruan tinggi luar negeri yang dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia tentunya memiliki akreditasi yang baik dan mapan secara pengelolaan keuangan. Dengan masih rendahnya akreditasi perguruan tinggi swasta dalam negeri maka akan berdampak pada penutupan perguruan tinggi swasta karena tidak mampu bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri. Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa pendidikan menurut UUD 1945 adalah public goods, yang terbuka dan milik publik. Artinya, pendidikan harus dapat diakses oleh semua pihak dan tidak boleh menjadi dapat dibatasi oleh pihak tertentu atau dibatasi untuk kalangan tertentu. UUD 1945 juga telah mengarahkan agar pendidikan tidak boleh menjadi komoditas yang dapat menjadi objek dalam persaingan pasar. Sebaliknya, justru UUD 1945 menekankan pentingnya peran dan fungsi negara untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pendidikan agar tercapai tujuan negara. Persoalannya, Pemerintah dan DPR telah membuat suatu kebijakan yang menentukan bahwa landasan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional adalah badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat 1 UU Sisdiknas yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU BHP. Akhirnya UU BHP dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945. Tidak lama berselang muncullah Undang-Undang Pendidikan Tinggi sebagai payung hukum pendidikan tinggi dengan semangat otonomi perguruan tinggi. Pada bab ini telah dijelaskan pasal-pasal yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dapat dianalisis lebih lanjut bahwa Undang-Undang Pendidikan Tinggi berpotensi menciptakan biaya pendidikan tinggi dengan lebel yang mahal. Otonomi yang disajikan pemerintah merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggarakan pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Rendahnya alokasi anggaran pendidikan yang mengakibatkan perguruan tinggi sulit menjalankan program pendidikan. Jalan keluar dari keadaan ini adalah dengan membuka jalur penerimaan mahasiswa mandiri ataupun paralel serta menaikkan biaya pendidikan karena otonomi perguruan tinggi telah dijamin melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Dengan konsep demikian, maka negara mereduksi peran dan kewajibannya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU Pendidikan Tinggi Universitas Sumatera Utara memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi. Bagaimana dengan warga negara yang miskin namun tidak berprestasi? Selamanya kelompok warga negara ini tidak akan mendapatkan akses pendidikan yang layak yang pada akhirnya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak tercapai.

3.8 Dampak Sosiologis Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012