Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Semakin berkembangnya Korean Wave di Indonesia menjadikan kemungkinan plagiatisme atau peniruan semakin besar. Selain itu kegiatan
plagiatisme juga memberikan dampak negatif bagi plagiatnya. Mereka menjadi tidak kreatif dan tidak bisa berkreasi sendiri, hal ini dapat menjadikan seorang
plagiat menjadi orang yang malas. Sedangkan dapat kita lihat pada kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyak boyband dan juga girlband yang banyak
bermunculan di layar kaca. Jika hal ini terus berlanjut, aliran musik Indonesia dapat berganti menjadi seperti musik Korea dan dapat melunturkan musik asli
Indonesia Aldeafara, 2013. Dampak-dampak yang dibawa oleh Korean Fever ini antara lain model
rambut. Rambut remaja Korea yang dominan lurus terlihat apik ketika ditata dengan aneka model rambut, misalnya model rambut poni atau bob Soekirno,
2014. Dampak lain dari Korean Fever di Indonesia adalah gaya berpakaian
wanita. Contohnya adalah rok mini, blouse unik, gaun, hingga aksesoris ala Korea Rema, 2012.
Contoh-contoh lain busana yang sering dipakai oleh artis-artis dari Korea adalah blus berlengan panjang dengan motif kulit macan dan dipadukan dengan
celana pendek berpalet hijau terang, dress bermotif floral dengan dipadukan cardigan, celana pendek, kaus, serta blazer, blouse tanpa lengan berpalet putih,
serta celana panjang Rema, 2012.
Kawan sebaya bagi remaja memang sering menjadi faktor penekan untuk kita mengikuti tren mode Soekirno, 2014. Menurut Sari dalam Soekirno, 2014,
seorang konsultan mode, boleh saja kita mengikuti tren mode, tetapi jangan membabi buta. Anak muda semestinya bisa menjadi pencipta tren, dengan berani
menjadi dirinya sendiri. Kalaupun ingin mengikuti tren yang ada, individu harus mempertimbangkan bentuk tubuh, warna kulit, usia, dan keperluan. Jika individu
hanya sekedar mengikuti tren, malah bisa memunculkan penilaian negatif dari orang lain Sari, dalam Soekirno, 2014. Sebagai contoh, celana model skinny
ketat hanya bagus untuk pemilik tubuh dengan paha dan betis kecil, tetapi kurang bagus untuk pemilik tubuh dengan paha besar. Dari artikel ini bisa
disimpulkan bahwa banyak remaja yang tidak percaya diri untuk menjadi pencipta tren, dengan berani menjadi dirinya sendiri. Malahan, remaja hanya sekedar
mengikuti arus tren yang ada, tanpa ada keinginan untuk melakukan improvisasi sehingga bisa menjadi lebih percaya diri.
Dari berbagai sumber yang telah disebut di atas, bisa disimpulkan bahwa sudah banyak sekali remaja yang mengikuti gaya berpakaian seperti artis Korea,
tanpa memperhitungkan apakah gaya berpakaian tersebut cocok untuknya atau tidak. Tidak ada salahnya bagi remaja untuk mengikuti gaya berpakaian terbaru
yang ada, tapi sebaiknya remaja juga bisa mengembangkan kreativitasnya supaya tercipta tren yang baru, tren yang khas buatan remaja Indonesia. Namun, dari
berbagai sumber tersebut, terlihat bahwa remaja kebanyakan hanya sekedar mengikuti tren, bahkan dengan membabi buta.
Menurut penulis, self-control berpengaruh dalam fenomena ini. Bandura 1971 mengemukakan bahwa untuk berperilaku secara efektif, seseorang harus
bisa mengantisipasi akibat yang mungkin muncul dalam peristiwa yang berbeda- beda dan mengatur perilakunya sesuai dengan akibat tersebut. Tanpa kemampuan
tersebut, seseorang akan bertindak secara tidak produktif, atau beresiko. Informasi mengenai akibat yang mungkin muncul didapat dari stimuli lingkungan, misalnya
lampu lalu lintas, komunikasi verbal, pesan gambar, tempat yang mencolok, orang, atau benda, atau perilaku orang lain.
Kemampuan untuk mendapatkan kendali atas impuls-impuls Ainslie; Einsberg; Fujita Han, dalam Hagger, Wood, Stiff, Chatzisarantis, 2010 dan
menjauhkan diri dari memuaskan kebutuhan dan keinginan Metcalfe Mischel; Mischel, Shoda, Rodriguez, dalam Hagger, Wood, Stiff, Chatzisarantis,
2010 sangatlah adaptif dan membuat orang bisa melakukan perilaku untuk memenuhi tujuan supaya ia bisa menghasilkan hasil yang diinginkan dalam
jangka panjang Baumeister; Fishbach Labroo; Logue, dalam Hagger, Wood, Stiff, Chatzisarantis, 2010. Jika orang tidak bisa mengatur perilakunya, hidup
akan menjadi rangkaian tindakan impulsif yang tidak bisa dihentikan untuk melayani dorongan, keinginan, dan emosi. Perilaku yang mengarah pada tujuan
dan pencapaian hasil jangka panjang akan menjadi tidak mungkin karena orang tidak akan bisa melakukan usaha yang disiplin dan terpusat Loewenstein, dalam
Hagger, Wood, Stiff, Chatzisarantis, 2010.
Self-concept mencerminkan tendensi seseorang terhadap berbagai aspek dari tindakannya baik secara positif maupun negatif. Dalam pendekatan Social
Learning Theory, self-concept negatif didefinisikan dalam kaitannya dengan banyaknya
self-reinforcement negatif.
Sebaliknya, self-concept
positif didefinisikan dalam kaitannya dengan banyaknya self-reinforcement positif
Bandura, 1971. Dalam Social Learning Theory, self-reinforcement adalah pengendali
tindakan seseorang. Disfungsi pada sistem self-reinforcement bisa mengakibatkan self-punishment yang berlebihan dan kondisi yang tidak menguntungkan yang
bisa mempertahankan perilaku yang merusak. Banyak individu yang mengalami stress karena standar yang mereka buat terlalu tinggi, karena perilaku mereka
tidak sebanding dengan role-model yang memiliki prestasi tinggi Bandura, 1971.
Tindakan role-model yang memiliki status lebih besar kemungkinannya untuk berhasil dan memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi pengamatnya
daripada role-model yang memiliki kemampuan intelektual, kejuruan, dan sosial yang lebih rendah. Dalam situasi dimana orang tidak yakin dengan pemahaman
tentang tindakan yang ditiru, mereka mengandalkan karakteristik role-model dan simbol yang menunjukkan status misalnya gaya berpakaian yang menunjukkan
penanda nyata kesuksesan di masa lalu Bandura, 1971. Fitts dalam Agustiani, 2006 mengemukakan bahwa self-concept
merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena self-concept seseorang
merupakan kerangka acuan frame of reference dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts juga mengatakan bahwa self-concept berpengaruh kuat terhadap
tingkah laku seseorang. dengan mengetahui self-concept seseorang, kita akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Meltzoff 1990, ditunjukkan bahwa tiga aspek dari imitasi, yaitu social mirroring, social modeling, dan imitation as
self-practice, relevan dengan perkembangan teori self. Dalam eksperimennya, orang dewasa menjadi social mirror analogi dari cermin yang mencerminkan
perilaku yang dilakukan oleh balita. Ternyata balita lebih menyukai orang dewasa yang meniru perilaku yang dilakukan juga oleh balita itu sendiri. Balita tersebut
juga memeriksa orang dewasa, kemungkinan untuk memeriksa di mana perbedaan antara identitas diri dengan yang aspek lainnya.
Efek dari social mirroring ini tidak sepenuhnya merupakan fenomena di laboratorium. Balita senang pada fakta bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan
orang dewasa mencerminkan diri balita itu sendiri. Ini juga membantu balita dalam mengembangkan dirinya, karena ini adalah salah satu cara alami balita
untuk mengenali seperti apa tindakan yang telah ia lakukan. Dengan interaksi seperti ini, balita bisa melihat dirinya dari orang lain Lacan; Winnicott, dalam
Meltzoff, 1990. Remaja yang mengikuti trend berbusana dari Korea merupakan suatu
fenomena yang menarik perhatian peneliti. Berdasarkan artikel-artikel tersebut, ternyata ada dampak positif dan dampak negatif dari fenomena ini. oleh sebab itu,
maka penulis tertarik untuk menulis skripsi berjudul “Pengaruh Self-control dan Self-concept terhadap Perilaku Modeling Remaja tentang Trend Berbusana dari
Korea .”