50 pengendalian daya rusak air tanah pada cekungan air tanah. Strategi ini disusun
dan ditetapkan secara terintegrasi dalam pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupatenkota, lintas kabupatenkota, lintas provinsi,
lintas negara, dan strategis nasional. Kepmen 1451K2000 pada dasarnya merupakan pedoman teknis berkaitan
dengan pengelolaan air tanah yang seharusnya dijadikan acuan oleh DPRD dan pemerintah kabupatenkota yang menerbitkan kebijakan pengelolaan air tanah di
wilayahnya. Keputusan menteri ini memiliki 11 lampiran yang menjelaskan secara teknis segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan air tanah, yakni: 1
pedoman teknis evaluasi potensi air tanah; 2 pedoman teknis perencanaan pendayagunaan air tanah; 3 pedoman teknis penentuan debit pengambilan air
tanah; 4 prosedur pemberian izin eksplorasi air tanah; 5 prosedur pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air tanah; 6 prosedur pemberian izin
penurapan dan izin pengambilan mataair; 7 prosedur pemberian izin perusahaan pengeboran air tanah; 8 prosedur pemberian izin juru bor air tanah; 9 pedoman
teknis pengawasan pelaksanaan konstruksi sumur produksi air tanah; 10 pedoman teknis penentuan nilai perolehan air dari pemanfaatan air tanah dalam
perhitungan pajak pemanfaatan air tanah; dan 11 pedoman pelaporan pengambilan air tanah.
6.1.2. Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Air Tanah Provinsi DKI Jakarta
Pengambilan dan pemanfaatan air tanah merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan air tanah. Kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah
di Provinsi DKI difokuskan pada pengendalian dampak negatif ekstraksi air tanah terhadap lingkungan hidup, yakni penurunan muka air tanah, amblesan, dan
intrusi air laut. Output kebijakan tersebut adalah regulasi yang didasarkan pada pemanfaatan instrumen ekonomi, yaitu pajak dan retribusi. Prinsip tersebut dapat
disimak dari pertimbangan dikeluarkannya regulasi tersebut, yakni peraturan daerah dan peraturan pelaksanaannya.
Kebijakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah di Provinsi DKI Jakarta ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah, peraturan gubernur, keputusan
51 gubernur, dan instruksi gubernur. Kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan
air tanah yang pernah diterbitkan adalah sebagai berikut: 1 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 10 Tahun
1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Perda 101998;
2 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan Perda 12004; 3 Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Retribusi Daerah Perda 12006; 4 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 37
Tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Pergub 372009;
5 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 165 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Daerah Pergub 1652009; 6 Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 88
Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Kepgub 881999; 7 Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 4554
Tahun 1999 tentang Harga Dasar Air Bawah Tanah dan Air Permukaaan Kepgub 45541999, sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya Pergub
372009. 8 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 42
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 1999 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyelenggaraan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Derah Khusus Ibukota Jakarta Kepgub 422001;
9 Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 16622004 tentang Mekanisme Pemungutan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah Kepgub 16622004;
52 10 Instruksi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Nomor 134 Tahun 1998
tentang Penghentian Pungutan Beberapa Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DKI Jakarta Ingub 1341998. Lampiran 2 instruksi ini
menghapuskan retribusi izin pemboran dan pemakaian air tanah. Ketentuan tentang pemungutan pajak air tanah mulai diberlakukan sejak
diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah UU 181997. Sebelum diberlakukannya undang-undang
ini pengambilan air permukaan tidak dikenakan pajak dan retribusi, sedangkan pengambilan air tanah di Provinsi DKI Jakarta dikenakan retribusi daerah yang
diatur berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 1994. Sejak diberlakukannya UU 181997 diberlakukan pajak untuk air tanah dan air
permukaan. Untuk merespon undang-undang tersebut dikeluarkan Perda 101998 tentang pajak air tanah dan air permukaan di Provinsi DKI Jakarta. Selain
pertimbangan diberlakukannya UU 181997, dikeluarkannya perda ini juga dilatarbelakangi situasi semakin meningkatnya pemanfaatan air tanah dan air
permukaan yang pada gilirannya bisa menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber air dan lingkungan. Di wilayah Provinsi DKI Jakarta,
diterbitkannnya perda ini merupakan awal diberlakukannya instrumen ekonomi pajak air tanah. Perda 101998 masaih berlaku sampai sekarang, dan kemudian
dilengkapi dengan berbagai peraturan lainnya, antara lain Perda 12004 dan ketentuan teknis tentang besaran pajak air tanah yang baru, yaitu Pergub 372009.
Perda 12004 merupakan pengaturan kembali sebagian ketentuan yang berlaku dalam Perda 101998 akibat diberlakukannya undang-undang yang baru
tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Perda 12004 menyebutkan bahwa pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan tidak semata-mata dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah, akan tetapi lebih diutamakan lagi untuk kepentingan pengendalian lingkungan dan
mempertahankan ekosistem akibat pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Pergub 372009 dikeluarkan dalam rangka pengendalian pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang saat ini berindikasi dapat menyebabkan menurunnya
permukaan tanah dan terganggunya konservasi air tanah. Kebijakan pengambilan
53 dan pemanfaatan air tanah yang difokuskan pada konservasi air tanah dan
pengendalian daya rusak air tanah menunjukkan perubahan paradigma dalam menempatkan posisi sumber daya air tanah. Air tanah tidak lagi ditempatkan
semata-mata sumber daya pertambangan yang diekstraksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi ditempatkan sebagai elemen ekosistem yang
pengelolaannya lebih mengedapankan aspek konservasi dan pengendalian dampak lingkungan hidup. Secara kelembagaan perubahan paradigma ini dilakukan
dengan perpindahan institusi pengelola air tanah dari Dinas Pertambangan kepada BPLHD Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Perubahan kewenangan pengelolaan air tanah mulai diberlakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 165 Tahun 2009 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Pergub 1652009. Peraturan gubernur tersebut menempatkan pengelolaan sumber daya air tanah
dibawah kewenangan Kepala Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dan Pengelolaan Sumberdaya Perkotaan.
Selain pajak air tanah, retribusi air tanah juga masih diberlakukan yakni diatur dalam Perda 12006 yang mengatur semua ketentuan yang terkait dengan
retribusi, termasuk didalamnya retribusi izin pemboran dan pemanfaatan air tanah. Dengan diberlakukannya perda ini, maka ketentuan yang pernah menghapuskan
retribusi izin pemboran dan pemakaian air tanah seperti diatur dalam Ingub 1341998 tidak berlaku lagi.
Dengan diberlakukannya UU 72004, UU 282009, dan PP 432008, seharusnya semua peraturan daerah dan peraturan gubernur yang berkaitan
dengan pajak air tanah dan retribusi air tanah di Provinsi DKI Jakarta harus direvisi. Peraturan daerah dan peraturan gubernur yang dibahas diatas masih
mengacu pada peraturan perundangan yang lama. Berkaitan dengan hal ini, Kepmen ESM 14551K2000 juga harus direvisi karena masih mengacu peraturan
perundangan yang lama. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada output kebijakan lain diluar
penggunaan instrumen pajak dan retribusi. Penggunaan instrumen non-ekonomi, misalnya penegakan peraturan, ekstensifikasi data pengguna air tanah dan
intensifikasi pencatatan meter air tanah, pada dasarnya dilakukan dalam upaya
54 meningkatkan efektivitas instrumen pajak air tanah. Pasal 3 ayat 2 huruf q, r, s, t
Pergub 1652009 yang menguraikan fungsi BPLHD berkenaan dengan sumber daya air tanah juga fokus pada masalah perizinan pemanfaatan dan penerimaan
retribusi air tanah. Penggunaan instrumen ekonomi dalam pengelolaan air tanah di Provinsi
DKI sejalan dengan apa yang dikemukakan berbagai literatur, seperti Sterner 2003 dan Koundouri 2004. Matriks instrumen kebijakan pengelolaan sumber
daya alam dan berbagai contoh kasus pengelolaan di berbagai negara seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, Chile, Afrika Selatan, dan Boswana yang dipaparkan
Sterner 2003 menunjukkan bahwa pajak dan retribusi merupakan instrumen yang sesuai untuk manajemen sumber daya air tanah Tabel 2 dan 3. Koundouri
1998 mengungkapkan pendapat yang sama dengan menyatakan bahwa keuntungan penerapan instrumen pajak air tanah adalah meningkatkan efisiensi
ekonomi dan teknis. Pendapat Koundouri 1998 sebetulnya disampaikan dalam konteks penggunaan air tanah untuk kepentingan irigasi, tetapi pada hakekatnya
secara teoritis tidak berbeda jika diterapkan untuk penggunaan air tanah perkotaan. Meskipun demikian khusus untuk penggunaan air tanah untuk
kepentingan irigasi pertanian rakyat di Provinsi Jakarta perlu dikemukakan bahwa instrumen pajak air tanah tidak diberlakukan. Ketentuan ini dipaparkan dalam
pasal 3 ayat 2 huruf c Perda 12004 yang menyatakan pengambilan dan pemanfaatan air tanah untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat dikecualikan
dari objek pajak. Pengertian pajak air tanah tidak diberlakukan tidak berarti pajak air tanah tidak meningkatkan efisiensi ekonomi dan teknis.
Meskipun penerapan pajak dan retribusi air tanah relatif meningkatkan efisiensi ekonomi dan teknis pengelolaan air tanah, penerapan instrumen non-
ekonomi perlu diwujudkan khususnya untuk wilayah-wilayah yang tidak memiliki alternatif lain diluar pengambilan dan pemanfaatan air tanah karena keterbatasan
cakupan pelayanan PAM DKI Jakarta. Instrumen pajak dan retribusi tidak akan efektif diberlakukan di wilayah ini. Kajian pengelolaan air tanah untuk
kepentingan irigasi yang dilakukan Hellegers dan van Ierland 2003 dan hasilnya menyatakan pendekatan kelembagaan dan agreement lebih efektif dibandingkan
dengan instrumen ekonomi dan instrumen ekonomi tradable right lebih efektif
55 dibandingkan pajak, perlu dielaborasi dan dipertimbangkan penerapannya untuk
konteks pengelolaan air tanah di Provinsi DKI Jakarta.
6.2. Retribusi Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta