Evaluasi kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta
EVALUASI KEBIJAKAN PENGAMBILAN DAN
PEMANFAATAN AIR TANAH DI PROVINSI DKI JAKARTA
BAMBANG SISWANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(2)
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
Bambang Siswanto H351070031
(3)
BAMBANG SISWANTO. Evaluation on Policies of Groundwater Exploitation and Utilization in Jakarta Province. Supervised by MANGARA TAMBUNAN and SUHARNO.
The formulation and implementation policies have been the key factors in preventing the occurrence of groundwater depletion. Groundwater exploitation and utilization in Jakarta have been predicted to cause the decline of groundwater level, land subsidence and salt water intrusion. The policy established by the local government of DKI to handle these conditions is to establish the increase of groundwater tax. The study aimed to collect the policies regarding the groundwater use, to evaluate the impact of the increase of groundwater tax, and to compare between the costs of groundwater exploitation and utilization and the tariff of piped water supplied by PAM DKI Jakarta.
The results of the research indicate that the policy instruments established by the local government of DKI included groundwater tax and retribution. Furthermore, the increase of groundwater tax has significantly reduced the use of groundwater in the areas of service coverage by PAM DKI Jakarta; however, the increase has not significantly reduced the groundwater use in areas outside its service coverage. Finally, the cost of groundwater extraction becomes more expensive compared to the tariff of surface water provided by the company. The practical implications of this research include that PAM DKI Jakarta must expand the distribution and its production capacity and non-market instruments are required especially for areas outside the service coverage of the company.
Keywords: groundwater tax, cost of groundwater extraction, groundwater use in Jakarta
(4)
BAMBANG SISWANTO. Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh MANGARA TAMBUNAN dan SUHARNO.
Kebutuhan air bersih di Provinsi Jakarta dipenuhi dari air permukaan yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta dan air tanah yang diambil melalui sumur bor dan sumur pantek. Kapasitas produksi dan distribusi PAM DKI Jakarta yang relatif tetap, di sisi lain pertumbuhan jumlah penduduk, urbanisasi, perkembangan bisnis, industri, dan sektor pelayanan publik terus meningkat, menyebabkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah terus meningkat. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, amblesan, dan intrusi air laut.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kecenderungan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta adalah: (1) harga perolehan air tanah yang jauh lebih murah dibandingkan tarif pemakaian air Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta; (2) pemompaan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain dan membuat ketersediaan air lebih terjamin; (3) rejim
pengelolaan air tanah yang secara “de facto” merupakan “open access”; dan (4)
implementasi dan penegakan peraturan perundangan yang masih belum optimal. Sebagian besar faktor atau penyebab diatas pada dasarnya merupakan masalah kebijakan, karena itu evaluasi kebijakan pemanfaatan dan pengambilan air tanah perlu terus dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi terkini.
Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang telah dikeluarkan di Provinsi DKI Jakarta, mengevaluasi dampak kenaikan pajak air tanah terhadap pengambilan dan pemanfaatan air tanah, dan membandingkan harga perolehan air tanah dan air PAM DKI Jakarta setelah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah. Penelitian menggunakan data primer berupa rekening pemakaian air tanah pelanggan tahun 2008-2009 dan data sekunder berupa dokumen kebijakan dan tarif. Data primer dianalisis dengan menggunakan metode perbandingan dua rata-rata, yakni rata-rata pemakaian dan pemanfaatan air tanah sebelum dan sesudah diberlakukannya pajak air tanah yang baru, sedangkan untuk analisis data sekunder digunakan metode analisis isi dokumen.
Kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah penggunaan instrumen pasar berupa pajak dan retribusi, yakni Perda 10/1998, Perda 1/2004, Peraturan Gubernur 37/2009 yang mengatur tentang pajak air tanah
(5)
sekarang masih berlaku di Provinsi Jakarta perlu direvisi mengacu pada peraturan perundangan yang baru, yakni UU 7/2004 tentang sumberdaya air, PP 43/2008 tentang air tanah, dan UU 28/2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Pajak air tanah adalah perkalian NPA (nilai perolehan air tanah) dengan tarif pajak. Kenaikan pajak air tanah yang mulai berlaku pada bulan Juni 2009 sebenarnya adalah kenaikan NPA, yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur 37/2009. Tarif pajak air tanah di Provinsi DKI Jakarta tidak berubah, yakni sebesar 20%. Perhitungan NPA ditetapkan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 1451K/2000. Harga air tanah baku (HAB) dalam perhitungan NPA ditentukan berdasarkan konsep biaya rata-rata, yakni HAB sama dengan biaya rata-rata, dan didasarkan pada konsep alokasi statik. Metode perhitungan HAB ini berbeda dengan konsep teoritis yang menyatakan harga baku air tanah adalah biaya marjinal ekstrasi ditambah dengan nilai kelangkaan sumber daya air tanah yang besarannya ditentukan melalui alokasi dinamik.
Kenaikan pajak air tanah signifikan menurunkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah pada sumur-sumur yang terletak di dalam jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta, tetapi tidak signifikan menurunkan pemakaian air tanah di luar area pelayanan perusahaan tersebut. Setelah kenaikan pajak air tanah, biaya perolehan air tanah untuk semua kelompok pelanggan dan besaran pemakaian lebih besar dibandingkan biaya perolehan air bersih yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta.
Implikasi praktis dari penelitian ini adalah Pemerintah Proviinsi DKI Jakarta perlu mendorong dan membantu PAM DKI Jakarta untuk meningkatkan kapasitas produksi dan cakupan area pelayanannya. Selain itu juga diperlukan instrumen selain pajak, khususnya untuk diterapkan di wilayah di luar jangkauan pelayanan PAM DKI Jakarta.
(6)
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
PEMANFAATAN AIR TANAH DI PROVINSI DKI JAKARTA
BAMBANG SISWANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(8)
(9)
Nama : Bambang Siswanto
NRP : H351070031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Dr. Ir. Suharno, M.Adev Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
(10)
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugerah dan pertolongannya tesis ini bisa diselesaikan. Penelitian ini dilakukan berdasarkan minat dan keinginan untuk mengaplikasikan disiplin ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
Tesis ini selesai karena bimbingan, bantuan, dan dorongan berbagai pihak. Dengan selesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc. dan Dr. Ir. Suharno, M.Adev. selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan kepakarannya selama proses persiapan, penelitian, dan penulisan tesis.
(2) Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku penguji luar komisi pembimbing yang secara kritis menelaah tesis ini dan memberikan masukan-masukan yang penting dan perlu. Minat untuk mengkaji air tanah sebetulnya mulai bersemi ketika penulis mengikuti kuliah Metode Penelitian Ekonomi yang beliau sampaikan.
(3) Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi S2 Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang selalu memberi dorongan agar penulis segera menyelesaikan tugas akhir ini. Keputusan penulis untuk menekuni disiplin ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan sesungguhnya ditentukan pada saat perkenalan pertama dengan beliau di acara kursus valuasi sumberdaya alam dan lingkungan. Ajakan beliau, pada saat itu juga sebagai Ketua Departemen ESL IPB, untuk menjadi mahasiswa S2 ESL IPB angkatan pertama sepertinya akan mengubah jalan hidup penulis.
(4) Ir. Sahat M.H. Simanjuntak, M.Sc., dosen yang selalu mengajar dengan penuh semangat, membuka wawasan baru, dan senantiasa membangkitkan kebanggaan dan kehormatan sebagai ekonom sumberdaya dan lingkungan. Dari beliau juga penulis belajar untuk melihat hidup dan kehidupan dari sisi yang lebih menyenangkan. Terima kasih Pak Sahat.
(11)
seluruh dosen Departemen ESL yang selama ini telah mendidik dan mengajar penulis, dan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan nyaman. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pegawai Departemen ESL, khsususnya mbak Sofi dan tim-nya, dukungan dan bantuan mereka membuat semuanya menjadi mudah dan tidak merepotkan.
(6) Kepala BPLHD Provinsi DKI dan staf yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengumpulkan data, berdiskusi, memperluas pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
(7) Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, M.F., dan Soegeng Wahyoedi, S.E., M.Ec., tempat penulis mendapatkan nasihat dan sambung rasa. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan pengertian seluruh dosen dan pimpinan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana.
(8) Sahabat dan teman sejawat mahasiswa Program S2 ESL angkatan 2007, 2008, 2009, dan 2010. Kuliah bersama, makan bersama, dan kegiatan kuliah lapang menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
(9) Orang tua penulis di Demak dan Cianjur, dan terutama isteri dan anak-anak di Ciomas. Terima kasih dan permohonan maaf disampaikan kepada Erly, Mikha, Yemima, dan Obaja.
Akhir kata, penulis berharap kiranya tesis ini bisa bermanfaat, khususnya dapat menginspirasi penelitian-penelitian lanjutan tentang ekonomi air tanah di Indonesia.
Bogor, Februari 2011
(12)
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 19 November 1964 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Suntono dan Ibu Sri Haryati. Penulis menikah dengan Erly Rahayutina dan sekarang memiliki tiga orang anak, Mikha S. Erswanto, Yemima S. Kusumaningrum, dan Obaja E. Erswanto.
Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Negeri Demak dan pada tahun yang sama diterima di IPB. Tahun 1988 penulis lulus dari Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Program S2 Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.
Sejak lulus tahun 1988 penulis telah bekerja di berbagai perusahaan dan industri perkayuan, lembaga penelitian, dan konsultan. Sejak tahun 1994 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xvii
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ………... 1
1.2. Perumusan Masalah ………..……….. 3
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ………... 7
II TINJAUAN PUSTAKA 9 2.1. Karateristik dan Kepentingan Air Tanah Perkotaan ………….. 9
2.2. Kebijakan dan Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Air Tanah ……….. 10
2.3. Nilai, Harga, dan Alokasi Air Tanah ……….. 16
2.4. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ………... 22
2.5. Penelitian Terkait Pengelolaan Air Tanah ………. 24
III KERANGKA PEMIKIRAN 27 3.1. Kerangka Teoritis ………... 27
3.2. Kerangka Operasional ……… 28
IV METODE PENELITIAN 31 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ……….. 31
4.2. Teknik Pengumpulan Data ………. 31
4.3. Teknik Analisis Data ……….. 32
4.3.1. Analisis Isi (Content Analysis) ………... 32
4.3.2. Analisis Beda Dua Rata-rata (Comparing Means) ………. 32
4.3.3. Uji Kolmogorov-Smirnov ……….. 34
4.3.4. Uji-t Sampel Berpasangan ……….. 34
4.3.5. Uji-z Sampel Berpasangan ………. 35
4.3.6. Uji Permutasi Sampel Berpasangan ………... 36
(14)
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 39
5.1. Keadaan Geografi dan Iklim ……….. 39
5.2. Kependudukan ……… 40
5.3. Kapasitas Produksi dan Konsumsi Air Bersih PAM DKI Jakarta ………. 40
5.4. Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta ……….. 43
5.5. Penurunan Muka Air Tanah, Amblesan, dan Instrusi Air Laut di Provinsi DKI Jakarta ……….. 44
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 47 6.1. Kebijakan Pengelolaan Air Tanah ……….. 47
6.1.1. Kebijakan Nasional Pengelolaan Air Tanah ……….. 47
6.1.2. Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta ……….. 42
6.2. Retribusi Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta ………. 55
6.3 Pajak Air Tanah ……….. 57
6.3.1. Pajak Air Tanah Berdasarkan NPA Pergub 37/2009 …………. 58
6.3.2. Pajak Air Tanah Berdasarkan NPA Kepgub 4554/1999 ……… 62
6.3.3. Kritik Metode Penetapan Harga Air Baku ………. 66
6.4. Dampak Kenaikan Pajak Terhadap Pemakaian Air Tanah …… 68
6.4.1. Sampel Data Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta 68 6.4.2. Dampak Kenaikan NPA Terhadap Pemakaian Air Tanah Pada Sampel Didalam Jangkauan PAM Jaya ………. 73
6.4.3. Dampak Kenaikan NPA Terhadap Pemakaian Air Tanah Pada Sampel Diluar Jangkauan PAM Jaya ………. 79
6.5. Biaya Perolehan Air Tanah ……… 83
6.5.1. Analisis Biaya Pemompaan ……… 83
6.5.1.1. Jenis Pompa ……… 84
6.5.1.2. Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Rumah Tangga ……… 84
6.5.1.3. Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Bisnis atau Komersial ………... 86
6.5.1.4. Biaya Pemompaan Pemakai Air Tanah Kategori Sosial atau Institusi ………... 87
6.5.2. Analisis Biaya Perolehan Air Tanah: Data Empirik ………….. 87
6.5.3. Komparasi Biaya Perolehan Air Tanah dan Air PAM di Provinsi DKI Jakarta ……….. 90
(15)
VII KESIMPULAN DAN SARAN 95
7.1. Kesimpulan ………. 95
7.2. Saran ………... 96
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Suplai Air Bersih dan Sumber Air Baku Untuk Kepentingan
Publik di Negeri Belanda (Juta m3) ……… 10 2 Klasifikasi Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan ……… 12
3 Aplikasi Instrumen Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam ……… 13
4 Suitability Instrumen Pengelolaan Air Tanah (Groundwater Level) 14 5 Suitability Instrumen Pemanfaatan (Extraction) Air Tanah ……… 15 6 Metode Penetapan Harga Air dan Karateritiknya ……… 22
7 Data Penelitian ………. 31
8 Penduduk, Rumah Tangga, dan Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tanah di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007 ……… 40 9 Kapasitas Produksi Air Bersih PAM DKI Jakarta Tahun
2004-2008 (dalam m
3
) ……… 4110 Jumlah Pelanggan, Produksi Air Bersih PAM DKI Jakarta, dan
Jumlah Air yang Terjual Tahun 2004-2008 (dalam m3) ………… 42 11 Komposisi Pelanggan Air Bersih PAM DKI Jakarta Tahun
2004-2008 ……….. 42
12 Jumlah Pelanggan Sumur Bor dan Sumur Pantek 2004-2008 …… 44 13 Banyaknya Pemakaian Air Menurut Jenis Sumur 2004-2008 ……. 44
(16)
15 Struktur dan Tarif Izin Pemboran dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah di Provinsi DKI Jakarta ………. 56
16 Komponen Biaya Kompensasi Pemulihan Untuk Perhitungan NPA
Berdasarkan Pergub 37/2009 ……… 59
17 Nilai Perolehan Air Tanah (NPA) Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) 60 18 Pajak Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta (Rp/m3) ……… 61 19 Rincian Subjek Pemakai Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta …… 62 20 Harga Dasar Air Tanah Berdasarkan Kepgub 4554/1999 Untuk
Pengambilan Air Tanah Didalam Jangkauan PAM DKI Jakarta 63 21 Harga Dasar Air Tanah Berdasarkan Kepgub 4554/1999 Untuk
Pengambilan Air Tanah Diluar Jangkauan PAM DKI Jakarta 64 22 Rincian Subjek Pemakai Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta
Menurut Kepgub 4554/1999 ……… 65
23 Perbedaan Metode Perhitungan Harga Air Baku Antara Kepmen
14551K/2000 dan Teori Penetapan Harga Air Tanah ……… 67 24 Sampel Subjek Pemakaian Air Tanah yang Didapatkan dari
BPLHD Jakarta ……… 69
25 Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Dalam Rekeningnya Tertera Angka Pemakaian Setiap Bulan (Tidak Nol) Tahun
2008-2009 ……….. 70
26 Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Tidak Digunakan Terus Menerus dan/atau Pencatatan Rekening Tidak Lengkap Tahun
2008-2009 ……… 71
27 Sebaran Sampel Sumur Air Tanah yang Sudah Tidak Digunakan
Tahun 2008-2009 ……… 72
28 Statistik Deskriptif Pengambilan Air Tanah Sampel Sumur yang Dalam Rekeningnya Tertera Angka Pemakaian Setiap Bulan
(Tidak Nol) Tahun 2008-2009 (m3/bulan) ……… 73 29 Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah
Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Didalam
Jangkauan PAM DKI Jakarta (m3/bulan) ……… 74 30 Output SPSS Uji K-S (One-Sampel Kolmogorov-Smirnov Test)
Sebaran Beda Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan
Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Didalam
(17)
31 Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah
Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Diluar Jangkauan
PAM DKI Jakarta (m3/bulan) ……… 31
32 Output SPSS Uji K-S (One-Sampel Kolmogorov-Smirnov Test) Sebaran Beda Rata-rata Pemakaian Air Tanah Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya NPA yang Baru Untuk Sampel Diluar
Jangkauan PAM DKI Jakarta ……… 82
33 Biaya Rata-rata, Biaya Marjinal, dan Fungsi Biaya Total pada Berbagai Kisaran Pemakaian Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta
(Rp/m3) ………... 88
34 Biaya Pemakaian Air PAM DKI Jakarta ……… 90
35 Kelompok Pelanggan Air PAM DKI Jakarta ……… 91
36 Komparasi Pajak Air Tanah dan Biaya Pemakaian Air PAM
Untuk Pelanggan Dalam Jangkauan PAM DKI Jakarta ………… 92
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Model Penetapan Harga Air Tanah ……….. 21
2 Kerangka Pemikiran Penelitian ……… 29 3 Bagan Alir Teknik Analisis Data Beda Dua Rata-rata ……… 13
4 TC, AC, dan MC Berdasarkan Data Empirik 89
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Responden Sampel Menurut Kode Tarif dan Wilayah 2 Data Empirik Pemakain dan Pajak Air Tanah Sampel
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelangkaan air tanah merupakan salah satu masalah kemanusiaan dan lingkungan hidup yang mendapat perhatian luas hampir semua negara. Pemompaan air tanah yang berlebihan dan terus-menerus untuk keperluan irigasi, industri, niaga (hotel, gedung-gedung bertingkat dan industri jasa lainnya), dan domestik (rumah tangga dan keperluan sehari-hari penduduk) mengakibatkan cadangan air tanah yang tersimpan dalam cekungan air tanah terus menipis. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang serius terhadap daya dukung lingkungan untuk kehidupan manusia, terutama terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan permukaan tanah atau amblesan, intrusi air laut, dan penurunan kualitas air tanah.
Babel et.al. (2006) menyatakan masalah amblesan yang disebabkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Bangkok telah menjadi masalah yang serius sejak sekitar tahun 1970. Pengambilan dan pemanfaatan air tanah secara intensif untuk kepentingan industri dan keperluan rumah tangga mulai sekitar tahun 1950 telah diidentifikasi oleh berbagai studi mengakibatkan penurunan mukai air tanah yang kemudian berakibat pada terjadinya amblesan. Instansi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan air tanah di Thailand – Department of Groundwater Resources – menyatakan kota Bangkok dan 6 provinsi di sekitarnya sebagai zona kritis air tanah. Sejak tahun sekitar tahun 1960 telah dilakukan studi untuk lebih memahami permasalahan dan mengusulkan solusi masalah amblesan, penurunan muka air tanah, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang berlebihan.
Wangsaatmaja et.al. (2006) melaporkan permasalahan yang sama terjadi di Kota Bandung. Pertumbuhan kota yang ditandai dengan peningkatan industri, bisnis, pertumbuhan jumlah penduduk, mengakibatkan ketidakseimbangan antara pengambilan dan pemanfaatan air tanah dengan laju pengimbuhan ke cekungan air tanah Bandung. Kedalaman muka air tanah turun sampai 50 meter dari kedalaman aslinya dan kemudian memunculkan wilayah-wilayah kritis air tanah, khususnya di daerah-daerah industri. Laju penurunan permukaan tanah dilaporkan
(19)
mencapai 2,3 – 18,4 cm per bulan. Desentralisasi kewenangan pengelolaan air tanah menyebabkan lebih banyak diterbitkannya izin pengambilan dan pemanfaatan air tanah karena memberikan kontribusi kepada pendapatan asli daerah. Perubahan kelembagaan pengaturan air tanah ini menyebabkan kegiatan konservasi air tanah menjadi semakin berkurang.
Formulasi dan implementasi kebijakan merupakan faktor kunci dalam pengelolaan air tanah dan sumber daya alam lainnya. Sterner (2003) menyatakan masalah kelangkaan air tanah disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena kesalahan alokasi atau penggunaan, dan lemahnya manajemen dan peraturan yang terkait dengan pengambilan air tanah. Di beberapa negara, berkurangnya cadangan air tanah lebih disebabkan lemahnya kebijakan, terutama yang berkaitan dengan penetapan harga. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengelolaan air tanah tidak semata-mata menekankan pada pengaturan penyediaan air tanah, penetapan harga dan struktur tarif merupakan masalah yang krusial. Koundouri (2004) menyatakan terdapat keyakinan – terutama di kalangan ekonom sumber daya dan lingkungan – bahwa ketiadaan intervensi kebijakan akan mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya air tanah.
Kebijakan atau regulasi membutuhkan instrumen. Hepburn (2006) menyatakan pemilihan instrumen kebijakan yang tepat sangat penting untuk kesuksesan regulasi. Publikasi yang menguraikan peran penting kebijakan atau regulasi dalam pengelolaan air tanah, khususnya yang berkaitan dengan penerapan instrumen ekonomi, antara lain: Olmstead dan Stavins (2008), Qureshi et.al. (2006), Kemper et.al. (2006), Hellegers dan van Ierland (2003), Chaudary et.al. (2002), Thobani (1997), dan Moncur dan Pollock (1988).
Pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah (Tresnadi, 2007), amblesan (Djaja et.al., 2004 dan Abidin et.al., 2009) dan intrusi air laut (Schmidt, et.al. 1990 dan Delinom, 2008). Berbagai laporan dan hasil penelitian, antara lain Jakarta Dalam Angka 2006-2008 (BPS Provinsi Jakarta, 2006, 2007 dan 2008), Syaukat dan Fox (2004) menunjukkan beberapa faktor atau penyebab terjadinya kecenderungan untuk pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta, yaitu: (1) harga perolehan air tanah yang jauh lebih murah
(20)
dibandingkan tarif pemakaian air Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta; (2) cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta yang relatif belum mencukupi; (3) pemompaan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain dan membuat ketersediaan air lebih terjamin; (4) rejim pengelolaan air
tanah yang secara “de facto” merupakan “open access”; (5) implementasi dan
penegakan peraturan perundangan yang masih belum optimal.
Sebagian besar faktor atau penyebab diatas pada dasarnya merupakan masalah kebijakan, karena itu evaluasi kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah perlu terus dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi terkini. Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian evaluasi kebijakan, termasuk penggunaan instrumen ekonomi seperti pajak, menjadi sangat relevan.
1.2. Perumusan Masalah
Kebutuhan air bersih untuk rumah tangga, industri, bisnis, dan utilitas perkotaan di Provinsi DKI Jakarta dipenuhi dari dua sumber utama, yaitu air permukaan yang disediakan PAM DKI Jakarta dan air tanah yang diekstrasi dari sumur bor dan sumur pantek. Berkaitan dengan penggunaan bersama ini, kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah meningkatkan cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta dan mengurangi proporsi pemakaian air tanah. Peningkatan cakupan pelayanan, ceteris paribus, akan menurunkan pemakaian air tanah. Situasi yang terjadi saat ini, kapasitas produksi dan cakupan pelayanan air bersih dari PAM DKI Jakarta relatif tetap, sementara kebutuhan air bersih terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, perkembangan industri dan bisnis, dan peningkatan pemakaian air untuk kepentingan lainnya. Situasi ini akan menyebabkan meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Data yang dipaparkan dalam Jakarta Dalam Angka 2008 dan 2009 (BPS Provinsi DKI Jakarta 2008 dan 2009) menyebutkan air bersih PAM DKI Jakarta pada tahun 2007 dipasok dari 11 unit instalasi produksi air bersih, sedangkan tahun 2008 hanya dipasok dari 8 unit instalasi. Tahun 2003-2007 rata-rata produksi PAM DKI Jakarta sebesar 519.526.543,20 m3, produksi tertinggi terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 536.650.419 m3. Produksi meningkat dari tahun
(21)
2004-2005, selanjutnya terus menurun hingga sebesar 509.341.688 m3 pada tahun 2007. Kenyataan ini mengindikasikan produksi air bersih dari PAM DKI Jakarta sifatnya tetap. Hal ini disebabkan tidak ada penambahan unit instalasi produksi air bersih.
Tahun 1990-2000 pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta 0,15% per tahun, tahun 2000-2007 meningkat menjadi 1,11% per tahun. Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta berdasarkan hasil estimasi Susenas 2007 sebesar 9.057.993 jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2008). Standar kebutuhan air rumah tangga (domestik) untuk penduduk kota metropolitan dengan jumlah penduduk diatas 2 juta jiwa sebesar lebih dari 210 liter/orang/hari (Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen PU dalam Bappenas 2006). Jika standar tersebut digunakan, tahun 2007 kebutuhan air rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 694.295.163,5 m3. Dengan demikian, jika seluruh kapasitas produksi PAM DKI Jakarta dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga masih terdapat defisit sekitar 185 juta meter kubik. Defisit ini akan bertambah besar dan bisa dipastikan melebihi 200 juta m3 jika dalam perhitungan tersebut dimasukkan semua orang yang tinggal dan bekerja di wilayah Provinsi Jakarta.
Kebutuhan air bersih untuk perkotaan dan industri tidak lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan air rumah tangga. Kebutuhan tersebut semakin meningkat jika dimasukkan juga kebutuhan sektor lainnya seperti pertanian, peternakan, dan sebagainya. Kebutuhan air perkotaan terdiri dari komersial (pasar, mal, hotel, bioskop dan sebagainya), sosial dan institusi (universitas, sekolah, masjid, rumah sakit, perkantoran, pangkalan militer dan sebagainya), fasilitas pendukung kota (taman dan sebagainya), fasilitas transportasi (stasiun, terminal, bandara). Sebagai contoh, kebutuhan air untuk hotel – dijelaskan dalam pedoman seperti disebutkan sebelumnya – adalah 400 liter/kamar/hari untuk hotel lokal, sedangkan untuk hotel internasional sebesar 1.000 liter/kamar/hari. Jumlah kamar hotel berbintang dan melati di Jakarta tahun 2007 sebesar 33.880 kamar, jika dikalikan dengan standar hotel lokal dengan tingkat hunian dihitung 50% (dalam Jakarta Dalam Angka 2008 disebutkan tingkat hunian tahun 2007 sebesar 50,45% untuk hotel berbintang dan 59,32% untuk hotel melati), maka kebutuhan air untuk hotel adalah 6.776.000 liter per hari atau 2.473.240 m3 per tahun.
(22)
Kebutuhan air industri tergantung pada ukuran dan jenis industri, misalnya kebutuhan sebuah industri besar yang memproduksi minuman ringan bisa mencapai 65.000-7,8 juta liter per hari. Paparan diatas menjelaskan bahwa sampai saat ini PAM DKI Jakarta tidak mampu memenuhi kebutuhan air bersih untuk kepentingan rumah tangga, industri, perkotaan, dan aktivitas lainnya. Implikasi dari situasi tersebut adalah meningkatnya pengambilan dan pemanfaatan air tanah dari tahun ke tahun.
Menurut data Jakarta Dalam Angka 2006, 2007, 2008, dan 2009 pada bulan Januari 2005 jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 3.571 sedangkan pada bulan Desember 2008 jumlahnya meningkat menjadi 3.959, mengalami peningkatan sebesar 10,87% atau dapat dinyatakan bahwa rata-rata setiap bulan terdapat penambahan sumur bor atau sumur pantek. Fakta tersebut lebih jelas jika ditilik dari bertambahnya sumur baru setiap tahun. Tahun 2008 tercatat 102 permohonan izin pembuatan sumur bor atau SIB dan 72 sumur pantek atau SIPA, tahun 2007 masing-masing sebanyak 84 sumur bor dan 57 sumur pantek, tahun 2006 masing-masing sebanyak 81 sumur bor dan 50 sumur pantek, sedangkan tahun 2005 masing-masing sebanyak 90 sumur bor dan 45 sumur pantek. Data tersebut menunjukkan sumur bor atau sumur pantek yang tercatat dan memiliki pencatat meter air. Selain itu terdapat sumur bor atau sumur pantek liar dan sumur-sumur yang dibuat oleh rumah tangga. Sampai saat ini sumur yang digunakan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan rumah tangga tidak dilaporkan dan tidak dikenakan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah. Uraian tersebut mengindikasikan bahwa pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang sesungguhnya jauh lebih besar dibandingan dengan yang tercatat, dan jumlahnya terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk akibat kelahiran dan urbanisasi, peningkatan kapasitas usaha komersial dan industri, ataupun berkembangnya sektor sosial dan bisnis lainnya yang membutuhkan air bersih.
Biaya perolehan air tanah yang lebih murah merupakan faktor yang mendorong rumah tangga, industri, usaha komersial, dan institusi sosial lainnya mengambil dan memanfaatakan air tanah. Sebelum diberlakukannya kenaikan pajak air tanah pada bulan Juni 2009, biaya pengadaan air tanah lebih murah
(23)
dibandingkan dengan harga air yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Pajak pengambilan air tanah hanya dikenakan kepada industri dan usaha komersial, sedangkan pengambilan air tanah oleh rumah tangga dan instansi pemerintah tidak dipungut pajak air tanah. Dengan demikian biaya pengadaan air tanah bagi rumah tangga dan instansi pemerintah hanya ongkos listrik untuk menyedot air, sedangkan untuk industri dan usaha komersial masih harus ditambah pajak pemanfaatan air tanah yang besarnya relatif kecil, hanya sekitar seperdelapan sampai sepersepuluh tarif air yang dikenakan bagi pelanggan PAM DKI Jakarta. Disparitas harga yang relatif besar ini menyebabkan rumah tangga dan industri memilih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu terdapat faktor-faktor lainnya, yakni: (1) wilayahnya terletak diluar jangkauan pelayanan air bersih dari PAM DKI Jakarta dan (2) pengambilan dan pemanfaatan air tanah sifatnya in-situ sehingga ketersediaannya tidak tergantung pihak lain sehingga ketersediaan air lebih terjamin.
Berkaitan dengan dampak negatif yang terjadi akibat pengambilan air tanah di satu sisi, dan manfaat air tanah bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat serta peningkatan perekonomian di sisi lainnya, perlu dilakukan pengelolaan agar terjadi keseimbangan antara biaya yang mencerminkan risiko lingkungan dan manfaat pengambilan dan pemanfaatan air tanah bagi masyarakat dan perekonomian Provinsi DKI Jakarta. Dalam perspektif ilmu ekonomi sumber daya dan lingkungan hal ini digambarkan dengan ekuilibrium antara biaya marjinal sosial (MSC) dan manfaat marjinal sosial (MSB). Titik ekuilibrium tersebut seyogyanya merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
Air tanah termasuk dalam subyek yang memerlukan pengaturan dalam bentuk kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU 7/2004) menyebutkan bahwa sumber daya air – termasuk didalamnya air tanah – dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 6 ayat 1). Penguasaan sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah (pasal 6 ayat 2). Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat melakukan pengaturan dengan membuat kebijakan dan
(24)
menetapkan berbagai instrumen untuk mengimplementasikannya. Salah satu pengaturan yang dilakukan Provinsi DKI Jakarta adalah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah (Pergub 37/2009). Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dilakukan analisis dan evaluasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta untuk menjamin terwujudnya kemanfaatan air tanah yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dye (1992) menyatakan bahwa analisis kebijakan dilakukan untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut, dan perubahan-perubahan seperti apa yang dilakukan, sedangkan evaluasi kebijakan adalah mengukur konsekuensi atau dampak kebijakan publik. Mengacu pada Dye (1992) dan uraian yang dipaparkan dalam latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air tanah yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?
2). Bagaimana dampak kebijakan tersebut bagi kelangsungan ketersediaan air tanah (menghindari terjadinya deplesi air tanah) di Provinsi DKI Jakarta?
1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1). Menginventarisasi kebijakan dan instrumen kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang telah dikeluarkan di Provinsi DKI Jakarta.
2). Mengevaluasi dampak implementasi instrumen ekonomi, yakni kenaikan pajak air tanah, terhadap deplesi air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
3). Melakukan perbandingan harga perolehan air tanah dan air PAM DKI Jakarta setelah diberlakukannya kenaikan pajak air tanah.
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi upaya pencegahan terjadinya deplesi air tanah yang pada gilirannya akan meningkatkan
(25)
instrusi air laut dan penurunan muka tanah di Provinsi DKI Jakarta. Secara khusus penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademik dan praktis. Manfaat akademik adalah memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang analisis dan evaluasi kebijakan pengelolaan sumber daya air tanah, khususnya dari sisi implementasi instrumen ekonomi. Manfaat praktis adalah memberikan masukan dalam bentuk rekomendasi berdasarkan hasil analisis dan evaluasi kebijakan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
(26)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karateristik dan Kepentingan Air Tanah Perkotaan
Air tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bernilai dan menentukan kelangsungan hidup manusia. Menurut Pipkin dan Trent (2001), sekitar 2,59% air yang tersedia di bumi merupakan air tawar dan 0,592% diantaranya merupakan air tanah, lebih banyak dibandingkan dengan air tawar yang langsung bisa diakses, seperti air danau (0,007%) dan air sungai (0,0001%). Selanjutnya Pipkin dan Trent (2001) menyatakan bahwa 37% dari seluruh air yang digunakan untuk kepentingan publik (153.000 juta liter per hari, tidak termasuk untuk kepentingan pertanian) berasal dari air tanah, sisanya dipenuhi dari air permukaan.
Menurut UU 7/2004, air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Definisi tersebut menjadi rujukan peraturan perundangan lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (PP 43/2008). Pergub 37/2009 menyatakan definisi yang sedikit berbeda, yakni air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Definisi lain terkait air tanah dipaparkan dalam PP 43/2008, yakni: (a) akuifer adalah lapisan batuan jenuh air tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air tanah dalam jumlah yang cukup dan ekonomis; (b) cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung; (c) daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan.
Pada dasarnya air tanah merupakan sumber daya alam yang dapat pulih karena adanya siklus hidrologi, tetapi sebagian besar literatur cenderung mengelompokkannya dalam sumber daya alam tidak pulih terutama untuk jenis air tanah dalam. Tietenberg (2006) menyatakan air, termasuk air tanah, sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui tetapi juga dapat mengalami deplesi. Koundouri (2004) menyatakan cadangan air tanah mengalami deplesi dan hanya kurang dari 5% yang dapat pulih melalui curah hujan dan mencairnya salju. Hartwick dan Olewiler (1998) menyatakan air tanah merupakan sumber daya
(27)
alam yang tidak pulih jika laju pengambilan air tanah lebih besar dari laju pengimbuhan alamiah.
Air tanah perkotaan digunakan untuk berbagai keperluan, seperti sumber air untuk kebutuhan rumah tangga, niaga (komersial), dan industri. Di Negeri Belanda, air tanah merupakan sumber utama untuk perusahaan air minum, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Suplai Air Bersih dan Sumber Air Baku Untuk Kepentingan Publik di Negeri Belanda (Juta m3)
Tahun
Sumber Air Baku
Suplai Air Tanah Air Permukaan Air Infiltrasi Lainnya
1990 810 258 212 16 1.280
1991 842 258 178 14 1.278
1992 834 266 173 15 1.273
1993 812 258 172 15 1.242
1994 829 261 175 14 1.266
1995 839 264 179 14 1.281
1996 814 266 188 14 1.267
1997 789 275 193 14 1.257
Sumber: Dietz dan van der Mark (2000)
2.2. Kebijakan dan Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Air Tanah
Dellapenna dan Gupta (2008) menyatakan pengelolaan sumber daya air secara formal telah berlangsung lebih dari 5.000 tahun yang lalu, yaitu sejak mulai dibangunnya irigasi untuk keperluan budidaya pertanian di Mesopotamia. Kornfeld (2008) menyatakan hukum atau peraturan perundangan tentang air di Mesopotamia dikembangkan sebagai konsekuensi alokasi hak untuk sumber daya pertanian-irigasi yang terbatas. Berdasarkan berbagai peraturan perundangan yang berkembang saat itu dapat dinyatakan bahwa air adalah aset komunal, diatur dan
(28)
dialokasikan oleh penguasa setempat kepada masyarakat untuk kepentingan irigasi. Kitab undang-undang yang secara formal mencantumkan regulasi tentang air antara lain hukum Ur-Numma, kitab Hammurabi, The Sumerian Laws Handbook of Form, The Hittite Laws, The Middle Assyrian Laws, dan Neo-Babylonian Water Law. Perkembangan hukum dan kebijakan tentang sumber daya air selanjutnya berjalan seiring dengan perkembangan budaya, agama, dan masyarakat. Naff (2008) menguraikan dimensi hukum, politik, dan sosial tentang sumber daya air dari perspektif hukum Islam, dan Laster et.al. (2008) membahas sumber daya air dalam tradisi hukum Yahudi.
Hukum dan kebijakan sumber daya air berkembang di tingkat nasional, regional, dan global. Gupta dan Dellapenna (2008) menyatakan empat faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tradisi dalam perkembangan hukum sumber daya air di tingkat nasional, yakni sebaran geografi sumber daya air, ketergantungan ekonomi, sejarah dan hidro-politik, dan ekosistem. Selain itu, mereka juga menyatakan delapan kekuatan yang menyebabkan terjadinya konvergensi hukum dan kebijakan sumber daya air domestik, yaitu peradaban, agama, penaklukan dan kolonisasi, komunisme, kodifikasi internasional, gerakan lingkungan hidup, komunitas/asosiasi, dan globalisasi. Pengaruh kekuatan tersebut akan menimbulkan implikasi pada perkembangan hukum dan kebijakan sumber daya air, misalnya penerapan prinsip hukum riparian pada koloni Inggris, sumber daya air adalah milik negara dan pembatasan pada kepemilikan pribadi sebagai implikasi kekuatan komunisme di Uni Soviet, Kuba, Cina, Angola, dan Mozambique, penerapan standar kualitas air sebagai pengaruh kekuatan gerakan lingkungan hidup, dan sebagainya.
Sterner (2003) mengadaptasi publikasi Bank Dunia memaparkan klasifikasi instrumen kebijakan seperti dipaparkan dalam Tabel 2 dan 3. Jika berpedoman pada Tabel 2 dan 3, instrumen kebijakan yang sesuai untuk pengelolaan sumber daya air adalah: (1) pajak, fees, atau charges; dan (2) subsidi dan pengurangan subsidi, keduanya termasuk kategori instrumen yang didasarkan pada konsep mekanisme pasar. Holden dan Thobani (1996) menyatakan tradable right juga bisa diaplikasikan untuk air, misalnya penerapan tradable water rights
(29)
kapan, dan bagaimana menggunakan tradable water rights. Ketiga instrumen tersebut dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai instrumen ekonomi.
Tabel 2. Klasifikasi Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Mekanisme Pasar
(Using markets)
Menciptakan Pasar
(Creating markets)
Regulasi
(Environmental regulations)
Melibatkan Masyarakat
(Engaging the public)
Pengurangan subsidi (Subsidy reduction)
Property rights and decentralization
Standar (Standards) Partisipasi
masyarakat (Public participation) Pajak dan pungutan
lainnya
(Environmental taxes and charges)
Tradable permits and right
Bans Information
disclosure
Retribusi (User charges)
International offset systems
Permits and quotas
Deposit-refund systems
Zoning
Targeted subsidies Liability
(30)
Tabel 3. Aplikasi Instrumen Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Instrumen Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Air, Perikanan,
Pertanian, Kehutanan, Pertambangan, dan Biodiversitas)
Direct provision Provision of parks
Detailed regulation (1) Zoning; (2) Regulation of fishing; (3) Bans on ivory trade to protect biodiversity
Flexible regulation Water quality standards
Tradable quotas or rights (1) Individually tradable fishing quotas; (2)
Transferable rights for land development, forestry, or agriculture
Taxes, fees, or charges (1) Water tariffs; (2) Park fees; (3) Fishing licences; (3) Stumpage fees
Subsidies and subsidy reduction
(1) Air ; (2) Perikanan; (3) Reduced agricultural subsidies
Deposit-refund schemes Reforestation deposits or performance bonds in forestry
Refunded emissions payments Biasanya dipakai dalam pengelolaan polusi
Creation of property rights (1) Private national parks; (2) Property rights and deforestation
Common property resources CPR Management
Legal mechanism, liability Lialibility bonds for mining or hazardous waste
Voluntary agreements Produk hasil hutan
Information provision labels (1) Labeling of food; (2) forest products
International treaties International treaties for protection of ozone layers,
seas, climate, dan sebagainya
Macroeconomic policies Dampak reformasi kebijakan dan kebijakan ekonomi
terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup
Sumber: Sterner (2003)
Selain instrumen ekonomi, juga ditemui penerapan instrumen non-ekonomi dalam pengelolaan sumber daya air, termasuk air tanah. Hellegers dan van Ierland (2003) mengevaluasi suitability berbagai instrumen kebijakan untuk
(31)
kepentingan pengelolaan air tanah di Negeri Belanda. Fokus penelitian adalah pengelolaan air tanah untuk kepentingan irigasi. Mereka mengelompokan instrumen tersebut sebagai instrumen ekonomi (pajak, tradable rights, dan subsidi), instrumen regulasi (ban atau standar), instrumen suasive (agreements), instrumen yang berkaitan dengan kelembagaan lingkungan (change rights). Di Negeri Belanda pemanfaatan instrumen ekonomi belum terlalu banyak dilakukan, penelitian ini mengkaji sejauh mana efektivitas atau lebih jauh suitability
penggunaan instrumen ekonomi untuk mengontrol tingkat ketinggian/kedalaman air tanah (secara teknis disebut water table) dan ekstraksi/pemanfaatan air tanah. Evaluasi terhadap instrumen tersebut dipaparkan dalam Tabel 4 dan 5. Hasil analisis menunjukkan pendekatan kelembagaan dan agreement lebih efektif dibandingkan dengan instrumen ekonomi. Diantara ketiga instrumen ekonomi,
tradable right relatif paling suitable.
Tabel 4. Suitability Instrumen Pengelolaan Air Tanah (Groundwater Level)
Instrumen Efektivitas Efisiensi Ekonomi
Efisiensi Teknis
Kelayakan
Administrasi Equity Acceptability
Pajak +/- + + - +/- -
Tradable rights
+ + + - +/- +/-
Subsidi +/- - - +
Standard + - - - +/- -
Agreements +/- + + + + +/-
Change rights
+ + + + + +
Keterangan : + artinya memiliki dampak positif; +/- artinya memiliki dampak positif atau negatif; dan – artinya memiliki dampak negatif.
(32)
Tabel 5. Suitability Instrumen Pemanfaatan (Extraction) Air Tanah
Instrumen Efektivitas Efisiensi Ekonomi
Efisiensi Teknis
Kelayakan
Administrasi Equity Acceptability
Pajak +/- + + - +/- -
Tradable rights
+ + + - +/- +/-
Subsidi +/- - - +
Ban + - - - +/- -
Agreements +/- + + + + +
Change rights
+ + + +/- - -
Keterangan : + artinya memiliki dampak positif; +/- artinya memiliki dampak positif atau negatif; dan – artinya memiliki dampak negatif.
Mekanisme pasar dan kebijakan pemerintah tidak selalu menghasilkan alokasi sumber daya yang efektif dan efisien, khususnya untuk mengelola barang-barang publik termasuk air tanah. Mekanisme pasar akan berjalan efektif dan efisien jika diberlakukan pada barang-barang privat murni (pure private goods) dan tidak terdapat asimetri informasi. Untuk barang-barang dan jasa-jasa yang tidak sepenuhnya merupakan barang privat murni, seringkali terjadi apa yang disebut sebagai kegagalan pasar, demikian juga jika terdapat asimetri informasi.
Di semua negara, alokasi sumber daya tidak sepenuhnya diatur melalui mekanisme pasar tetapi juga terdapat campur tangan pemerintah melalui apa yang disebut sebagai kebijakan atau kebijakan publik. Seperti mekanisme pasar, tidak seluruhnya kebijakan pemerintah membuat alokasi menjadi lebih efisien dan efektif, seringkali yang terjadi malah sebaliknya. Situasi ini dikenal sebagai kegagalan pemerintah.
Secara umum, peristiwa kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah biasanya terjadi pada barang publik (public goods atau quasi public goods),
common pool resources (CPRs), atau pada barang-barang dan jasa-jasa yang tidak bisa sepenuhnya dikategorikan sebagai barang privat. Sebagaimana dipaparkan dalam berbagai literatur, pengelolaan air tanah termasuk dalam kategori ini.
(33)
Untuk situasi seperti ini, Weimer dan Vining (1990) menyebutkan perlunya kebijakan generik untuk melakukan koreksi terhadap kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah. Menurut mereka, kebijakan generik adalah berbagai tipe tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi problem kebijakan yang terjadi. Karena problem kebijakan biasanya kompleks dan kontekstual, maka kebijakan generik harus dibuat spesifik untuk menghasilkan kebijakan alternatif yang viable. Selanjutnya mereka mengelompokan kebijakan generik kedalam 5 kategori, yakni: (1) kebijakan yang membebaskan, memfasilitasi, dan menstimulasi pasar; (2) kebijakan berbasis pajak dan subsidi; (3) menegakkan peraturan; (4) menyediakan barang-barang tidak melalui mekanisme pasar; dan (5) menyediakan asuransi dan bantalan ekonomi (providing insurance and cushions (economic protection)).
2.3. Nilai, Harga, dan Alokasi Air Tanah
Nilai dan harga suatu barang berbeda, nilai diukur dari persepsi dan preferensi sedangkan harga terjadi karena adanya pertukaran ataupun ditetapkan. Kemper et.al. (2006) menyatakan nilai ekonomi sumber daya alam tergantung pada apa yang seseorang bisa lakukan dengan sumber daya tersebut dan tergantunng juga pada kelangkaannya dibandingkan dengan sumber daya alternatif lainnya. Dengan demikian nilai air tanah didapatkan dengan mengidentifikasi berbagai penggunaan yang bisa dilakukan terhadap sumber daya tersebut dan tergantung pada kelangkaan dan kualitasnya jika dibandingkan dengan air permukaan pada wilayah yang sama.
Selanjutnya Kemper et.al. (2006) menyebutkan nilai ekonomi air tanah, yakni: (1) nilai penggunaan (use value), untuk keperluan air minum, industri, irigasi dan sebagainya; (2) diluar nilai penggunaan (non-use value) misalnya kemanfaatan untuk generasi yang akan datang; (3) nilai ekosistem, misalnya manfaat keberadaan air tanah untuk ekosistem, sungai, dan danau. Secara praktis nilai air tanah diukur dari kesediaan pemakai/pelanggan untuk membayar pengambilan dan pemanfaatan air tanah (WTP atau willingness to pay). Beberapa cara untuk mengukur WTP air tanah adalah residual value method dan hedonic pricing. Hensher (2005) melakukan penelitian untuk mengukur kesediaan
(34)
menbayar konsumen rumah tangga untuk layanan air minum dan air limbah rumah tangga di Canberra pada tahun 2002.
Berbeda dengan penetapan nilai suatu barang, penetapan harga suatu barang seringkali ditentukan oleh banyak faktor untuk memenuhi dan memuaskan berbagai tujuan yang bisa berbeda-beda. Dalam hal penentuan harga air tanah pertimbangannya bisa bermacam-macam, seperti dipaparkan dalam Tabel 4 dan 5 misalnya efisiensi, keadilan, dan penerimaan masyarakat. Penetapan harga juga terkait dengan biaya. Kemper et.al. (2006) menyatakan biaya yang dikeluarkan pemakai/pelanggan air tanah lebih rendah dari total biaya ekonomi penggunaan air tanah yang meliputi biaya modal, biaya operasi dan pemeliharaan, pajak dan retribusi, biaya oportunitas social (social opportunity costs), dan biaya eksternal (in-situ value). Pemakai/pelanggan hanya mengeluarkan biaya modal, biaya operasi dan pemeliharaan, pajak dan retribusi, bahkan dalam beberapa kesempatan pengeluaran lebih rendah karena disubsidi atau tidak harus membayar retribusi dan pajak.
Berbagai literatur menyatakan efisiensi konsumsi sumber daya alam terjadi jika harga sama dengan biaya marjinal ekstrasi sumber daya alam ditambah dengan scarcity rent (Moncur dan Pollock, 1988; Howe, 1979) atau
E
MC
p , dimana p, MCE, dan Ф, masing-masing menyatakan harga, biaya
marjinal ekstrasi dan scarcity rent. Grafton et.al. (2004) mengemukakan hal yang sama dengan menyatakan alokasi dinamik yang optimal akan menghasilkan
persamaan dimana , , dan masing-masing menyatakan
manfaat marjinal, biaya marjinal, dan shadow price.
Dalam teori ekonomi, transaksi terjadi pada saat harga yang dibayarkan sama dengan manfaat marjinal yang diterima, sedangkan shadow price pada dasarnya adalah harga yang harus diinternalisasi dalam kaitan dengan kelangkaan sumber daya alam. Scarcity rent dan shadow price diatas pada dasarnya tidak berbeda dan dapat disebut user cost. Komponen biaya inilah yang seharusnya dijadikan acuan untuk menentukan besarnya harga dasar air tanah.
Alokasi sumber daya alam dibedakan menjadi alokasi statik dan alokasi dinamik. Alokasi statik artinya pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masa sekarang tidak memiliki implikasi pada pengambilan dan pemanfaatan
(35)
sumber daya alam pada masa yang akan datang. Alokasi statik diterapkan untuk air permukaan, misalnya pengambilan dan pemanfaatan air di sungai dan danau. Siklus hidrologi menjamin sungai dan danau akan menyediakan air dalam jumlah yang relatif stabil pada masa yang akan datang. Sebaliknya alokasi dinamik artinya pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masa sekarang memiliki implikasi pada pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masa yang akan datang. Alokasi dinamik sesuai diterapkan untuk sumber daya air tanah karena pengambilan yang dilakukan oleh pihak ke-i pada saat sekarang akan mempengaruhi pengambilan pihak lain di masa yang akan datang. Model alokasi ini dipilih karena laju pengimbuhan air tanah selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah, sehingga cadangan air tanah menurun dari tahun ke tahun. Selain itu kualitas air yang masuk kembali ke dalam tanah biasanya lebih rendah dibandingkan air tanah yang diekstrasi, sehingga selain terjadi penurunan cadangan air tanah juga terjadi penurunan kualitas air tanah.
Grafton et.al. (2004) menguraikan tahapan analisis dinamik alokasi air tanah, yang didasarkan pada model alokasi perencanaan sosial (social planner alocation) yakni:
(1) Asumsikan volume cadangan air tanah pada satu waktu tertentu adalah dan laju pengimbuhan (diasumsikan konstan) adalah .
(2) Pengambilan dan pemanfaatan air tanah oleh pemakai/pelanggan ke- pada waktu adalah dan pengambilan dan pemanfaatan secara agregat adalah
.
(3) Cadangan air tanah dinamik tergantung besaran agregat relatif selisih antara pengambilan/pemanfaatan dan pengimbuhan, yakni .
(4) Setiap pemakai/pelanggan air tanah menikmati manfaat sebesar sedangkan manfaat agregat adalah .
(5) Setiap pemakai/pelanggan harus mengeluarkan biaya pemompaan air tanah sebesar sedangkan biaya pemompaan agregat adalah . (6) Diasumsikan bahwa biaya pemompaan meningkat jika jumlah cadangan air
(36)
pemakai/pelanggan menyebabkan naiknya biaya pemompaan pihak pemakai/pelanggan lainnya untuk waktu sekarang ataupun waktu yang akan datang.
(7) Diasumsikan semua pemakai/pelanggan menggunakan discount rate yang sama sebesar dan jangka waktu .
(8) Berdasarkan asumsi yang dipaparkan diatas, alokasi optimal air tanah secara sosial adalah menentukan rentang waktu untuk pengambilan dan pemanfaatan agrgegat air tanah sehingga memaksimumkan nilai sekarang dari setiap pengambilan dan pemanfaatan dengan mempertimbangkan kendala hidrologi. Secara matematis, kebijakan perencanaan sosial alokasi dinamik air tanah tersebut adalah:
dengan kendala
(a) (b)
(9) Optimalisasi model diatas dilakukan dengan melakukan turunan pertama, dengan terlebih dahulu membentuk nilai sekarang (present value) persamaan Hamiltonian sebagai berikut:
λt
dimana λt adalah pengganda (multiplier) Lagrange.
Untuk menyelesaikan persamaan tersebut persamaan Hamiltonian diubah dalam bentuk nilai yang berlaku (current value Hamiltonian) sebagai berikut:
dimana .
Syarat perlu (necessary condition) yang dibutuhkan untuk optimisasi adalah: (a)
(b) (c)
(37)
(d)
(e) (menyatakan bahwa pada akhir jangka waktu analisis cadangan atau nilai shadow price sama dengan nol)
(10)Syarat perlu diatas (bagian a dan b) dapat ditulis ulang dalam bentuk mengeliminasi indeks waktu dan notasi subscript, sehingga didapatkan:
(a’)
Persamaan ini mengindikasikan bahwa ekstrasi air tanah sepanjang waktu harus mempertimbangkan situasi dimana manfaat marjinal sama dengan biaya marjinal. Biaya marjinal yang terletak pada sisi kanan terdiri dari dua komponen, yaitu biaya marjinal privat yang dikeluarkan oleh tiap-tiap pemakai/pelanggan air tanah ( ) dan shadow price
cadangan air tanah yang menjelaskan bahwa kenaikan biaya pemompaan (ekstrasi) air tanah pada masa yang akan datang disebabkan berkurangnya ukuran akuifer akibat ekstrasi air tanah pada waktu yang sedang berjalan (current period).
(b’) Masing-masing ruas persaman b dibagi dengan dan indeks waktu dieliminasi, maka akan dihasilkan persamaan . Ruas kiri menyatakan perubahan shadow price, sedangkan ruas kanan masing-masing menyatakan social discount rate dan perubahan relatif biaya pemompaan terhadap shadow price. Jika komponen kedua ruas kanan sama dengan nol, artinya pemompaan saat ini tidak mempengaruhi atau menaikkan biaya pemompaan pihak lain, maka dapat dinyatakkan artinya perubahan shadow price sama dengan social discount rate. Sebaliknya jika biaya pemompaan satu pihak mempengaruhi atau tepatnya menaikkan biaya pemompaan pihak lain, maka perubahan
shadow price harus lebih besar dibandingkan dengan social discount rate.
(38)
Koundouri (2004) memberikan ilustrasi tentang penetapan harga air tanah yang ideal dengan menunjukkan secara jelas besarnya nilai kelangkaan air tanah (scarcity rent) yakni jarak cλ pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Penetapan Harga Air Tanah
Moncur and Pollock (1988) membahas valuasi dan penetapan harga (pricing) yang berkaitan dengan kelangkaan air. Olmstead dan Stavins (2008) menyatakan pendekatan harga (price-based approaches) memiliki kelebihan dalam hal pemantauan dan penerapannya (enforcement). Berkenaan dengan metode penetapan harga air (water pricing), Tietenberg (2006) memaparkan berbagai metode penetapan harga dan karateristiknya, seperti dipaparkan dalam Tabel 6. Ia juga melakukan ulasan terhadap berbagai struktur penetapan tarif dengan mempertimbangkan variabel biaya per unit dan pemakaian. Struktur tarif yang dievaluasi adalah: uniform rate structure, declining block rate structure,
inverted block rate structure, seasonal rate structure. Mengacu pada paparan yang disampaikannya, skema penetapan pajak air tanah di Jakarta menganut model volumetric, sedangkan struktur tarifnya inverted block rate structure atau bisa disebut sebagai increasing block rate.
Harga air tanah (t)
Harga efisien
Backstop cost
Steady-state user cost
Kuantitas air tanah (t) Biaya marjinal
ekstrasi p
c
λ
(39)
Tabel 6. Metode Penetapan Harga Air dan Karateritiknya
Skema
Penetapan Harga Implementasi Efisiensi
Jangkauan Waktu Efisiensi
Kontrol terhadap permintaan
Volumetric Complicated First-best Jangka pendek Mudah
Output Relatif mudah Second-best Jangka pendek Relatif mudah
Input Mudah Second-best Jangka pendek Relatif mudah
Per-area Paling mudah None n.a. Sulit
Block-rate (tiered)
Relatif
complicated First-best Jangka pendek Relatif mudah
Two-part Relatif
complicated First-best Jangka panjang Relatif mudah
Water market Difficult without preestablished institutions
First-best Jangka pendek n.a.
Sumber : Tietenberg (2006)
2.4. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia diatur dalam Undang-udang Nomor 28 Tahun 2009 (UU 28/2009) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Menurut undang-undang tersebut, air tanah masuk dalam ketentuan pajak daerah, tetapi tidak termasuk dalam ketentuan retribusi daerah. Meskipun demikian dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 masih terdapat retribusi daerah untuk air tanah, yaitu retribusi yang berkaitan dengan izin pengeboran sumur air tanah, izin juru bor air tanah dan sebagainya.
Samudra (1996) menyatakan pajak daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah telah berlangsung lama. Pasal 37 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 menyebutkan salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak dan retribusi daerah. Selanjutnya tahun 1957 dikeluarkan pula pengaturan tentang sumber pendapatan daerah, khususnya mengenai pajak daerah (Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957) dan retribusi daerah (Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1957). Pada pokoknya undang-undang darurat tentang pajak daerah menyebutkan beberapa hal, antara lain pengertian dari pajak daerah adalah
(40)
pungutan daerah menurut peraturan pajak yang diharapkan oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Undang-undang tersebut juga menjelaskan jenis pajak daerah provinsi dan kabupaten/kota, tetapi tidak terdapat pajak air tanah. Undang-undang darurat yang mengatur retribusi daerah juga tidak mencantumkan retribusi pengambilan dan pemanfaatan air tanah.
Devas et.al (1989) menggunakan lima tolok ukur untuk menilai pajak daerah di Indonesia, yakni: (1) hasil (yield), (2) keadilan (equity), (3) daya guna ekonomi (economic efficiency), (4) kemampuan melaksanakan (ability to implement), dan (5) kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suitability asa local revenue source). Selanjutnya Devas et.al. (1989) melakukan penilaian beberapa jenis pajak daerah yang dianggap penting, tetapi tidak termasuk pajak air tanah. Tolok ukur yang digunakan suitability instrumen kebijakan, termasuk pajak, yang digunakan Hellegers dan van Ierland (2003) pada dasarnya tidak berbeda dengan yang digunakan Devas et.al. (1989).
Definisi pajak daerah menurut UU 28/2009 adalah: “Pajak daerah adalah
kontribusi wajib kepada daerah yang teruang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (pasal 1 ayat 10 UU 28/2009)”. Menurut UU 28/2009, pajak daerah dikelompokkan menjadi pajak provinsi dan kabupaten/kota, pasal 2 ayat 2g menyebutkan pajak air tanah termasuk jenis pajak kabupaten/kota. Untuk wilayah DKI Jakarta, pajak air tanah termasuk pajak provinsi. Pasal 67 sampai pasal 71 mengatur ketentuan tentang pajak air tanah. Beberapa ketentuan pokok yang dipaparkan dalam pasal-pasal tersebut antara lain: (1) objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah; (2) dikecualikan dari objek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, peribadatan, pengambilan dan/atau pemanfaatan lainnya yang diatur dengan peraturan daerah; (3) dasar pengenaan pajak adalah NPA (nilai perolehan air tanah) yang dinyatakan dalam rupiah dan dihitung dengan mempertimbangkan jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air,
(41)
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan, kualitas air, tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air; (4) tarif pajak setinggi-tingginya 20%; (5) besaran pokok pajak air tanah adalah tarif pajak dikalikan NPA.
Menurut UU 28/2009, retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Objek retribusi daerah adalah jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Jenis retribusi jasa umum antara lain retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, dan sebagainya seluruhnya terdapat 14 jenis retribusi. Jenis retribusi jasa usaha antara lain retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, dan sebagainya seluruhnya terdapat 11 jenis retribusi. Jenis retribusi perizinan tertentu antara lain retribusi izin mendirikan bangunan, retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, dan sebagainya seluruhnya terdapat 5 jenis retribusi. Jumlah seluruh retribusi yang ditetentukan undang-undang sebanyak 30 jenis retribusi, dan tidak terdapat retribusi yang berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan air tanah.
Analisis tentang pajak air tanah dan retribusi air tanah biasanya tidak dimasukan dalam pembahasan tentang pajak daerah dan retribusi daerah karena besaran kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah (PAD) kecil sekali dibandingkan dengan pajak kendaraan bermotor atau retribusi jasa usaha. Selain pajak kendaraan bermotor, pokok bahasan biasanya berkisar pada masalah pajak rokok, pajak hiburan, pajak hotel, retribusi pelayanan parkir, dan sebagainya.
2.5. Penelitian Terkait Pengelolaan Air Tanah
Roseta-Palma (2003) menyatakan pada umumnya literatur ekonomi tentang air bawah tanah dapat dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) makalah yang mengevaluasi berbagai skema biaya pengelolaan akuifer (aquifer), tanpa memperhatikan kualitas air; dan (2) makalah yang berkaitan dengan masalah kontaminasi oleh berbagai bahan pencemar. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, ia melakukan penelitian yang membahas kedua aspek tersebut, dan
(42)
menemukan bahwa jika kualitas dan kuantitas akuifer adalah penting, maka kebijakan yang optimal harus merefleksikan hubungan antara keduanya.
Dalam artikel ini, Roseta-Palma (2003) juga memaparkan bahwa air tanah biasanya dieksploitasi berdasarkan rejim common property right, dimana akses dibatasi oleh kepemilikan lahan yang dibawahnya terdapat lapisan akuifer. Pernyataan serupa muncul atau disinggung dalam penelitian lainnya, antara lain Syaukat dan Fox (2004) menyatakan air tanah di Jakarta secara de facto
dieksploitasi sebagai sumber daya alam “open acces” ketimbang sebagai aset
milik negara; Rubio dan Casino (2003) menyebut pemanfaatan air tanah sebagai
“common property extraction”. Posisi air tanah sebagai sumber daya alam yang
bersifat “open acces” ataupun “common property right” akan mengakibatkan
terjadinya pemanfaatan atau pemompaan air tanah yang tidak efisien, dan mempercepat terjadinya deplesi sumber daya alam tersebut.
Roseta-Palma (2003) menyatakan pada umumnya literatur ekonomi tentang air bawah tanah dapat dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) makalah yang mengevaluasi berbagai skema biaya pengelolaan akuifer (aquifer), tanpa memperhatikan kualitas air; dan (2) makalah yang berkaitan dengan masalah kontaminasi oleh berbagai bahan pencemar. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, ia melakukan penelitian yang membahas kedua aspek tersebut, dan menemukan bahwa jika kualitas dan kuantitas akuifer adalah penting, maka kebijakan yang optimal harus merefleksikan hubungan antara keduanya.
Dalam artikel ini, Roseta-Palma (2003) juga memaparkan bahwa air tanah biasanya dieksploitasi berdasarkan rejim common property right, dimana akses dibatasi oleh kepemilikan lahan yang dibawahnya terdapat lapisan akuifer. Pernyataan serupa muncul atau disinggung dalam penelitian lainnya, antara lain Syaukat dan Fox (2004) menyatakan air tanah di Jakarta secara de facto
dieksploitasi sebagai sumber daya alam “open acces” ketimbang sebagai aset
milik negara; Rubio dan Casino (2003) menyebut pemanfaatan air tanah sebagai
“common property extraction”. Posisi air tanah sebagai sumberdaya alam yang bersifat “open acces” ataupun “common property right” akan mengakibatkan
terjadinya pemanfaatan atau pemompaan air tanah yang tidak efisien, dan mempercepat terjadinya deplesi sumberdaya alam tersebut.
(43)
Penelitian seperti ini sebelumnya pernah dilakukan, antara lain: (1) Syaukat dan Fox (2004), mengevaluasi efisiensi pengelolaan bersama (conjunctive) air permukaan dan air tanah di Provinsi DKI Jakarta; (2) Hellegers dan van Ierland (2003), mengevaluasi suitability (efektivitas, efisiensi ekonomi, efisiensi teknis, kelayakan administrasi, equity, dan acceptability) instrumen ekonomi untuk pengelolaan air tanah untuk kepentingan irigasi di Belanda; dan (3) Ebarvia (1997), tentang penetapan harga (pricing) pemanfaatan air tanah untuk industri di Manila. Perbedaan dengan Syaukat dan Fox (2004), penelitian ini hanya fokus pada pemanfaatan air tanah, sedangkan perbedaan dengan Hellegers dan van Ierland (2003) penelitian ini dilakukan untuk pemanfaatan industri. Perbedaan dengan Ebarvia (1997) adalah cakupan pembahasan yang lebih luas dan perbedaan karateristik lokasi.
Mengacu pada paparan tentang berbagai instrumen kebijakan (Hellegers dan van Ierland, 2003), penerapan kebijakan generik (Weimer dan Vining, 1990), serta skema dan struktur tarif sebagaimana dipaparkan Tietenberg (2006), maka formulasi kebijakan pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta bisa dilakukan dengan kemungkinan yang lebih variatif.
(44)
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
Air tanah adalah salah satu sumber daya alam yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia. Cadangan air tanah di dunia cenderung menurun, karena meskipun merupakan sumber daya alam yang bisa pulih tetapi memiliki kecenderungan mengalami deplesi (Hartwick dan Olewiler (1998), Koundouri (2004), dan Tietenberg (2006)), karena laju ekstrasi lebih besar dari laju pengimbuhan. Pada umumnya air tanah adalah sumber daya yang dimiliki negara,
tetapi secara “de facto” rejim pengelolaannya adalah “open access” karena
pengambilan air tanah bisa dilakukan diatas lahan yang dilindungi oleh hak milik perorangan atau badan. Pada situasi seperti ini diperlukan peran pemerintah dalam bentuk formulasi dan implementasi kebijakan untuk membatasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Koundouri (2004) menyatakan tanpa kebijakan dapat terjadi kesalahan alokasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah.
Pajak dan retribusi merupakan instrumen yang banyak dipakai untuk membatasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah. Berbagai literatur juga banyak membahas dan merekomendasikan instrumen ini, misalnya Sterner (2003) dan Kemper et.al. (2006), meskipun meskipun tidak selalu lebih baik (Hellegers dan van Ierland, 2003). Akurasi penggunaan instrumen pajak dan retribusi sangat tergantung pada seberapa tepat penetapan perhitungan harga air tanah. Penetapan harga air tanah pada umumnya hanya didasarkan pada biaya ekstrasi, tidak memasukan nilai kelangkaan sumber daya air tanah. Konsep dan praktik seperti ini menyebabkan harga air tanah menjadi lebih rendah dibandingkan harga semestinya (Howe (1979), Moncur dan Pollock (1988), Koundouri (2004), dan Grafton et.al. (2004)).
Alokasi pengambilan dan pemanfaatan air tanah harus didasarkan pada analisis dinamik. Penetapan jangka waktu (time horizon) pengambilan air tanah dan penetapan discount rate, pertimbangan hidrologis terkait laju pengimbuhan harus menjadi pertimbangan utama untuk melakukan alokasi dinamik. Output alokasi dinamik memungkinkan – dan seharusnya seperti itu – terjadi perbedaan besaran harga dasar air di berbagai lokasi pengambilan dan pemanfaatan air dalam
(45)
satu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian dimungkinkan terjadi perbedaan penetapan besaran pajak air tanah dalam satu satuan wilayah administrasi.
3.2. Kerangka Operasional
Prioritas pemenuhan kebutuhan air bersih di Provinsi DKI bersumber dari air permukaan yang disediakan oleh PAM DKI Jakarta. Prioritas ini sulit diwujudkan karena: (a) harga perolehan air tanah lebih murah dibandingkan dengan tarif air bersih PAM DKI Jakarta; (b) cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta tidak memadai karena pertumbuhan kapasitas produksi relatif tetap sementara permintaan terus meningkat; (c) kelemahan penegakan peraturan menyebabkan rejim pengelolaan air tanah yang pada dasarnya merupakan sumber daya milik negara secara de facto merupakan open acces (Syaukat dan Fox (2004)).
Pemanfaatan dan pengambilan air tanah di Provinsi DKI Jakarta diduga telah sampai pada tahap yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, intrusi air laut dan amblesan (Schmidt et.al. (1990), Djaja et.al. (2004), Tresnadi (2007), Delinom (2008), dan Abidin et.al. (2009)). Sterner (2003) menyatakan masalah kelangkaan air tanah disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena kesalahan alokasi atau penggunaan, dan lemahnya manajemen dan peraturan yang terkait dengan pengambilan air tanah.
Kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta saat ini perlu diperbarui, khususnya disesuaikan dengan kebijakan nasional pengelolaan air tanah yang diterbitkan setelahnya. Salah satu kebijakan yang baru dikeluarkan adalah menaikkan NPA (nilai perolehan air tanah) sebagai dasar penetapan besaran pajak air tanah. Pajak air tanah adalah perkalian tarif pajak dengan NPA. Kewenangan menetapkan tarif pajak air tanah ada pada pemerintah pusat, yakni maksimal sebesar 20% seperti termaktub dalam undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Kenaikan NPA ini diharapkan menurunkan pengambilan dan pemanfaatan air tanah, khususnya sumur-sumur bor yang berada dalam wilayah dalam cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta.
(1)
110 5D SAT 01 120 PT. Panasonic Manufacturin Jl. Raya Bogor Km. 29, Jakarta
111 5D SAT 01 176 PT. Kayaba Industrial Estate
112 5D SAT 01 177 PT. Young Ind. Textile Indt. Jl. Blok II F 7-8, Pulogadung 113 5D SAT 01 181 PT. Jakarta Kyoei Steel Jl. Rawa Ternate II no.1
114 5D SAT 01 204 PT. Estu Jl. Budi
115 5D SAT 01 212 PT. Wira Mustika Indah Jl. Lingkar Raya Bekasi, Cakung 116 5D SAT 01 225 PT. Young Ind. Textile Indt. Jl. Blok II F 7-8, Pulogadung
117 5D SAB 02 350 PT. Parama Raya Jl. Daan Mogot Km. 17
118 5D SAB 02 457 PT. Pasir Sari Raya Jl. Daan Mogot Km. 4
119 5D SAB 02 511 PT. Menjangan Jaya Jl. Daan Mogot no. 52
120 5D SAS 04 986 PT. Sepatu Bata Jl. Pahlawan Kalibata
121 5D SAS 04 1143 PT. Pharos Indonesia Jl. Lino no. 40
122 11D SAP 01 180 Televisi R.I Jl. Pintu VIII Senayan
123 11D SAP 01 218 TVRI Jl. Pintu VIII Senayan
124 11D SAP 01 260 Sek. Neg. R.I Jl. Salemba II no.10
125 11D SAP 01 266 Dirjen Anggaran Jl. Lap. Banteng Timur II
126 11D SAP 01 267 Dept. keuangan R.I. Jl. Lap. Banteng Timur II
127 11D SAT 01 61 Makodam V Jaya Jl. Sutoyo Cawang
128 11D SAT 01 189 RS. Persahabatan Jl. Persahabatan, Rawamangun
129 11D SAT 01 245 Kantor Perwakian BPKP DKI Jakarta Jl. Pramuka
130 11D SAB 02 336 Dirjen Pajak Jl. Mangga Besar no.52
131 11D SAS 04 1049 Ditjen Pajak Kanwil Jl. Rasuna Said Kav. B8 132 11D SAS 04 1052 Akademi Gizi Jakarta Jl. Hang Jebat III Keb. Baru 133 11D SAS 04 1105 Dit. Listrik & Energi Baru Jl. Rasuna Said Blok X/2 Kav 7 P8
134 1L SAT 01 297 Asrama Haji Jl. Pondok Gede
135 1L SAB 02 391 Lilis Setyayanti Jl. Kemanggisan no. 5
136 1L SAB 02 392 Wargono Daan Mogot Gg. Macan Blok 5Y no. 8
137 1L SAB 02 429 Ricki Christianto Jl. Kembangan no. 45
138 1L SAB 02 474 PT. Teratai Indah Sari Jl. Daan Mogot no. 115
139 1L SAB 02 599 Yayasan Swana Santa Jl. Melati Raya no. 31, Pedongkelan
140 2L SAB 02 595 Jhon Wenas Meruya Ilir Tmn. K. Jeruk E2/3 4
141 2L SAS 04 1018 Angkasa Motor Jl. Raya Pasar Minggu no. 16A
142 2L SAS 04 1028 Royal Service Motor Jl. Raya Pasar Minggu 143 3L SAB 02 435 Yatmatama/ PT. Marisa Jl. Pesanggrahan no. 2
144 4L SAT 01 17 PT. Standard Jl. Bekasi, Pulogadung
145 4L SAT 01 26 PT. Bambu Mas Indah Jl. Pondok Bambu
146 4L SAT 01 213 Perum Pelud Bandara HPK Jl. Halim Perdana Kusuma\ 147 4L SAT 01 214 Perum Pelud Bandara HPK Jl. Halim Perdana Kusuma\ 148 4L SAT 01 232 PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Jl. Jakarta Barat no. 114 149 4L SAT 01 240 PT. Multi Central Arya Guna Jl. Kit. Haryono
150 4L SAT 01 241 PT. Fair Child Jl. Raya Bogor
(2)
152 4L SAB 02 367 PT. Muroko Jl. Daan Mogot Km. 16 153 4L SAB 02 375 PT. Pioneer Industrial Jl. Daan Mogot Km. 14 no. 31 70
154 4L SAB 02 378 PT. Jasa Marga Jl. Tol Jakarta Tangerang
155 4L SAB 02 390 PT. Supreme Aluradin Jl. Raya Semanan
156 4L SAB 02 439 Orchid Hotel Letjend S. Parman
157 4L SAB 02 440 Orchid Hotel Letjend S. Parman
158 4L SAB 02 498 PT. Intan Sari Citra Utama Jl. Persatuan no. 34 159 4L SAB 02 499 PT. Purnama Karya Sakti Jl. Daan Mogot Km. 18
160 4L SAB 02 505 Pusdiklat PLN Jl. Kamal Raya
161 4L SAB 02 522 PT. Rapiko Jl. Dharma Wanita V/I
162 4L SAB 02 525 PT. Shunti Sepuri Jl. KS. Tubun II/ 30
163 4L SAB 02 527 PT. Marga Jaya Jl. Meruya Ilir no. 19
164 4L SAB 02 528 PT. Paramita Karya Sentosa Jl. Meruya Ilir
165 4L SAB 02 546 CV. Surya Jaya Jl. Komp Rt 12/6, Kalideres
166 4L SAB 02 573 CV. Cengkareng Permai Jl. Kapuk Kamal VII no. 40
167 4L SAB 02 574 PD. Pasar Jaya Jl. Pasar Cengkareng
168 4L SAB 02 585 PT. Laksana Plasindo Jl. Kebon Jambu no. 5A 169 4L SAU 04 903 PT. Waringin Mulya Cipta Kp. Kamal no. 40 Penjaringan 170 4L SAS 04 1017 Rumah Makan Sate Pancoran Jl. Raya Pasar Minggu no. 42 171 4L SAS 04 1030 Bintaro Permai Comite Jl. Bintaro Permai
172 4L SAS 04 1033 Bintaro Permai Comite Jl. Bintaro Permai
173 4L SAS 04 1070 PD. Pasar Jaya Jl. Raya Pasar Minggu
174 4L SAS 04 1156 PT. Kemang Jaya Raya Jl. Raya Kemang
175 5L SAT 01 21 PT. Centex Jl. Ciracas, Ps Rebo
176 5L SAT 01 22 PT. Centex Jl. Ciracas, Ps Rebo
177 5L SAT 01 53 PT. Menara Jaya Industri Jl. Ciracas Raya Bogor Km. 26
178 5L SAT 01 56 PT. Pupar Jl. Raya Bekasi Km. 21,5
179 5L SAT 01 65 PT. Moon Lion Indt Jl. Raya Bekasi Km. 21
180 5L SAT 01 94 PT. Radio F Communication Jl. Pekayon Gandaria
181 5L SAT 01 98 PT. Intirub Jl. Cililitan Besar no. 454
182 5L SAT 01 99 PT. Intirub Jl. Cililitan Besar no. 454
183 5L SAT 01 100 PT. Intirub Jl. Cililitan Besar no. 454
184 5L SAT 01 104 PT. Radio F Communication Jl. Pekayon Gandaria
185 5L SAT 01 112 PT. Putera Toppan J. Raya Bekasi Km. 21,5
186 5L SAT 01 126 PT. Inkali Jl. Raya Bekasi Km. 26,5
187 5L SAT 01 130 PT. Patal Indo Baru Jl. Raya Bekasi
188 5L SAT 01 161 S . C . T . I Jl. Ciracas, Ps Rebo
189 5L SAT 01 170 PT. Bumi Karya Steel Jl. Kawasan Industri P. Gadung
190 5L SAT 01 187 PT. Kangar Jl. Raya Bekasi Km. 24,5
191 5L SAT 01 220 PT. Industri Pharmasi Aurel Jl. Raya Bogor - Pulogadung no. 6
192 5L SAT 01 254 PT. Putik Permana Jl. Raya Bekasi
(3)
194 5L SAT 01 271 PT. Good Faith Jl. Raya Bekasi
195 5L SAT 01 272 PT. Unifractum Jl. Rawa Gelam I / 8
196 5L SAT 01 300 PT. Tan Sri Gari Jl. Ciracas
197 5L SAB 02 328 PT. Sarinco Jaya Marmer In Jl. Daan Mogot Km. 18 Kalideres 198 5L SAB 02 398 PT. Tembaga Muda Semanan Jl. Daan Mogot Km. 16
199 5L SAB 02 425 PT. Penta Valent Daan Mogot 66 Macan no. 4
200 5L SAB 02 456 PT. Migro Brothers Jl. Daan Mogot
201 5L SAB 02 560 PT. Duta Ford Indonesia Jl. Daan Mogot
202 5L SAB 02 564 PT. Basf Indonesia Jl. Daan Mogot Km. 14
203 5L SAS 04 1117 PT. Merck Indonesia Jl. Raya Benda Dedurenan 204 11L SAT 01 201 Dinas Pemadam Kebakaran Jl. Raya Bogor
205 11L SAT 01 216 Dept. Perdagangan R.I. Jl. Raya Bogor 206 11L SAB 02 394 Direktorat Jendral Imigrasi Jl. Kali deres
207 11L SAS 04 983 Perumahan Bank Indonesia Jl. AUD / Pasar Minggu 208 11L SAS 04 1023 Dinas Pertanian R.I. Jl. Ragunan Pasar Minggu
(4)
Lampiran 2. Data Empirik Pemakaian dan Pajak Air Tanah Sampel
Bulan
Pemakaian (m
3)
Pajak Air Tanah (Rp)
Rata-rata (Rp./m
3)
Nopember 2004
294
129.780
441.43
Desember 2004
177
77.130
435.76
Januari 2005
236
103.680
439.32
Pebruari 2005
216
94.680
438.33
Maret 2005
116
49.680
428.28
April 2005
198
86.580
437.27
Mei 2005
83
34.830
419.64
Juni 2005
110
46.980
427.09
Juli 2005
42
16.783
399.60
Agustus 2005
205
89.730
437.71
September 2005
302
133.380
441.66
Oktober 2005
275
121.230
440.84
Nopember 2005
262
115.380
440.38
Desember 2005
208
91.080
437.88
Januari 2006
81
33.930
418.89
Pebruari 2006
201
87.930
437.46
Maret 2006
182
79.380
436.15
April 2006
136
58.680
431.47
(5)
Lanjutan Lampiran 2
Bulan
Pemakaian (m
3)
Pajak Air Tanah (Rp)
Rata-rata (Rp./m
3)
Juni 2006
315
139.230
442.00
Juli 2006
645
295.038
457.42
Agustus 2006
864
404.625
468.32
September 2006
527
235.991
447.80
Oktober 2006
317
140.130
442.05
Nopember 2006
423
187.830
444.04
Desember 2006
333
147.330
442.43
Januari 2007
351
155.430
442.82
Pebruari 2007
140
60.480
432.00
Maret 2007
214
93.780
438.22
Aprilo 2007
446
198.180
444.35
Mei 2007
406
180.180
443.79
Juni 2007
567
256.006
451.51
Juli 2007
295
130.230
441.46
Agustus 2007
722
333.569
462.01
September 2007
612
278.525
455.11
Oktober 2007
1.652
831.019
503.04
Desember 2007
530
237.492
448.10
April 2008
455
202.230
444.46
(6)