Studi Perbandingan Kandungan Besi Pada Beberapa Spesies Bayam Secara Spektrofotometri Serapan atom

(1)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA

BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

OLEH: WINDA YANI NIM 111524049

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA

BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: WINDA YANI NIM 111524049

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA

BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

OLEH:

WINDA YANI NIM 111524049

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 27 Juli 2013 Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Tuty R. Pardede, M.Si., Apt. Drs. Chairul A. Dalimunthe, M.Sc., Apt. NIP 195401101980032001 NIP 194907061980021001

Pembimbing II, Dra. Tuty R. Pardede, M.Si., Apt. NIP 195401101980032001

Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt. Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt. NIP 195006221980021001 NIP 195191311976031003

Dra. Sudarmi, M.Si., Apt. NIP 195409101983032001 Medan, September 2013

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini di susun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul Studi Perbandingan Kandungan Besi Pada Beberapa Spesies Bayam Secara Spektrofotometri Serapan atom.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dra. Tuti Roida Pardede, M.Si., Apt., dan Bapak Dr. Muchlisyam M.Si., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Drs. Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt., dan Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt., serta Bapak Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan dan Ibu Dra. Fat Aminah M.Si., Apt., selaku penasehat akademik yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama


(5)

perkuliahan. Ibu Dra. Masfria, M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif USU dan Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt., selaku kepala Laboratorium penelitian USU yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Pairin dan Ibunda Rusmawati yang telah memberikan cinta kasih yang tidak ternilai dengan apapun, doa yang tulus serta pengorbanan baik materi maupun non materi. Adik, Kakak dan Abang yang selalu memberikan dorongan dan semangat. Sahabat-sahabat ekstensi 2011, terima kasih untuk dorongan, semangat dan kebersamaan nya selama ini, serta seluruh pihak yang telah ikut mebantu penulis yang tidak dapat di sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, 27 Juni 2013 Penulis,

Winda Yani NIM 111524049


(6)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN

ATOM ABSTRAK

Bayam merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu bagian dari tanaman bayam yang bermanfaat adalah daun. Pada daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh manusia. Zat besi yang terkandung pada daun bayam berbeda antara spesies satu dengan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kandungan besi pada berbagai spesies bayam.

Metode penelitian yang dilakukan yaitu analisis kualitatif besi dengan menggunakan pereaksi kalium heksasianoferat (II) dan amonium tiosianat dan analisis kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm dengan menggunakan nyala udara – asetilen.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan besi dalam bayam adalah (13,3854 ± 0,4126) mg/100g, bayam merah adalah (11,1592 ± 0,7117) mg/100g dan bayam duri adalah (25,0405 ± 0,8555) mg/100g. Secara statistik, uji beda rata-rata kandungan besi antara bayam, bayam merah dan bayam duri dengan menggunakan distribusi t, menyimpulkan bahwa kandungan besi pada bayam duri dan bayam lebih tinggi secara signifikan dari bayam merah.


(7)

THE COMPARATIVE STUDY ON SOME SPECIES OF IRON CONTENT IN SPINACH BY ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETR Y ABSTRACT

Spinach is a vegetable that has long been known and is widely cultivated by farmers in all parts of Indonesia. One piece of useful plant spinach leaves. In the spinach leaves are pretty much protein, calcium, iron and vitamins needed by humans. Iron contained in spinach leaves differ from one species to another. The purpose of this study was to determine differences in the iron content of spinach in a variety of species.

Research methodology is a qualitative analysis of iron using potassium heksasianoferat reagent (II) and ammonium thiocyanate and quantitative analysis using atomic absorption spectrophotometer at a wavelength of 248.3 nm using a flame air - acetylene.

The results showed iron content in spinach is (13.3854 ± 0.4126) mg/100g, red amaranth was (11.1592 ± 0.7117) mg/100g and spinach thorns is (25.0405 ± 0.8555) mg/100g. Statistically, the average difference test between the iron content of spinach, red spinach and spinach spines using the t distribution, concluded that the iron content in spinach and spinach thorns is significantly higher than the red spinach.


(8)

DAFTAR ISI

JUDUL Halaman

HALAMAN PEN GESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAK A ... 5

2.1 Bayam ... 5

2.1.1 Mengenal Tanaman Bayam ... 5

2.1.2 Taksonomi Tanaman Bayam ... 6

2.1.3 Jenis-jenis Bayam ... 6

2.1.4 kandungan Gizi bayam ... 9

2.1.5 Manfaat Tanaman Bayam ... 10

2.2 Mineral ... 10


(9)

2.4 Keberadaan Besi di dalam Tanaman Bayam ... 12

2.5 Analisis K ualitatif Besi ... 12

2.5.1 Kompleksometri ... 12

2.5.2 Gravimetri ... 13

2.5.3 Spektofotometri Sinar Tampak ... 13

2.5.3.1 Metode tiosianat ... 13

2.5.3.2 Metode 1,10- fenantrolina ... 13

2.5.3.3 Metode asam tioglikolat ... 14

2.5.4 Spektrofotometri Serapan Atom ... 14

2.5.4.1 Instrumentasi SSA ... 15

2.5.4.2 Gangguan-gangguan pada SSA ... 19

2.6 Validasi metode Analisis ... 20

BAB III METODE PEN ELITIAN ... 23

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Bahan-bahan ... 23

3.2.1 Sampel ... 23

3.2.2 Pereaksi ... 23

3.3 Alat-alat ... 23

3.4 Identifikasi sampel ... 24

3.5 Pembuatan Pereaksi ... 24

3.5.1 Larutan HNO3 (1:1) v/v ... 24

3.5.2 Larutan HNO3 1 N v/v ... 24

3.5.3 Larutan Kalium Heksasianoferat (II) 10% b/v ... 24

3.5.4 Larutan Amonium Tiosianat 8% b/v ... 24

3.6 Prosedur Penelitian ... 25

3.6.1 Pengambilan Sampel ... 25


(10)

3.6.3 Proses Destruksi ... 25

3.6.4 Pembuatan Larutan Sampel ... 26

3.6.5 Analisis K ualitatif ... 26

3.6.5.1 Reaksi warna dengan Kalium heksasianoferat(II) ... 26

3.6.5.2 Reaksi warna dengan Amonium tiosianat ... 26

3.6.6 Analisis K uantitatif ... 27

3.6.6.1 Pembuatan K urva Kalibrasi Besi ... 27

3.6.6.2 Penetapan Kadar Besi dalam Sampel ... 27

3.6.6.2.1 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.) ... 27

3.6.6.2.2 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) ... 28

3.6.6.2.3 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) ... 28

3.6.7 Penentuan Batas Deteksi dan batas kuantitasi ... 29

3.6.8 Uji Perolehan Kembali (Recovery) ... 29

3.6.9 Simpangan Baku Relatif ... 30

3.6.10 Analisis data Secara Statistik ... 31

3.6.11 Pengujian Beda N ilai Rata-rata ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Analisis K ualitatif ... 35

4.2 Analisis K uantitatif ... 36

4.2.1 Kurva Kalibrasi Besi ... 36


(11)

4.2.3 Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi pada

Bayam, Bayam merah, Bayam duri ... 38

4.2.4 Batas Deteksi dan Batas K uantitasi ... 40

4.2.5 Uji Perolehan kembali (Recovery) ... 40

4.2.6 Simpangan Baku Relatif ... 41

BAB V K ESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1. N ilai Qkritis pada Taraf Kepercayaan 95% ... 32

Tabel 1. Hasil Analisis Kualitatif dalam Sampel ... 35 Tabel 2. Hasil Analisis Kuantitatif Kadar Besi dalam Sampel Bayam .. 37 Tabel 3. Hasil Uji Beda N ilai Rata-rata Besi dalam Sampel ... 39 Tabel 4. Persen uji Perolehan Kembali dalam Sampel ... 40


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kurva Kalibrasi Besi ... 36

Gambar 2. Sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.) ... 48

Gambar 3. Sampel Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) ... 48

Gambar 4. Sampel Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) ... 49

Gambar 5. Spektrofotometer Serapan Atom hitachi Z-2000 ... 50

Gambar 6. Neraca Analitik ... 50

Gambar 7. Tanur Stuart ... 51

Gambar 8. Hasil analisis kualitatif dengan Larutan pereaksi Kalium heksasianoferat (II) 8% ... 54

Gambar 9. Hasil analisis kualitatif dengan larutan pereaksi Amonium tiosianat 10% ... 54


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Sampel ... 45

Lampiran 2. Gambar Sampel yang Digunakan ... 48

Lampiran 3. Alat-alat yang Di gunakan ... 50

Lampiran 4. Bagan Alir Proses Dekstruksi Kering ... 52

Lampiran 5. Bagan Alir Proses Pembutan Larutan Sampel ... 53

Lampiran 6. Hasil Analisis K ualitatif Besi ... 54

Lampiran 7. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Besi ... 55

Lampiran 8. Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien Korelasi (r) ... 56

Lampiran 9. Hasil Analisis Kadar Besi dalam Sampel ... 58

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Kadar Besi dalam Sampel ... 59

Lampiran 11. Perhitungan Statistik Kadar Besi ... 61

Lampiran 12. Perhitungan Batas Deteksi dan K uantitasi ... 64

Lampiran 13. Hasil Uji Perolehan Kembali Besi Setelah Penambahan Larutan Baku ... 66

Lampiran 14. Perhitungan Uji Perolehan Kembali Besi dalam Sampel ... 67

Lampiran 15. Perhitungan Simpangan Baku Relatif ... 68

Lampiran 16. Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara Bayam dan Bayam merah ... 69

Lampiran 17. Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara Bayam dan Bayam duri ... 71

Lampiran 18. Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara Bayam merah dan Bayam duri ... 73

Lampiran 19. Tabel Distribusi t ... 75


(15)

STUDI PERBANDINGAN KANDUNGAN BESI PADA BEBERAPA SPESIES BAYAM SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN

ATOM ABSTRAK

Bayam merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu bagian dari tanaman bayam yang bermanfaat adalah daun. Pada daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh manusia. Zat besi yang terkandung pada daun bayam berbeda antara spesies satu dengan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kandungan besi pada berbagai spesies bayam.

Metode penelitian yang dilakukan yaitu analisis kualitatif besi dengan menggunakan pereaksi kalium heksasianoferat (II) dan amonium tiosianat dan analisis kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm dengan menggunakan nyala udara – asetilen.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan besi dalam bayam adalah (13,3854 ± 0,4126) mg/100g, bayam merah adalah (11,1592 ± 0,7117) mg/100g dan bayam duri adalah (25,0405 ± 0,8555) mg/100g. Secara statistik, uji beda rata-rata kandungan besi antara bayam, bayam merah dan bayam duri dengan menggunakan distribusi t, menyimpulkan bahwa kandungan besi pada bayam duri dan bayam lebih tinggi secara signifikan dari bayam merah.


(16)

THE COMPARATIVE STUDY ON SOME SPECIES OF IRON CONTENT IN SPINACH BY ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETR Y ABSTRACT

Spinach is a vegetable that has long been known and is widely cultivated by farmers in all parts of Indonesia. One piece of useful plant spinach leaves. In the spinach leaves are pretty much protein, calcium, iron and vitamins needed by humans. Iron contained in spinach leaves differ from one species to another. The purpose of this study was to determine differences in the iron content of spinach in a variety of species.

Research methodology is a qualitative analysis of iron using potassium heksasianoferat reagent (II) and ammonium thiocyanate and quantitative analysis using atomic absorption spectrophotometer at a wavelength of 248.3 nm using a flame air - acetylene.

The results showed iron content in spinach is (13.3854 ± 0.4126) mg/100g, red amaranth was (11.1592 ± 0.7117) mg/100g and spinach thorns is (25.0405 ± 0.8555) mg/100g. Statistically, the average difference test between the iron content of spinach, red spinach and spinach spines using the t distribution, concluded that the iron content in spinach and spinach thorns is significantly higher than the red spinach.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bayam (Amaranthus L.) merupakan genus dari berbagai spesies bayam diantaranya bayam (Amaranthus hybridus L.), bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan bayam duri (Amaranthus spinosus L.) (Sunarjono, 2009). Tanaman ini merupakan sayuran yang telah lama dikenal dan dibudidayakan secara luas oleh petani di seluruh wilayah Indonesia, bahkan di negara lain. Tanaman ini terdiri dari beberapa spesies dan varietas, baik yang telah dibudidayakan maupun masih merupakan tanaman liar. Di Indonesia hanya dikenal dua spesies bayam budi daya yaitu Amaranthus tricolor L. dan

Amaranthus hybridus L. Di luar spesies bayam tersebut merupakan bayam liar (Bandini dan Nurudin, 2001).

Bagian bayam yang bermanfaat adalah daun. Pada daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh manusia, terutama bagi anak-anak dan ibu yang sedang hamil. Zat besi yang terdapat di daun bayam dapat mencegah penyakit anemia atau kurang darah dan memperkuat tulang dan gigi (Bandini dan Nurudin, 2001).

Tubuh tidak mampu mensintesa mineral sehingga unsur-unsur mineral ini harus disediakan lewat makanan (Budianto, 2009). Mineral mikro terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai fungsi essensial untuk kehidupan, kesehatan dan reproduksi. Besi merupakan mineral


(18)

mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Mineral besi yang terikat dengan hemoglobin mempunyai beberapa fungsi essensial di dalam tubuh : sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai unsur Fe merupakan bagian terpenting dari reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (Almatsier, 2004).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat, kandungan besi yang terdapat dalam bayam merah lebih banyak dari bayam karena bayam tersebut berwarna merah, sehingga mereka menganggap bahwa bayam merah dapat menambah darah karena warna merah tersebut yang seperti darah. Tetapi menurut literatur yang mengandung besi lebih banyak adalah bayam dibandingkan bayam merah, sedangkan pada bayam duri belum diketahui. Perbedaan kandungan besi pada bayam disebabkan oleh kandungan klorofil yang terdapat dalam daun bayam tersebut (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Besi berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan klorofil, protein dan berperan dalam perkembangan kloroplas dengan cara mengaktifkan enzim sitokrom, katalase, peroksidase sehingga ada kolerasi antara ketersediaan besi dengan kadar klorofil dalam tanaman. Kekurangan besi menyebabkan terhambatnya pembentukan klorofil, sehingga produksi klorofil berkurang (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Analisis kuantitatif besi dapat dilakukan secara Spektrofotometri sinar tampak, Gravimetri, Kompleksometri dan Spektrofotometri serapan atom. Dalam penelitian ini digunakan Spektrofotometri Serapan Atom, pemilihan ini


(19)

didasarkan pada ketelitian alat, kecepatan analisis, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan, dan dapat menetukan kadar suatu unsur dengan konsentrasi yang rendah (Khopkar, 2008). Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelitian terhadap perbedaan kandungan besi pada tiga spesies bayam yang terdapat di Indonesia.

1.1 Perumusan Masalah

1. Berapakah kadar besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.

2. Apakah ada perbedaan kadar besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.

1.2 Hipotesis

1. Besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri dalam jumlah tertentu.

2. Terdapat perbedaan kadar besi yang terkandung di dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kadar besi pada Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.

2. Untuk membandingkan kadar besi yang terdapat dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.


(20)

1.4Manfaat Penelitian

Untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang kandungan mineral besi yang terkandung dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bayam

2.1.1 Mengenal Tanaman Bayam

Bayam merupakan salah satu jenis sayuran komersial yang mudah di peroleh disetiap pasar, baik pasar tradisional maupun pasar swalayan. Harganya pun dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Tanaman ini awalnya berasal dari negara Amerika beriklim tropis, namun sekarang tersebar keseluruh dunia. Hampir semua orang mengenal dan menyukai kelezatan nya, karena lunak, dapat memberikan rasa dingin dalam perut dan memperlancar pencernaan. Umumnya yang dikonsumsi adalah bagian daun dan batangnya (Bandini dan Nurudin, 2001).

Tanaman bayam sangat mudah dikenali, yaitu berupa perdu yang tumbuh tegak, batangnya tebal berserat dan ada beberapa jenis yang mempunyai duri. Daunnya bisa tebal atau tipis, besar atau kecil, berwarna hijau atau ungu kemerahan (pada jenis bayam merah). Bunganya berbentuk pecut, muncul di pucuk tanaman atau pada ketiak daunnya. Bijinya berukuran sangat kecil berwarna hitam atau coklat dan mengkilap. Tanaman bayam sangat toleran terhadap perubahan keadaan iklim. Bayam banyak ditanam di dataran rendah hingga menengah, terutama pada ketinggian antara 5-2000 meter dari atas permukaan laut. Kebutuhan sinar matahari untuk tanaman bayam adalah tinggi, dimana pertumbuhan optimum dengan suhu rata-rata 20-300C, curah hujan antara 1000-2000 mm, dan kelembaban di atas 60 %.

Oleh karena itu, bayam tumbuh baik bila ditanam di lahan terbuka dengan sinar matahari penuh atau berawan dan tidak tergenang air (Bandini dan Nurudin, 2001).


(22)

2.1.2 Taksonomi Tanaman Bayam

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), dalam taksonomi tanaman, bayam diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Class : Dycotyledoneae Ordo : Chenopodiales Family : Amaranthaceae Genus : Amaranthus L

Tanaman bayam digolongkan dalam keluarga Amaranthaceae. Sebagai keluarga Amaranthaceae, bayam termasuk tanaman gulma yang tumbuh liar. Namun karena perkembangannya, manusia memanfaatkan bayam sebagai tanaman budidaya yang mengandung gizi tinggi.

2.1.3 Jenis-jenis Bayam

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), secara ringkas bayam dapat di kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Bayam Liar

Bayam ini tumbuh secara liar, dapat dijumpai di lahan-lahan kosong tak terurus, sebagai gulma di lahan pertanian atau di tempat-tempat yang lembap, seperti di tepi selokan. Tanaman ini tumbuh cepat dan semakin subur jika musim hujan tiba.

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), jenis bayam liar yang ada yaitu sebagai berikut:


(23)

a. Bayam tanah (Amaranthus blitum L.), mempunyai ciri utamanya terletak pada batang yang berwarna merah. Daun nya berbentuk lancip dan kecil. Rasanya agak keras dan kasar.

b. Bayam berduri (Amaranthus spinosus L.), mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bayam tanah, yaitu daun kecil tetapi batangnya berwarna hijau. Namun pada batang nya terdapat duri yang keluar dari buku-bukunya. Bayam ini dapat di konsumsi, tetapi lebih banyak di gunakan obat atau bahan untuk kecantikan.

2. Bayam budi daya

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), jenis bayam budi daya memang sengaja dibudidayakan untuk dikonsumsi karena rasa daunnya empuk dan mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Jenis bayam yang banyak di budidayakan adalah sebagai berikut:

a. Bayam cabut (Amaranthus tricolor L.)

Bayam cabut disebut juga bayam sekul atau bayam putih. Cirinya, daun agak bulat dengan daging yang tebal dan lemas. Bunga keluar dari ketiak cabang. Batang berwarna hijau keputih-putihan sampai merah. Adapun varietas dari bayam cabut adalah sebagai berikut:

1. Giti hijau

Tanaman ini merupakan introduksi dari Thailand, umur 28 hari dapat dipanen. Tanaman tumbuh tegak dengan tinggi


(24)

mencapai 20-25 cm. Bercabang sedikit, bentuk batang bulat langsing, halus dan berwarna keputih-putihan. Daun berwarna hijau keputih-putihan, berbentuk mirip delta, berukuran kecil, dan berurat halus (Bandini dan Nurudin, 2001).

2. Giti merah

Bayam ini juga merupakan tanaman introduksi dari Thailand. Ciri-ciri tanaman ini antara lain bercabang sedikit, tinggi tanaman pada waktu cabut yaitu 20-25 cm. Batang berwarna merah tua, bentuk bulat, langsing dan halus. Tanaman ini dipanen pada umur 30 hari (Bandini dan Nurudin, 2001) b. Bayam Petik/bayam tahunan (Amaranthus Hybridus L.)

Menurut Bandini dan Nurudin (2001), tanaman ini berdaun lebar, berbatang tegap. Daun diambil secara dipetik. Pemetikan ini dapat berlangsung hingga tahunan sehingga di sebut bayam tahunan. Tetapi sekarang bayam ini dipanen dengan cara dicabut saat masih muda karena kebutuhan pasar yang mendesak. Adapun varietas dari bayam petik ini adalah sebagai berikut:

a. Amaranthus hybridus varietas caudatus

Daun agak panjang dengan ujung runcing dan berwarna hijau. Bayam ini juga di sebut bayam ekor kucing.


(25)

Daun agak besar dan berwarna hijau. Perbanyakannya banyak di negara Asia Tenggara (Bandini dan Nurudin, 2001).

2.1.4 Kandungan Gizi bayam

Di dalam daun tanaman bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, mineral, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Pada tabel di bawah ini diuraikan mengenai komposisi gizi yang terkandung tiap 100g pada daun tanaman bayam, yaitu:

No Zat gizi Bayam hijau Bayam merah

1 Kalori (kal) 36 52

2 Karbohidrat 6,5 10

3 Lemak (g) 0,5 0,5

4 Protein (g) 3,5 4,6

5 Kalsium (mg) 267 368

6 Posfor (mg) 6,7 111

7 Besi (mg) 3,9 2,2

8 Vitamin A (SI) 6090 5800

9 Vitamin B 1 (mg) 0,08 0,08

10 Vitamin C (mg) 80 80

11 Air (g) 86,9 82

(Bandini dan Nurudin, 2001)

2.1.5 Manfaat Tanaman Bayam

Mengkonsumsi bayam dalam jumlah yang cukup memberikan manfaat yang besar. Ditinjau dari kandungan gizinya, bayam merupakan jenis sayuran hijau yang banyak manfaatnya bagi kesehatan dan pertumbuhan badan, terutama bagi


(26)

anak-anak dan para ibu yang sedang hamil. Di dalam daun bayam terdapat cukup banyak kandungan protein, mineral, kalsium, zat besi dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kandungan vitamin A dalam daun bayam berguna untuk memberikan ketahanan tubuh dalam menanggulangi penyakit mata, sakit pernafasan, kesehatan kulit dan selaput lendir. Kandungan vitamin B dapat mencegah penyakit beri-beri, memperkuat syaraf dan melenturkan otot rahim, sehingga dianjurkan bagi ibu yang sedang hamil untuk memudahkan persalinan nya. Vitamin C sangat membantu menyembuhkan sariawan atau gusi berdarah. Zat besi dapat mencegah penyakit anemia dan sakit kuning serta memperkuat tulang dan gigi. Manfaat lain dari bayam yaitu akarnya dapat menjadi obat untuk menghilangkan panas (antipiretik), meluruhkan kencing (diuretik), menghilangkan racun (antitoksik), menyembuhkan bengkak, obat diare dan membersihkan darah (Bandini dan Nurudin, 2001).

2.2 Mineral

Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari (Almatsier, 2004).

Mineral merupakan unsur essensial bagi fungsi normal sebagian enzim. Mineral merupakan konstituen tulang dan gigi, yang memberikan kekuatan kepada jaringan misalnya Fe, P dan Mg. Tubuh tidak mampu mensintesa mineral


(27)

sehingga unsur-unsur ini harus disediakan lewat makanan (Budianto, 2009).

2.3 Besi

Besi yang murni adalah logam berwarna putih perak, melebur pada 1535oC (Svehla, 1979). Sumber zat besi diantaranya adalah telur, daging, ikan, tepung, gandum, roti, sayuran hijau, hati, bayam, kacang-kacangan, kentang dan jagung. Fungsi besi diantaranya adalah:

- untuk pembentukan hemoglobin baru

- untuk mengimbangi sejumlah kecil zat besi yang secara konstan di keluarkan tubuh terutama lewat urine ,feses dan keringat

Kebutuhan akan zat besi untuk berbagai jenis kelamin dan golongan usia adalah sebagai berikut:

- untuk laki-laki dewasa 10 mg/hari - wanita yang mengalami haid 12 mg/hari - anak-anak 8-15 mg/hari

zat besi yang tidak mencukupi bagi pembentukan sel darah, akan mengakibatkan anemia, menurunkan kekebalan tubuh, sehingga sangat peka terhadap serangan penyakit (Budianto, 2009).

2.4 Keberadaan Besi di dalam tanaman bayam

Besi (Fe) merupakan unsur mikro yang di serap dari dalam tanah. Besi berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan klorofil, protein dan berperan


(28)

dalam perkembangan kloroplas dengan cara mengaktifkan enzim sitokrom, katalase, peroksidase sehingga ada kolerasi antara ketersediaan besi dengan kadar klorofil dalam tanaman. Kekurangan besi menyebabkan terhambatnya pembentukan klorofil, sehingga produksi klorofil berkurang (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Defisiensi besi pada tanaman akan terlihat pada daun berwarna hijau pucat (klorosis) (Winarso, 2005).

2.5 Analisis Kuantitatif Besi

Analisis kuantitatif besi dapat dilakukan secara Kompleksometri, Gravimetri, Spektofotometri Sinar Tampak dan Spektrofotometri Serapan Atom (Basset, et al, 1991).

2.5.1 Kompleksometri

Penetapan besi secara kompleksometri dilakukan dengan cara masukkan larutan besi ke dalam labu erlenmeyer, kemudian sesuaikan pH menjadi 2-3, kemudian tambahkan 5 tetes indikator biru variamina, panaskan labu sampai suhu 40oC dan titrasi dengan larutan EDTA (0,05 M) standar sampai warna awal larutan yang biru berubah menjadi abu-abu tepat sebelum titik akhir, dan dengan tetes reagensia yang terakhir, berubah menjadi kuning (Basset, et al, 1991).

2.5.2 Gravimetri

Penetapan besi secara gravimetri dapat dilakukan dengan cara menambahkan amonia sedikit berlebih ke dalam larutan besi untuk mengendapkan oksida – terhidrasi Fe2O3.xH2O. kemudian endapan disaring melalui kertas saring dan di cuci endapan dengan menggunakan amonium


(29)

klorida, kemudian endapan hasil saringan dipijar pada suhu 1000oC sehingga menghasilkan besi oksida atau panaskan pada tanur pada suhu 500-550oC dan timbang hasil pemijaran. Ulangi hasil pemijaran (10-15 menit) hingga diperoleh berat konstan (dengan batas selisih 0,0002 g) (Basset, et al, 1991).

2.5.3 Spektrofotometri Sinar Tampak

Penetapan besi dengan spektrofotometri sinar tampak dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu metode tiosianat, metode 1,10-fenantrolina dan metode asam tioglikolat (Basset, et al, 1991).

2.5.3.1 Metode tiosianat

Besi(III) bereaksi dengan tiosianat menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah tua [Fe(SCN)6]3- yang dapat diukur absorbansi nya dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 480 nm (Basset, et al, 1991).

2.5.3.2 Metode 1,10-fenantrolina

Besi(II) bereaksi dengan 1,10-fenantrolina membentuk kompleks jingga merah [C12H8N2)3Fe]2+ yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 515 nm. Besi(III) dapat direduksi dengan hidroksilamonium klorida atau dengan hidrokuinon menjadi besi(II), apabila ingin direaksikan dengan 1,10- phenantrolina (Basset, et al, 1991).


(30)

Besi(III) bereaksi dengan asam tioglikolat memberikan warna ungu merah yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 535 nm (Basset, et al, 1991).

2.5.4 Spektrofotometri Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis kelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi ( batas deteksi kurang dari 1 ppm ), pelaksanaannya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit. Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau ultraviolet. Dalam garis besarnya prinsip spektrofotometri serapan atom sama saja dengan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. Perbedaan nya terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaaan sampel dan peralatannya. Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) mendasarkan pada prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam (atau suatu senyawa logam) dihembuskan kedalam suatu nyala (misalnya asetilena yang terbakar di udara) dapatlah terbentuk uap yang mengandung atom-atom logam itu. Atom logam bentuk gas tersebut tetap berada dalam keadaan tak tereksitasi


(31)

atau dengan perkataan lain, dalam keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang gelombang yang khas dengan logam tersebut dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari spektrofotometri serapan atom (SSA) (Basset, et al, 1991).

2.5.4.1 Instrumentasi SSA

Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom (Gandjar dan Rohman, 2007)

1. Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow catodhe lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas pancaran lampu yang lebih rendah.


(32)

Bila anoda dan katoda diberi suatu selisih tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas elektron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang bertabrakan tadi. Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang bermuatan positif ini selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energi yang tinggi pula. Sebagaimana disebutkan diatas, pada katoda terdapat unsur-unsur yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Unsur-unsur ini akan ditabrak oleh ion-ion positif gas mulia. Akibat tabrakan ini, unsur-unsur akan terlempar ke luar dari permukaan katoda. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007).

2. Tempat sampel

Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom yaitu: dengan nyala (flame) dan tanpa nyala (flameless) (Gandjar dan Rohman, 2007).


(33)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas-gas yang digunakan, misalkan untuk gas batubara-udara, suhunya kira-kira sebesar 1800oC; gas alam-udara: 1700oC; asetilen-udara: 2200oC; dan gas asetilen-dinitrogen oksida (N

2O) sebesar 3000oC (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pemilihan bahan bakar dan bahan pengoksida serta komposisi perbandingannya sangat mempengaruhi suhu nyala. Sumber nyala yang paling banyak di gunakan adalah campuran asetilen sebagai bahan bakar dan udara sebagai pengoksida (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Tanpa nyala (flameless)

Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurang peka karena: atom gagal mencapai nyala, tetesan sampel yang masuk ke dalam nyala terlalu besar, dan proses atomisasi kurang sempurna. Oleh karena itu muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit seperti tungku yang dikembangkan oleh Masmann (Gandjar dan Rohman, 2007).

Sejumlah sampel diambil sedikit (untuk sampel cair diambil hanya beberapa µL, sementara sampel padat diambil beberapa mg), lalu di letakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga


(34)

sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif. Sistem pemanasan dengan tanpa nyala ini dapat melalui 3 tahap yaitu: pengeringan (drying) yang membutuhkan suhu yang relatif rendah, pengabuan (ashing) yang membutuhkan suhu yang lebih tinggi dan pengatoman (atomising) (Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Monokromator

Pada spektrofotometri serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan untuk analisis (Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Detektor

Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton (photomultiplier tube). Ada 2 cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi yaitu: (a) yang memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu; dan (b) yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi (Gandjar dan Rohman, 2007).

5. Readout

Readout merupakan suatu sistem pencatatan hasil yang berupa hasil pembacaan. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau kurva (Gandjar dan Rohman, 2007).


(35)

Menurut (Gandjar dan Rohman, 2007), yang dimaksud dengan gangguan-gangguan pada SSA adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel. Gangguan-gangguan yang dapat terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut:

1. Gangguan yang berasal dari matriks sampel yang mana dapat mempengaruhi banyaknya sampel yang mencapai nyala

Sifat – sifat tertentu matriks sampel dapat mengganggu analisis yakni matriks tersebut dapat berpengaruh terhadap laju aliran bahan bakar gas pengoksidasi. Sifat-sifat tersebut adalah viskositas, tegangan permukaan, berat jenis dan tekanan uap. Gangguan matriks yang lain adalah pengendapan unsur yang dianalisis sehingga jumlah atom yang mencapai nyala menjadi lebih sedikit dari konsentrasi yang seharusnya yang terdapat dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

2. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah/banyak nya atom yang terjadi di dalam nyala

Terbentuknya atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas di dalam nyala sering terganggu oleh dua peristiwa kimia yaitu: disosiasi senyawa-senyawa yang tidak sempurna dan ionisasi atom-atom di dalam nyala. Terjadi disosiasi yang tidak sempurna disebabkam oleh terbentuknya senyawa-senyawa yang bersifat refraktorik (sukar diuraiakan di dalam nyala api). Contoh senyawa refraktorik adalah garam-garam fosfat, silikat, aluminat dari logam alkali tanah.


(36)

Dengan terbentuknya senyawa ini, maka akan mengurangi jumlah atom netral yang ada di dalam nyala. Ionisasi atom-atom di dalam nyala dapat terjadi jika suhu yang digunakan untuk atomisasi terlalu tinggi. Prinsip analisis dengan SSA adalah mengukur absorbansi atom-atom netral yang berada dalam keadaan azas. Jika terbentuk ion maka akan mengganggu pengukuan absorbansi atom netral karena atom-atom yang mengalami ionisasi tidak sama spektrum atom dalam keadaan netral (Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Gangguan oleh penyerapan non-atomik (non atomic absorption)

Gangguan jenis ini berarti terjadinya penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non atomik dapat disebabkan oleh adanya penyerapan cahaya oleh partikel-partikel padat yang berada di dalam nyala (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.6 Validasi Metode Analisis

Validasi metoda analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004).

Menurut Harmita (2004), beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis adalah sebagai berikut:

1. Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik di dalam keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tinggi hanya


(37)

dapat dilakukan dengan cara mengurangi galat sistematik tersebut seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu:

Metode simulasi (spiked-placebo recovery)

Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya) (Harmita, 2004).

Metode penambahan baku (standard additionmethod)

Dalam metode penambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan) (Harmita, 2004).

Dalam kedua metode tersebut, persen peroleh kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. % Perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel plasebo (eksepien obat, cairan biologis) kemudian ditambah analit dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi. Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui seperti obat-obatan paten, atau karena analitnya berupa suatu senyawa endogen misalnya metabolit sekunder pada kultur kalus, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).

2. Keseksamaan (precision)

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari


(38)

rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004).

3. Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel (Harmita, 2004). 4. Linearitas dan Rentang

Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima (Harmita, 2004).

5. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif dan di Laboratorium Penelitian Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada bulan Februari 2013 - April 2013.

3.2 Bahan-bahan

3.2.1 Sampel

Sampel yang digunakan adalah sampel segar yaitu Bayam (Amaranthus hybridus L.), Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) yang diambil secara purposif di Pasar Sore Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan dan Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) yang diambil dari kompleks USU Medan (Gambar dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 48 dan 49).

3.2.2 Pereaksi

Semua pereaksi yang digunakan adalah pro analis keluaran E. Merck yaitu HNO3 65% b/v, Larutan baku besi 1000 µg/ml, Kalium heksasianoferat (II), Amonium tiosianat, kecuali Aquabides (PT. Ikapharmindo Putramas).

3.3 Alat-alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer Serapan Atom (Hitachi Z-2000) lengkap dengan lampu Fe, tanur (Stuart), Kertas


(40)

Whatman no.42, Neraca analitik (Shimadzu), Botol gelap, Kurs porselen, Cawan penguap, Hot plate (Shott), Alat-alat gelas (Pyrex dan Oberoi).

3.4 Identifikasi Sampel

Identifikasi tanaman bayam dilakukan oleh Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

3.5 Pembuatan Pereaksi

3.5.1 Larutan HNO3 (1:1) v/v

Larutan HNO3 (1: 1) dibuat dengan cara mengencerkan 500 ml HNO3 65% b/v dengan air suling 500 ml (Ditjen POM,1979).

3.5.2 Larutan HNO3 1 N v/v

Larutan HNO3 1 N dibuat dengan cara mengencerkan 69 ml HNO3 65% b/v dengan air suling 1000 ml(Ditjen POM,1979).

3.5.3 Larutan Kalium Heksasianoferat (II) 10% b/v

Larutan Kalium heksasianoferat (II) 10% b/v dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 10 g kalium heksasianoferat (II) dengan 100 ml air suling (Ditjen POM, 1995).


(41)

Larutan Amonium tiosianat 8% b/v dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 8 g Amonium tiosianat dengan 100 ml air suling (Ditjen POM, 1995).

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling purposif yang dikenal juga sebagai sampling pertimbangan dimana sampel ditentukan atas pertimbangan bahwa populasi sampel adalah homogen dan sampel yang tidak diambil mempunyai karakteristik yang sama dengan sampel yang sedang diteliti (Sudjana, 2005).

3.6.2 Penyiapan Bahan

Sampel yang digunakan adalah Bayam, Bayam merah dan Bayam duri. Masing-masing bayam yang masih segar diambil daunnya tetapi tidak ikut pucuk daunnya, kemudian dicuci dengan aquades dan dikeringkan dengan dianginkan, dirajang dan ditimbang masing-masing daun bayam sebanyak ± 100 g. Kemudian dikeringkan selama 2 hari di udara terbuka.

3.6.3 Proses Dekstruksi

Bayam yang segar masing-masing ditimbang sebanyak ± 100 gram dikeringkan selama 2 hari di udara terbuka, kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen, ditambah 10 ml HNO3 p lalu diarangkan menggunakan hot plate dengan suhu 100oC, lalu diabukan di tanur mula-mula pada temperature 100oC dan secara perlahan-lahan dinaikkan interval 25oC setiap 5 menit sampai temperature menjadi 500oC dan pengabuan dilakukan selama 36 jam. Setelah itu


(42)

dibiarkan dingin di dalam desikator. Kemudian abu dilarutkan dalam 10 ml HNO3 (1:1) dan dipanaskan di atas hot plate dengan suhu 100oC sampai kering, kemudian ditanur pada suhu 500oC selama 1 jam (Helrich, 1990 dengan modifikasi). Bagan alir proses dekstruksi kering dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 52.

3.6.4 Pembuatan larutan Sampel

Hasil dekstruksi dilarutkan dengan 10 ml HNO3 (1:1) hingga larut sempurna, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml dan kurs porselen dibilas dengan aquabides sebanyak 3 kali. Hasil pembilasan dimasukkan ke dalam labu tentukur. Setelah itu dicukupkan volumenya dengan aquabides hingga garis tanda. Kemudian disaring dengan kertas saring Whatman no. 42 dengan membuang 5 ml larutan pertama hasil penyaringan untuk menjenuhkan kertas saring (Helrich, 1990 dengan modifikasi). Larutan ini digunakan untuk analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis yang sama dilakukan sebanyak 6 kali untuk masing-masing sampel. Bagan alir proses pembuatan larutan sampel dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 53.

3.6.5 Analisis kualitatif

3.6.5.1 Reaksi warna dengan Kalium heksasianoferat (II) 10 % b/v

Kedalam tabung reaksi dimasukkan 1 ml sampel kemudian ditambahkan 1 tetes kalium heksasianoferat (II) 10 % b/v. Jika terdapat besi maka akan terjadi endapan biru tua (Svehla, 1979).


(43)

Kedalam tabung reaksi dimasukkan 1 ml sampel kemudian ditambahkan 1 tetes ammonium tiosianat 8 % b/v. Jika terdapat besi maka akan terbentuk warna merah tua (Svehla, 1979).

3.6.6 Analisis kuantitatif

3.6.6.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Besi

Larutan baku besi (1000 µg/ml) dipipet sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml HNO3 1 N, dicukupkan dengan aquabides sampai garis tanda (konsentrasi 100 µg/ml).

Larutan untuk kurva kalibrasi besi dibuat dengan memipet (2; 4; 6; 8 dan 10) ml larutan baku 100 µg/ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan 10 ml HNO3 1 N kemudian dicukupkan dengan aquabides sampai garis tanda (larutan ini mengandung 2 µg/ml, 4 µg/ml, 6 µg/ml, 8 µg/ml dan 10 µg/ml) dan diukur pada panjang gelombang 248,3 nm dengan nyala udara-asetilen.

3.6.6.2 Penetapan Kadar Besi dalam Sampel

3.6.6.2.1 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.)

Larutan sampel bayam sebanyak 0,5 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan ditambahkan 2,5 ml larutan HNO3 1 N dan diencerkan dengan aquabides hingga garis tanda (Faktor pengenceran = 25/0,5 = 50 kali). Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh berada di dalam rentang nilai kurva kalibrasi larutan baku besi. Konsentrasi besi dalam sampel ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi.


(44)

3.6.6.2.2 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam merah (Amaranthus tricolor

L.)

Larutan sampel bayam merah sebanyak 1,0 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan ditambahkan 2,5 ml larutan HNO3 1 N dan diencerkan dengan aquabides hingga garis tanda (Faktor pengenceran = 25/1,0 = 25 kali). Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh berada di dalam rentang nilai kurva kalibrasi larutan baku besi. Konsentrasi besi dalam sampel ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi.

3.6.6.2.3 Penetapan Kadar Besi dalam Bayam duri (Amaranthus spinosus

L.)

Larutan sampel bayam sebanyak 0,25 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan ditambahkan 2,5 ml larutan HNO3 1 N dan diencerkan dengan aquabides hingga garis tanda (Faktor pengenceran = 25/0,25 = 100 kali). Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometri Serapan Atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh berada di dalam rentang nilai kurva kalibrasi larutan baku besi. Konsentrasi besi dalam sampel ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi.

Kadar besi dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:


(45)

Keterangan : C = konsentrasi logam dalam larutan sampel (µg/ml) V = volume larutan sampel (ml)

Fp = Faktor pengenceran W = berat sampel (g)

3.6.7 Penentuan Batas Deteksi dan batas kuantitasi

Menurut Harmita (2004), batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan. Sebaliknya batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.

Batas deteksi dan batas kuantitasi ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Simpangan baku =

− �

Batas Deteksi (LOD) =

Batas Kuantitasi (LOQ) = �

3.6.8 Uji Perolehan Kembali (Recovery)

Uji perolehan kembali atau recovery dilakukan dengan metode penambahan larutan standar (standard addition method). Dalam metode ini, kadar logam dalam sampel ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan penentuan kadar logam dalam sampel yang sudah ditambahkan larutan standar dengan konsentrasi tertentu, kemudian dihitung berapa jumlah analit yang ditambahkan, diperoleh kembali (Ermer dan Miller, 2005).


(46)

Sampel yang telah ditimbang ± 100 g dan telah dikeringkan, lalu ditambahkan 10 ml larutan baku besi (konsentrasi 1000 µg/ml), kemudian dilanjutkan dengan prosedur dekstruksi kering seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Prosedur pengukuran uji perolehan kembali dilakukan sama dengan prosedur penetapan kadar sampel.

Menurut Harmita (2004), persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:

Persen Perolehan Kembali = �− �

�∗

%

Keterangan : CA = Kadar logam dalam sampel sebelum penambahan baku (mg/100g)

CF = Kadar logam dalam sampel setelah penambahan baku (mg/100g)

C*

A = Kadar larutan baku yang ditambahkan (mg/100g)

3.6.9 Simpangan Baku Relatif

Keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang homogen. Nilai simpangan baku relatif yang memenuhi persyaratan menunjukkan adanya keseksamaan metode yang dilakukan (Harmita, 2004).

Menurut Harmita (2004), rumus untuk menghitung simpangan baku relatif adalah sebagai berikut:

RSD = 100%

X SD


(47)

SD = Standar Deviasi

RSD = Relative Standard Deviation

3.6.10 Analisis data Secara Statistik

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), kadar besi yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing larutan sampel dianalisis secara statistik dengan metode standar deviasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SD =

1 -n X -Xi 2

Keterangan : Xi = Kadar sampel

X = Kadar rata-rata sampel n = jumlah pengulangan

Kadar besi yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing ke enam larutan sampel, diuji secara statistik dengan uji Q.

Untuk mengetahui data ditolak atau diterima dilakukan dengan uji Q yang dapat dihitung dengan rumus:

Qhitung =

terendah Nilai tertinggi Nilai terdekat yang Nilai dicurigai yang Nilai  

Hasil pengujian atau nilai Q yang diperoleh ditinjau terhadap daftar harga Q pada Tabel 3.1, apabila Qhitung > Qkritis maka data tersebut ditolak.

Tabel 3.1 Nilai Qkritis pada Taraf Kepercayaan 95% Banyak Data Nilai Qkritis


(48)

Menurut Sudjana (2005), untuk menentukan kadar besi di dalam sampel dengan interval

kepercayaan 95,  = 0,05, dk = n-1, dapat digunakan rumus:

µ = X ± t

(½,dk)

x (SD/

n)

Keterangan : µ = interval kepercayaan X = kadar rata-rata sampel

t = harga t tabel sesuai dengan dk = n-1  = tingkat kepercayaan

SD = standar deviasi n = jumlah perlakuan

3.6.11 Pengujian Beda Nilai Rata-rata

Menurut Sudjana (2005), sampel yang dibandingkan adalah independen dan jumlah pengamatan masing-masing lebih kecil dari 30 dan varians () tidak diketahui sehingga dilakukan uji F untuk mengetahui apakah varians kedua populasi sama (1 =  2) atau berbeda (1   2) dengan rumus:

F0 =

Keterangan : F0 = Beda nilai yang dihitung

S1 = Standar Deviasi sampel 1

S2 = Standar Deviasi sampel 2

5 0,717

6 0,621

7 0,570


(49)

Apabila dari hasilnya diperoleh Fo tidak melewati nilai kritis F maka dilanjutkan uji

dengan distribusi t dengan rumus:

to = −

� √ / + /

Sp

=

− � +

− �

+ −

Keterangan : X1 = kadar rata-rata sampel 1

X2 = kadar rata-rata sampel 2

Sp = simpangan baku

n1 = jumlah perlakuan sampel 1

n2 = jumlah perlakuan sampel 2

S1 = Standar Deviasi sampel 1

S2 = Standar Deviasi sampel 2

Dan jika Fo melewati nilai kritis F maka dilanjutkan uji dengan distribusi t dengan

rumus:

to = −

� √� / + � / Keterangan : X1 = kadar rata-rata sampel 1

X2 = kadar rata-rata sampel 2

Sp = simpangan baku

n1 = jumlah perlakuan sampel 1

n2 = jumlah perlakuan sampel 2

S1 = Standar Deviasi sampel 1

S2 = Standar Deviasi sampel 2

Kedua sampel dinyatakan berbeda apabila to yang diperoleh melewati nilai kritis t, dan


(50)

(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan sebagai analisis pendahuluan untuk mengetahui ada atau tidaknya besi dalam sampel. Data dan Gambar dapat dilihat pada Tabel 1 dan Lampiran 6, halaman 54.

Tabel 1. Hasil Analisis Kualitatif

No Sampel Pereaksi Hasil reaksi Hasil

1

Bayam

(Amaranthus

hybridus L.)

Kalium heksasianoferat (II)

Endapan biru tua +

Amonium tiosianat Merah tua +

2

Bayam merah

(Amaranthus

tricolor L.)

Kalium heksasianoferat (II)

Endapan biru tua +

Amonium tiosianat Merah tua +

3

Bayam duri

(Amaranthus

spinosus L.)

Kalium heksasianoferat (II)

Endapan biru tua +

Amonium tiosianat Merah tua +

Keterangan : + = Mengandung besi

Tabel di atas menunjukkan bahwa Bayam (Amaranthus hybridus L.), Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus

L.) mengandung besi. Sampel di katakan positif mengandung besi jika menghasilkan endapan biru tua dengan penambahan Kalium heksasianoferat II dan warna merah tua dengan penambahan Amonium tiosianat (Svehla, 1979).


(52)

4.2 Analisis kuantitatif

4.2.1 Kurva kalibrasi Besi

Kurva kalibrasi besi diperoleh dengan cara mengukur absorbansi dari larutan standar besi pada panjang gelombang 248,3 nm. Dari pengukuran kurva kalibrasi besi diperoleh persamaan garis regresi yaitu Y= 0,0234X + 0,0023

Gambar 1. Kurva kalibrasi Larutan Standar Besi

Berdasarkan kurva diatas diperoleh hubungan yang linear antara konsentrasi dengan absorbansi, dengan koefisien korelasi (r) untuk besi sebesar

0,9995. Nilai r ≥ 0,97 menunjukkan adanya korelasi yang linear yang menyatakan adanya hubungan antara X (konsentrasi) dan Y (absorbansi) (Ermer dan Miller, 2005). Data hasil pengukuran absorbansi larutan standar besi dan perhitungan persamaan garis regresi dapat di lihat pada Lampiran 7 dan 8, halaman 55 dan 56.

4.2.2 Analisis Kadar Besi dalam Bayam

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3

0 2 4 6 8 10 12

A

bs

or

ba

ns

i

Konsentrasi ( µg/mL)

Y = 0,0234X + 0,0023 r = 0,9995


(53)

Pada pengukuran sampel yang dilakukan secara spektrofotometri serapan atom, terlebih dahulu dikondisikan alat dan diatur modenya. Setelah itu dilakukan pengenceran terhadap sampel. Pengenceran yang dilakukan yaitu sebesar 25 kali untuk sampel Bayam merah, 50 kali untuk sampel Bayam dan 100 kali untuk Bayam duri. Untuk pengukuran kadar besi dalam sampel Bayam duri, karena konsentrasi besi yang terdapat dalam Bayam duri besar, perlu pengenceran 100 kali, agar berada dalam rentang kurva kalibrasi besi. Dan pada sampel Bayam merah di perlukan pengenceran 25 kali, karena konsentrasi besi yang terdapat dalam Bayam merah tidak sebesar konsentrasi besi yang terdapat pada Bayam dan Bayam duri, maka hanya dengan pengenceran 25 kali konsentrasi besi berada pada rentang kurva kalibrasi besi. Data dan contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10halaman 58 dan 59.

Analisis dilanjutkan dengan perhitungan statistik (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 11, halaman 61. Hasil analisis kuantitatif besi pada sampel dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kadar besi dalam sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.), Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus L.)

No Sampel Kadar Besi (mg/100g)

1 Bayam (Amaranthus hybridus L.) 13,3854 ± 0,4126 2 Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) 11,1592 ± 0,7117 3 Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) 25,0405 ± 0,8555


(54)

Setelah dilakukan uji statistik terhadap kadar sampel maka dapat dilihat bahwa kadar besi yang terdapat dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.), Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) mempunyai perbedaan yang signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perbedaan spesies tanaman dan lingkungannya (Ruskin, 1984).

Dari hasil analisis kuantitatif, sesuai yang tercantum pada tabel, Bayam duri dengan daun berwarna hijau yang lebih tua dari Bayam dan Bayam merah, mempunyai kadar yang lebih tinggi dari Bayam dan Bayam merah, sedangkan Bayam merah memiliki kadar besi yang paling kecil dibandingkan Bayam dan Bayam duri.

Hal ini bertolak belakang dengan pendapat umum masyarakat bahwa bayam merah mengandung besi yang lebih tinggi, tetapi kenyataannya tidak. Besi berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan klorofil, protein dan berperan dalam perkembangan kloroplas dengan cara mengaktifkan enzim sitokrom, katalase, peroksidase sehingga ada kolerasi antara ketersediaan besi dengan kadar klorofil dalam tanaman. Kekurangan besi menyebabkan terhambatnya pembentukan klorofil, sehingga produksi klorofil berkurang (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Defisiensi besi pada tanaman akan terlihat pada daun berwarna hijau pucat (klorosis) (Winarso, 2005).

4.2.3 Pengujian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi pada Bayam, Bayam Merah dan Bayam Duri

Pengujian nilai beda rata-rata kadar besi pada sampel bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan pada rata-rata kadar besi antara


(55)

ke tiga sampel bayam. Uji statistik yang digunakan yaitu uji beda nilai rata-rata kadar besi antara ketiga sampel dengan menggunakan distribusi t pada taraf kepercayaan 95% , jika diperoleh to atau thitung lebih tinggi atau lebih rendah dari range t tabel maka menunjukkan perbedaan kadar yang signifikan antara ketiga sampel tersebut.

Tabel 3. Hasil Uji Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi antara tiga Sampel dari Spesies yang berbeda

Mineral No Sampel t hitung t tabel Kesimpulan

Besi

1 S1 terhadap S2 6,9563

± 2,2281

Ditolak 2 S1 terhadap S3 -54,4852 Ditolak 3 S2 terhadap S3 -34,0651 Ditolak

Keterangan : S1 = Sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.) S2 = Sampel Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) S3 = Sampel Bayam duri (Amaranthus spinosus L.)

Daerah kritis penolakan dengan menggunakan distribusi t dengan taraf kepercayaan 95% adalah thitung < -2.2281 dan thitung > 2,2281. Dari tabel di atas menunjukkan bahwa hipotesa ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan besi yang signifikan antara sampel Bayam (Amaranthus hybridus L.), sampel Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan sampel Bayam duri (Amaranthus spinosus L.). Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 16, 17 dan 18, halaman 69, 71 dan 73.

4.2.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Berdasarkan data kurva kalibrasi besi diperoleh batas deteksi dan batas kuantitasi. Dari hasil perhitungan diperoleh batas deteksi untuk besi sebesar 0,5613 sedangkan batas kuantitasinya sebesar 1,8710.


(56)

Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa semua hasil yang diperoleh pada pengukuran sampel berada di atas batas deteksi dan kuantitasi. Perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi dapat dilihat pada Lampiran 12, halaman 64.

4.2.5 Uji Perolehan kembali (Recovery)

Hasil uji perolehan kembali (Recovery) besi setelah penambahan larutan baku dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 66. Perhitungan persen recovery besi dalam sampel dapat dilihat pada lampiran 14, halaman 67. Persen recovery besi dalam sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persen Uji Perolehan Kembali (recovery) besi dalam sampel No Mineral yang

dianalisis

Recovery (%) Syarat rentang persen Recovery

(%)

1 Besi 98,94 80-120

Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa hasil uji perolehan kembali (recovery) untuk besi adalah 98,94%. Persen recovery tersebut menunjukkan kecermatan kerja yang memuaskan pada saat pemeriksaan kadar besi dalam sampel. Hasil yang diperoleh dari uji perolehan kembali memberikan ketepatan pada pemeriksaan kadar besi dalam sampel. Menurut Ermer dan Miller (2005), suatu metode dikatakan teliti jika nilai recovery nya antara 80 – 120%.

4.2.6 Simpangan Baku Relatif

Dari perhitungan yang dilakukan terhadap data hasil pengukuran kadar besi diperoleh nilai simpangan baku (SD) sebesar 1,0771 dan nilai simpangan baku relatif (RSD) sebesar 3,08 %. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 15 halaman 68. Menurut Harmita (2004), nilai simpangan baku relatif (RSD) untuk analit dengan kadar part per million (ppm) adalah tidak lebih dari 16% dan untuk


(57)

analit dengan kadar part per billion (ppb) RSD nya adalah tidak lebih dari 32%. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa metode yang dilakukan memiliki presisi yang baik.


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Pemeriksaan secara kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom menunjukkan bahwa kandungan besi dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.) adalah (13,3854 ± 0,4126) mg/100 g dan kandungan besi dalam Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) adalah (11,1592 ± 0,7117) mg/100 g dan kandungan besi dalam Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) adalah (25,0405 ± 0,8555) mg/100 g.

Hasil uji statistik yaitu uji beda rata-rata kandungan besi dalam Bayam, Bayam merah dan Bayam duri menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dimana kandungan besi pada Bayam duri lebih tinggi dari Bayam dan Bayam merah, dan kandungan besi pada Bayam lebih tinggi dari Bayam merah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kandungan besi paling banyak terkandung dalam Bayam duri dan kandungan besi paling sedikit terkandung pada Bayam merah.

5.2 Saran

Disarankan kepada masyarakat agar memanfaatkan daun bayam duri sebagai salah satu sumber besi.

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan pemeriksaan mineral lain pada bayam


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama. Halaman 228, 249-256.

Bandini, Y. dan Nurudin A. (2001). Bayam. Cetakan kelima. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 1-5, 7-13.

Basset, J., Denney, R.C., Jefffery., dan Mendham, J. (1991). Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis Including Elementary Instrumental Analysis. Penerjemah: Setiono, L. Dan Pudjaatmaka, A.H. (1994). Buku Ajar Vogel: Kimia Analysis Kuantitatif Anorganik. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 863-865.

Budianto, A. K. (2009). Dasar-dasar Ilmu Gizi. Cetakan keempat. Malang: UMM Press. Halaman 82.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 650.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 1127, 1165.

Ermer, J.H., dan Miller, J. H. McB. (2005). Method Validation in Pharmaceutical Analysis. Weinheim: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. Halaman 171.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 298-299, 305-312.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Review Artikel. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1(3): 117-119, 121-122, 127-130.

Helrich, K. (1990). Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Edisi ke 15. Virginia: Assocoation of Official Analytical Chemist, Inc. Halaman 42.

Khopkar, S.M. (2008). Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah Saptorahardjo. A. Jakarta: UI Press. Halaman 288-298.

Rosmarkam, A. dan Yuwono, N.W. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 73-75.


(60)

Ruskin, F.R. (1984). Amaranth Modern Prospects for an Ancient Crop.

Washington D.C: National Academy Press. Halaman 47.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Edisi Keenam. Bandung: Tarsito. Halaman 93.

Sunarjono, H.H. (2009). Bertanam 30 Jenis Sayur. Cetakan ke 10. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 14-16.

Svehla, G. (1979). Vogel’s Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis. Penerjemah: A. Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono. (1990). Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Bagian I. Jakarta: Kalman Media Pusaka. Halaman 262-263. Winarso, S. (2005). Kesuburan Tanah. Cetakan pertama. Yogyakarta: Gava


(61)

(62)

(63)

(64)

Lampiran 2. Sampel yang digunakan

Gambar 2. Bayam ( Amaranthus hybridus L.)


(65)

(66)

Lampiran 3. Gambar alat-alat yang digunakan

Gambar 5. Spektrofotometer Serapan Atom Hitachi Z-2000


(67)

(68)

Lampiran 4. Bagan Alir Proses Destruksi Kering

Bayam

Dikeringkan selama 2 hari

Ditambah 10 ml HNO3 pekat Diarangkan di atas hot plate

Diabukan dalam tanur dengan temperatur awal 100oC dan perlahanlahan temperatur dinaikkan hingga suhu 500oC dengan interval 25oC setiap 5 menit

Abu

Dikeringkan dengan dianginkan Dicuci bersih

Sampel yang telah dirajang

Dilakukan selama 36 jam dan dibiarkan hingga dingin pada desikator

Dirajang

Diambil daunnya

Ditimbang 100 gram

Dimasukkan ke dalam cawan porselen

Dipindahkan ke dalam kurs porselen

Ditambahkan 10 ml HNO3 (1:1) Diuapkan pada hot plate sampai kering

Dimasukkan kembali dalam tanur dengan temperatur awal 100oC dan perlahan lahan temperatur dinaikkan hingga suhu 500oC dengan interval 25oC setiap 5 menit

Dilakukan selama 1 jam dan di biarkan hingga dingin pada desikator


(69)

Lampiran 5. Bagan Alir Pembuatan Larutan Sampel

Dilarutkan dalam 10 ml HNO3 (1:1)

Dipindahkan ke dalam labu tentukur 100 ml Dipindahkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dibiladibila

Dibilas krus porselen sebanyak tiga kali dengan aquabides. Dicukupkan dengan aquabides hingga garis tanda

Dimasukkan ke dalam botol Larutan sampel

Disaring dengan kertas saring Whatman No.42

Filtrat

Dibuang 5 ml larutan pertama untuk menjenuhkan kertas saring

Dilakukan analisis kualitatif

Dilakukan analisis kuantitatif dengan Spektrofotometer Serapan atom pada λ 248,3 nm

Hasil Sampel yang telah


(70)

Lampiran 6. Hasil Analisis Kualitatif Besi

Gambar 8. Hasil analisis kualitatif dengan Larutan pereaksi Kalium heksasianoferat (II) 8%

