Kaitan antara strategi self-enhancement dan self-protection dengan perilaku seksual pada remaja.

(1)

KAITAN ANTARA STRATEGI ENHANCEMENT DAN SELF-PROTECTION DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

Flaviana Rinta Ferdian ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara strategi self-enhancement dan

self-protection dengan perilaku seksual pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah strategi

self-enhancement (positivity embracement, favorable construals, dan self-affirming reflections) memprediksi perilaku seksual yang rendah pada remaja. Di sisi lain, strategi self-protection

(defensiveness) memprediksi perilaku seksual yang tinggi pada remaja. Secara khusus, penelitian ini juga ingin melihat perbedaan gender dalam strategi self-enhancement dan self-protection

dengan perilaku seksual pada remaja. Subjek penelitian ini sebanyak 206 remaja yang berpacaran. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan snowball sampling. Teknik analisis data adalah analisis regresi dengan SPSS 16.0. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa strategi self-enhancement tidak memprediksi perilaku seksual pada remaja. Hal tersebut berarti bahwa remaja yang menggunakan strategi self-enhancement belum tentu tidak terlibat dalam perilaku seksual. Namun, strategi self-protection yaitu defensiveness memprediksi perilaku seksual pada remaja perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin remaja perempuan

defensif, maka semakin terlibat dalam perilaku seksual.

Kata kunci : strategi self-enhancement dan self-protection, positivy embracement, favorable construals, self-affirming reflections, perilaku seksual, gender, remaja yang berpacaran


(2)

THE RELATIONSHIP BETWEEN ENHANCEMENT AND SELF-PROTECTION STRATEGIES WITH SEXUAL BEHAVIOR IN

ADOLESCENT Flaviana Rinta Ferdian

ABSTRACT

This study is aimed to explain the relation between self-enhancement and self-protection strategies with sexual behavior in adolescent. The hypothesis of this study was self-enhancement strategies (positivity embracement, favorable construals, andself-affirming reflections) predicted low sexual behavior in adolescent. Meanwhile, self-protection (defensiveness) predicted high sexual behavior in adolescent. Specifically, this study studied gender differences in the relation between self-enhancement and self-protection strategies with sexual behavior in adolescent.The amount subject of this study was 206 dating adolescent. Techniques used to collect the population sample was snowball sampling and the data was analyzed using regression analysis by SPSS. The result shown that self-enhancement strategies didn’t predict sexual behavior in adolescent. But, self-protection strategies (defensiveness) predicted sexual behavior in girl.

Keywords: self-enhancement and self-protection strategies, positivy embracement, favorable construals, self-affirming reflections, sexual behavior, gender, dating adolescent


(3)

KAITAN ANTARA STRATEGI SELF- ENHANCEMENT DAN

SELF-PROTECTION DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar SarjanaPsikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Flaviana Rinta Ferdian

119114093

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan -Lukas 1: 37-

Ketika Tuhan sudah memulai pekerjaan baik maka Tuhan pulalah yang akan menyelesaikannya

– Filipi 1:6-

Mimpi adalah kunci

Untuk kita menaklukan dunia... Berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya....


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan bagi,

Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menguatkan, mendampingi, dan

menjadikan segalanya indah pada waktuNya

Orang tuaku, Bapak YB. Agus Purwanto & Ibu Indwari J.

Saudara laki- lakiku, Cornelius Agri Fernaldy


(8)

(9)

vii

KAITAN ANTARA STRATEGI SELF-ENHANCEMENT DAN

SELF-PROTECTION DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

Flaviana Rinta Ferdian

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara strategi self-enhancement dan self-protectiondengan perilaku seksual pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah strategi self-enhancement (positivity embracement,favorable construals, dan self-affirming reflections) memprediksi perilaku seksual yang rendah pada remaja. Di sisi lain, strategi self-protection (defensiveness) memprediksi perilaku seksual yang tinggi pada remaja. Secara khusus, penelitian ini juga ingin melihat perbedaan gender dalam strategi self-enhancement dan self-protectiondengan perilaku seksualpada remaja. Subjek penelitian ini sebanyak 206 remaja yang berpacaran. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan snowball sampling. Teknik analisis data adalah analisis regresi dengan SPSS 16.0. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa strategi self-enhancement tidak memprediksi perilaku seksual pada remaja. Hal tersebut berarti bahwa remaja yang menggunakan strategi self-enhancement belum tentu tidak terlibat dalam perilaku seksual. Namun, strategi self-protection yaitu defensiveness memprediksi perilaku seksual pada remaja perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin remaja perempuan defensif, maka semakin terlibat dalam perilaku seksual. Kata kunci :strategi self-enhancement dan self-protection,positivy embracement, favorable

construals, self-affirming reflections, perilaku seksual, gender, remaja yang berpacaran


(10)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN ENHANCEMENT AND SELF-PROTECTION STRATEGIES WITH SEXUAL BEHAVIOR IN

ADOLESCENT

Flaviana Rinta Ferdian ABSTRACT

This study is aimed to explain the relation between self-enhancement and self-protection strategies with sexual behavior in adolescent. The hypothesis of this study was self-enhancement strategies (positivity embracement,favorable construals, andself-affirming reflections) predicted low sexual behavior in adolescent. Meanwhile, self-protection (defensiveness) predicted high sexual behavior in adolescent. Specifically, this study studied gender differences in the relation between self-enhancement and self-protection strategies with sexual behavior in adolescent.The amount subject of this study was 206 dating adolescent. Techniques used to collect the population sample was snowball sampling and the data was analyzed using regression analysis by SPSS. The result shown that self-enhancement strategies didn’t predict sexual behavior in adolescent. But, self-protection strategies (defensiveness) predicted sexual behavior in girl.

Keywords :self-enhancement and self-protection strategies, positivy embracement, favorable construals, self-affirming reflections, sexual behavior, gender, dating adolescent


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan pada Tuhan Yesus Kristus atas limpahan berkat dan pendampingan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Dalam penyelesaikan skripsi yang penuh dengan lika- liku dan jatuh bangun, Tuhanlah yang menguatkan penulis untuk tetap berjuang menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari ada banyak pihak yang telah berkontribusi besar hingga skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr.Priyo Widianto, M. Si sebagai dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas kesabaran, perhatian, kerjasama, pendampingan, dan dukungan yang tiada henti diberikan hingga skripsi ini dapat selesai pada waktu yang telah ditentukanNya.

4. Ibu Debri Pristinella selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Seluruh dosen psikologi yang telah memberikan ilmu dan inspirasi kehidupan yang berguna untuk bekal perjalanan penulis selanjutnya, 6. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Giek,

terimakasih atas keramahan dan pelayanan yang hangat selama menimba ilmu di Fakultas Psikologi.


(13)

xi

7. Subjek penelitian yang telah bersedia untuk menyediakan waktunya terlibat dalam penelitian ini.

8. Bapak dan Ibu, terimakasih atas doa yang senantiasa dipanjatkan dan dukungan yang senantiasa diberikan untuk penulis. Skripsi ini merupakan salah satu cara dan bentuk terimakasih penulis atas segala ketulusan dan kebaikan yang tiada henti Bapak dan Ibu berikan.

9. Mas Agri, terimakasih atas kasih, dukungan, semangat, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis.

10.Untuk Alm. Simbah Katarina Sutriyati terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini di detik- detik terakhir hidup mbah. Terimakasih juga untuk Simbah Sudiran atas doa dan dukungannya.

11.Seseorang yang hadir dan memberi warna spesial dalam kehidupan penulis, terima kasih Ignatius Mayo Aquino Pang untuk dukungan, semangat, perhatian, dan pengertian yang diberikan kepada penulis. 12.Teman- teman penelitian payung, Mbak Haksi, Mbak Fiona, Mbak Dita,

Mbak Martha, Mbak Ditha, Dara, Nathan, Marlina, Vita, Rosa, dan Riska, terimakasih untuk kebersamaan, perjuangan, persahabatan, suka duka, canda tawa, dan pengalaman hidup yang tak terlupakan. Kalian dan pengalaman bersama kalian sungguh berharga dan membentuk penulis menjadi seseorang yang sungguh lebih baik.

13. Teman- teman Cucok Rumpi Dara, Putri, Anita,Vivi, dan Hervy terimakasih atas kebersamaan dan persahabatan yang telah terjalin selama


(14)

xii

ini. Bersyukur dapat mengenal dan menjalin persahabatan dengan kalian, Semoga kebersamaan dan persahabatan ini untuk selamanya,

14.Teman – teman penulis semasa sekolah, Siska, Dara, Lina, Nia, Siwi, Widya, Adit, Nane, Melo, Sesil dan Thita, terimakasih atas perhatian, dukungan, dan persahabatan yang telah terjalin selama ini. Beruntung dan bangga dapat memiliki teman- teman yang selalu ada untuk penulis hingga saat ini.

15.Teman- teman kos Dewi 1, Rita, Dara, dan spesial untuk Uci, terimakasih untuk canda tawa, dukungan di saat penulis mulai menyerah untuk menyelesaikan skripsi ini , dan kebersamaan berbagi kisah dan rasa selama 4 tahun ini. Semoga persahabatan ini tetap berlanjut walaupun kelak kita berada dalam tempat yang berbeda.

16.Teman- teman KKN kelompok 29, Adit, Andrew, Nino, Fenti, Lisa, Mela, Ayuk, Cilla, dan Sari, terimakasih untuk kebersamaan dan persahabatan yang terjalin tidak hanya selama KKN, tetapi masih berlanjut hingga saat ini.

17.Seluruh teman- teman angkatan 2011, terimakasih untuk kebersamaannya selama ini.

18.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas doa dan dukungannya.


(15)

xiii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kesempurnaan. Oleh karena itu,sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Semoga karya ini dapat berguna bagi masyarakat dan para pembaca.

Yogyakarta, Juli 2015 Penulis


(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT ...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ...xviii

DAFTAR GAMBAR ...xix

DAFTAR LAMPIRAN ...xx

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...7

C. Tujuan Penelitian...7

D. Manfaat Penelitian...7

1. Teoretis...8


(17)

xv

BAB II LANDASAN TEORI ...10

A. Seksualitas...10

1. Perilaku Seksual...10

2. Perilaku Seksual dalam Relasi Romantis...10

3. Perilaku Seksual pada Remaja...11

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual...12

5. Bentuk- Bentuk Perilaku Seksual pada Remaja...17

6. Dampak Tingginya Perilaku Seksual pads Remaja...19

7. Pengukuran Perilaku Seksual...20

B. Self-Motive...20

1. Pengertian...20

2. Jenis Self-Motive...21

C. Self-enhancement sebagai Self-Motive yang Paling Sering Digunakan...23

1. Jenis self-motive ‘self-enhancement’...24

2. Strategi self-enhancement dan self-protection...25

3. Pengelompokan strategi self-enhancement dan self-protection...27

4. Dampak self-motive ‘self-enhancement’...31

5. Perbedaan Budaya dalam Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection...33

6. Perbedaan Gender dalam Strategi Self-Enhancement, Self-Protection, dan Perilaku Seksual...35


(18)

xvi

D. Kaitan Antara Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dan Perilaku

Seksual Pada Remaja...39

E. Hipotesis...40

BAB III METODE PENELITIAN...48

A. Jenis Penelitian...48

B. Variabel Penelitian ...48

C. Definisi Operasional...48

1. Perilaku Seksual...48

2. Self- Enhancement dan Self- Protection...49

D. Subjek Penelitian...51

E. Prosedur Pengumpulan Data...52

F. Metode Dan Alat Pengumpul Data...54

1. Metode ...54

2. Alat Pengumpulan Data ...54

G. Validitas Dan Reliabilitas...61

1. Validitas Skala ...61

2. Seleksi Item...63

3. Reliabilitas...64

H. Metode Analisis Data ...67

1. Uji Prasyarat Analisis...67


(19)

xvii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...69

A. Persiapan Penelitian...69

1. Uji Coba Alat Ukur...69

2. Penerjemahan Skala...70

B. Pelaksanaan Penelitian...71

C. Gambaran Demografis Subjek Penelitian...71

D. Analisis Deskriptif...72

1. Analisis Deskriptif terkait strategi self-enhancement dan self-protection...72

2. Analisis Deskriptif Terkait Perilaku Seksual...74

E. Hasil Penelitian...75

1. Uji Asumsi...75

2. Uji Hipotesis...83

F. Pembahasan...87

G. Keterbatasan Penelitian...92

BAB V Kesimpulan Dan Saran ...93

A. Kesimpulan...93

B. Saran ...94

DAFTAR PUSTAKA ...97


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Blueprint skala perilaku seksual sebelum uji coba...55 Tabel 2. Blueprint Self- Enhancement and Self- Protection Scale (Short Form)..60 Tabel 3. Blueprint Skala Perilaku Seksual Sesudah Uji Coba...64

Tabel 4. Hasil rata-rata subjek pada skala self-enhancement dan self-protection..72 Tabel 5.Hasil rata-rata subjek pada skala Perilaku Seksual...74 Tabel 6.Tabel Kolmogrov Sminorv strategi self-enhancement dan self-protection dengan perilaku seksual...75 Tabel 7. Uji Homogenitas strategi self-enhancement dan self-protection dengan perilaku seksual...77 Tabel 8. Hasil Test for Linearity Positivy Embracement dengan Perilaku

Seksual ...79 Tabel 9. Hasil Test for Linearity Favorable Construals dengan Perilaku

Seksual...79 Tabel 10. Hasil Test for Linearity Self-Affirming Reflections dengan Perilaku Seksual...80 Tabel 11. Hasil Test for Linearity Defensiveness dengan Perilaku Seksual...80 Tabel 12. Uji multikolonieritas Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual...82 Tabel 13. Hasil Regresi Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual ...83 Tabel 14. Hasil Regresi Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual pada perempuan...85


(21)

xix

Tabel 15. Hasil Regresi Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual pada laki-laki ...86


(22)

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Jenis Self-Motive...22

Gambar 2. Bagan Jenis ‘Self-Motive’ ‘Self-Enhancement’...25. Gambar 3. Framework Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual pada Remaja...46 Gambar 4. Grafik normal P-P plot of regression standardized residual strategi self-enhancement dan self-protection dengan perilaku seksual...76

Gambar 5. Scatterplot Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual ...78

Gambar 6. Scaterplot Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dengan Perilaku Seksual...81


(23)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Pengukuran ...108

Lampiran B. Skala Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection...110

Lampiran C. Skala Perilaku Seksual...115.

Lampiran D. Seleksi Item Perilaku Seksual...116


(24)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika memasuki usia remaja, individu akan mengalami pubertas. Pubertas adalah suatu periode ketika kematangan fisik berlangsung pesat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh (Santrock, 2003). Kematangan fisik ini berupa matangnya kelenjar hipofisis yang merangsang pengeluaran hormon kelamin (Mönks dkk, 1996). Perubahan hormonal ini meningkatkan dorongan seksual pada remaja yang membutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007).

Dibandingkan generasi- generasi sebelumnya, perubahan hormonal ini berlangsung semakin awal (Santrock, 2003). Hal ini berdampak pada aktifitas seksual yang kemunculannya semakin dini (Santrock, 2003). Aktifitas seksual yang semakin dini menyebabkan tingginya tingkat perilaku seksual pada remaja (Hensaw, 2001). Tingginya perilaku seksual pada remaja ini ditunjukkanoleh data hasilSurveiKesehatanReproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2007. Hasilsurvei menunjukkan bahwa prevalensi hubungan seksual pranikah pada remaja laki- laki meningkat sebanyak 1,8 % dan perempuan 0,2 % dibandingkan pada survei sebelumnya pada tahun 2003. Hasil SKRRI tahun 2007 ini menunjukkan bahwa 6% remaja laki-laki mengatakan pernah melakukan hubungan seksual dan 1% remaja perempuan mengatakan pernah melakukan hubungan seksual (Lestary&Sugiharti,2011).


(25)

Data lain yang menunjukkan peningkatanperilaku seksual adalah tingginya kasus HIV/ AIDS. Di Propinsi Jawa Tengah, dari 14 kasus pada tahun 2000 menjadi 158 kasus pada tahun 2005. Proporsi terbesar kasus HIV terdapat pada golongan umur 20-24 tahun yang tergolong pada usia remaja (Hatmadji & Rochani, 1993).

Tingginya perilaku seksual pada remaja tersebut dapat menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan(Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand,2001) dan tertular penyakit seksual (Feldman & Rosenthal, 2002). Padahal, kehamilanusia remaja merupakan kehamilan dengan risiko tinggi. Data menunjukkanbahwa angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi pada kehamilan usia tersebut 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan pada wanita dewasa (Affandi, 1992).

Selain dampak fisik, perilaku seksual yang tinggi pada remaja memiliki dampak sosial dan psikologis. Secara sosial, perilaku seksual yang tinggi dapat berdampak pada cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya (Moore & Roosenthal, 2006; Sarwono, 2003). Secara psikologis, dampak yang diakibatkan oleh tingginya perilaku seksual pada remaja adalah perasaan bersalah, depresi, perasaan takut, berdosa dan marah (Donahue, D'Onofrio, Bates, Lansford, Dodge, & Pettit, 2010; Sarwono, 2003).Dampak tingginya perilaku seksual pada remaja juga diperparah dengan kondisi fisik, kognitif dan emosional mereka yang juga sedang berkembang pesat. Keadaan tersebut membuat tingginya perilaku seksual yang dilakukan pada usia remaja akan mempengaruhi suasana hati dan perkembangan otak mereka hingga menjadi dewasa (Wahyudi, 2015).


(26)

Faktabahwaperilakuseksual remaja memiliki prevalensi yang tinggi dan mengingat besarnya bahaya yang ditimbulkan, maka dibutuhkan pencegahan terhadap perilaku seksual remaja (Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand,2001).

Selama ini telah banyak dilakukan psikoedukasi untuk mencegah perilaku seksual pada remaja (Kirby, Laris, & Rolleri, 2007). Psikoedukasi yang dilakukan meliputi, pengajaran mengenai nilai- nilai personal dan sikap, peningkatan efikasi diri, dan pencarian informasi yang positif terhadap diri atau motifself-enhancement(Mann, Hosman, Schaalma, & de Vries, 2004). Terkait dengan relasi, psikoedukasi yang dilakukan meliputi pengajaran tentang persepsi nilai dan perilaku teman sebaya, pengajaran mengenai komunikasi yang baik, dan cara menjalin hubungan yang baik dengan orang tua (Kirby, Laris, & Rolleri, 2007;

Tangneey, Baumeister, & Bushman, 2004).Selain itu, psikoedukasi yang dilakukan juga memberikan pengetahuan mengenai isu- isu seksualitas seperti persepsi risiko dan konsekuensi yang akan dihadapi ketika melakukan hubungan seksual dan memberikan informasi mengenai kemungkinan lain yang dapat memediasi perilaku seksual yang tinggi seperti alkohol dan narkoba (Kirby, Laris, & Rolleri, 2007; Tangneey, Baumeister, & Bushman, 2004).

Pada dekade ini, psikoedukasi untuk mengurangi munculnya perilaku

seksual lebih banyak berfokus pada peningkatan motif self-enhancement

(Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006). Hal ini disebabkan motif self-enhancement merupakan motif yang paling kuat, paling sering digunakan, dan yang paling dapat meningkatkan harga diri pada individu (Goodson, Buhi, & Dunsmore,


(27)

2006). Sementara beberapa penelitian menyebutkan harga diri merupakan fakor protektif munculnya perilaku seksual.

Dengan meningkatkan harga diri melalui motif self-enhancement, diharapkan remaja menjadi kurang terlibat dalam perilaku seksual. Motif self-enhancement merupakan hasrat untuk mengetahui informasi positif mengenai dirinya (Crisp & Turner, 2010). Tujuan dari motif self-enhancement adalah untuk merasa baik mengenai dirinya dan meningkatkan harga diri pada individu (Baumeister & Bushman, 2008; Crisp & Turner, 2010). MenurutAsel, Lievens, & Levy (2007) dan Sedikides & Strube (1997) untuk mendapatkan tujuan tersebut, individu dapat melakukan self-enhancement (meningkatkan pandangan positif terhadap diri)dan self-protection (menghindari pandangan negatif terhadap diri).

Menurut Hepper, Gramzow, & Sedikides (2010) terdapat 3 strategi yang dilakukan orang untuk self-enhancement. Ketiga strategi tersebut adalah positivity embracement, favorable construals, dan self-affirming reflections. Positivity embracementadalah strategi untuk mencari timbal balik yang positif, favorable consrtuals adalah strategi kognitif untuk menginterpretasi dunia secara positif, dan self-affirmation reflections adalah strategi untuk menegaskan hal positif yang dimiliki individu. Selain itu, terdapat satu buah strategi yang dilakukan individu untuk self-protection yaitu defensiveness.Defensiveness adalah strategi untuk menghindari, meminimalkan, dan mengurangi timbal balik yang negatif.

Akan tetapi, psikoedukasi berbasis peningkatan motif self-enhancementyang telah dilakukan dianggap kurang efektif (Crocker; 2002;


(28)

Exline, Baumeister & Bushman, 2004; Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006:). Hal ini mungkin disebabkan karena hubungan antara melihat diri secara positif dan perilaku seksual pada remaja masih belum menemukan kesimpulan (Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006; Crisp & Turner, 2010; Dawson, Shih, de Moor, & Shrier 2008; Dunsmore, 2006; Neumark-Sztainer,Story, Prancis, & Resnick, 1997; Shrier et al, 2001). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peningkatan persepsi positif terhadap diri berhubungan dengan berkurangnya perilaku seksual (Dawson, Shih, de Moor, &Shrier 2008; Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand, 2001), sementara beberapa penelitian lain tidak menemukan hubungan di antara kedua hal tersebut (Neumark-Sztainer, Story, Prancis, & Resnick, 1997; Shrier et al, 2001).

Selain itu, menurut peneliti psikoedukasi berbasis peningkatan motif self-enhancement (King, Vidourek, Davis& McClellan, 2002; Mann, Hosman, Schaalma, &de Vries, 2004) menjadi kurang efektif mungkin karena psikoedukasi yang dilakukan terlalu berfokus pada self-enhancement. Jarang ditemukan psikoedukasi berbasis motif self-enhancement yang melibatkan pengurangan motif self-protection. Padahal, peningkatan motif self-enhancement seringkali juga dilakukan dengan strategi self-protection (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Individu yang cenderung menggunakan strategi self-protection hanya mau mengetahui hal positif mengenai dirinya dan menolak pandangan yang negatif mengenai dirinya (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013; Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010).


(29)

Individu melakukan banyak defense untuk menghindari pandangan megatif terhadap dirinya (Baumeister, 1998; Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Individu yang melakukan self-protection dengan melakukan banyak defense tentunya menjadi individu yang tidak sehat secara psikologis. Ketika individu tersebut banyak melakukan motif self-enhancement dengan cara meningkatkan pandangan positif terhadap diri namun tidak mengurangi defense yang biasa dilakukan, individu akan cenderung menjadi orang yang narsistik (Foster, Shrira, & Campbell, 2006). Terkait dengan perilaku seksual, individu yang narsistik akan cenderung lebih terlibat dalam perilaku seksual karena individu tersebut merasa spesial dan sangat yakin bahwa ketika terlibat dalam perilaku seksual dirinya tidak akan hamil (Crisp & Turner, 2010). Hal itulah yang mungkin menjadi alasan tidak efektifnya psikoedukasi untuk mengurangi perilaku seksual yang terlalu berfokus pada peningkatan self-enhancement, namun tidak mengurangi self-protection. Walaupun demikian, penjelasan di atas memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji gagasan terkait strategi self-enhancement dan self-protectionuntuk mengurangi perilaku seksual. Penelitian ini dilakukan untuk menguji keterkaitan antara strategi self-protection dan self-enhancement dengan perilaku seksual. Secara lebih spesifik, penelitian ini ingin melihat keterkaitan antara strategi self-enhancement (positivity embracement, favorable construals, self-affirming reflections) dan self-protection (defensiveness) dengan perilaku seksual. Penelitian ini melibatkan strategi self-protection dengan harapan akan mendapatkan data yang jelas mengenai hubungan antara motif self-enhancement dengan perilaku seksual secara menyeluruh tidak


(30)

hanya hubungan antara self-enhancement dan perilaku seksual seperti pada penelitian-penelitian sebelumnya (Dawson, Shih, de Moor, &Shrier 2008;

Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand, 2001; Neumark-Sztainer,Story, Prancis, & Resnick, 1997; Shrier et al, 2001). Dengan demikian, penelitin ini diharapkan dapat menjelaskan relasi antara motif self-enhancement dengan perilaku seksual sehingga bisa menjadi masukan bagi psikoedukasi berbasis motif self-enhancement untuk mengurangi perilaku seksual. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengetahui penyebab psikoedukasi peningkatan motif self-enhancement yang dilakukan selama ini kurang efekif dan dapat dijadikan saran untuk psikoedukasi selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, selanjutnya ditentukan rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana keterkaitan antara strategi self-enhancement dan self-protection dengan perilaku seksual pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keterkaitan antara strategi self- enhancement dan self-protection dengan perilaku seksual pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa manfaat teoretis dan manfaat praktis.


(31)

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat berkontribusi dalam menjelaskan hubungan antara motif self-enhancement dan perilaku seksual remaja yang selama ini belum jelas. Hal ini disebabkan belum ditemukan kesimpulan antara peningkatan motif self-enhancement dengan perilaku seksual. Selain itu, penelitian ini juga memberikan sebuah kontribusi untuk penelitian lebih lanjut mengenai strategi self-enhancement dan self-protection serta perilaku seksual pada remaja. Penelitian ini juga dapat memberikan literatur tambahan dalam studi tentang psikologi khususnya dalam lingkup Psikologi Sosial dan Psikologi Klinis.

2. Manfaat Praktis

Bagi remaja, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk memahami mengenai peranan strategi self-enhancement dan self-protection dalam perilaku seksual. Dengan demikian, mereka dapat lebih mengenali diri mereka dan lebih mampu mengendalikan perilaku seksual mereka.

Bagi pemerhati remaja, selama ini psikoedukasi berbasis motifself-enhancement kurang efektif. Psikoedukasi mengenai motif self-enhancementdirasa kurang efektif karena belum menemukan kesimpulan antara keterkaitan keduanya dan selama ini psikoedukasi hanya berfokus pada strategi self-enhancement. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk melakukan pelatihan dan pendampingan pada remaja. Adapun pelatihan dan pendampingan tersebut terkait dengan


(32)

penyusunan psikoedukasi berbasis strategi self-enhancement dan self-protectionuntuk membuat remaja lebih dapat mengendalikan perilaku seksual mereka.Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman mengenai perilaku seksual pada remaja


(33)

10 BAB II LANDASAN TEORI

A. Seksualitas

1. Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah aktivitas yang disertai dengan tanda fisiologis dari gairah seksual yang melibatkan tubuh dalam ekspresi dari erotis dan rasa kasih sayang (Rathus, Nevid, & Pearson, 2008). Menurut Sarwono 2003, perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual.

2. Perilaku Seksual dalam Relasi Romantis

Dalam relasi romantis, perilaku seksual bersifat meningkat atau progresif (Broderick, 2003), mulai dari foreplay yaitu interaksi fisik yang secara seksual dapat menstimulasi dan merupakan tahapan awal dari hubungan seksual, diikuti dengan berciuman, bersentuhan, menstimulasi dada, oral-genital-stimulation, dan hubungan seksual. Berciuman, menyentuh organ genital, dan oral-genitalcontact dapat menjadi perilaku


(34)

seksual yang berdiri sendiri dantidak selalu sebagai pendahulu hubungan seksual (Rathus, Nevid, & Pearson, 2008).

Dalam perilaku seksual, penentu utama dari gairah seksual dan respon seksual adalah perasaan pasangan dan kualitas dari hubungan alih-alih teknik yang digunakan (Colson et al, 2006). Pasangan lebih mengalami kesenangan yang sama dalam perilaku seksual ketika mereka sensitif terhadap kebutuhan seksual masing-masing dan menggunakan teknik yang membuat keduanya merasa nyaman (Rathus, Nevid, & Pearson, 2008).

3. Perilaku Seksual pada Remaja

Perilaku seksual pada remaja meningkat selama beberapa tahun belakangan ini (Santrock, 2003).Meningkatnya perilaku seksual pada remaja menimbulkan kekhawatiran tentang tingginya risiko kehamilan yang tidak diinginkan (Aneesh & Simmons, 2007)dan penyakit menular seksual (Turner & Moses,1989), terutama penyakit yang menakutkan dan mematikan yaitu AIDS (Moore & Roosenthal, 2006). Terdapat hasil penelitian yang menyebutkan bahwa banyak remaja yang mengabaikan risiko kehamilan dan tertular penyakit seksual (Timor & Listyaningsih, 2012).Hal ini terutama terjadi di negara berkembang atau negara-negara dengan tingkat kemisikinan yang tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan (Holschneider & Alexander 2003). Walaupun sudah ada banyak teknik kontrasepsi yang tersedia saat ini, akan tetapi tingkat


(35)

kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja menunjukkan bahwa mereka mengabaikan penggunanan kontrasepsi. Studi terbaru dari penggunaan kondom di banyak negara menunjukkan bahwa banyak anak muda menggunakannya secara tidak konsisten atau tidak menggunakannya sama sekali (Holschneider & Alexander 2003; Rosenthal et al 1998; Smith et al 2003.; Sneed et al. 2001).

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksualpada Remaja a. Internal

Perilaku seksual dapat disebabkan oleh faktor internal atau dari dalam diri individu sendiri. Faktor internal ini merupakan kumpulan faktor, termasuk kualitas, kemampuan, pengetahuan, sikap, dan perilaku, yang ada pada individu dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perilaku. Faktor internal ini dibagi menjadi biologis, kognitif, dan psikologis (Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand, 2001).

Secara biologis, remaja mengalami perubahan dalam hal seksual yaitu matangnya kelenjar hipofisis yang merangsang pengeluaran hormon kelamin (Mönks dkk, 1996). Perubahan hormonal ini meningkatkan dorongan seksual pada remaja yang membutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu (Sarwono, 2003). Selain itu, Hurlock (1990) mengungkapkan bahwa remaja mulai peduli dengan daya tarik seksual dan mulai


(36)

merasakan campuran cinta dan nafsu birahi. Daya tarik ini mendorong remaja untuk terlibat dalam hubungan yang lebih intens dengan orang lain baik sesama maupun lawan jenis atau sering disebut dengan pacaran (Collins, Welsh, & Furman, 2009). Adanya dorongan seksual dan kebutuhan untuk menjalin relasi yang lebih intens dengan orang lain membuat remaja menyalurkan dorongan seksual kepada pacar (Sarwono, 2003).

Dalam hal kognitif, remaja memiliki pemikiran idealistis. Remaja mulai memikirkan tentang standar-standar ideal bagi diri sendiri dan orang lain. Selain itu, mereka membandingkan diri sendiri dengan orang lain dengan standar-standar tersebut.Pada akhirnya, remaja menjadi dibingungkan dengan banyak standar ideal yang diadopsi. Selain itu, pemikiran remaja bersifat egosentris. Remaja dengan egosentris yang tinggi kemungkinan akan merasa bahwa dirinya spesial. Hal ini membuat remaja merasa bahwa dirinya unik dan dapat melakukan hubungan seksual tanpa takut akan kemungkinan hamil (Santrock, 2003).

Selain itu, faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah faktor psikologis. Pada masa remaja, remaja mengalami gejolak emosi yang pada umumnya disebabkan oleh adanya konflik peran dan sosial. Di satu pihak remaja sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak remaja masih harus terus mengikut kemauan orang tua. Remaja yang tidak dapat


(37)

mengembangkan kemandirian mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan dan dapat terlibat perilaku seksual yang tinggi. Adapun faktor psikologis lain yang dapat mempengaruhi adalah self efficacy, self esteem, psychological distress, agama, personal risk, vulnerability, dan morality of sex (Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand, 2001).

b. Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah keluarga, teman sebaya, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial budaya (Kotchick, Shaffer, Miller, &Forehand, 2001). Keluarga dapat mempengaruhi aktifitas seksual remaja melalui struktur keluarga dan proses keluarga.

Dalam variabel struktur keluarga, remaja yang tinggal dengan kedua orang tuanya merupakan faktor protektif terhadap perilaku seksual (Jemmot & Jemmot, 1992). Hal ini disebabkan remaja yang tinggal bersama orang tuanya jauh lebih diamati atau diatur dalam aktivitas sosialnya sehingga remaja kurang terlibat dalam perilaku seksual. Selain itu, terdapat penelitian yang menemukan hubungan antara Social Economy Status (SES) dengan risiko kehamilan pada remaja. Remaja yang hidup dalam kemiskinan akan cenderung memiliki pendidikan yang rendah. Hal ini menyebabkan kurangnya pengetahuan akan risiko yang ditimbulkan dari tingginya perilaku seksual sehingga remaja


(38)

menjadi lebih rentan akan kehamilan tidak diinginkan (Gordon, 1996; Roosa, 1997). Dalam variabel proses keluarga pengasuhan yang baik seperti kualitas hubungan, monitor yang dilakukan anggota keluarga terhadap perilaku seksual remaja, dan komunikasi dengan remaja dapat mengkontrol perilaku seksual pada remaja (Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand, 2001).

Selain dari faktor keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekolah juga dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Hal ini disebabkan teman sebaya dan lingkungan sekolah merupakan sarana remaja untuk mengembangkan identitasnya dan tempat remaja untuk beradaptasi ke dalam jaringan sosial yang kompleks (Wierson& Forehand, 1993). Oleh karena itu, teman sebaya dan lingkungan dapat mempengaruhi remaja untuk terlibat dalam perilaku seksual tertentu (Kotchick, Shaffer, Miller, & Forehand, 2001).

Faktor sosial budaya juga berperan pada perilaku seksual remaja. Menurut Moore & Roosenthal (2006) setiap budaya memiliki 'sexual script'. 'Sexual script' adalah pedoman perilaku seksual yang dinilai sebagai suatu hal yang diinginkan dalam budaya tertentu. Sexual script berisi perilaku seksual apa yang boleh dilakukan ,bagaimana melakukannya, dan dengan siapa melakukannya.


(39)

Remaja mengembangkan 'sexual script' pertama kali dari mendengarkan orang lain berbicara, menyerap budaya populer melalui menonton film, video atau televisi, membaca majalah dan buku. Dengan cara ini, remaja mengetahui perilaku seksual apa yang tepat dan perilaku seksual yang tidak pantas untuk dilakukan oleh seseorang dengan usia dan jenis kelamin tertentu. Oleh karena

itu, ‘sexual script’ ini dapat mempengaruhi perilaku seksual yang dilakukan dalam relasi pacaran remaja pada setiap budaya.

Di Indonesia sendiri terdapat ‘sexual script’ yang melarang adanya hubungan seksual pranikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan sebelum

menikah. Kegadisan seringkali dilambangkan sebagai “mahkota” atau “harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau “tanda kesetiaan suami”. Hilangnya kegadisan bisa berakibat pada

depresi walaupun tidak membawa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin (Sarwono, 2003).

Hubungan seks di luar perkawinan tidak hanya dianggap tidak baik, tetapi juga tidak boleh ada. Anggapan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran agama, yang pada gilirannya menyebabkan sikap negatif masyarakat terhadap seksualitas. Orang tua dan pendidik menjadi tidak mau terbuka atau berterus terang kepada anak-anak. Anak-anak tidak didik tentang seksualitas karena takut kalau-kalau anak-anak itu menjadi ikut-ikutan mau melakukan


(40)

hubungan seksual sebelum waktunya (sebelum menikah). Seksualitas menjadi tabu untuk dibicarakan walaupun dengan orang tuanya sendiri. Orang tua yang tidak membicarakan seksualitas dengan anaknya dan relasi orang tua dan anak yang berjarak membuat anak berpaling ke sumber-sumber lain yang tidak akurat, khususnya teman dalam usahanya untuk memahami tentang seksualitas.

5. Bentuk-Bentuk Perilaku Seksualpada Remaja

Menurut Levay & Valente (2006) dan Sarwono (2007) bentuk perilaku seksual meliputi:

a. Berpegangan tangan

Berpegangan tangan adalah saling memegang tangan pacar. Berpegangan tangan tidak menimbulkan rangsangan seksual yang kuat, namun biasanya muncul keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya.

b. Berpelukan

Berpelukan adalah meraih pacar ke dalam dekapan kedua tangan yang dilingkarkan.

c. Berciuman di pipi/ kening

Berciuma di pipi/ kening adalah melekatkan bibir ke pipi/ kening pacar.


(41)

d. Berciuman di bibir/ leher

Berciuman di bibir adalah saling melekatkan bibir. Terdapat dua jenis berciuman di bibir yaitu berciuman dengan bibir tertutup dan berciuman dengan bibir terbuka. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah disebut dengan frenchkiss. Terkadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam atau deep-kissing. Selain itu, juga terdapat ciuman di sekitar leher atau melekatkan bibir ke leher pasangan yang sering disebut dengan necking.

e. Menggerayangi/ digerayangi tubuh pacar dalam keadaan masih berpakaian

Menggerayangi/ digerayangi tubuh pacar dalam keadaan masih berpakaianadalah merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

f. Menggerayangi/ digerayangi tubuh pacar dalam keadaan tidak berpakaian

Menggerayangi/ digerayangi tubuh pacar dalam keadaan tidak berpakaianadalah merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan dalam kondisi telanjang.


(42)

g. Ditempel/ menempelkan tubuh dan/atau alat vital ke tubuh pacar Ditempel/ menempelkan tubuh dan/atau alat vital ke tubuh pacar meruupakan perilaku menempelkan dan menggesek-gesekkan organ kelamin. Perilaku ini juga sering disebut dengan petting.

h. Hubungan Seksual

Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.

6. Dampak Tingginya Perilaku Seksual pada Remaja

Secara psikologis, dampak yang diakibatkan oleh tingginya perilaku seksual pada remaja adalah perasaan bersalah, depresi, perasaan takut, berdosa dan marah (Sarwono, 2003). Sedangkan secara fisiologis dapat berdampak pada terganggunya kesehatan, risiko kehamilan dan kematian bayi yang tinggi, dan tertular penyakit seksual. Secara sosial dapat berdampak pada cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya (Sarwono, 2003).

Dampak tingginya perilaku seksual pada remaja diperparah dengan kondisi fisik, kognitif, dan mental emosional mereka sedang berkembang pesat. Keadaan tersebut membuat seringnya perilaku seksual yang


(43)

dilakukan pada usia remaja dapat mempengaruhi suasana hati dan perkembangan otak remaja sampai dewasa (Wahyudi, 2015).

7. Pengukuran Perilaku seksual

Peneliti menggunakan skala perilaku seksual yang dibuat sendiri oleh peneliti. Skala ini menanyakan kepada remaja mengenai perilaku seksual yang dilakukan bersama pacar selama 1 bulan terakhir mulai dari berpegangan tangan hingga berhubungan seksual.

Peneliti tidak menggunakan skala perilaku seksual yang sudah ada karena pada skala yang sudah ada terdapat kata-kata yang sulit dipahami dalam pertanyaan-pertanyaannya seperti pada Sexual Risk Survey (SRS) (Turchik & Garske, 2009). Selain itu, pada skala lain yaitu Adolescent Sexual Activity Index (ASAI) lebih mengukur pada perilaku seksual berisiko bukan pada perilaku seksual pada umumnya (Hansen, Paskett, & Carter, 1999).

B. Self-Motive

1. Pengertian

Menurut Leary, 2006 self-motive adalah kecenderungan untuk membangun atau mempertahankan keadaan tertentu dari awareness(kesadaran diri), representation(representasi diri), atau self-evaluation(evaluasi diri).Menurut Anseel, Lievens, & Levy, 2007, self-motive adalah cara orang mencari informasi mengenai dirinya,


(44)

menginterpretasikan ketepatan informasi tersebut,dan bermaksud untuk merubah perilakunya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa self-motive adalah kecenderungan untuk membangun atau mempertahankan keadaan tertentu dari diri dengan cara mencari informasi mengenai dirinya, menginterpretasikan ketepatannya,dan bermaksud untuk merubah perilakunya.

2. Jenis Self-Motive

a. Self-assesment

Menurut Crisp & Turner (2010)self-assesment adalah hasrat untuk mengetahui siapa diri kita sebenarnya baik positif atau negatif. Sedangkan menurut Gaughan & Hogg (2008) self-assesment adalah motif untuk mencari informasi baru mengenai diri untuk menemukan seperti apa individu sesungguhnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa self-assesment adalah hasrat untuk mencari informasi yang sebenarnya mengenai diri kita.

b. Self-verification

Menurut Crisp & Turner (2010)self-verification adalah hasrat untuk mengkonfimasi hal-hal yang sudah kita percayai mengenai diri, sekalipun kita melihat diri secara negatif. Sedangkan, Leary (2006)mendefinisikann self-verificationsebagai kecenderungan orang untuk memilih dan mencari informasi yang konsisten dengan pandangan yang sudah ada terhadap diri mereka. Gaughan & Hogg


(45)

(2008) mendefinisikan self-verificationsebagai pencarian informasi dengan memeriksa dan mengkonfirmasi hal-hal yang sudah diketahui individu mengenai dirinya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa self-verification adalah pemilihan dan pencarian informasi yang sesuai dengan apa yang individu ketahui mengenai dirinya.

c. Self-enhancement

Menurut Crisp & Turner, 2010, self-enhancement adalah hasrat untuk mencari informasi positif mengenai diri. SedangkanGaughan & Hogg (2008) mendefinisikan self-enhancement sebagai motif untuk

mengembangkan dan meningkatkan gambaran diri yang

menyenangkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa self-enhancement adalah hasrat untuk mencari informasi yang postiif mengenai diri kita.

Gambar 1. Bagan JenisSelf-Motive Self-Motive

Self-Enhancement Self-Verification


(46)

C. Self-enhancement sebagai Self-Motiveyang Paling Sering Digunakan

Self-enhancement merupakan self-motive yang paling kuat dan paling sering digunakan (Baumeister & Bushman, 2008; Crisp & Turner, 2010; Gaughan & Hogg, 2008).Hal ini disebabkan kebanyakan orang ingin mendengar hal yang baik mengenai dirinya. Selain itu, self-enhancement memiliki daya tarik emosi yang kuat, sedangkan self-verification hanyamemiliki daya tarik kognitif. Individu memiliki keinginan untuk percaya dan menerima timbal balik yang konsisten dalam reaksi kognitif, tetapi secara emosional individu lebih menyukai sanjungan dan timbal balik yang positif. Selain itu, pengetahuan yang akurat (self-assesment dan self-verification) lebih berguna untuk membuat keputusan tetapi individu lebih senang untuk diterima orang lain (self-enhancement). Hal ini disebabkan, penerimaan orang lain memunculkan emosi positif yang kuat dan individu cenderung menyukainya (Baumeister & Bushman, 2008).

Selain itu, self-enhancement merupakan motif yang paling kuat karena self-enhancement dapat meningkatkan harga diri individu, sementara harga diri yang tinggi merupakan bekal individu untuk menjadi adaptif. Ketika individu memiliki harga diri yang tinggi maka individu tersebut dapat meregulasi dirinya secara efektif sehingga dapat menghadapi kejadian positif dan negatif dalam hidupnya dengan cara yang lebih membangun. Oleh karena itu, individu cenderung memiliki keinginan untuk mempunyai harga diri yang tinggi dan mencapai harga diri tersebut (Crisp & Turner, 2010).


(47)

1. Jenis self-motive ‘self-enhancement’

Individutermotivasi untuk self-enhancement karena ingin memiliki konsep diri yang positif (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Oleh karena itu, individu termotivasi untuk meningkatkan pandangan positif tentang diri (self-enhancement) dan melindungi diri dari pandangan negatif (self-protection) (Hepper & Sedikides, 2010).

Walaupun istilah “self-enhancement” merujuk pada upaya untuk mengejar pandangan diri yang positif (self-enhance), istilah tersebut juga merujuk pada upaya untuk menjaga atau melindungi pandangan positif terhadap diri yang sudah ada (self-protection) (Sedikides & Strube, 1997). Anseel, Lievens, & Levy (2007) juga menyatakan bahwa self-enhancement merupakan motivasi untuk memperbaiki konsep diri yang menyenangkan (self-enhance) dan melindungi konsep diri mereka dari informasi negatif (self-protect). Oleh karena itu, motive self-enhancement terbagi menjadi dua yaitu self-enhancement dan self-protection (Alicke & Govorun, 2005, Baumeister, 1998; Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010; Sedikides, Green, & Pinter, 2010).

a. Self-enhancement

Menurut Baumeister (1998) self-enhancement adalah upaya untuk mencapai pandangan terhadap diri yang positif. Menurut Hepper, Sedikides, & Cai (2013) self-enhancement adalah upaya untuk menjaga atau meningkatkan pandangan terhadap diri yang positif. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa


(48)

self-enhancement adalah upaya untuk meningkatkan pandangan positif terhadap diri.

b. Self-protection

Menurut Baumeister (1998)self-protection merupakan upaya untuk menghindari pandangan negatif terhadap diri. Menurut Hepper, Sedikides, & Cai (2013)self-protection adalah upaya untuk mengurangi atau meminimalkan pandangan terhadap diri yang negatif. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa self-protection adalah upaya untuk menghindari pandangan terhadap diri yang negatif.

Gambar 2. Bagan Jenis ‘Self-Motive’ ‘Self-Enhancement’

2. Strategi self-enhancement dan self-protection

Oleh karena pentingnya self-enhancement, individu mengembangkan strategi dan teknik untuk mengejar hal tersebut (Gaughan & Hogg, 2008). Peneliti-peneliti telah mendokumentasikan variasi atau strategi yang digunakan individu untuk self-enhance dan

Jenis ‘Self-Motive’‘Self -Enhancement’

Self-Enhancement


(49)

self-protect (Crisp & Turner, 2010; Greenwald, 1980; Sedikides, Skowronski, & Gaertner, 2004; Tesser, Crepaz, Collins, Cornell, & Beach, 2000 dalam Hepper & Sedikides, 2010). Adapun strategi-strategi tersebut adalah:

a. Self-affirmation: individu berusaha untuk menegaskan aspek positif pada dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan menyombongan diri atau melalui rasionalisasi. Self-affirmation terjadi ketika salah satu aspek dari harga diri diserang. Contoh: ada yang mengatakan seseorang adalah artis yang jelek, kemudian orang tersebut

mengatakan, “Walaupun saya artis yang jelek, namun saya adalah penari yang hebat” (Vaughan, 2008)

b. Self-presentation, merupakan usaha individu untuk secara sadar membuat kesan tertentu, yang biasanya menyenangkan untuk dirinya (Vaughan, 2008)

c. Self-serving bias adalah pengatribusia sukses pada kemampuan dan usaha individu, tetapi kegagalan diatribusikan pada faktor eksternal seperti nasib buruk dan dikaitkan dengan ketidakmungkinan (Crisp & Turner, 2010; Leary, 2007). Selain itu, individu juga memiliki memory bias. Individu lebih memiliki ingatan yang baik dalam informasi yang positif dibandingkan informasi yang negatif mengenai kepribadiannya (Crisp & Turner, 2010)

d. Better than average: individu cenderung mengevaluasi dirinya lebih positif dibandingkan dengan kebanyakan orang (Leary, 2007)


(50)

e. Unrealistic optimism: individu percaya bahwa mereka lebih bahagia di kehidupannya di masa depan (Robbinson & Riff dalam Myers & Smith, 2010).

f. Ingroup bias: individu merasa bahwa kelompoknya lebih baik dibanding kelompok lain (Crisp & Turner, 2010).

g. Social change strategi: individu bertanding dengan kelompok yang memiliki status tinggi untuk memperbaiki statusnya (Crisp & Turner, 2010)

h. Social creativity strategy: individu menemukan dimensi baru yang lebih baik untuk dibandingkan (Crisp & Turner, 2010)

i. Basking in reflected glory: individu mengaitkan kesuksesan orang lain yang dekat dengan dirinya walaupun individu tidak terlibat dalaman kesuksesan tersebut (Crisp & Turner, 2010)

j. Implicit self-enhancement: individu mengevaluasi hal-hal positif yang berasosiasi dengannya (Leary, 2007)

k. Bias blind spot: kecenderungan individu untuk berpikir bahwa orang lain lebih melakukan bias dibanding dirinya (Leary, 2007)

3. Pengelompokan strategi self-enhancement dan self-protection

Peneliti telah berfokus untuk mempelajari strategi self-enhancement dan self-protection secara terpisah. Selain itu, peneliti juga hanya mengukur strategi satu per satu (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Meneliti strategi satu per satu mengaburkan kaitan


(51)

antar strategi. Oleh karena itu, dipandang baik untuk mengelompokkan strategi-strategi tersebut dan tipe individu yang lebih mengintemplementasi strategi tertentu. Dengan demikian, dapat lebih dipahami manifestasi self-enhancement dan self-protection secara keseluruhan (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010).

Hepper, Gramzow, & Sedikides (2010)menemukan bahwa terdapat tiga strategi yang sering digunakan orang untuk self-enhance dan satu strategi yang sering digunakan orang untuk self-protect. Tiga strategi yang sering digunakan orang untuk self-enhance, yaitu:

a. Positivity embracement adalah strategi mencari timbal balik yang positif(Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Menurut Hepper, Sedikides, & Cai (2013) positivity embracement adalah membuat orang lain memberikan timbal balik positif terhadap dirinya. Oleh karena itu, positivity embracement adalah stategi untuk mencari timbal balik yang positif. Strategi ini meliputi aspek perilaku untuk mencari timbal balik positif dan aspek kognitif untuk memiliki pandangan terhadap diri yang positif dengan menggunakan timbal balik positif tersebut. Contoh dari strategi positivity embracement adalah orang secara selektif berinteraksi dengan orang lain yang menyediakan timbal balik yang positif, secara berhati-hati mempresentasikan kualitas terbaik dalam berinteraksi, dan mengambil keuntungan personal untuk timbal balik positif atau kesuksesan (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).


(52)

b. Favorable construals adalah strategi untuk menyediakan interpretasi mengenai dunia dan kejadian yang relevan dengan diri(Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Sedangkan, menurutHepper, Sedikides, & Cai, 2013favorable construals adalah mengatrribusikan hasil yang positif ke faktor personal, tetapi mengatribusikan hal yang negatif ke faktor eksternal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa favorable construals adalah strategi untuk menginterpretasi dunia secara positif.Favorable construals melibatkan aspek kognitif dan muncul di situasi yang ambigu (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Contoh dari favorable contruals yaitu kebanyakan orang percaya mereka lebih baik dibandingkan rata-rata dalam sikap personal yang penting, berekspektasi memiliki masa depan yang menyenangkan dibandingkan orang lain, dan menginterpretasi timbal balik yang ambigu sebagai sanjungan atau pujian (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).

c. Self-Affirming Reflections adalah menegaskan hal positif yang dimiliki individu. Hal ini digunakan untuk menghadapi ancaman diri masa kini atau masa lalu (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). Menurut Hepper, Sedikides, & Cai, 2013 self-affirming reflections adalah menjaga integritas diri secara kognitif dalam menghadapi ancaman diri masa kini atau masa lalu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa self-affirmation reflections adalah untuk


(53)

menegaskan hal positif yang dimiliki individu untuk menghadapi ancaman pada masa kini dan masa lalu.Strategi ini merupaka aspek kognitif.Contoh dari Self-Affirming Reflections adalah orang membawa dalam pikiran nilai-nilai mereka saat mengalami kegagalan, membangun kemungkinan alternatif yang buruk yang mungkin akan terjadi berlawanan dengan fakta, dan membandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan pada kehidupan masa lalunya. (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).

Satu strategi yang digunakan individu untuk self-protection adalah:

d. Defesiveness merupakan strategi menghindari, meminimalkan, dan mengurangi self-relevance dari timbal balik yang negatif dan ancaman. (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010).Menurut Hepper, Sedikides, & Cai, 2013, defensivenessadalah strategi mempersiapkan dan menangkis/ membelokkan timbal balik yang negatif. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa defensiveness

adalah strategi menangkis timbal balik yang negatif.

Defensiveness meliputi aspek kognitif dan perilaku. Kognitif berupa melakukan penyangkalan terhadap timbal balik negatif dan perilaku berupa menyediakan alasan untuk mengantisipasi kegagalan(Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).


(54)

4. Dampak self-motiveself-enhancement’

Motif self-enhancement bisa memiliki dampak menguntungkan dan merugikan (Kwan et al. 2004; Paulhus et al. 2003).

a. Dampak positif

Beberapa dampak positif dari motif

self-enhancementadalah memberikan mood positif, menumbuhkan resiliensi dan penyesuaian yang lebih baik setelah kejadian yang buruk sehingga motif self-enhancement bermanfaat untuk coping terhadap kejadian traumatis (Bonanno, Renicke, & Dekel dalam Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010).

Selain itu, motif self-enhancement berkaitan dengan dampak psikologis yang positif. Motif self-enhancement secara positif berhubungan denganketerbukaan, optimisme, perencanaan, dan penyelesaian masalah. Selain itu, motif self-enhancement secara positif berhubungan dengan relasi yang positif dan dukungan keluarga (Gramzow, Sedikides, Panter, & Insko, 2000; Sedikides et al., 2004; Taylor et al., 2003). Motif self-enhancement juga berhubungan secara positif dengan kesehatan psikologis sepertisubjective well beingdan harga diri (Bonano, Rennicke, &Dekel dalam Alicke & Sedikides, 2009). Sebaliknya, motif self-enhancement berhubungan negatif dengan psychological distress seperti, depresi, kecemasan, neurotik, dan permusuhan (Gramzow, Sedikides, Panter, & Insko, 2000; Sedikides et al., 2004; Taylor et


(55)

al., 2003a). Oleh karena itu, motif self-enhancement menghasilkan perilaku yang lebih efektif dan kesuksesan yang lebih besar (Taylor & Brown dalam Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010). b. Dampak Negatif

Selain dampak positif, self-enhancement juga memberikan dampak negatif, seperti self-handicapping(Hepper, Sedikides, & Cai, 2013)dapat menghalangi performansi (Zuckerman & Tsai, 2005) dan menghindari informasi yang negatif dapat menghalangi self-improvement (Sedikides & Luke, 2007) yang menyebabkan kegagalan untuk belajar dari kesalahan atau kegagalan untuk meningkatkan kualitas diri (Colvin & Griffo,2007; Sedikides, 1999; Sedikides & Luke, 2007).

Dalam relasi interpersonal, motif self-enhancement dapat merusak hubungan antar individu. Hal tersebut terjadi ketika orang lain tidak setuju dengan persepsi dan opini individu, maka individu cenderung mengasumsikan bahwa orang lain memperdaya, bias atau menolak, dan mengajak konflik (Colvin & Griffo,2007; Sedikides, 1999; Sedikides & Luke, 2007). Selain itu, motif self-enhancement juga berkaitan dengan kegagalan untuk mempunyai rasa memiliki yang aman (self-belonging) sehingga individu gagal dalam membentuk dan mempertahankan hubungan dekat seperti, persahabatan dan relasi romantis) (Erikson, 1963; Hays, 1988;Wright, 1999). Hal ini disebabkan karena individu cenderung


(56)

melihat positif diri sendiri dan menyalahkan pasangan ketika terjadi konflik dalam hubungan (Green, Pinter, & Van Tongeren, 2009).

5. Perbedaan Budaya dalam Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection

Budaya individualistik lebih menekankan pada pencapaian dan independensi sedangkan budaya kolektivis menekankan pada menyesuaikan serta tidak melanggar norma dan kewajiban sosial. Oleh karenanya, strategi self-enhancement mungkin lebih populer di budaya individualistik, sedangkan self-protection lebih populer di budaya kolektivis (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).

Strategi self-enhancement dan self-protectiondi Cina sesuai dengan empat struktur faktor seperti di sampel Barat (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013). Hasil penelitian menunjukkan konsistensi dalam penggunaan strategi self-enhancement dan self-protection, yaitu: positivity embracement, favorable construals s, self-affirming reflectionss, dan defensiveness (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa motif untuk meningkatkan dan melindungi pandangan yang positif terhadap diri secara umum terjadi pada semua individu dengan budaya yang berbeda. Namun, strategi individu untuk memuaskan motifself-enhancement bervariasi tergantung pada norma,


(57)

tekanan, dan ekspektasi dari konteks sosial dan budaya (Alicke & Sedikides, 2009; Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).

