Evaluasi Kesesuaian Lahan HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6. Evaluasi Kesesuaian Lahan

4.6.1. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Wisata Pantai

Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai, diperoleh hasil pembandingan yang dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan hanya terdapat tiga kelas, yaitu cukup sesuai S2, sesuai marginal S3, dan tidak sesuai N. Luas kawasan yang cukup sesuai untuk pengembangan wisata pantai adalah 470,8 ha 2,7 yang berada di sepanjang pantai Kecamatan Tamalate, sedangkan sesuai marginal seluas 1.255,5 ha 7,2 mencakup sepanjang pantai di kecamatan pesisir lainnya. Kawasan yang tidak sesuai untuk pengembangan wisata pantai meliputi hampir seluruh Kota Makassar dengan luas 15.710,7 ha 90,1. Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pengembangan wisata pantai adalah kecerahan perairan. Menurut DPLHK 2006 kecerahan perairan di Pantai Barombong adalah 4-6 m, sedangkan di kawasan Pelabuhan Makassar hanya sebesar 2,6-3,5 m. Kecerahan tinggi sekitar 11-20 m terdapat di perairan yang jauh dari daratan utama yaitu di sekitar pulau-pulau terluar, seperti Pulau Lumu-lumu dan Pulau Lanyukang DKKP, 2006. Nilai kecerahan di kawasan pantai menunjukkan kondisi perairan termasuk kelas S2 untuk aktivitas berenang dan menyelam. Kondisi kecerahan di kawasan pantai disebabkan oleh pengaruh dari daratan yaitu sedimentasi dan pencemaran. Pada tahun 2004 terjadi longsor Gunung Bawakaraeng yang meluncurkan sekitar 300 juta m 3 tanah dan pasir melalui Dam Bili-bili sampai muara Sungai Jeneberang yaitu pantai Kota Makassar. Pencemaran yang mempengaruhi kecerahan terutama dari padatan tersuspensi dan bahan organik yang bersumber dari limbah domestik, industri pengolahan Bapedalda, 2004; Samawi, 2007, dan kegiatan pertanian di hulu Sungai Jeneberang Monoarfa, 2002. Di kawasan Pantai Losari terdapat 14 outlet pembuangan yang langsung ke laut dan kanal-kanal kota yang juga langsung ke laut. Selain itu, tidak tersedianya sewage treatment plan STP kota juga menyebabkan tingginya pencemaran di kawasan pantai. Gambar 10. Peta kesesuaian lahan kawasan wisata pantai 67 Untuk mengatasi faktor pembatas tersebut, diperlukan kegiatan pengelolaan dari hulu hingga hilir Sungai Jeneberang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penanaman semak bush dan tanaman pelindung dengan kanopi untuk melindungi tanaman di bawahnya di sepanjang sungai Kodoatie Sjarief, 2008. Selain itu, perlu adanya sewage treatment plan STP untuk mengolah limbah sehingga tidak langsung dibuang ke laut. Upaya pengelolaan tersebut diharapkan dapat memperbaiki kondisi kecerahan di kawasan pantai sehingga dapat menjadi kelas S1 untuk aktivitas berenang dan menyelam. Kawasan pantai Kota Makassar secara umum dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Kecamatan Tamalate cukup sesuai sebagai kawasan wisata pantai karena memiliki lebar pantai 10-20 m dengan tipe pantai pasir, sedangkan kecamatan lainnya sudah mengalami pengerasan dengan dinding penahan. Karakteristik lebar dan substrat pantai tersebut sangat mendukung pantai di Kecamatan Tamalate untuk kegiatan wisata pantai seperti berenang, berjemur, dan bermain di pantai. Kawasan pantai di kecamatan lainnya seperti Kecamatan Ujung Pandang dan Kecamatan Mariso dengan Pantai Losari-nya dapat dikembangkan kegiatan-kegiatan seperti olahraga air, menikmati pemandangan sunset, berperahu, photo hunting, konser musik, wisata kuliner, dan lain-lain. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah RTRW Kota Makassar tahun 2006-2016, Kecamatan Tamalate akan dikembangkan menjadi kawasan bisnis dan pariwisata terpadu dengan brand Tanjung Bunga Waterfront City yang dibangun dengan cara reklamasi. Kebijakan reklamasi tersebut pada dasarnya bertujuan menyiapkan kawasan baru, meningkatkan daya tarik Kota Makassar dari arah pantai dengan konsep waterfront city, dan menahan abrasi pantai. Akan tetapi, dikhawatirkan kegiatan reklamasi tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di kawasan lainnya. Sebagai contoh reklamasi pantai di Jakarta dinilai banyak pihak telah menyebabkan berbagai masalah lingkungan seperti banjir yang melanda Jakarta beberapa tahun terakhir. Hal ini karena rawa- rawa yang semula dapat dijadikan tempat resapan dan penampungan air saat hujan sudah tidak ada lagi, berubah menjadi permukiman. Akibatnya aliran air permukaan menjadi lebih besar dan menyebabkan banjir. Akan tetapi, jika pengembangan kawasan akan dilaksanakan, kawasan pantai sebaiknya tetap dapat diakses oleh publik karena daya tarik utama adalah pantai. Menurut Sairinen dan Kumpulainen 2006, salah satu aspek penting dalam pengelolaan waterfront city adalah bangunan tidak secara langsung diposisikan di tepi pantai sehingga pantai dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Selain itu, pantai tidak memiliki penghalang secara fisik dan psikologis serta dapat dijangkau dengan berjalan kaki.