Gambar 9. Hasil analisis kualitatif dengan larutan pereaksi Amonium tiosianat 10%


(71)

Lampiran 7. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Larutan Standar Besi

1. Data Hasil Pengukuran Larutan Standar Besi No Konsentrasi (µg/ml) absorbansi

1 0,0000 0,0000

2 2,0000 0,0506

3 4,0000 0,0993

4 6,0000 0,1415

5 8,0000 0,1859


(72)

Lampiran 8. Perhitungan Persamaan Garis Regresi

1. Perhitungan Persamaan Garis Regresi

No Konsentrasi (X) Absorbansi (Y) X2 Y2 XY

1 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000

2 2,0000 0,0506 4,0000 0,00256036 0,1012

3 4,0000 0,0993 16,0000 0,00986049 0,3972

4 6,0000 0,1415 36,0000 0,02002225 0,8490

5 8,0000 0,1859 64,0000 0,03455881 1,4872

6 10,0000 0,2385 100,0000 0,05688225 2,3850

X= 30 y = 0,7158 x2 = 220 y2= 0,12388416 xy = 5,2196

X = 5

Y = 0,1193

a =

/

x −/n

=

, − , /

− /

=

, − ,

=

,

a =

0,0234

b = y

a x

= 0,1193- (0,0234)(5) = 0,0023


(73)

Maka persamaan garis regresi nya adalah Y= 0,0234x + 0,0023 Maka koefisien korelasi (r)

r =  −   /

√[  / ][/n

=

, − , /

√[ − / ][ , − , /

=

,

,


(74)

Lampiran 9. Hasil Analisis Kadar Besi dalam Sampel No Sampel Berat

sampel (g)

Absorbansi (A) Konsentrasi (µg/ml) Kadar (mg/100g) 1

B1 100,035 0,0637 2,6239 13,1153

B2 100,038 0,0674 2,7820 13,9047

B3 100,036 0,0668 2,7564 13,7770

B4 100,037 0,0654 2,6965 13,4775

B5 100,032 0,0633 2,6068 13,0298

B6 100,031 0,0632 2,6025 13,0084

2

3

BM1 100,040 0,1030 4,3034 10,7541

BM2 100,054 0,1064 4,4487 11,1157

BM3 100,061 0,1101 4,6068 11,5099

BM4 100,028 0,1028 4,2948 10,7339

BM5 100,014 0,1006 4,2008 10,5005

BM6 100,075 0,1179 4,9401 12,3409

BD1 100,037 0,0612 2,5170 25,1606

BD2 100,025 0,0608 2,5000 24,9937

BD3 100,067 0,0631 2,5982 25,9646

BD4 100,010 0,0574 2,3547 23,5446

BD5 100,032 0,0610 2,5085 25,0769

BD6 100,040 0,0620 2,5512 25,5025

Keterangan : B = Bayam

BM = Bayam merah BD = Bayam duri


(75)

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Kadar Besi dalam Sampel

1. Contoh Perhitungan Kadar Besi dalam Bayam (Amaranthus hybridus L.) Berat sampel yang ditimbang = 100,035 gram

Absorbansi (Y) = 0,0637

Persamaan Regresi:Y = 0,0234X + 0,0023 X = , − ,

, = 2,6239

Konsentrasi besi = 2,6239 µg/ml

(g) Sampel Berat n pengencera Faktor x (ml) Volume x (µ g/ml) i Konsentras (µ g/g) Besi

Kadar 

= g mlx x 100,035 ) 5 , 0 / 25 ( 100 µ g/ml 2,6239

= 131,153 µg/g = 13,1153 mg/100 g

2. Contoh Perhitungan Kadar Besi dalam Bayam merah (Amaranthus tricolor

L.)

Berat sampel yang ditimbang = 100,040 gram Absorbansi (Y) = 0,1030

Persamaan Regresi:Y = 0,0234X + 0,0023 X = , − ,

, = 4,3034

Konsentrasi besi = 4,3034 µg/ml

(g) Sampel Berat n pengencera Faktor x (ml) Volume x (µ g/ml) i Konsentras (µ g/g) Besi

Kadar 

= g mlx x 100,040 ) 1 / 25 ( 100 µ g/ml 4,3034

= 107,5419 µg/g = 10,7541 mg/100 g


(76)

3. Contoh Perhitungan Kadar Besi dalam Bayam duri (Amaranthus spinosus L.) Berat sampel yang ditimbang = 100,037 gram

Absorbansi (Y) = 0,0612

Persamaan Regresi:Y = 0,0234X + 0,0023 X = , − ,

, = 2,5170

Konsentrasi besi = 2,5170 µg/ml

(g) Sampel Berat n pengencera Faktor x (ml) Volume x (µ g/ml) i Konsentras (µ g/g) Besi

Kadar 

= g mlx x 100,037 ) 25 , 0 / 25 ( 100 µ g/ml 2,5170

= 251,6069 µg/g = 25,1606 mg/100 g

Selanjutnya dilakukan perhitungan kadar besi yang sama terhadap semua sampel


(1)

Lampiran 17 Pengujjian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi Antara Bayam dan Bayam duri

Dilakukan uji F dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah variasi kedua populasi sama (1= 2) atau berbeda (12)

1. Ho : (1= 2)

H1 : (12)

2. dk data 1 = 5 dan dk data 2 = 5

Nilai Fkritis yang diperoleh dari Ftabel (F(0,05/2)(5,5) adalah 7,15

Daerah kritis penolakan : jika Fo≥ 7,15

3. Fo =

=

,

,

=

0,2882

4. Dari hasil ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan H1 ditolak sehingga

disimpulkan bahwa (1= 2) kemudian dilanjutkan dengan uji beda

rata-rata menggunakan distribusi t

Karena ragam populasi sama (1= 2), maka simpangan bakunya adalah

:

Sp

=

− � +

− �

+ −

No Kadar Besi pada Bayam (mg/100 g)

Kadar besi pada Bayam duri (mg/100g)

1 X1 = 13,3854 X2 = 25,0405


(2)

=

− , +

,

+ −

= 0,5878

1. Ho : (µ1= µ2)

H1 : (µ1 µ2)

2. Dengan menggunakan taraf kepercayaan  = 5 % T 0,05/2 = ± 2,2281

Untuk df = 6 + 6 - 2 = 10

3. Daerah kritis penerimaan : -2,2281 ≤ to≥ 2,2281

Daerah kritis penolakan : to < -2,2281 dan to >2,2281

4. Pengujian statistik

to =

� √ / + /

=

, − ,

, √ / + /

=

- 59,4852

5. Karena to -59,4852 < -2,2281 maka hipotesis ditolak. Berarti terdapat

perbedaan signifikan rata-rata kadar besi antara Bayam (Amaranthus hybridus L. ) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus L.)


(3)

Lampiran 18. Pengujjian Beda Nilai Rata-rata Kadar Besi Antara Bayam duri dan Bayam merah

Dilakukan uji F dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui apakah variasi kedua populasi sama (1= 2) atau berbeda (12)

1. Ho : (1= 2)

H1 : (12)

2. dk data 1 = 5 dan dk data 2 = 5

Nilai Fkritis yang diperoleh dari Ftabel (F(0,05/2)(5,5) adalah 7,15

Daerah kritis penolakan : jika Fo≥ 7,15

3. Fo =

=

,

,

=

0,8574

4. Dari hasil ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan H1 ditolak sehingga

disimpulkan bahwa (1 = 2) kemudian dilanjutkan dengan uji beda

rata-rata menggunakan distribusi t

Karena ragam populasi sama (1= 2), maka simpangan bakunya adalah:

Sp

=

− � +

− �

+ −

No Kadar besi pada Bayam merah (mg/100g)

Kadar besi pada Bayam duri (mg/100 g)

1 X1 = 11,1592 X2 = 25,0405


(4)

= 0,7058

1. Ho : (µ1= µ2)

H1 : (µ1 µ2)

2. Dengan menggunakan taraf kepercayaan  = 5% T 0,05/2 = ± 2,2281

Untuk df = 6 + 6 - 2 = 10

3. Daerah kritis penerimaan : -2,2281 ≤ to≥ 2,2281

Daerah kritis penolakan : to < -2,2281 dan to >2,2281

4. Pengujian statistik

to = −

� √ / + /

=

, − ,

, √ / + /

=

-34,0651

5. Karena to -34,0651 < -2,2281 maka hipotesis ditolak. Berarti terdapat

perbedaan signifikan rata-rata kadar besi antara Bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dan Bayam duri (Amaranthus spinosus L.)


(5)

(6)