Dampak budaya dalam self-enhancement dan self-protection terlihat dalam perbedaan penggunaan strategi tersebut. Dibandingkan partisipan UK, partisipan Cina lebih rendah dalam menggunakan strategi positivity embracement tetapi tinggi dalam strategi defesiveness. Pola ini bertolakbelakang dengan penelitian sebelumnya bahwa orang Asia Timur cenderung terlibat self-criticism (lawan dari self-protection) setelah kegagalan Hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa orang dari Asia Timur lebih sensitif terhadap feedback yang negatif dan melihatnya sebagai self-relevant dibandingkan orang Barat, sehingga mereka mungkin lebih terlibat baik dalam self-improving dan self-protection. Kemungkinan kedua adalah konteks yang diteliti, orang Jepang menunjukkan self-criticismketika menerima timbal balik di situasi yang tidak kompetitif (merasa memiliki ikatan afektif dengan partner), self-enhancement dalam situasi kompetitif (mereka punya jarak dengan partner). Oleh karena itu, self-protectiondilakukan oleh orang Timur ketika tidak beracuan pada orang lain sehingga kecenderungan self-protection dalam konteks tidak terlibat ikatan interdependen (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013). Diluar dugaan, bahwa partisipan Cina melaporkan tingginya penggunaan favorable construals (strategi self-enhancement). Hal ini disebabkan favorable construals lebihprivat dibandingkan strategi positivity embracement. Cina kurang


(58)

suka dibanding barat untuk self-enhancement yang eksplisit, interpersonal dan melanggar norma (contoh: positivity embracement). Namun, lebih menyukai kognitif, intrapersonal, dan privat. Akhirnya, tidak ada perbedaan antara Cina dan UK dalam self-affirming reflections. Proses keseluruhan dari self-affirmation beroperasi di jalan yang sama antar budaya (Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).

6. Perbedaan Gender dalam Strategi Self-Enhancement, Self-Protection, dan Perilaku Seksual

Penelitian mengenai strategi self-protection yaitu defensiveness selama ini belum menemukan kesimpulan. Searcy & Eisenberg (1992) menemukan bahwa ketika individu mendapatkan bantuan dari orang lain, perempuan kurang defensive dibandingkan dengan laki-laki. Stamp, Vangelisti, & Daly (1992) menemukan bahwa ketika individu diminta untuk mengingat interaksi khusus di saat individu lebih defensive, perempuan lebih melakukan defensiveness dibandingkan laki-laki. Selain itu, juga ditemukan bahwa laki-laki cenderung lebih melakukan defensiveness terkait dengan hal-hal fisik dan mental dan perempuan lebih defensive terkait dengan penampilan dan berat badan (Futch & Edwards, 1999). Akan tetapi, sejauh ini peneliti belum menemukan mengenai perbedaan gender dalam strategi self-enhancement.


(59)

Penelitian lain mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan cenderung melakukan defensiveness. Perbedaannya terletak pada konteks terjadinya defensiveness. Oleh karena laki-laki lebih berfokus pada pencapaian dan perempuan lebih berfokus pada relasi, laki-laki cenderung akan melakukan defensiveness terkait dengan pencapaian dan perempuan lebih terkait dengan relasi (Guimond, Chatard, Martinot, Crisp, & Redersdorff, 2006; Williams & Best’s , 1982).

Dalam perilaku seksual, laki-laki lebih permisif terkait dengan perilaku seksual (Oliver & Hyde, 1993). Hal ini disebabkan terdapat ketidaksetaraan gender, laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan, sehingga laki-laki berkerja dan perempuan berada di rumah. Ketidaksetraan gender ini membuat perempuan merasa kurang bernilai dibandingkan dengan laki-laki dan perempuan merupakan objek pemuasan seksual laki-laki (Hekma dalam Oliver & Hyde, 1993). Perempuan juga lebih berorientasi dengan kualitas hubungan dan kedekatan emosi, sedangkan laki-laki lebih berpusat pada tubuh (Reiss, 1960). Selain itu, laki-laki juga lebih sering melakukan mastrubasi dibandingkan perempuan (Oliver & Hyde, 1993). Berdasarkan teori sociobiology ini disebabkan laki-laki secara rutin memproduksi sperma sedangkan perempuan hanya mengeluarkan satu telur setiap bulan sehingga mambuat laki-laki lebih banyak terdorong untuk melakukan perilaku seksual sedangkan perempuan hanya memiliki saatu telur


(60)

sehingga cenderung menjaganya dan tidak terdorong untuk terlibat perilaku seksual (Trivers, 1972).

7. Pengukuran Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection

Sejauh ini peneliti baru menemukan 1 alat ukur untuk mengukur strategiself- enhancement dan self-protection. Alat ukur tersebut adalah Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale yang dikembangkan oleh Hepper, Gramzow, dan Sedikides (2010). Terdapat dua versi Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale, yaitu:

a. Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale

Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scalemerupakan skala yang menilai perbedaan individu dalam kecenderungan untuk terlibat dalam berbagai macam perilaku yang merefleksikan strategi untuk self –enhance dan self-protect. Skala ini dikembangkan oleh Hepper, Gramzow, dan Sedikides (2010) yang terdiri atas 60 pernyataan yang menggambarkan pola tertentu dari pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Responden diminta untuk menjawab dari skala 1 yang berarti tidak mencerminkan karakteristik responden) sampai 6 (sangat mencerminkan karakteristik responden). Skala ini mengukur 3 strategi self-enhancement yaitu positivity embracement, favorable construals, dan self-affirming reflections. Skala ini juga mengukur 1 strategi self-protection yaitu defensiveness.


(61)

b. Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale (Short Form) Skala ini digunakan oleh Hepper, Sedikides, dan Cai (2013). Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale (Short Form) ini merupakan pengembangan dari Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale. Dari skala Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale yang terdiri dari 60 pernyataan kemudian dijadikan 20 pernyataan sehingga disebut Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale (Short Form). Skala ini telah diukur dengan subjek di salah satu Univeritas di UK serta China dan ditemukan bahwa Enhancement and Self-Protection Strategies dapatdigunakan di kedua budaya baik individual maupun kolektif. Selain itu, skala ini juga memiliki reliabilitas internal yang cukup baik. Positive feedback (α = . 69), Favorable Construals (α= .56), dan Self-affirming Reflections(α = .57) dan defensiveness (α= .66) (Hepper, Sedikides, & Cai , 2013).

Berdasarkan dua versi tersebut, peneliti memilih Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale (Short Form) karena jumlahnya lebih sedikit sehingga lebih efektif dalam pengerjaan dibandingkan Self-Enhancement and Self-Protection Strategies Scale. Selain tu, skala tersebut sudah diteliti pada budaya kolektif yatu China dan ternyata memiliki pola factor-loadings dan non-loading yang sama dengan yang asli. Oleh karena itu, skala ini lebih sesuai untuk diterapkan dalam


(62)

budaya kolektif seperti Indonesia. Di samping itu, skala ini juga memiliki reliabilitas internal yang cukup baik (Hepper, Sedikides, and Cai, 2013).

D. Kaitan Antara Strategi Self-Enhancement dan Self-Protection dan Perilaku Seksual Pada Remaja

Untuk memahami perilaku, perlu untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan perilaku tersebut. Dalam diri individu terdapat self-motive yang didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk membangun atau mempertahankan keadaan tertentu dalam diri individu dengan cara mencari informasi mengenai dirinya, menginterpretasikan ketepatannya, dan bermaksud untuk merubah perilakunya (Anseel, Lievens, & Levy, 2007;Cast & Burke, 2002; Leary, 2006). Dari 3 jenis self-motive, motif yang paling kuat dan yang paling sering digunakan adalah self-enhancement (Crisp & Turner, 2010; Baumeister & Bushman, 2008; Gaughan & Hogg, 2008). Motif self-enhancementmembuat individu mendapatkan informasi yang positif atau informasi yang baik mengenai dirinya. Informasi positif ini memiliki daya tarik emosi yang kuat karena secara emosional individu lebih menyukai sanjungan dan timbal balik yang positif (Baumeister & Bushman, 2008). Alasan yang lain adalah motif self-enhancement membuat individu mendapatkan banyak informasi positif yang memungkinkan individu untuk mempertahankan maupun meningkatkan harga diri yang dimilikinya. Sedangkan, 2 self-motive yang lain yaitu, self-verification dan self-assesment memungkinkan individu untuk mendapatkan


(63)

informasi yang negatif mengenai dirinya yang dapat menurunkan harga diri yang dimilikinya (Crisp & Turner, 2010).

Orang ingin memiliki harga diri yang tinggi dan berusaha untuk meningkatkan harga diri yang dimilikinya (Baumeister, Campbell, Krueger, & Vohs, 2003). Harga diri yang tinggi diinginkan oleh individu karena menimbulkan perasaan yang menyenangkan yaitu merasa baik mengenai dirinya dan harga diri yang tinggi juga terkait dengan perilaku yang positif (Cast & Burke,2002; Twenge, 2007; Ourney, 1987). Individu yang merasa bahwa dirinya mampu, berharga, dan penting atau memiliki harga diri yang tinggi, akan membuat individu merasa baik mengenai dirinya dan lebih percaya diri(Twenge, 2007). Hal ini membuat individu ingin mempertahankan atau meningkatkan apa yang sudah baik pada dirinya dengan terlibat perilaku yang positif seperti, pencapaian akademik yang tinggi (Ourney, 1987), mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Cast & Burke,2002), dan tidak terlibat perilaku berisiko seperti, narkoba dan perilaku seksual yang tinggi (Mann, Hosman, Schaalma, &de Vries, 2004). Sedangkan, individu yang merasa dirinya tidak bernilai, tidak berharga, dan tidak penting membuat individu merasa buruk mengenai dirinya dan perasaan tersebut membuatnya tidak nyaman dan cenderung mengkompensasikan dengan perilaku yang negatif seperti, bunuh diri, kekerasan, aktivitas seksual dini, kehamilan pada remaja, penggunaan obat- obatan terlarang, kehamilan pada remaja, kegagalan akademik, dan perilaku kriminal (Ourney, 1987; Leary, 1999).


(64)

Oleh karena self-enhancement merupakan motif yang paling kuat, paling sering digunakan, dan yang paling dapat meningkatkan harga diri pada individu, maka banyak psikoedukasi dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku bermasalah, khususnya perilaku seksual yang tinggi pada remaja (Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006).

