Pengembangan Kawasan Pantai dan Pesisir

Tabel 1. Kelas kesesuaian lahan dan deskripsi Kelas Kesesuaian Lahan Deskripsi S1 Sangat Sesuai Highly Suitable Lahan tidak mempunyai pembatas yang serius untuk penerapan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan S2 Cukup Sesuai Moderately Suitable Lahan mempunyai pembatas yang cukup serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan atau hanya mempunyai pembatas yang hanya meningkatkan masukantingkatan perlakuan yang diperlukan S3 Sesuai Marginal Marginally Suitable Lahan mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, tetapi masih memungkinkan diatasidiperbaiki; lahan masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional N Tidak Sesuai Not Suitable Lahan sama sekali tidak dapat digunakan karena memiliki pembatas yang permanen sehingga tidak mungkin digunakan terhadap suatu penggunaan yang lestari Sumber: FAO 1976

2.4. Pengembangan Kawasan Pantai dan Pesisir

Indonesia memiliki banyak kawasan pantai dan pesisir dengan potensi pembangunan yang sangat besar. Akan tetapi, seringkali pengembangan kawasan pantai tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pembangunan intensif yang tidak berkelanjutan banyak terjadi di beberapa kawasan pantai kota- kota besar Indonesia. Menurut Dahuri et al. 2001, kapasitas berkelanjutan dari banyak ekosistem pesisir telah terancam oleh pola pembangunan yang tidak berkelanjutan unsustainable development pattern melalui pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat penting pesisir, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, serta konflik penggunaan ruang dan sumber daya. Akan tetapi, pola pembangunan yang begitu merusak kualitas lingkungan belum berhasil mensejahterakan sebagian penduduk setempat. Bahkan ada kecenderungan bahwa industrialisasi yang terjadi di kawasan pantai selama ini seringkali justru memiskinkan penduduk setempat, seperti yang terjadi di Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan yang berkembang di kawasan pantai dan pesisir disebabkan oleh tiga alasan ekonomis economic rationality yang kuat Dahuri, 1998, yaitu 1 wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif di dunia ini; berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria berada di wilayah pesisir, 2 wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan accessibilities yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, permukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya, daripada yang dapat disediakan oleh daerah lahan atas up-land areas; kemudahan tersebut berupa media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin cooling water dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, dan bahan baku industri lainnya, dan 3 wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan lucrative, seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan pesisir untuk berenang, selancar, dan berperahu, serta terumbu karang dan keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam dan snorkeling. Konsep pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara pencapaian pemanfaatan yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development adalah “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”. Konsep pembangunan yang berkelanjutan ini telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Jenairo 1992 Saifullah, 2004. Dahuri 1998 mengemukakan empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumber daya pesisir secara ekologis adalah 1 keharmonisan spasial, 2 pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan, 3 pembuangan limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, dan 4 perancangan dan pembangunan prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir. Selanjutnya terkait dengan konsep waterfront city menurut Tjallingi 1995, pembangunan kawasan pantai di perkotaan tidak lepas dari tiga indikator utama dalam pengelolaan lingkungan. Pembangunan suatu kota dapat dilakukan dengan tiga strategi utama, yaitu the responsible city, the living city, dan the participating city dengan masing-masing strategi berhubungan erat dengan pengelolaan, tata ruang, dan juga kebijakan yang diterapkan, tetapi tidak melupakan aspek yang paling utama, yaitu faktor lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi. Strategi tersebut tidak hanya memperhatikan kebutuhan masyarakat, tetapi juga mutu lingkungan dan kenyamanan yang diperoleh dari suatu pembangunan kota tempat partisipasi masyarakat untuk menciptakan suatu kondisi yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai hal utama. Strategi the responsible city merupakan suatu konsep desain dan pengelolaan kota yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan level-level tertentu, tetapi juga generasi yang akan datang dengan tetap bertanggung jawab terhadap mutu lingkungan dari wilayah tersebut. Suatu kota tidak akan terlepas dari berbagai macam permasalahan yang menyangkut beberapa hal seperti air banjir, kekeringan, atau polusi air, energi, sampah, kemacetan lalu lintas, dan permasalahan sentralisasi atau desentralisasi. Semua permasalahan tersebut harus menjadi perhatian sehingga pengelolaan disebut sebagai pengelolaan rantai. Konsep the living city bermakna suatu kota harus menawarkan kondisi yang tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga kesehatan sekaligus keindahan pada penduduknya, misalnya dengan adanya pepohonan di sekitar jalan yang memperhatikan aspek estetika. Dalam pemanfaatan potensi ekologi iklim, air, tanah, dan tumbuhan tidak hanya memberikan kontribusi kesehatan, tetapi juga memberi identitas pada kota secara keseluruhan dan sesuai untuk berbagai perbedaan lingkungan dari segi waktu, gaya hidup, dan aktivitas. Artinya, kota tersebut tidak hanya baik untuk lingkungan atau peduli pada lingkungan, tetapi juga dapat memberikan kontribusi pada kualitas kota tersebut. Konsep ini biasanya dikaitkan dengan kebijakan tata ruang. Kota bukan hanya untuk masyarakat, tetapi juga dimiliki oleh masyarakat sehingga kepedulian masyarakat terhadap kota itu sendiri harus ditingkatkan. Hal ini yang menjadi dasar bagi konsep the participating city dan juga sebagai acuan untuk mencapai konsep the responsible city dan the living city. Strategi ini sangat terkait dengan gaya hidup dan tipe bisnis yang ada pada suatu area yang juga terkait erat dengan kebijakan kota tersebut termasuk kebijakan yang terkait dengan masalah lingkungan, perencanaan kota, dan perangkat organisasinya. Kawasan pantai Kota Makassar termasuk dalam kawasan pusat kota yang mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah, Wajo, Ujung Pandang, Mariso, dan Tamalate. Dalam misi dan strategi pengembangan tata ruang kota, pemerintah kota telah berkomitmen menjadikan kawasan pusat kota sebagai kawasan dengan kualitas standar pelayanan yang lebih baik kepada lingkungan dan masyarakatnya, dengan mendorong aktivitas pembangunan fisik berkembang secara vertikal dan pengelolaan lingkungan yang terkendali. Beberapa strategi yang terkait dengan kawasan pantai adalah mengembangkan kawasan strategis pada kawasan ekonomi termasuk di sepanjang pantai Losari, mengembangkan kawasan kumuh seperti Kecamatan Mariso, merevitalisasi kawasan pantai Losasi secara terpadu dengan mereklamasi batas ruang pantai, dan membatasi pembangunan pada ruang belakang pantai Losari sekitar kawasan Makassar Golden Hotel dan sekitarnya dengan membuat jalan arteri pembatas sampai ke depan Benteng Ujung Pandang Pomanto, 2007. Lanskap kawasan pantai dan pesisir merupakan kawasan yang sangat peka dan rapuh. Kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut akan berdampak sangat serius terhadap kelangsungan hidup ekosistem pesisir. Beberapa panduan untuk pengembangan kawasan pantai terutama untuk pariwisata agar kelestariannya terjaga adalah sebagai berikut Nurisyah, 2000. 1. Pengembangan wisata pantai harus disusun bersama-sama dalam kerangka kerja rencana pengembangan sosial ekonomi nasional, regional, dan lokal secara terpadu, selaras dengan lingkungan dalam strategi pengembangan. Pengembangan wisata pantai harus melakukan pendekatan secara strategi nasional dalam pengembangan dan pengelolaan wisata pantai yang akan menunjukkan zona paling sesuai untuk kegiatan pariwisata. 2. Kawasan lindung pantai untuk pengembangan pariwisata harus terliput oleh kawasan yang memperhatikan geografi alami dan kondisi sosial ekonomi kawasan. Untuk memanfaatkan sumber daya wisata secara optimal, harus dilakukan kegiatan inventarisasi di kawasan yang diusulkan, yaitu lingkungan sosial, budaya, dan penyakit yang endemik atau temporer. 3. Kapasitas daya dukung kawasan haruslah ditetapkan untuk maksud penentuan jumlah wisatawan yang sesuai tanpa membebani keberadaan infrastruktur dan menyebabkan menurunnya mutu sumber daya alam. 4. Kegiatan penataan lahan harus diawasi untuk mencegah dampak seminimal mungkin terhadap ekosistem pantai alami. 5. Jalan terbaik menuju tempat wisata harus direncanakan sebaik mungkin untuk meminimalkan kepadatan lalu lintas, kebisingan, polusi, dan dampak lainnya di sekitar kawasan. 6. Pengembangan fasilitas akomodasi harus dikonsentrasikan dan tidak mengganggu sumberdaya alam. Skala, ukuran, dan jenis infrastruktur haruslah sesuai. 7. Pembuatan tempat pembuangan sampah yang memadai. Limbah cair tidak dibuang ke pantai, terumbu karang, dan kawasan peka lainnya.

2.5. Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan