Pengaruh Empati, Self-Control, dan Self-Esteem Terhadap Perilaku Cyberbullying pada Siswa SMAN 64 Jakarta

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

Amalia Setianingrum NIM: 1110070000136

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

iii NIM : 1110070000136

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH EMPATI,

SELF-CONTROL, DAN SELF-ESTEEM TERHADAP PERILAKU

CYBERBULLYING PADA SISWA SMAN 64 JAKARTA” adalah benar

merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindak plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 2015

Amalia Setianingrum NIM: 11100700000136


(4)

(5)

v

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2015

Amalia Setianingrum


(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Yakinlah akan ada sesuatu yang menantimu selepas banyak

keesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga

kau lupa pedihnya rasa sakit (Ali bin Abi Thalib)

Aku persembahkan karya sederhana dari hati untuk

yang terkasih Ibu, Ayah, Kakak, Sahabat, dan semua,

yang begitu berarti keberadaannya.

You Are My Everything...


(7)

vii B) Maret 2015

C) Amalia Setianingrum

D) The Effects Empathy, Self-Control, and Self-Esteem Toward Cyberbullying among students SMAN 64 Jakarta

E) xiv+ 90 Page + Appendix

F) This research was condudted to know the dynamics of personality in perpetrators of cyberbullying. The authors theorized that the variables of empathy (perspective taking, fantasy, empathic concern, and personal distress), control (behavior control, cognitive control, and decisional control), and self-esteem affect cyberbullying. These variables will be the eighth of views which variables affest the behavior of cyberbullying.

This study uses a quantitative approach, used CFA (Confirmatory Factor Analysis) to test the measuring instrument and the multiple regression analysis to test hypotheses. Samples were 200 students of SMAN 64 Jakarta taken by non-probability sampling technique. To measure cyberbullying behavior researchers create their own measuring instrument refers to the theory of Willard (2007), to measure empathy researchers using standard measurement tools made Davis (1980), namely Interpersonal Reactivity Index (IRI), for self-control researchers create their own measurement tool which refers in theory Averill (1973), and to measure the self-esteem of researchers using standard measuring devices Rosenberg (1965).

The results showed that empathy and self-control significantly influence the behavior of cyberbullying with a contribution of 24.2%. Then from eight independent variables studied, there are four dimensions that influence the behavior of cyberbullying that perspective taking, empathic concern, behavior control, and decisional control.

Kata kunci: cyberbullying, empati, self-control, self-esteem


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Ucapan puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan berbagai karunia nikmat yang tak terhingga dan kasih sayang yang begitu besar sampai detik ini hingga penulis dapat menyelesaikan skripri ini.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari doa, dukungan dari berbagai pihak, baik bersifat materil maupun nonmateril. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si, Dekan Fakultas Psikologi beserta jajarannya atas doa dan dukungannya terhadap semua mahasiswa mahasiswinya.

2. Neneng Tati Sumiati, M.Si.Psi terima kasih atas kesabaran dan pengertian dalam memberikan bimbingan, masukan, kritik dan nasehat semoga senantiasa Allah berikan kesehatan dan kebahagiaan.

3. Kepala sekolah SMAN 64 Jakarta Bapak Drs. Nana Juhana, M.Pd atas izin yang telah diberikan dan pak Zulhadi serta guru-guru yang ikut membantu saat pengumpulan data di SMAN 64 Jakarta.

4. Para responden yang sudah bersedia mengisi kuesioner untuk keperluan data peneliti. Semoga Allah berikan kebahagiaan dan membalas kebaikan responden.

5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi atas segala bantuan dan ketulusannya membantu mahasiswa menyelesaikan tugas akademik. 6. Keluargaku. Ibunda Rumibah, ayah Bahar Maksum, kakak-kakak penulis

Muhammad Taufik, Ahmad Sauqi Rodfan, Arif Setiabudi. Terimakasih atas doa, dukungan, serta kasih sayang yang begitu besar. Kehadiran kalian memantapkan setiap langkah penulis. Doakan penulis semoga


(9)

ix

sayang yang senantiasa memberikan dukungan, mengajarkan banyak hal, Osin dan Zulaika (almh). Kalian bagian terpenting dari perjalanan hidup penulis. Semoga kebaikan senantiasa ada di dalam kehidupan kalian dan semoga kakak Eka selalu tenang di alam sana.

8. Sahabatku, mama Kaila (Hasti), Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere. Terimakasih atas kebersamaan, dukungan, gelak tawa bersama yang selalu akan dirindukan penulis. Kebersamaan ini telah memberikan banyak hal yang bermakna dikehidupan penulis.

9. Keluarga besar Psikologi 2010, Aniq, Atiqoh, Naqiyah, Triani, Rere, Putri, Yunita, Nashwa, Anjar, Temil, Teteh, Meida, Fatin, Septi, Fahri, Dian, Adila dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Semoga kesolidan senantiasa terjaga. Terimakasih telah melengkapi sejarah hidup penulis.

10.Keluarga besar KOPRI PMII Ciputat, kak lia, ujo, wia, yani, qory, ala, lia, khumaeroh dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Yang menemani dan mengajarkan banyak hal tentang arti kehidupan dalam keberagaman.

Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih untuk segala doa, dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Jakarta, Maret 2015


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1-13 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan masalah ... 9

1.2.1. Pembatasan masalah... 9

1.2.2. Perumusan masalah ... 10

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1. Tujuan penelitian ... 11

1.3.2. Manfaat penelitian ... 12

1.4. Sistematika Penulisan ... 13

BAB 2. LANDASAN TEORI ... 14-48 2.1. Cyberbullying ... 14

2.1.1. Definisi cyberbullying ... 14

2.1.2. Bentuk aktivitas cyberbullying ... 15

2.1.3. Elemen cyberbullying ... 17

2.1.4. Pengukuran cyberbullying ... 19

2.1.5. Faktor yang mempengaruhi cyberbullying ... 20

2.2. Empati ... 22

2.2.1. Definisi empati ... 22

2.2.2. Aspek-aspek empati ... 24

2.2.3. Pendekatan pada empati ... 25

2.2.5. Pengukuran empati ... 27

2.3. Self-Control ... 29

2.3.1. Definisi self-control ... 29

2.3.2. Aspek-aspek self-control ... 31

2.3.3. Pengukuran self-control ... 33

2.4. Self-Esteem ... 34

2.4.1. Definisi self-esteem ... 34

2.4.2. Karakretistik self-esteem ... 35

2.4.3. Pengukuran self-esteem ... 37

2.5. Remaja... 38


(11)

xi

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 49 -70

3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 49

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 50

3.3. Instrumen Penelitian... 50

3.3.1. Instrumen Pengumpulan data ... 50

3.3.2. Alat ukur penelitian ... 52

3.4. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian ... 55

3.4.1. Uji validitas konstruk cyberbullying... 57

3.4.2. Uji validitas konstruk empati ... 58

3.4.3. Uji validitas konstruk self-control ... 63

3.4.4. Uji validitas konstruk self-esteem ... 66

3.5. Teknik Analisis Data ... 67

3.5. Prosedur Penelitian... 69

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 71 - 83 4.1. Gambaran Subjek Penelitian ... 71

4.2. Hasil Analisis Deskriptif ... 71

4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 72

4.4. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 76

4.5. Proporsi Varian ... 81

BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 84-90 5.1. Kesimpulan ... 84

5.2. Diskusi ... 85

5.3. Saran ... 89

5.4.1. Saran metodologis ... 89

5.4.2. Saran praktis ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert... 51

Tabel 3.2 Blueprint Skala Cyberbullying... 52

Tabel 3.3 Blueprint Skala Empati... 53

Tabel 3.4 Blueprint Skala Self-control... 54

Tabel 3.5 Blueprint Skala Self-esteem... 55

Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Konstruk Cyberbullying... 58

Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Konstruk Perspective Taking... 59

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas Konstruk Fantasy... 60

Tabel 3.9 Hasil Uji Validitas Konstruk Empathic Concern... 61

Tabel 3.10 Hasil Uji Validitas Konstruk Personal Distress... 62

Tabel 3.11 Hasil Uji Validitas Konstruk Behavior Control... 64

Tabel 3.12 Hasil Uji Validitas Konstruk Cognitive Control... 65

Tabel 3.13 Hasil Uji Validitas Konstruk Decisional Control... 66

Tabel 3.14 Hasil Uji Validitas Konstruk Self-esteem... 67

Tabel 4.1 Subjek Penelitian... 71

Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif... 72

Tabel 4.3 Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian... 73

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian... 74

Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi... 78

Tabel 4.6 Tabel ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV... 78

Tabel 4.7 Koefisien Regresi... 79


(13)

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Surat Penelitian Lampiran B Kuesioner Penelitian Lampiran C Path Diagram


(15)

1

Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Kasus tentang bullying di sekolah sudah menjadi hal yang banyak terjadi dari tiga puluh tahun lalu. Menurut Olweus (dalam Aoyama, 2010) bullying merupakan perilaku agresif yang ditandai dengan tindakan berulang. Biasanya bullying melibatkan tindakkan melecehkan dan mengancam seseorang secara verbal, mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti (intimidasi), atau menyerang secara fisik (mendorong, menampar, atau memukul). Namun, pada beberapa tahun terakhir bentuk baru dari bullying muncul dengan memanfaatkan beragam teknologi yang ada. Peningkatan akses terhadap teknologi bukan hanya memberikan dampak positif dalam interaksi sosial dan pembelajaran yang kolaboratif bagi siswa, tetapi juga membawa masalah yang harus mendapatkan perhatian lebih, dalam penanganannya. Media-media sosial yang seharusnya mempermudah dan mengeratkan hubungan antar manusia, justru dalam beberapa kasus menjadi sarana untuk saling melukai dengan kata-kata. Contohnya, banyak anak yang merasa lebih hebat dan berkuasa mengganggu anak lain yang dianggap lemah dan tidak akan melawan untuk dijadikan bahan ejekan


(16)

2

dan hinaan dengan mengakses teknologi, baik melalui internet maupun pesan singkat dengan telpon genggam. Hal ini disebut cyberbullying. Bentuk dari bullying yang dilakukan di dunia maya ini memiliki “pemain” yang jauh lebih luas yang dapat melibatkan semua kalangan, baik dari pelajar sekolah dasar, menengah, mahasiswa, bahkan kaum pekerja.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 82 juta orang dan capaian Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80% di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk pengguna facebook, Indonesia di peringkat ke-4 terbesar dunia. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Sedangkan, berdasarkan data Asia Pacific Digital Marketing Year Book 2012 lalu, jumlah pengguna Facebook di Indonesia sudah mencapai lebih dari 40 juta. Dari jumlah itu, sebanyak 59% pengguna dari kalangan remaja usia 13-18 tahun, atau 41% pengguna berusia 18-24 tahun. Dengan menggunakan data statistik di atas, tentu saja kelompok usia tersebut sangat rentan pada masalah penyimpangan perilaku di media sosial ketimbang orang dewasa. Anak-anak yang menggunakan akses tersebut dapat melakukan apa saja di jejaring sosial. Bahkan tanpa disadari apa yang mereka lakukan saat bersosial media, bisa mengarah terjadinya cyberbullying.

Menurut survei global yang dilakukan The Health Behavior in School-Aged Children (HBSC) (Kaman, 2013), Indonesia merupakan negara dengan kasus bullying tertinggi kedua di dunia setelah Jepang. Kasus bullying di


(17)

Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak dilakukan di jejaring sosial. Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak di dunia, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di dunia. Selain itu, Indonesia juga „menyumbang‟ 15% tweet setiap hari untuk Twitter. Bahkan, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2012) lebih dari 60% pengakses internet berumur dibawah 7 - 18 tahun.

Penelitian yang dilakukan pada siswa SMP dan SMA di beberapa kota di jawa tengah, hasil menunjukkan telah terjadi perilaku cyberbullying sebanyak 28% meski dampak yang ditunjukkan belum begitu serius (Rahayu, 2012). Sedangkan dari Data hasil survei yang dilakukan Juwita (2009) menyatakan bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibanding dengan kota Jakarta dan Surabaya. Tercatat sekitar 70,65 % kasus Bullying terjadi di SMP dan SMA di Yogyakarta. Jadi dapat diasumsikan individu yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan cyberbullying pada remaja rentang usia 13 tahun – 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying.

Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) 2014 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Tingginya kasus pada remaja yang terjadi dapat bermacam-macam motifnya, seperti salah satunya untuk menjadi pusat perhatian dan mendapatkan reaksi yang dapat dilakukan dengan cara mengejek atau


(18)

4

mengirimkan gambar yang memalukan melalui media elektronik yang bahkan dapat menimbulkan perkelahian di dunia nyata. Perilaku tersebut kadang kurang disadari oleh remaja yang merupakan salah satu perilaku cyberbullying. Seperti yang pernah terjadi pada siswa SMAN 64 Jakarta, dengan alasan tersebut peneliti menjadikan sekolah tersebut tempat penelitian.

Kasus nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah twitwar atau perang twitter. Beberapa waktu lalu yang terjadi kasus bully pada Bastian salah satu personil grup musik, ada yang mengungah foto Bastian yang mencium seorang gadis yang menjadi banyak komentar cacian karena Bastian yang masih berumur 15 tahun dan menjadi public figure. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus pengungahan video Chelsea Ishan yang sedang berganti baju. Video yang diunggah oleh orang yang tidak diketahui tersebut diduga untuk menjatuhkan

Chelsea Ishan yang karirnya sedang „naik daun‟ tersebut, banyak yang akhirnya

mem-bully tetapi dengan bijaknya sikap yang ditunjukkan Chealsea Ishan yang tidak menghiraukan video tersebut dan menghimbau dalam kampanye stop bullying. Kasus lainnya yang sempat membuat ramai di media sosial Twitter, kasus Farhat Abbas yang mengejek dan menjelekkan Ahmad Dhani atas kasus yang dialami oleh anak Ahmad Dhani yang akhirnya sampai dengan pelaporan Ahmad Dhani pada pihak kepolisian dan anak Ahmad Dhani yang tersulut emosi hingga ingin membuat pertarungan tinju dengan Farhat Abbas. Dari beberapa kasus tersebut, dapat menjelaskan maraknya kasus cyberbullying yang terjadi di Indonesia. Tindakan cyberbullying ini terjadi tanpa dapat pengawasan baik dari pihak sekolah atupun yang berkepentingan untuk mengawasi tindakan ini. Hal


(19)

tersebut yang tetap membuat leluasanya pelaku cyberbullying melakukan tindakannya.

Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan teknologi yang tidak dikontrol, dimana seorang anak dapat menulis teks atau menunggah gambar dengan tujuan untuk menjelek-jelekan dan menghina orang lain dengan niat mempermalukan orang lain. Selain itu tulisan dan gambar yang diunduh dapat mengundang komentar dari pihak ketiga untuk ikut berkomentar (bystander) yang sering mengikuti untuk melecehkan dan mempermalukan korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying (Camfield, 2006). Sedangkan pelaku bullying menunjukkan rasa empati yang kecil untuk teman sebaya mereka. Menurut Menesini, et.al (dalam Dilmac, 2009), pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak dapat atau tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka dan anak-anak pelaku bullying juga cenderung ingin dapat mengontorol teman-temannya (Gourneau, 2012).

Penelitian lainnya menemukan bahwa rendahnya respon empati secara utuh berpengaruh pada perilaku cyberbullying. Pada siswa pelaku cyberbullying memiliki respon empati yang rendah dibandingkan siswa yang bukan pelaku cyberbullying (Steffgen, Konig, Pfetsch, & Melzer, 2011). Pada penelitian lainnya tentang empati dan cyberbullying, dimensi empati dibagi menjadi dua yaitu : (1) afektif empati (2) cognitif empati (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rendahnya afektif empati maupun


(20)

6

kognitif empati mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja perempuan maupun laki-laki (Ang & Goh, 2010). Menjadi penting untuk mengetahui kecenderungan sikap empati secara afektif maupun kognitif pada remaja untuk upaya lebih lanjut dalam intervensi dalam pengurangan perilaku cyberbullying. Dalam penelitian ini bertujuan melihat peran empati pada cyberbullying. Secara khusus, untuk melihat apakah pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibanding dengan yang bukan pelaku cyberbullying.

Alasan lain yang membuat lebih banyak lagi pelaku cyberbullying karena pelaku dapat menyembunyikaan identitas atau anonimitas (Heirman & Walrave, 2008). Penyamaraan atau penyembunyian identitas sebenernya membuat pelaku cyberbullying merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif. Menurut Pellegrini (dalam Dilmac, 2009), menyebutkan pelaku bullying memiliki emosional tinggi dan kontrol diri rendah, namun hingga saat ini, belum ada jurnal atau penelitian yang menyebutkan secara jelas bahwa tipe kepribadian tertentu menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi pelaku ataupun korban cyberbullying. Sedangkan pada penelitian remaja di Singapura dan Malaysia ditemukan agresivitas sebagai mediator dari perilaku cyberbullying (Ang, Tan, & Mansor, 2011). Dalam penelitian tersebut, remaja pelaku cyberbullying cenderung memiliki sikap agresivitas yang tinggi yang salah satu faktor pemicunya rendahnya self-control.


(21)

Hasil penelitian Denson, DeWall, dan Finkel, (2012) yang menyatakan bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut. Masih sedikit studi yang mengaitkan self-control yang rendah terhadap pelaku dan korban bullying, meskipun fakta bahwa self-control yang rendah telah diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dari perilaku penyimpangan dan kejahatan dalam studi empiris yang telah ada (Gottfredson & Hirschi, 1990). Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa secara langsung maupun tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku pelaku maupun korban dalam cyberbullying (Vazsonyi, Machackova, Sevcikova et al., 2012).

Penelitian Holt, Bossler dan May (2012) tentang tindakan cybercrime dan kenakalan pada remaja, menemukan hasil bahwa pelaku cybercrime dan kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh rendahnya self-control dan kelompok teman dengan perilaku yang menyimpang. Rendahnya self-control tidak hanya menentukan perilaku kriminal, tetapi juga menentukan perkembangan ikatan sosial yang terjadi, Self-control yang rendah dapat mengganggu ikatan sosial seseorang (Wright, Caspi, Moffitt, & Silva, 1999). Dari hasil penelitiannya, Chapple (2005) menyimpulkan bahwa self-control yang rendah menyebabkan penolakan dari rekan sesama (peer rejection), hubungan dengan rekan atau kelompok yang menyimpang (deviant peer) dan kenakalan (delinquency).


(22)

8

Masa remaja adalah saat ketika perkembangan identitas sangat penting. Selama periode ini, proses pembentukan identitas sebagian besar tergantung pada isyarat dan peraturan dari lingkungan sosial (stereotip sosial) (Hurlock, 1994). Oleh karena itu, remaja cenderung mencari perilaku dan situasi yang membantu mereka menghargai diri mereka sendiri secara positif dan menghindari orang-orang yang membuat mereka merasa buruk tentang siapa diri mereka. Hal ini berhubungan dengan persepsi dan penerimaannya sendiri mengubah anak dan memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan pribadi.

Dari literatur sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman dengan cyberbullying memiliki efek negatif pada perkembangan remaja. Salah satunya adalah self-esteem seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan rendahnya self-esteem ditemukan pada korban cyberbullying bukan pada pelaku cyberbullying (Salmivalli, Kaukiainen, Kaistaniemi, & Lagerspetz, 1999). Sedangkan penelitian lainnya menyebutkan baik pelaku ataupun korban cyberbullying sama-sama memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan individu yang tidak pernah mengalami cyberbullying (Patchin & Hinduja, 2010; Fong-Ching et al, 2013). Sementara penelitian terbaru menyebutkan tidak adanya pengaruh self-esteem dengan bullying di sekolah maupun cyberbullying (Robson & Witenberg, 2013). Dari beberapa hasil penelitian tentang self-esteem tersebut menjadi menarik untuk diteliti pada penelitian ini untuk lebih melihat keadaan self-esteem pada pelaku cyberbullying.


(23)

Dari data-data dan beberapa hasil penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku cyberbullying pada remaja merupakan permasalahan yang harus mendapatkan perhatian dalam pencegahan dan pemecahan solusi yang tepat. Untuk remaja, dapat dengan memberikan kesadaran atas perilaku yang dilakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain, intervensi sedini mungkin untuk remaja yang menjadi pelaku cyberbullying dengan pendidikan internet sehat bagi setiap anak-anak dan remaja di sekolah. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih kurangnya penelitian tentang cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul

penelitian yaitu “Pengaruh empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan masalah. Adapun pokok permasalahan yang menjadi batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah perilaku cyberbullying yang dipengaruhi oleh variabel-variabel lain diantaranya empati, self-control, dan self-esteem. Adapun penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut sebagai berikut:

1. Cyberbullying dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain baik berupa


(24)

10

pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media sosial.

2. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut.

3. Adapun yang dimaksud self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, dibagi berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan decisional control (Averill, 1973).

4. Yang dimaksud dengan Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan yang utuh. 5. Subjek penelitian siswa SMAN 64 Jakarta

1.2.2 Perumusan Masalah

Setelah melalui tahap identifikasi masalah dan tahap seleksi masalah, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

2. Apakah terdapat pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

3. Apakah terdapat pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?


(25)

4. Apakah terdapat pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

5. Apaka terdapat pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

6. Apakah terdapat pengaruh behavior control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

7. Apakah terdapat pengaruh cognitive control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

8. Apakah terdapat pengaruh decisional control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

9. Apakah terdapat pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan penelitian ini ialah :

a. Untuk menguji pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

b. Untuk menguji pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

c. Untuk menguji pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

d. Untuk menguji pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.


(26)

12

e. Untuk menguji pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

f. Untuk menguji pengaruh behavior control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

g. Untuk menguji pengaruh cognitive control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

h. Untuk menguji pengaruh decisional control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

i. Untuk menguji pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

1.3.2 Manfaat penelitian ini dilihat dari segi teoritis dan praktis sebagai berikut:

a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam ranah psikologi, terutama ranah psikologi pendidikan serta memberikan informasi bagi pembaca yang berniat melakukan penelitian mengenai dinamika karakteristik pada pelaku cyberbullying.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan prevention bagi remaja dan para pendidik agar dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku cyberbullying pada remaja.


(27)

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini :

Bab 1. Pendahuluan

Bab pendahuluan memuat empat sub bab yaitu latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab 2. Kajian Teori

Pada bab ini dipaparkan teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian, yaitu cyberbullying, empati, self-control, dan self-esteem. Selanjutnya dipaparkan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

Bab 3. Metode Penelitian

Bab ini berisi uraian tentang populasi dan sampel termasuk teknik sampling, variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis data dan prosedur penelitian.

Bab 4. Hasil Penelitian

Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran subjek penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasil uji hipotesis. Deskripsi data dilengkapi dengan tabel-tabel. Bab 5. Kesimpulan, Diskusi dan Saran


(28)

14 BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep dari variabel-variabel penelitian. Berisi tentang teori Cyberbullying, empati, self-control, dan self-esteem.

2.1Cyberbullying

2.1.1 Definisi Cyberbullying

Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan berulang dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith, Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, & Tippett, 2008). Sedangkan menurut Kowalski (2008), cyberbullying mengacu pada bullying yang terjadi melalui instant messaging, email, chat room, website, videogame, atau melalui gambar atau pesan yang dikirim melalui telepon seluler. Sedangkan Willard (2007) mendefinisikan sebagai perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal berbahaya atau terlibat dalam bentuk lainnya dengan media internet atau teknologi digital.

Menurut Li (2010) cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui alat komunikasi seperti e-mail, telepon selular, instant messaging atau jaringan world wide. Sedangkan Hiduja & Patchin (2007) mendefinisikannya sebagai bahaya yang disengaja dan berulang melalui media elektronik. Sedangkan Belsey, Berson & Feron (dalam Dilmac, 2009) mengartikan cyberbullying sebagai


(29)

perilaku individu atau kelompok dengan media sosial yang bertujuan untuk melecehkan seseorang dengan segaja.

Dari beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media online.

2.1.2 Bentuk Aktivitas Cyberbullying

Menurut Willard (2007), tipe aktivitas pada cyberbullying yaitu :

a. Flaming, pertengkaran online menggunakan bahasa kasar dan vulgar. b. Harassment, perilaku yang berulang kali mengirimkan pesan yang kasar

dan menghina.

c. Denigration, mengirimkan atau mem-posting berita mengenai seseorang untuk merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut.

d. Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dan mem-posting hal-hal yang dapat membuat seseorang berada dalam masalah atau merusak reputasinya.

e. Outing, menyebarkan informasi memalukan mengenai orang lain secara online.

f. Trickery, menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi pribadinya, lalu menyebarkan secara online.


(30)

16

g. Exclusion, dengan sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari sebuah kelompok online.

Sedangkan Australian Federal Police (2013) menambahkan bentuk dari cyberbullying, yaitu Cyber-stalking (penguntitan di dunia maya), yaitu upaya seseorang menguntit atau mengikuti orang lain dalam dunia maya dan menimbulkan gangguan bagi orang lain tersebut.

Menurut Office for Internet Safety (2008), aktivitas yang sering dilakukan oleh pelaku cyberbullying adalah :

a. Personal Intimidation, mengirimkan pesan singkat berisi ancaman, menulis komentar yang kasar pada profil online korban, atau pesan via instant messaging.

b. Impersonation, membuat akun profil dan website palsu yang mengarah pada korban. Dapat juga dengan melibatkan mendapat akses pada akun profil dan menggunakannya untuk berpura-pura menjadi pemilik akun tersebut untuk mengontak akun lainnya dan kemudian mem-bully.

c. Exclusion, perilaku memblokir seseorang dari kelompok atau komunitas online populer seperti Kaskus, Facebook atau Twitter.

d. Personal humilition, perilaku mem- posting gambar atau video penyiksaan atau dipermalukan secara offline.

e. False reporting, membuat laporan palsu atau melaporkan pengguna lain untuk perilaku tertentu kepada penyedia layanan media sosial agar akun pengguna tersebut dihapus.


(31)

Sedangkan pada penelitian ini, bentuk aktivitas cyberbullying mengacu pada Willard (2007) yaitu, Flaming, Harassment, Denigration, Impersonation, Outing & Trickery, dan Exclusion.

2.1.3 Elemen Cyberbullying

Pada umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying dan cyberbullying: pelaku (cyberbullies), korban (victims) dan saksi peristiwa (bystander).

1. Pelaku (cyberbullies)

Camodeca dan Goossens (dalam Kowalski, 2008) karakteristik anak yang menjadi pelaku cyberbullying adalah memiliki kepribadian yang dominan dan dengan mudah dan menyukai melakukan kekerasan. Cenderung lebih cepat tempramental, impulsif dan mudah frustasi dengan keadaan yang sedang dialaminya. Lebih sering melakukan kekerasan terhadap orang lain dan sikap agresif kepada orang dewasa dibandingkan dengan anak lainnya. Sulit dalam menaati peraturan. Terlihat kuat dan menunjukkan rendahnya rasa empati pada orang yang dia bully. Pandai memanupulasi dan berkelit pada situasi sulit yang di hadapi. Sering terlibat dalam agresi proaktif, agresi yang disengaja untuk tujuan tertentu dan agresi reaktif, reaksi defensif ketika diprovokasi.

2. Korban (victims)

Seorang remaja yang biasanya menjadi target cyberbullying biasanya mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras, berat badan, cacat, agama


(32)

18

dan mereka yang cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan biasanya mereka yang jarang bergaul atau keluar rumah (Kowalski, 2008). Sedangkan dalam National School Climate Center (Marden, 2010) karakteristik remaja yang menjadi target atau korban cyberbullying adalah sensitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami masalah dengan kesehatan mental, sering membiarkan orang lain mengendalikan diririnya, dan cenderung depresi. Dalam beberapa penelitian, korban cyberbullying cenderung memiliki self-esteem lebih rendah dibandingkan teman sebayanya. Hal tersebut yang membuat dirinya mengalami kecemasan sosial dan cenderung menghindari kontak sosial (Campfield, 2006).

3. Saksi Peristiwa (bystander)

Saksi peristiwa adalah seseorang yang menyaksikan penyerangan perilaku bully pada korbannya. Saksi peristiwa dapat dengan bergabung dalam web dan meninggalkan komentar yang menyakitkan, atau tanpa melakukan apapun kecuali mengamati perilaku bullying (Marden, 2010). Sedangkan menurut Willard (2007), bystander terbagi menjadi dua, yaitu: 1) harmful bystander, pengamat yang mendukung peristiwa bullying atau terus mengamati kejadian tersebut dan tidak memberi bantuan apapun kepada korban, dan 2) helpful bystander, pengamat yang berusaha menghentikan bullying dengan cara memberikan dukungan kepada korban atau memberi tahu orang yang lebih mempunyai otoritas.


(33)

2.1.4 Pengukuran Cyberbullying

Beberapa alat ukur dalam penelitian terdahulu cyberbullying adalah CBQ (Cyberbullying Quesionare) terdiri dari 21 multiple choise yang dikembangkan dalam penelitian yang dilakukan untuk korban anak usia 11-16 tahun (Smith et al., 2008). Kemudian Menesini, Nocentini, & Palladino (2012) mengevaluasi sekaligus merevisi alat ukur cyberbullying and cybervicitimization Scale. Setiap skala terdiri atas 18 item yang mengukur frekuensi cyberbullying. Alat ukur Revised Cyber Bullying Inventory (RCBI) dikembangkan oleh Topcu and Erdur-Baker (2010) yang terdiri dari 14 item untuk cyberbullying dan 14 item untuk cybervictimization.

Sedangkan di Indonesia penelitian tentang cyberbullying mengembangkan alat ukur sendiri. Pratiwi (2011) mengukur perilaku cyberbullying dengan alat ukur yang dibuat sendiri yang mengacu pada teori Willard (2007) berupa beberapa aktivitas dalam cyberbullying. Terdiri atas 32 item untuk melihat aktivitas pelaku, 24 item untuk korban dan 17 item untuk pengamat. Permatasari (2012) menggunakan alat ukur cyberbullying berdasarkan aktivitas cyberbullying. Alat ukur tersebut terdiri atas 10 item bentuk cyberbullying, 6 item tujuan cyberbullying dan 7 item dampak cyberbullying dan sampel yang digunakan dalam penelitian remaja SMA di Yogyakarta.

Pada penelitian ini, peneliti membuat sendiri alat ukur cyberbullying yang mengacu pada aktivitas cyberbullying pada teori Wilard (2007). Alat ukur terdiri dari 22 item yang menjelaskan tentang (Flaming) pertengkaran online


(34)

20

menggunakan bahasa kasar dan vulgar, (Harassment) berulang kali mengirimkan pesan yang kasar, kejam, dan mengolok-olok, (Denigration) mengirimkan atau memposting rumor mengenai seorang untuk merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut, (Impersonation) berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan atau memposting hal-hal yang dapat membuat seseorang berada dalam masalah atau merusak pertemanan atau reputasi orang tersebut. (Outing & Trickery) menghasut seseorang untuk menceritakan rahasia atau informasi pribadinya dan menyebar rahasia atau informasi memalukan mengenai orang lain secara online, dan (Exclusion) secara sengaja mengeluarkan seseorang dari kelompok online secara kasar.

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying

Hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh terhadap bullying dalam literatur sebagai faktor yang berperan terjadinya cyberbullying, menurut Li (2010) seperti :

1. Bullying tradisional

Pada penelitian Riebel, jager & Fischer (2009) terdapat hubungan antara bullying yang terjadi secara langsung dengan dunia maya. Maka memungkinkan bullying yang dimulai secara langsung menjalar ke dunia maya. hal tersebut memberikan lahan baru bagi pelaku bullying untuk menghina orang lain.

2. Jenis kelamin

Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa laki-laki lebih memungkinkan melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan perempuan.


(35)

3. Budaya

Penelitian Li (2010) mengindikasikan budaya merupakan prediktor yang kuat dalam cyberbullying yang sejalan dengan penelitian Baker (2010) mengenai bullying yang memainkan peran penting dalam terjadinya bullying dan cyberbullying.

4. Penggunaan internet

Besarnya kebutuhan akan penggunaan internet bagi manusia memberikan dampak yang positif, tetap memberikan dampak resiko yang mungkin terjadi. Dalam hal kehidupan sosial, salah satu ancaman yang serius adalah cyberbullying. Cyberbullying terjadi pada dunia maya, menjadi masuk akal untuk berasumsi intensitas penggunaan seseorang dalam penggunaan internet dapat menjadikan sebagai pelaku atau korban dari dampak buruk yang dapat diakibatkan dari interaksi pada dunia maya.

Pada penelitian Hoff dan Mitchell (2009) menemukan beberapa faktor penyebab dari tindakan cyberbullying yang dikeompokkan pada dua kategori utama, cyberbullying yang disebabkan oleh isu relasi, seperti : (a) putus hubungan, (b) kecemburuan, (c) pada kecacatan, agama, dan gender, dan (d) kelompok atau geng; dan cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti : (a) intimidasi golongan luar kelompok dan (b) penyiksaan pada korban.


(36)

22

2.2Empati

2.2.1 Definisi Empati

Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain agar dapat memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Secara sederhana kata-kata empati merujuk pada sikap dan perasaan yang merasakan dan memahami kondisi emosi orang lain. Tetapi untuk lebih memahami batasan-batasan dari empati, tentunya kita mesti memahami definisi empati dari dari berbagai teori dan para ahli. Adapun pendapat dari para ahli mengenai empati diantaranya sebagai berikut, Empati memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).

Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi dari empati. Pertama, melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat dengan komponen-komponen yang saling berhubungan. Kedua, dalam memahami orang lain tersebut, individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan memahami orang lain tersebut. Empati dapat disimpulkan dengan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman tersebut serta untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain.


(37)

Dengan kata lain empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang lain (Hurlock,1994). Empati adalah 1) memproyeksikan perasaan sendiri pada satu kejadian suatu obyek alamiah atau suatu karya estesis. 2) realisasi dan pengertian terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain.

Menurut Stein (dalam Davis, 1990) empati adalah sepenuhnya keunikan dan perbedaan yang mencolok dari proses hubungan intersubjektif yang didalamnya ditemukan tahapan yang bertingkat dan memberikan kita sesuatu yang telah dilakukan, agak seperti realitas setelah kejadian. Tiga tahapannya adalah simpati, perasaan belas kasihan, dan perubahan diri.

Empati umumnya dianggap sebagai menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati mengacu pada pemahaman afektif, kognitif, pengalaman, atau keduanya. Ada kesepakatan bahwa dua komponen yang diperlikan adalah empati menyiratkan kemampuan perspektif tertentu dalam berbicara dan juga berperilaku prososial, yaitu berbagi dan membantu orang lain. Dengan kata lain sebagai kesadaran sosial dan kepekaan sosial. Keduanya untuk mengenali dan memahami perasaan, kebutuhan dan persepsi dari orang lain (Garton & Gingat, 2005).

Menurut Hoffman (2000) empati adalah suatu respon afektif (perasaan) terhadap situasi orang lain dari pada situasi diri sendiri. Sedangkan Eisenberg (2000) berpendapat bahwa empati merupakan respon afektif yang berasal dari pemahaman kondisi emosional orang lain, yaitu apa yang sedang dirasakan oleh orang lain pada waktu itu.

Cotton (dalam Garton & Gringat, 2005) empati didefinisikan sebagai kemampuan afektif untuk berbagi dalam perasaan orang lain dan kemampuan


(38)

24

kognitif untuk memahami perasaan orang lain dalam perspektif dan kemampuan untuk berkomunikasi terhadap empati seseorang serta perasaan dan pemahaman yang lain dengan cara lisan verbal dan nonverbal.

Berdasarkan berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan proses afektif dan kognitif yang memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka, seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga memahami situasi dan kondisi emosional dari sudut pandang orang lain.

2.2.2 Aspek-Aspek Empati

Davis (1980) menjelaskan empat aspek empati antara lain, yaitu:

1. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Sementara menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik, 2012) mendefinisikannya sebagai menempatkan diri sendiri ke dalam posisi orang lain. Perspective taking secara psikologis dan sosial penting dalam keharmonisan interaksi antar individu. Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang terlihat. Hal ini erat kaitannya dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan kecermatan analisisnya. Menurut Taufik (2012) perspective taking dibagi dua bentuk :


(39)

 Membayangkan bagaimana seseorang akan berpikir dan merasakan apabila ia berada pada situasi anggota kelompok lain.

 Membayangkan bagaimana seorang anggota kelompok lain berpikir dan merasakan.

2. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam mengalami perasaan dan tidankan dari karakter khayalan dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.

3. Empathic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.

4. Personal distress, yaitu reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain yang diekspresikan dengan perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin yang berlebihan dan rasa tidak berdaya. Personal distress bisa disebut empati negatif (negative empathic).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek empati menurut Davis (1980) meliputi: perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal distress. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan keempat aspek tersebut menjadi independent variabel.

2.2.3 Pendekatan pada Empati

Memahami lebih jauh dari teori empati, tidak terlepas dari penjelasan-pernjelasan dari berbagai pendekatan. Diantaranya ada dua pendekatan yang digunakan untuk memahami teori empati, yakni teori dari Baron-Cohen & Wheelwright (2004), yang membagi empati ke dalam dua pendekatan, yaitu:


(40)

26

a. Pendekatan Afektif

Pendekatan afektif mendefinisikan empati sebagai kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain (Taufik, 2012). Dalam pandangan afektif, perbedaan definisi empati dilihat dari seberapa besar dan kecilnya respon emosional pengamat pada emosi yang terjadi pada orang lain.

Terdapat empat jenis empati afektif, menurut Stotland, Sherman & Shaver yaitu: 1) perasaan pada pengamat harus sesuai dengan orang yang diamati; 2) perasaan pada pengamat sesuai dengan kondisi emosional orang lain namun dengan cara yang lain; 3) pengamat merasakan emosi yang berbeda dari emosi yang dilihatnya, disebut juga sebagai empati kontras; sedangkan Baston menambahkan 4) perasaan pada pengamat harus menjadi satu untuk perhatian atau kasih sayang pada penderitaan orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).

b. Pendekatan Kognitif

Pendekatan kognitif merupakan aspek yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Eisenberg & Strayer (dalam Baron-Cohen & Wheelwright 2004) menyatakan bahwa salah satu yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu (perceiver) dan orang lain. Sedangkan menurut Leslie, adanya pemisahan antara perspektif sendiri, menghubungkan keadaan mental orang lain (dalam Baron-Cohen & Wheelwright, 2004), dan menyimpulkan kemungkinan isi dari kondisi mental mereka, serta mengingat kembali ketika hal yang sama terjadi.


(41)

2.2.4 Pengukuran Empati

Pengukuran empati yang saat ini tengah dikembangkan diarahkan kepada kategori usia dewasa dan anak-anak, untuk kategori usia remaja biasanya menggunakan alat ukur untuk orang dewasa. Pengukuran empati untuk anak-anak, biasanya menggunakan media gambar. Pengukuran empati tersebut disajikan dalam bentuk narasi atau slide, audiotape, dan videotape.

Beberapa alat ukur empati (Taufik, 2012), diantaranya : 1. FASTE

FASTE (The Feshbach Affective Situation Test of Empathy) telah secara luas digunakan untuk mengukur empati pada anak-anak. Alat ukur ini didesain secara khusus untuk digunakan pada anak-anak usia empat tahun hingga delapan tahun. FASTE terdiri dari delapan gambar yang meliputi slide-slide bergambar anak-anak dengan narasi. Meski sudah banyak yang menggunakan alat ukur ini oleh ilmuan psikologi, namun tidak luput dari kritikan tajam para peneliti lainnya. Kritikan yang diberikan berkisaran tentang bias gender. Ada tiga bias gender pada alat ukur tersebut, yaitu bias gender antara gender gambar anak-anak yang ada dalam slide, subjek yang mengikuti eksperimen, dan gender si peneliti sendiri.

Setelah mendapat serangan tajam dari para peneliti, Fesbach mencoba untuk merevisi menjadi FPATE. Pada tes ini anak-anak menyaksikan tayangan film yang dapat membangkitkan emosi kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, atau ketakutan. Untuk mengontrol bias gender, setelah menonton tayangan


(42)

28

tersebut anak-anak diberikan seperangkat tes yang menunjukkan anak laki-laki atau anak perempuan sebagai karakter utama.

2. QMEE dan BEES

Alat tes lainnya QMEE. Alat tes ini dibuat oleh Merhabian dan Epstein pada tahun 1971, yang mengukur tanggapan-tanggapan emosional, alat ini dianggap berhasil dalam mengungkap beberapa kasus psikoterapi. The QMEE secara luas banyak digunakan untuk mengukur empati pada orang tua. Alat ini terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi emosional yang beragam. Respon jawaban terhadap anat ini dilakukan dengan menjawab skala 1-9 (diberi angka 0 hingga +4, 0 hingga -4). Item-item negatif diskor terbalik dan semua Item-item ditotal.

3. IRI

Pada tahun 1980, Davis membuat alat ukur empati yang diberi nama Interpersonal Reactivity Index (IRI) yaitu pengukuran yang mengarah pada pengukuran multidimensional dan disposisional. Alat ukur ini memiliki alat ukur yang terpisah dari aspek-aspek keahlian sosial, namun kntraknya saling berkaitan. Instrumen ini terdiri dari empat sub-skala item, dengan jumlah 28 item. Adapun kecenderungan respon dari responden berdasarkan bentuk skala likert. Empat subskala yang ada pada alat ukur ini, yaitu : 1) perspective taking, 2) fantasy, 3) empathic concern,dan 4) personal distress.


(43)

4. Empathy Questionnaire (EQ)

Baron-Cohen dan Wheelwright (2004), membuat alat ukur empati setelah memberikan kritikannya terhadap skala IRI, mereka membuat alat ukur empati baru dari penggabyngan alat ukur sebelumnya, diaplikasikan dalam bidang klinis dan sangat sensitif dalam mengukur individu yang kurang empatik yang disebut Empathy Questionnaire (EQ). EQ berhasil mengidentifikasi beberapa kelompok orang-orang yang didiagnosa memiliki kecenderungan autis dan psikopat.

Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity Index (IRI). Skala baku empati dari Davis (1980) dengan melihat empati dari empat aspek : perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal distress. Jumlah skala 28 item baku dan dengan model skala likert.

2.3 Self-control

2.3.1 Definisi Self-control

Dalam pengertian yang umum self-control lebih menekankan pada pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Dalam kamus psikologi (Chaplin, 2006), definisi kontrol diri atau self control adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada.


(44)

30

Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Disamping itu kontrol diri memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi (Calhoun & Acocela, 1990).

Menurut Hurlock (1994) mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, motivasi, dan kemampuan mengelola potensi dan pengembangannyaa. Self-control berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat di terima secara sosial. Memang konsep ilmiah menitik beratkan pada pengendalian, tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan.


(45)

Menurut Rothbaum (dalam Tangney, Baumiester, & Boone, 2004) menyatakan bahwa self-control secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk berubah dan beradaptasi sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal antara diri dan dunia. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka.

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, sehingga dapat menekan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan. Pada masa-masa remaja ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga ada yang sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.

2.3.2 Aspek-Aspek Self Control

Berdasarkan konsep Averill (1973), terdapat tiga aspek : 1. Behavior Control

Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak


(46)

32

menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus. Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi intensitasnya.

2. Cognitive Control

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti


(47)

individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

3. Decesional Control

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu : mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa, dimana individu dapat menahan dirinya.

Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek tersebut, kontrol diri ditentukan dengan sejauh mana salah satu aspek tersebut mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol dirinya.

2.3.3 Pengukuran Self-control

Ada beberapa alat ukur yang dapat mengukur self-control, diantaranya :

1. Kendall & Wilcox (dalam Wang, 2002) membuat skala pengukuran baku yang diberi nama Self-control Rating Scale (SCRS) yang terangkum kedalam 33 item baku.

2. Self-control Scale (Tangney, Baumiester, & Boone, 2004) yang terdiri dari 10 item baku yang mengukur self-control secara keseluruhan.

3. Self-control Questionnaire oleh Brandon sebagai skala sifat kontrol diri. Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item yang luas.


(48)

34

Pada penelitian ini membuat skala sendiri yang mengacu pada teori dari Averill (1973), yang memiliki aspek: Behavior Control, Cognitive Control, dan Decesional Control yang terangkum dalam 23 item.

2.4 Self-esteem

2.4.1 Pengertian Self-esteem

Menurut Rosenberg (dalam Hinduja & Patchin, 2010), self-esteem adalah sikap individual baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas. Mruk (2006) menjelaskan bahwa Rosenberg telah menjelaskan cara lain dalam mendefinisikan self-esteem adalah suatu rangkaian sikap individu tentang apa yang dipikirkan mengenai persepsi perasaan, yaitu perasaan tentang

“keberhargaan” dirinya.

Sedangkan menurut Coopersmith (dalam Heatherton & Wyland, 2003) menjelaskan self-esteem sebuah penilaian pribadi terhadap keberhargaan dirinya yang diekspresikan dalam sikap yang berpegangan teguh pada prinsip pribadi. Self-esteem merupakan sikap penerimaan atau penolakan yang mengidinkasikan tingkat kepercayaan terhadap dirinya akan kapasitas, signifikansi, dan kesuksesan. Menurut Powell, Newgent, dan Le (2006) juga berpendapat bahwa self-esteem adalah penilaian dan merasakan mengenai diri individu itu sendiri. Sedangkan menurut Since Berk (dalam Powel, Newgent, & Le, 2006) penilaian yang dibuat tentang nilai diri sendiri dan perasaan yang terkait dengan penilaian tersebut.


(49)

Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan self-esteem adalah sikap individu dalam melihat diri sendiri baik positif ataupun negatif mengenai dirinya sendiri dalam kapasitasnya sendiri. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori Rosenberg (dalam Mruk, 2006).

2.4.2 Karakteristik Self-esteem

Beberapa pandangan Rosenberg tentang karakteristik self-esteem (dalam Mruk, 2006) :

1. Menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem sebagai fenomena suatu sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan.

2. Study tentang self-esteem ini diharapkan pada masalah-masalah tersendiri. Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi diri lebih kompleks daripada evaluasi objek eksternal.

3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu sebagai seseorang yang dilihat sebagai suatu variabel yang penting dalam berperilaku karena self-esteem sendiri bekerja untuk atau melawan dalam situasi tertentu.

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rosenberg, Minchiton (1995) menjabarkan self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku individu. Tiga aspek self-esteem, yaitu :

a. Perasaan Mengenai Diri Sendiri

Menerima diri sendiri, individu dapat menerima dirinya secara nyata dan penuh. Dapat menghormati diri sendiri, individu memiliki keyakinan


(50)

36

dirinya penting. Menghargai keberhargaan dirinya sendiri, dengan memaafkan atau memaklumi diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya dan juga atas kesalahan yang telah dibuatnya.dan dapat memegang kendali atas emosi diri sendiri. Individu yang mempunyai self-esteem rendah tidak dapat atau sulit untuk dapat menerima dirinya sendiri.

b. Perasaan Terhadap Hidup

Dapat menerima kenyataan dan tanggung jawab atas setiap perjalanan hidup yang dialaminya. Harapan dan realitas dimana seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan atau cita-cita berdasarkan realitas yang berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya. Dapat memegang kendali atas dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem yang tinggi tidak berusaha mengendalikan orang lain. Sebaliknya, ia akan dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapinya.

c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain

Individu dapat menghormati orang lain dan memiliki toleransi terhadap orang lain. Seorang yang memeiliki self-esteem tinggi akan mudah menerima kekurangan orang lain, fleksibel dan tidak memaksakan nilai-nilai atau keyakinan pada orang lain, ia percaya bahwa setiaap orang, termasuk dirinya mempunyai hak yang sama dan patut dihormati. Bijaksana dalam melakukan hubungan dengan orang lain dimana seseorang dengan self-esteem tinggi akan menjadi orang yang memiliki

sikap asertif, sikap dapat “meraangkul” yang didalamnya terdapat unsur


(51)

sekaligus mengakui kebutuhan orang lain. Ia mengetahui apa yang diinginkan dan tidak takut mewujudkannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Psikolog Universitas California terhadap sejumlah responden dalam rentang usia 6 sampai 83 tahun, diperoleh hasil bahwa secara umum perkembangan self-esteem seseorang mengikuti pola yang sama, yaitu, stabilitas self-esteem masa anak-anak adalah rendah, kemudian menunjukkan peningkatan selama masa remaja dan dewasa awal, kemudian menurun pada paruh baya dan lanjut usia (Trzesniewski, 2003).

2.4.3 Pengukuran Self-esteem

Alat ukur untuk mengukur self-esteem telah banyak digunakan oleh penelitian terdahulu. Heatherton dan Wyland (2003) menyebutkan beberpa alat ukur diantaranya Janis-Field Feelings of Indequancy Scale, The Rosenberg Self-esteem scale, The State Self-esteem Scale (SSES: Heatherton & Polivy, 1991), Self-esteem Inventory (Minchiton, 1995). Setiap alat ukur memiliki fungsi berbeda, sehingga digunakan dalam situasi dan usia yang berbeda pula.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Rosenberg. Peneliti mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg Self-esteem scale dalam penelitian cyberbullying oleh Hinduja dan Patchin (2010) ke dalam bahasa indonesia.


(52)

38

2.5Remaja

2.5.1 Definisi Remaja

Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika seseorang berada pada rentang usia 11 – 18 tahun (hurlock, 1994). Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada dengan Papalia, Olds, dan Feldman (2009), masa remaja adalah masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial.

2.5.2 Ciri-ciri Masa Remaja

Hurlock (1994) menjelasakan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Seperti :

1. Periode yang Penting

Perkembangan fisik yang cepat yang disertai perkembangan mental yang cepat, terutama masa awal remaja. Hal tersebut menjadi hal yang penting karena akibat baik jangka pendek ataupun jangka panjang dari perkembangan yang cepat tersebut dapat memberikan dampak yang tidak diduga pada fase selanjutnya. Menjadi penting bagi orangtua dalam mengawasi dan membentuk sikap dan nilai-nilai pada fase ini.

2. Periode Peralihan

Peralihan tahapan masa remaja ini sangat bergantung dari masa sebelumnya, karena peralihan yang disebut disini bukan bersifat putus tetapi menerus dari fase sebelumnya. Seperti dijelaskan Osterrienth (dalam


(53)

Hurlock, 1994) struktur psikis anak remaja berasal dari kanak-kanak, dan banyak ciri umum anak remaja sudah terlihat dari masa kanak-kanak akhir.

3. Periode Perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang hampir terjadi pada remaja seperti, meningginya emosi, perubahan fisik, minat dan peran dalam kelompok sosial, perubahan nilai dan keinginan untuk lebih bebas. 4. Masa Mencari Identitas

Fase saat remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, status dalam keluarga sebagai anak atau orang dewasa. Salah satu cara yang dilakukan oleh remaja dapat dengan menggunakan simbol-simbol status yang ada dalam masyarakat. Seperti, menggunakan mobil, berpakaian, merokok dll.

2.5.3 Perkembangan pada Remaja

Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Sedangkan Hurlock (1994) perkembangan pada remaja terjadi juga secara moral.

1. Perubahan Fisik

Masa remaja adalah masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa anak-anak menuju kematangan pada masa dewasa. Perubahan fisik yang terjadi biasa diikuti dengan perubahan biologis yang biasa disebut pubertas. Masa


(54)

40

pubertas ditandai dengan kematangan seksual, perubahan hormonal dan percepatan pertumbuhan secara fisik.

2. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), perkembangan kognitif tertinggi masuk pada fase remaja yang disebut operasional formal. Perubahan yang terjadi seperti, lebih berpikir abstrak, idealis, dan logis. Ketika mereka dalam fase tersebut, mereka akan lebih banyak berpikir secara egosentris, merasa paling hebat dan suka menjadi pusat perhatian teman-temannya. Dalam fase tersebut, sangat dibutuhkan peran orangtua untuk memberikan tanggung jawab pada anak mereka dalam pengambilan keputusan, dengan pengawasan yang cukup.

Walaupun remaja dapat memecahkan masalah abstrak dan membayangkan masyarakat yang ideal, dalam beberapa hal cara berpikir remaja masih belum matang. Menurut Elkind (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) ketidakmatangan yang terjadi dapat dipengaruhi beberapa hal :

1. Idealisme dan mudah mengkritik : mereka menjadi sangat sadar akan kemunafikan. Dengan penalaran verbal yang tajam, mereka dapat meyerang tokoh publik dengan satir dan parodi.

2. Sifat argumentatif : saat remaja biasanya individu terus menerus mencari kesempatan untuk mencoba dan memamerkan kemampuan penalaran mereka. Sehingga, remaja menjadi sering berdebat seiring dengan penguasaan fakta dan logika.


(55)

3. Sulit dalam memutuskan sesuatu : remaja dapat memikirkan banyak alternatif dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih.

4. Kemunafikan yang tampak nyata

5. Kesadaran diri : remaja yang berada dalam tahap operasinal formal dapat berpikir mengenai berpikir baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Akan tetapi, karena terlalu fokus pada keadaan mental mereka sendiri, seringkali menggangap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan mereka.

6. Keistimewaan dan kekuatan yang menunjukkan keyakinan remaja bahwa mereka istimewa.

3. Perkembangan Emosi

Masa remaja telah lama di gambarkan sebagai masa kekacauan emosi. Dalam keadaan yang ekstreem, pandangan tentang masa “strom and stress” (Hurlock, 1994). Namun, masa remaja waktu meningkatnya fluktuasi emosi yang kurang stabil. Saat remaja kurang pandai untuk mengekspresikan perasaan mereka secara benar. Mampu mengatur emiosi seseorang merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja. Ketika kemampuan kognitif di samakan, remaja yang mengaku mengalami emosi yang lebih negatif memiliki nilai akademis yang lebih rendah dibanding dengan remaja yang mengalami emosi yang baik.

Remaja dapat dikatakan sudah mencapai kematangan emosi saat mereka tidak


(56)

42

dapat diterima lingkungan. Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah seperti pada fase perkembangan sebelumnya. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus mengetahusi tentang situasi yang menimbulkan reaksi emosional, dapat berbagi untuk menyelesaikan masalahnya dengan orang lain, atau dapat menggunakan katarsis emosi dalam menyalurkan emosinya, seperti melakukan latihan fisik, bekerja, menangis, tertawa (Hurlock, 1994).

4. Perkembangan Sosial

Penyesuaian sosial masa remaja termasuk dalam kategori yang sulit. Remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya, tetapi harus terus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolahnya juga. Hal yang menjadi sulit saat penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya, melibatkan kawanan, serta persahabatan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

5. Perkembangan Moral

Kohlberg (dalam Hurlock, 1994) membagi tahapan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, seperti :

1. Moralitas Prakonvensional

Perilaku anak mengikuti keadaan lingkungan mereka. Pada tahap pertama, seorang anak menuruti peraturan yang berlaku untuk menghindari hukuman. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial


(57)

lingkungannya untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasa ditemui anak usia 4 – 10 tahun.

2. Moralitas konvensional

Anak sudah menemukan konsep figur otoritas dan telah menginternalisasi standar yang berlaku di lingkungannya. Pada tahap pertama, anak peduli untuk menjadi baik bagi keadaan lingkungan dan mendapat dukungan orang lain dan mempertahankannya. Pada tahap kedua, anak mempertahankan aturan yang berlaku di suatu kelompoknya untuk menghindari kecaman atau ketidaksetujuan sosial. Tingkat ini biasanya dicapai saat usia 10 tahun, banyak yang tidak bergerak naik dari tingkatan ini, bahkan sampai dewasa.

3. Moralitas pascakonvensional

anak sudah mengenali konflik perbedaan antara standar moral yang berlaku di lingkungan dan sudah dapat membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan dan hukum. Anak biasanya mencapai tingkatan ini pada masa awal remaja atau lebih umum saat memasuki dewasa awal.

2.6Kerangka Berpikir

Pesatnya perkembangan teknologi di era digital ini tidak lepas dengan kemudahan akses internet. Penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi kehidupan seseorang. Kemudahan akses internet saat ini sangat memungkinkan seseorang dapat mengekspresikan dirinya tanpa harus ada


(58)

norma-44

norma sosial yang berlaku saat berinteraksi secara langsung. Seseorang dapat menjadi siapa saja saat berinteraksi dalam dunia maya. Pada hal ini lah orang mudah untuk melakukan tindakan cyberbullying.

Cyberbullying sangat rentan terjadi pada remaja. Kemudahan akses yang ada memberikan peluang yang cukup tinggi para remaja melakukan cyberbullying. Terlebih, masa remaja adalah masa pencarian jati diri dan senang untuk mencoba hal baru. Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan, seperti emosi, fisik, psikis, minat dan sosial (Santrock, 2012).

Cyberbullying merupakan tindakan serangkaian komunikasi dimana pelaku melakukan serangan dengan media dunia maya, seperti sosial media, instant messangaing, email, dan telepon genggam. Para pelaku cyberbullying biasanya termotivasi karena marah, perasaan ingin membalas dendam, tetapi ada yang melakukan semata-mata karena ingin mendapat reaksi dari orang tertentu. Motif setiap pelaku dalam tindakan cyberbullying dapat berbeda-beda. Ada tiga hal yang dipredksi menjadi dorongan remaja dapat melakukan tindakan cyberbullying, yaitu kurangnya rasa empati, self-control dan self-esteem. Peneliti menjadikan ketiga hal tersebut independent variabel dalam penelitian ini.

Empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati tersebut mengacu pada pemahaman afektif & kognitif atau keduanya. Kurangnya respon empati yang dimiliki seseorang remaja dapat menjadikannya pelaku cyberbullying. Remaja pelaku cyberbullying sendiri, dibandingkan dengan teman sebayanya cenderung memiliki empati yang lebih


(59)

rendah, sejalan dengan penelitian Steffgen, Konig, Pfetsch, dan Melzer, (2011) yang menemukan para pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman cyberbullying.

Rendahnya self-control pada seseorang dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam tindakan yang agresif yang dapat pula menyertakan kekerasan. Ketika agresivitas mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai standar sosial yang dapat menekan perilaku agresifnya (Denson, Finkel, & DeWall, 2012). Sedangkan pada remaja yang tidak memiliki self-control yang baik cenderung lebih mudah untuk melakukan tindakan agresif, seperti bullying dan melakukan kekerasan fisik.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, para pelaku cyberbullying ditemukan memiliki self-esteem yang rendah (Hinduja & Patchin, 2010). Rendahnya self-esteem seseorang dapat menjadikan seorang mencari eksistensi dirinya dari orang diluarnya. Dorongan tersebut dapat membuat seseorang dengan berani melakukan tindakan yang akan membuat dirinya di lihat oleh orang lain. Kerangka berpikir seperti dipaparkan di atas selanjutnya dapat dilihat pada bagan berikut:


(60)

46

Berikut skema kerangka berpikir :

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.7Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. DV dalam penelitiann ini yaitu cyberbullying, sedangkan variabel yang diteorikan peneliti sebagai IV berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya yaitu, empati, self-control dan self-esteem. Hipotesis mayornya adalah “ada pengaruh yang signifikan dari empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta”

SELF-CONTROL

EMPATI

Personal Distress Perspective Taking

Fantasy

Empathic Concern

Behavior Control

Cognitive Control

Desicional Control

SELF-ESTEEM

Perilaku Cyberbullying


(61)

Hipotesis Minor

H1 :Ada pengaruh perspective taking pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H2 : Ada pengaruh fantacy pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H3 : Ada pengaruh empathic concern pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H4 : Ada pengaruh personal distress pada variabel empati terhadap perilaku

cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H5 : Ada pengaruh behavior control pada variabel self-control terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H6 : Ada pengaruh cognitive control pada variabel self-control terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H7 : Ada pengaruh decisional control pada variabel self-control terhadap

perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.

H8 : Ada pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa


(62)

48

Hipotesis Nihil

Karena adanya analisis statistik, maka hipotesis mayor dibalik menjadi hipotesis nihil, yang berbunyi bahwa “Tidak ada pengaruh yang signifikan dari empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta


(63)

49 BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan tentang populasi dan sampel, teknik sampling, variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas kontruk, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SMAN 64 Jakarta kelas X, XI, dan XII yang berjumlah 770 siswa. Peneliti menetapkan sekolah tersebut karena sekolah memfasilitasi hotspot untuk seluruh siswa di sekolah dan pernah terjadi bullying yang terjadi di sekolah. Sedangkan subjek penelitian pada penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Responden merupakan siswa SMA 64 Jakarta

2. Responden merupakan pengguna internet aktif 6 bulan terakhir baik komputer, smartphone, laptop, ataupun telepon genggam.

3. Responden melakukan setidaknya sekali tindakan cyberbullying seperti membajak, mengirimkan kata-kata kasar, atau mengirimkan gambar yang membuat malu orang lain.

Selanjutnya, Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling, dimana tidak semua populasi memiliki kesempatan yang sama untuk ditetapkan sebagai sampel. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 200 siswa, karena disesuaikan dengan kemampuan peneliti berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian.


(64)

50

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Dependent Variable :

Cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media online.

Independent Variable :

1. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut.

2. Self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan suatu tindakan sesuai yang diyakini, berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan decisional control.

3. Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.

3.3 Instrumen Penelitian

3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama terdiri dari identitas responden. Bagian kedua terdiri dari


(1)

13 Setelah saya melakukan kesalahan, saya akan introspeksi diri. 14 Setiap perbedaan pendapat saya dengan orang lain, saya merasa

teman saya berniat menjatuhkan reputasi saya.

15 Saya jadikan kritikan teman saya sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik.

16 Saya akan membalas teman saya yang mengejek dan menjelekan saya.

17 Saya seorang yang teguh pada pendirian saya.

18 Saya jarang mendengar pendapat orang lain sebelum saya menjalani apa yang saya yakini.

19 Saya lebih memilih mencari kebenaran dengan data dan fakta, dari pada hanya mengandalkan intuisi.

20 Sebagian besar keputusan yang ada di hidup saya, selalu ditentukan oleh orang tua saya.

21 Saya selalu meminta saran pada teman untuk semua hal yang akan saya lakukan.

22 Saya mengikuti semua saran teman kepada saya.

23 Orang tua saya memberikan saya kebebasan untuk menentukan pilihan yang saya ingini.


(2)

SKALA IV

No pernyataan SS S TS STS

1 Saya merasa bahwa saya adalah orang yang berharga, setidaknya sama berharganya dengan orang lain. 2 Saya merasa bahwa saya memiliki kualitas yang baik. 3 Saya cenderung merasa gagal dengan semua yang saya

lakukan.

4 Saya dapat melakukan hal-hal yang kebanyakan orang lain dapat lakukan.

5 Saya merasa saya tidak memiliki banyak hal untuk dibanggakan.

6 Saya bersikap positif terhadap diri sendiri. 7 Secara keseluruhan, saya puas dengan diri saya. 8 Saya harap saya dapat lebih menghargai diri saya. 9 Saya merasa tidak berguna.

10 Kadang-kadang saya pikir saya tidak berguna.

Terima Kasih atas Partisipasinya


(3)

LAMPIRAN 3

Path Diagram

1. Path Diagram Cyberbullying

2. Path Diagram Empati a. Perspective Taking


(4)

b. Fantasy

c. Empathic Concern


(5)

3. Path Diagram Self-Control a. Behavior Control


(6)

c. Decisional Control