4.6.2. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi Mangrove

Kesesuaian lahan sebagai kawasan konservasi terutama dilakukan untuk mendapatkan lahan yang sesuai sebagai kawasan mangrove. Berdasarkan hasil pembandingan kualitas lahan, diperoleh bahwa kawasan pantai Kota Makassar yang sangat sesuai S1 untuk penanaman mangrove seluas 959,1 ha 5,5 yang berada di sepanjang pantai Kecamatan Tamalate, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya. Kelas kesesuaian lahan yang cukup sesuai S2 seluas 488,2 ha 2,8 yang terletak di sepanjang Sungai Jeneberang, pantai Kecamatan Wajo, dan Kecamatan Ujung Tanah, sedangkan yang sesuai marginal S3 seluas 2.127,3 ha 12,2 berada di sepanjang Sungai Tallo. Kelas yang tidak sesuai N seluas 13.862,4 ha 79,5 menyebar hampir di seluruh kawasan Kota Makassar Gambar 11. Karakteristik lahan yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove adalah kemiringan lahan, jarak dari pantai, jarak dari sungai, jenis tanah, dan drainase. Penyebaran mangrove terutama di sepanjang pantai dan sungai dapat dipahami karena hutan mangrove merupakan hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut Noor et al., 2006. Berdasarkan hasil pembandingan, faktor pembatas kesesuaian kawasan konservasi mangrove adalah kondisi drainase. Di kawasan pantai Kota Makassar terutama Kecamatan Tamalate, sebagian besar hutan mangrove sudah tidak terpengaruhi oleh pasang surut air laut karena telah direklamasi. Kegiatan reklamasi tersebut akhirnya menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap perkembangan hutan mangrove. Gambar 11. Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi mangrove 70 Luas mangrove di Kota Makassar adalah 38 ha DKKP, 2006 yang sebelumnya pada tahun 1990 adalah 2.773 ha Gunawan, 1998. Luas mangrove dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Di Indonesia, pada tahun 1984 memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, tahun 1992 luasnya tersisa 3,812 juta ha, kemudian pada tahun 1999 luas mangrove hanya 9,2 juta ha. Sementara lebih dari setengah hutan mangrove tersebut 57,6 ternyata dalam kondisi rusak parah dengan kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 hatahun Anwar Gunawan, 2006. Dalam pengelolaan lanskap pantai, mangrove memiliki peranan penting sebagai penyambung darat dan laut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan spawning grounds dan daerah pembesaran nursery grounds berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan spesies lainnya. Hutan mangrove juga menyediakan keanekaragaman biodiversity dan plasma nutfah genetic pool sebagai habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia, dan jenis kehidupan lainnya. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, abrasierosi, dan gaya-gaya laut lainnya Wiharyanto, 2007. Selain itu, hutan mangrove berfungsi sebagai pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air mereduksi polutan, pencemar air, dan penyerap CO 2 dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain Ariawan Irawanti, 2006. Secara ekonomi, mangrove dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain, sebagai arangkayu bakar, bahan bangunan, bahan baku chip, tanin untuk menyamak kulit pada industri sepatu dan tas, obat-obatan, lahan pertaniantambak, dan sebagai obyek wisata Anwar Gunawan, 2006. Berdasarkan fungsi ekologis dan ekonomis tersebut, hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis, tetapi labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya selain dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala Anwar Gunawan, 2006. Oleh karena itu, mangrove di Kota Makassar perlu tetap dijaga dan dipelihara agar dapat memberikan fungsinya secara optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat Kota Makassar.

4.6.3. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Permukiman

Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman diperoleh hasil yang disajikan pada Gambar 12. Secara umum Kota Makassar sangat sesuai S1 untuk kawasan permukiman dengan luas 6.661,4 ha 38,2. Kelas kesesuaian cukup sesuai S2 seluas 3.975,6 ha 22,8 terutama terdapat di Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Manggala. Kelas kesesuaian sesuai marginal S3 seluas 192,5 ha 1,1 dan tidak sesuai N seluas 6.607,5 ha 37,9 yang terdapat di sepanjang pantai dan sungai. Hasil pembandingan tersebut menunjukkan bahwa umumnya kawasan pantai Kota Makassar sangat sesuai dikembangkan sebagai kawasan permukiman. Luas lahan permukiman di Kota Makassar terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1994, luas lahan permukiman adalah 5.224 ha 29,72 dan pada tahun 2004 luasnya menjadi 6.672 ha 37,96 Tabel 18. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah RTRW Kota Makassar tahun 2006-2016, lahan yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman terpadu berada di Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah, dan Tamalate Bappeda, 2005. Secara umum kecamatan yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman terpadu tersebut merupakan kecamatan yang berada di kawasan pantai yang termasuk pusat kota. Perkembangan kawasan permukiman di kawasan pantai disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, tetapi lahan yang tersedia terbatas. Kawasan kota pantai merupakan konsentrasi penduduk yang paling padat. Berdasarkan Agenda 21 dinyatakan bahwa populasi dunia pada tahun 2020 akan melebihi 8 milyar. Sekitar 60 dari populasi tersebut bermukim di kawasan pantai, sementara 65 dari kota-kota dunia dengan penduduk lebih dari 25 juta jiwa terdapat di sepanjang garis pantai Vallega, 2001. Gambar 12. Peta kesesuaian lahan kawasan permukiman 73 Tabel 18. Penggunaan dan luas lahan di Kota Makassar tahun 1994 dan tahun 2004 Tahun 1994 Tahun 2004 No. Penggunaan Lahan Luas ha Persentase Luas ha Persentase 1. Perumahan 5.224,00 29,72 6.672 37,96 2. Lapangan olahraga 137,00 0,78 142 0,81 3. Tanah usaha 394,26 2,24 434 2,47 4. Tanah jasa 762,69 4,34 801 4,56 5. Jalan 664,00 3,78 697 3,97 6. Kuburan 24,90 0,14 25 0,14 7. Sawah 4.049,00 23,04 3.218 18,31 8. Kebun campuran 761,30 4,33 684 3,89 9. Tegalan 1.295,00 7,37 995 5,66 10. Tambak 2.981,00 16,96 2.625 14,93 11. Tanah kosong yang sudah diperuntukkan 174,00 0,99 124 0,71 12. Penggaraman 18,00 0,10 11 0,06 13. Tanah industri 344,85 1,96 445 2,53 14. Hutan sejenis 113,00 0,64 113 0,64 15. Padang rumput 105,00 0,60 77 0,44 16. Pasir 33,00 0,19 33 0,19 17. Sungai 415,00 2,36 415 2,36 18. Rawa 81,00 0,46 66 0,38 Jumlah 17.577,00 100,00 17.577 100,00 Sumber: RTRW Kota Makassar Tahun 2006-2016 Pengembangan permukiman di kawasan pantai sebaiknya memperhatikan kondisi fisik lanskap. Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pengembangan kawasan permukiman berdasarkan kesesuaian lahan adalah kondisi drainase dan kerawanan banjir. Kota Makassar di bagian utara dipengaruhi oleh DAS Tallo, sedangkan di bagian selatan dipengaruhi oleh DAS Jeneberang. Di sepanjang Sungai Jeneberang terutama Kecamatan Tamalate sebelumnya adalah empang atau rawa-rawa yang merupakan kawasan yang peka terhadap banjir karena terletak lebih rendah dari permukaan laut. Faktor yang juga perlu dipertimbangkan adalah banjir dan sedimentasi. Kawasan pantai di bagian selatan Kota Makassar dipengaruhi oleh Sungai Jeneberang. Di sepanjang DAS Jeneberang terutama Kecamatan Tamalate yang sebelumnya adalah empang atau rawa-rawa merupakan kawasan yang peka terhadap banjir karena terletak lebih rendah dari permukaan laut. Selain itu, sedimentasi juga berdampak terhadap kecamatan di sepanjang DAS Jeneberang akibat muatan sedimen berupa lumpur. Faktor lain yang menjadi penyebab timbulnya banjir adalah sampahlimbah dari rumah tangga terutama di sepanjang DAS Tallo dan DAS Jeneberang. Jumlah timbulan sampah yang bersumber dari permukiman mewah, menengah, sederhana sebanyak 1744,21 m 3 hari BPS, 2007. Jumlah sampah permukiman ini mencapai 48,69 dari total timbulan sampah Kota Makassar sebanyak 3582,01 m 3 hari. Jika kawasan permukiman berada dekat sungai, dikhawatirkan sampah akan dibuang ke sungai dan akhirnya ke laut. Apalagi dengan adanya anggapan bahwa sungai atau laut merupakan “halaman belakang” tempat membuang segala macam sampah atau limbah.

4.6.4. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Tambak

Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan, diperoleh lahan yang sangat sesuai S1 untuk tambak seluas 645,2 ha 3,7 terutama di dekat Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo yang berada di Kecamatan Tamalate dan Kecamatan Tallo. Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai S2 seluas 383,6 ha 2,2 dan sesuai marginal S3 seluas 2.127,3 ha 12,2 berada di sepanjang Sungai Tallo. Kelas tidak sesuai N mencakup hampir seluruh Kota Makassar seluas 14.280,9 ha 81,9 Gambar 13. Luas tambak di Kota Makassar pada tahun 2004 adalah 2.625 ha atau 14,93 dari luas keseluruhan kota Bappeda, 2005. Umumnya tambak tersebut dibuat di atas tanah bekas lahan mangrove. Akan tetapi, kondisi tambak khususnya di Kecamatan Tamalate sebagian tidak diusahakan lagi karena lahan telah direklamasi. Berdasarkan aspek hidrologi, pengembangan tambak di kawasan pantai sangat potensial karena adanya daerah pasang surut untuk pengairan pengisian dan pengeringan tambak secara alami. Akan tetapi, faktor pengairan atau drainase tersebut menjadi faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk pengembangan tambak. Kawasan pantai Kecamatan Tamalate yang telah direklamasi menjadi tertutup dari pengaruh pasang surut air laut. Akibatnya sebagian besar lahan tambak menjadi tidak produktif dan terbengkalai karena tidak menguntungkan lagi. Bekas lahan pertambakan yang tidak produktif tersebut akhirnya menjadi alasan untuk pemanfaatan lahan lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti jasaperdagangan dan bisnis. Gambar 13. Peta kesesuaian lahan kawasan tambak 76 -175 -150 -125 -100 -75 -50 -25 25 50 75 100 125 150 175 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39

4.7. Analisis Keindahan