Tingginya perilaku seksual pada remaja dan dampak yang ditimbulkan membuat peneliti dan konselor membuat pencegahan agar remaja tidak terlibat perilaku seksual (Kirby, Laris, & Rolleri, 2007). Pada masa remaja, remaja cenderung melihat dirinya secara negatif karena mengalami kebingungan identitas dengan perubahan fisik dan sosial yang dihadapinya serta peralihan dari masa anak- anak ke dewasa (Gecas, 1982). Oleh karena itu, remaja rentan untuk terpengaruh lingkungan sosial (Leary, 1999) untuk melakukan perilaku seksual yang tinggi dan selama ini banyak dilakukan psikoedukasi yangberusaha untuk meningkatkan pandangan yang positif terhadap diri remaja (Kirby, Laris, & Rolleri, 2007).

Self-enhancement itu sendiri dibagi menjadi 2 yaitu, self-enhancement dan self-protection. Self-enhancement adalah meningkatkan pandangan positif terhadap diri dan self-protection adalah menghindari pandangan negatif terhadap diri. Terdapat 3 strategi yang dilakukan orang untuk self-enhancement yaitu positivity embracements, favorable construals, dan self-affirming reflections. Selain itu, terdapat 1 strategi yang dilakukan orang untuk self-protection yaitu defesiveness(Hepper, Sedikides, & Cai, 2013; Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010).


(65)

Akan tetapi, dari psikoedukasi yang dilakukan dianggap kurang efektif (Buhi, & Dunsmore, 2006; Crocker; 2002; Exline, Baumeister & Bushman, 2004; Goodson,). Hal ini disebabkan, hubungan antara melihat diri secara positif dan perilaku seksual pada remaja masih belum menemukan kesimpulan (Buhi, & Dunsmore, 2006;Crisp & Turner, 2010; Dawson, Shih, de Moor, & Shrier 2008; Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006; Neumark-Sztainer,Story, Prancis, & Resnick, 1997; Shrier et al, 2001). Selain itu, selama ini orang lebih berfokus pada psikoedukasi dengan strategiself-enhancement dibandingkan dengan self-protectionsehingga tidak mempertimbangkan bahwa orang yang terlibat dalam meningkatkan pandangan diri yang positif dapat melindungi dirinya (self-protection) dengan mengambil sikap defensive dan menghindari atau memberhentikan informasi mengenai kelemahan, kekurangan dan kegagalannya. Berhenti atau menghindari informasi tersebut menghindarkan orang untuk belajar dan bertumbuh sebagai pribadi, yang malah memiliki dampak negatif untuk individu (Crocker, 2002).

Selama ini, strategi self-enhancement yang paling sering dilakukan dalam psikoedukasi. Hal ini ditunjukkan dengan psikoedukasi yang selama ini diberikan meliputi: menemukan keunikan dan kekuatan dari dalam diri yang masuk pada strategi self-affirming reflections yaitu strategi untuk menegaskan hal positif yang ada pada diri. Selain itu, psikoedukasi juga mendukung remaja untuk mendapatkan penerimaan, cinta tak bersyarat, dan perhatian dari orang tua, teman sebaya, serta guru. Hal ini termasuk dalam


(66)

strategi positivity embracement yaitu mendapatkan timbal balik positif dari orang lain. Selain itu, dalam psikoedukasi juga diajarkan untuk percaya bahwa evaluasi diri yang positif dapat dicapai. Hal ini termasuk dalam strategi favorable construals yaitu memandang dunia secara positif (Harter, 1999; King,Vidourek, Davis, & McClellan, 2002).

Dari 4 strategi yang digunakan untuk meningkatkan harga diri, terdapat 1 strategi yaitu defensiveness yang jarang diperhatikan (Harter, 1999; King, Vidourek, Davis, & McClellan, 2002). Hal tersebut mungkin mengakibatkan psikoedukasi dengan meningkatkan harga diri belum tentu menentukan perilaku seksual pada remaja.

Individu yang menggunakan strategi self-enhancement

mempertahankan atau meningkatkan hal positif dalam dirinya dengan cara menegaskan hal- hal positif yang ada dalam dirinya (self-affirming reflections), mencari timbal balik positif (positivity embracement), dan melihat dunia secara positif (favorable construals). Strategi mencari timbal balik positif (positivity embracement) membuat individu mendapatkan banyak timbal balik positif dan membuat individu merasa baik mengenai dirinya seperti prestasi dan pencapaian-pencapaian tertentu. Dengan demikian, individu dengan strategi positivity embracement akan mempertimbangkan baik dan buruknya perilaku yang dilakukan agar dapat terus memilih yang baik dan dapat terus mengembangkan dirinya. Perilaku seksual yang tinggi merupakan hal yang buruk, maka orang dengan positivity embracement akan menghindarinya dan memilih untuk


(67)

mengendalikan perilaku seksualnya. (Leary, Tchividjian, & Kraxberger, 1994; Sarwono, 2003).

Strategi menegaskan hal- hal positif yang ada dalam dirinya (self-affirming reflections) membuat individu merasa positif tanpa memerlukan penerimaan orang lain. Oleh karena itu, ketika individu diajak oleh lingkungan untuk terlibat dalam perilaku seksual yang tinggi, individu akan menolaknya (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010; Hepper, Sedikides, & Cai, 2013).

Individu dengan strategi favorable construals memandang dunia secara positif. Oleh karena itu, individu dengan strategi favorable construals memiliki keyakinan bahwa individu akan memiliki masa depan yang cerah sehingga ia akan menghindari tingginya perilaku seksual yang memiliki dampak negatif untuknya (Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006; Twenge, 2007).

Sedangkan, individu yang menggunakan strategi self-protection cenderung menangkis, membelokkan, dan meminimalisir pandangan negatif terhadap dirinya (Hepper, Gramzow, & Sedikides, 2010) karena merasa cemas, tidak pasti, dan tidak aman dengan dirinya (Goodson, Buhi, & Dunsmore, 2006). Hal ini membuat individu membutuhkan penerimaan dari orang lain untuk menutupi kecemasan dan perasaan tidak aman akan dirinya (Jeff, Jamie, Tom, & Jeff, 2001). Oleh karena itu, remaja yang menggunakan strategi defensiveness berusaha untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan. Pada masa remaja, remaja lebih menghabiskan


(1)

Lampiran D. Seleksi Item Perilaku Seksual

Correlations

PS_1 PS_2 PS_3 PS_4 PS_5 PS_6 PS_7 PS_8 TS_PS

PS_1 Pearson Correlation 1 .377** .436** .190 .145 .062 .110 .062 .545**

Sig. (2-tailed) .007 .002 .185 .313 .667 .446 .667 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

PS_2 Pearson Correlation .377** 1 .684** .512** .255 .168 .296* .168 .795**

Sig. (2-tailed) .007 .000 .000 .074 .245 .037 .245 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

PS_3 Pearson Correlation .436** .684** 1 .436** .200 .143 .253 .143 .773**

Sig. (2-tailed) .002 .000 .002 .164 .322 .077 .322 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

PS_4 Pearson Correlation .190 .512** .436** 1 .400** .327* .349* .327* .705**

Sig. (2-tailed) .185 .000 .002 .004 .020 .013 .020 .000

N

50 50 50 50 50 50 50 50


(2)

PS_5 Pearson Correlation .145 .255 .200 .400 1 .429 .758 .429 .602

Sig. (2-tailed) .313 .074 .164 .004 .002 .000 .002 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

PS_6 Pearson Correlation .062 .168 .143 .327* .429** 1 .565** 1.000** .493**

Sig. (2-tailed) .667 .245 .322 .020 .002 .000 .000 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

PS_7 Pearson Correlation .110 .296* .253 .349* .758** .565** 1 .565** .625**

Sig. (2-tailed) .446 .037 .077 .013 .000 .000 .000 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

PS_8 Pearson Correlation .062 .168 .143 .327* .429** 1.000** .565** 1 .493**

Sig. (2-tailed) .667 .245 .322 .020 .002 .000 .000 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

TS_PS_t anparisik o

Pearson Correlation .545** .795** .773** .705** .602** .493** .625** .493** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 50 50 50 50 50 50 50 50 50

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed).


(3)

Lampiran E. Reliabilitas

a.

Skala

Self- Enhancement

and

Self- Protection Scale

(

Self- Enhancementand

Self- Protection Short Form

)

1.

Positivy Embracement

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.659 5

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

SE_SP_2 17.67 7.379 .483 .572

SE_SP_5 17.61 7.889 .501 .570

SE_SP_10 17.49 8.135 .465 .587

SE_SP_19 17.62 8.625 .309 .652


(4)

2.

Favorable Construals

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.529 5

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

SE_SP_12 15.68 7.917 .384 .418

SE_SP_3 15.58 7.827 .386 .415

SE_SP_9 15.23 7.655 .410 .399

SE_SP_16 16.19 8.387 .316 .460

SE_SP_18 15.71 9.780 .035 .633

3.

Self-Affirming Reflections

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.681 5

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

SE_SP_13 19.60 5.785 .456 .623

SE_SP_4 19.50 5.999 .416 .640

SE_SP_6 19.29 5.723 .398 .649

SE_SP_20 19.36 5.805 .475 .615


(5)

4.

Deffensiveness

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.574 5

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

SE_SP_7 12.41 10.893 .268 .552

SE_SP_8 12.37 10.758 .296 .538

SE_SP_11 12.87 9.502 .398 .479

SE_SP_14 12.69 9.875 .357 .504


(6)

b.

Skala Perilaku Seksual

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.867 8

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

PS_1 3.50 5.280 .389 .871

PS_2 3.60 4.737 .571 .855

PS_3 3.59 4.679 .616 .851

PS_4 3.76 4.252 .703 .840

PS_5 3.96 4.154 .719 .838

PS_6 4.08 4.231 .729 .837

PS_7 4.12 4.340 .696 .841