24 volume air yang diambil danatau dimanfaatkan, kualitas air, tingkat kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan danatau pemanfaatan air; 4 tarif pajak setinggi-tingginya 20; 5 besaran pokok pajak air tanah adalah tarif pajak
dikalikan NPA. Menurut UU 282009, retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan danatau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
Badan. Objek retribusi daerah adalah jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Jenis retribusi jasa umum antara lain retribusi pelayanan kesehatan,
retribusi pelayanan persampahankebersihan, dan sebagainya seluruhnya terdapat 14 jenis retribusi. Jenis retribusi jasa usaha antara lain retribusi pemakaian
kekayaan daerah, retribusi pasar grosir danatau pertokoan, dan sebagainya seluruhnya terdapat 11 jenis retribusi. Jenis retribusi perizinan tertentu antara lain
retribusi izin mendirikan bangunan, retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, dan sebagainya seluruhnya terdapat 5 jenis retribusi. Jumlah seluruh
retribusi yang ditetentukan undang-undang sebanyak 30 jenis retribusi, dan tidak terdapat retribusi yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah.
Analisis tentang pajak air tanah dan retribusi air tanah biasanya tidak dimasukan dalam pembahasan tentang pajak daerah dan retribusi daerah karena
besaran kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah PAD kecil sekali dibandingkan dengan pajak kendaraan bermotor atau retribusi jasa usaha. Selain
pajak kendaraan bermotor, pokok bahasan biasanya berkisar pada masalah pajak rokok, pajak hiburan, pajak hotel, retribusi pelayanan parkir, dan sebagainya.
2.5. Penelitian Terkait Pengelolaan Air Tanah
Roseta-Palma 2003 menyatakan pada umumnya literatur ekonomi tentang air bawah tanah dapat dibagi menjadi dua bidang, yakni: 1 makalah
yang mengevaluasi berbagai skema biaya pengelolaan akuifer aquifer, tanpa memperhatikan kualitas air; dan 2 makalah yang berkaitan dengan masalah
kontaminasi oleh berbagai bahan pencemar. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, ia melakukan penelitian yang membahas kedua aspek tersebut, dan
25 menemukan bahwa jika kualitas dan kuantitas akuifer adalah penting, maka
kebijakan yang optimal harus merefleksikan hubungan antara keduanya. Dalam artikel ini, Roseta-Palma 2003 juga memaparkan bahwa air tanah
biasanya dieksploitasi berdasarkan rejim common property right, dimana akses dibatasi oleh kepemilikan lahan yang dibawahnya terdapat lapisan akuifer.
Pernyataan serupa muncul atau disinggung dalam penelitian lainnya, antara lain Syaukat dan Fox 2004 menyatakan air tanah di Jakarta secara de facto
dieksploitasi sebagai sumber daya alam “open acces” ketimbang sebagai aset
milik negara; Rubio dan Casino 2003 menyebut pemanfaatan air tanah sebagai “common property extraction”. Posisi air tanah sebagai sumber daya alam yang
bersifat “open acces” ataupun “common property right” akan mengakibatkan
terjadinya pemanfaatan atau pemompaan air tanah yang tidak efisien, dan mempercepat terjadinya deplesi sumber daya alam tersebut.
Roseta-Palma 2003 menyatakan pada umumnya literatur ekonomi tentang air bawah tanah dapat dibagi menjadi dua bidang, yakni: 1 makalah
yang mengevaluasi berbagai skema biaya pengelolaan akuifer aquifer, tanpa memperhatikan kualitas air; dan 2 makalah yang berkaitan dengan masalah
kontaminasi oleh berbagai bahan pencemar. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, ia melakukan penelitian yang membahas kedua aspek tersebut, dan
menemukan bahwa jika kualitas dan kuantitas akuifer adalah penting, maka kebijakan yang optimal harus merefleksikan hubungan antara keduanya.
Dalam artikel ini, Roseta-Palma 2003 juga memaparkan bahwa air tanah biasanya dieksploitasi berdasarkan rejim common property right, dimana akses
dibatasi oleh kepemilikan lahan yang dibawahnya terdapat lapisan akuifer. Pernyataan serupa muncul atau disinggung dalam penelitian lainnya, antara lain
Syaukat dan Fox 2004 menyatakan air tanah di Jakarta secara de facto dieksploitasi sebagai sumber
daya alam “open acces” ketimbang sebagai aset milik negara; Rubio dan Casino 2003 menyebut pemanfaatan air tanah sebagai
“common property extraction”. Posisi air tanah sebagai sumberdaya alam yang bersifat “open acces” ataupun “common property right” akan mengakibatkan
terjadinya pemanfaatan atau pemompaan air tanah yang tidak efisien, dan mempercepat terjadinya deplesi sumberdaya alam tersebut.
26 Penelitian seperti ini sebelumnya pernah dilakukan, antara lain: 1
Syaukat dan Fox 2004, mengevaluasi efisiensi pengelolaan bersama conjunctive air permukaan dan air tanah di Provinsi DKI Jakarta; 2 Hellegers
dan van Ierland 2003, mengevaluasi suitability efektivitas, efisiensi ekonomi, efisiensi teknis, kelayakan administrasi, equity, dan acceptability instrumen
ekonomi untuk pengelolaan air tanah untuk kepentingan irigasi di Belanda; dan 3 Ebarvia 1997, tentang penetapan harga pricing pemanfaatan air tanah
untuk industri di Manila. Perbedaan dengan Syaukat dan Fox 2004, penelitian ini hanya fokus pada pemanfaatan air tanah, sedangkan perbedaan dengan
Hellegers dan van Ierland 2003 penelitian ini dilakukan untuk pemanfaatan industri. Perbedaan dengan Ebarvia 1997 adalah cakupan pembahasan yang
lebih luas dan perbedaan karateristik lokasi. Mengacu pada paparan tentang berbagai instrumen kebijakan Hellegers
dan van Ierland, 2003, penerapan kebijakan generik Weimer dan Vining, 1990, serta skema dan struktur tarif sebagaimana dipaparkan Tietenberg 2006, maka
formulasi kebijakan pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta bisa dilakukan dengan kemungkinan yang lebih variatif.
27
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis