31
Untuk  cemaran  logam  berat  dan  histamin  pada  produk  perikanan  Tabel  16,  hampir semuanya hanya menggunakan satu hasil penelitian sehingga hasilnya kurang mewakili data cemaran
di  Indonesia.  Pada  produk  perikanan  jenis  crustacea  udang,  kepiting  tidak  ditemukan  adanya cemaran merkuri, kadmium, dan arsen sedangkan pada produk perikanan jenis mollusca cumi-cumi
ditemukan  adanya  cemaran  kadmium.  Pada  produk  perikanan  jenis  ikan  ditemukan  cemaran  timbal, histamin,  kadmium,  merkuri,  dan  arsen  dengan  tingkat  prevalensi  yang  berbeda-beda  timbal
histamin    kadmium    merkuri    arsen.  Timbal  dan  kadmium  memiliki  prevalensi  besar  karena sifatnya  yang  terakumulasi  antara  lingkungan  hidup  dan  pola  rantai  makanannya.  Selain  itu,
prevalensi  histamin  yang  besar  disebabkan  penanganan  ikan  yang  kurang  baik  terutama  pada  faktor suhu dan waktu penyimpanan pangan Bangun 2005.
Pengkelasan untuk tigkat prevalensi juga dihitung berdasarkan  metode pengkelasan  statistik seperti  yang  dilakukan  pada  pengkelasan  tingkat  konsumsi  pada  pembahasan  sebelumnya.  Hasil
perhitungan  klasifikasinya  dapat  dilihat  pada  Tabel  17.  Perhitungan  pengkelasan  untuk  tingkat
prevalensi ini secara lengkap terlampir pada Lampiran 6.
Tabel 17. Klasifikasi tingkat prevalensi berdasarkan interval kelasnya.
Prevalensi Tingkat
Skor
40.9 Sangat Tinggi
10 26.1
– 40.9 Tinggi
7 15.0 - 26,0
Sedang 5
7.5 – 14.9
Rendah 3
7.5 Sangat Rendah
1
4.1.5. Penghitungan Scoring Prioritas
Tingkat  atau  pengklasifikasian  dari  masing-masing  parameter  disimbolkan  dengan  angka- angka. Tidak ada simbol angka yang baku dalam melakukan kajian risiko kualitatif ini. Angka 1
– 10 yang  digunakan  ini  masih  merupakan  simulasi,  jika  hasil  penghitungan  akhir  menunjukkan  tidak
terdapat  perbedaan  nyata  antara  kombinasi  satu  dan  yang  lain,  maka  angka-angka  ini  dapat  dirubah. Bobot skor untuk masing-masing parameter dibuat sama pada kajian ini yaitu 1-10. Ini dikarenakan
masing-masing parameter memberikan andil yang sama besar dalam penentuan prioritas. Tabel 18. Penghitungan skor akhir dalam penentuan prioritas
No. Bahaya
Produk pangan
Skor Konsekuensi
Skor Konsumsi
Skor Prevalensi
Skor akhir
1 Mikrobiologi
XX A
B C
ABC 2
Kimia YY
D E
F DEF
Penghitungan pada Tabel 18 ini didasarkan pada penghitungan kajian risiko kualitatif. Model penghitungan  kajian  risiko  seperti  ini  juga  pernah  dilakukan  Mardiono  dan  SOP  penilaian  proposal
survei  keamanan  pangan  Badan  POM  yaitu  perkalian  antara  konsekuensi,  paparan,  dan  peluang bahaya.  Cara  penghitungan  yang  digunakan  dalam  penghitungan  prioritas  ini  juga  diadaptasi  dari
kajian risiko kualitatif Rahayu et al. 2004. The Institut National de Recherche et de Sécurité INRS di  Perancis  melakukan  penentuan  prioritas  bahaya  kimia  pada  suatu  produk  menggunakan  kajian
risiko  hanya  dengan  mempertimbangkan  keparahan  dan  kemungkinan  paparan.  Persamaan  yang digunakan adalah:
Skor Produk = 10
D-1
x 3.16
E-1
Keterangan D  : tingkat keparahan
E  : kemungkinan paparan
32
Tabel 19. Penghitungan prioritas mikrobiologi
Bahaya BSN. 2009 Produk
Konsekuensi Konsumsi
Prevalensi Skor
Akhir Tingkat
Skor Tingkat
Skor Tingkat
Skor
Campylobacter jejuni - 25 ml-g
daging ayam M
5 ST
10 M
5 250
susu pasteurisasi M
5 SR
1 R
3 15
Salmonella Enteridis - 25 g
telur ayam M
5 ST
10 SR
1 50
Salmonella paratyphi - 25 g
udang segar  beku T
10 R
3 M
5 150
Salmonella Typhimurium - 25 g
daging ayam M
5 ST
10 ST
10 500
V.parahaemolyticus - 25 g
udang segar M
5 R
3 T
7 105
Staphylococcus aureus 2 log CFUg
ayam siap saji M
5 T
7 ST
10 350
Bacillus cereus 2 log CFUg
nasi putih M
5 ST
10 ST
10 500
Listeria monocytogenes - 25 g
daging sapi T
a
10 SR
1 SR
1 10
R
b
1 SR
1 SR
1 1
daging ayam T
a
10 ST
10 SR
1 100
R
b
1 ST
10 SR
1 10
susu pasteurisasi T
a
10 SR
1 SR
1 10
R
b
1 SR
1 SR
1 1
susu pasteurisasi = susu murni + susu cair pabrik
Dari skor yang dihasilkan tersebut, para ahli mengklasifikasi prioritasnya menjadi tiga kelas yaitu  tinggi,  sedang,  dan  rendah.  Prioritas  ini  biasanya  digunakan  di  tingkat  pabrik  untuk
memprioritaskan penggunaan zat kimia. Internal validasi yang dilakukan mengindikasikan 19 over- estimation  dan  1  under-estimation.  Dari  hasil  tersebut  maka  diperlukan  adanya  kajian  risiko  lebih
lanjut agar hasilnya lebih akurat CDC 2009. Tabel 20. Urutan prioritas bahaya mikrobiologi
No. Jenis bahaya
Produk pangan Skor prioritas
1 Bacillus cereus
: nasi putih
500 2
Salmonella Typhimurium :
daging ayam 500
3 Staphylococcus aureus
: ayam siap saji
350 4
Campylobacter jejuni :
daging ayam ras + kampung 250
5 Salmonella paratyphi
: udang segar  beku
150 6
Vibrio parahaemolyticus :
udang segar 105
7 Listeria monocytogenes
a
: daging ayam ras + kampung
100 8
Salmonella Enteridis :
telur ayam 50
9 Campylobacter jejuni
: susu pasteurisasi
15 10
Listeria monocytogenes
a
: susu pasteurisasi
10 11
Listeria monocytogenes
a
: daging sapi
10 12
Listeria monocytogenes
b
: daging ayam ras + kampung
10 13
Listeria monocytogenes
b
: susu pasteurisasi
1 14
Listeria monocytogenes
b
: daging sapi
1
a
Tinggi : golongan khusus ibu hamil, anak-anak, lansia, dan orang yang memiliki imunitas rendah
b
Rendah : orang dengan imunitas normal
Setelah  masing-masing  parameter  konsekuensi,  konsumsi,  dan  prevalensi  ditentukan skornya, maka langkah yang selanjutnya dilakukan adalah menghitung skor-skor tersebut lihat Tabel
19.  Prioritas  tertinggi  diperoleh  dengan  mengurutkan  hasil  skor  akhir,  kombinasi  bahaya  yang memiliki  nilai tertinggi  merupakan  kombinasi dengan prioritas tertinggi pula. Pada Tabel 20 terlihat
33
bahwa Bacillus cereus pada nasi putih dan Salmonella Typhimurium pada daging ayam memiliki skor paling tinggi atau memiliki prioritas tertinggi.
Tabel 21. Perbandingan tingkat prioritas mikrobiologi
Rank Hasil pada Tabel 19
Michael et al. 2011 ECDC 2010
1 B. cereus
: nasi putih Campylobacter
: unggas Giardiasis
2 S. Typhimurium
: daging ayam T. gondii
: daging babi Campylobacteriosis
3 S. aureus
: ayam siap saji L. monocytogenes  : daging olahan
Salmonellosis 4
C. jejuni : daging ayam
S. enterica : unggas
Hepatitis A 5
S. paratyphi : udang segar
L. monocytogenes  : susu Yersiniosis
6 V. parahaemolyticus  : udang segar
Norovirus : complex foods
Cryptosporidiosis 7
L. monocytogenes
a
: daging ayam S. enterica
: complex foods Shigellosis
8 S. Enteridis
: telur ayam S. enterica
: daging segar Toxoplasmosis
9 C. jejuni
: susu pasteurisasi T. gondii
: daging sapi E. coli VTECSTEC
10 L. monocytogenes
a
: susu pasteurisasi S. enterica
: telur ayam Typhoidparatyphoid fever
11 L. monocytogenes
a
: daging sapi L. monocytogenes  : complex food
Listeriosis 12
L. monocytogenes
b
: daging ayam S. enterica
: daging sapi Brucellosis
13 L. monocytogenes
b
: susu pasteurisasi S. enterica
: daging babi Echinocccosis
14 L. monocytogenes
b
: daging sapi Norovirus
: daging segar Leptospirosis
Meskipun kombinasi bahaya-produk di Indonesia, Amerika, dan Eropa hampir sama. Namun, tingkat  prioritasnya  cukup  berbeda.  Perbedaan  ini  disebabkan  perbedaan  iklim,  cara  penanganan
produk pangan, dan pola konsumsi. Di Indonesia, pola makan nasi yang tinggi dan penyimpanan nasi pada suhu ruang menyebabkan B. cereus menempati posisi prioritas tinggi.
Tabel 22. Penghitungan prioritas kimia non-perikanan
Bahaya Produk
Prevalensi Konsekuensi
Konsumsi Skor
Akhir Klasifikasi
Skor Klasifikasi
Skor Klasifikasi
Skor
Timbal Pb
AMDK R
1 R
1 ST
10 10
Gorengan R
1 ST
10 10
Minuman teh R
1 SR
1 1
Susu UHT T
10 SR
1 10
Kadmium Cd
AMDK R
1 R
1 ST
10 10
Gorengan R
1 ST
10 10
Minuman teh R
1 SR
1 1
Susu UHT R
1 SR
1 1
Merkuri Hg
AMDK T
10 R
1 ST
10 100
Gorengan T
10 ST
10 100
Minuman teh T
10 SR
1 10
Susu UHT R
1 SR
1 1
Aflatoksin B1 kacang
tanah Olahan
T 10
T 10
R 3
300 Pengecer
T 10
R 3
300 pengumpul
T 10
R 3
300 Jagung
T 10
ST 10
1000 Na-nitrit
daging sapi olahan T
10 R
1 SR
1 10
Penghitungan  prioritas  untuk  bahaya  kimia  dibagi  menjadi  dua  kelompok  yaitu  non- perikanan  Tabel  22  dan  perikanan  Tabel  23.  Untuk  penghitungan  prioritas  kimia  ini  faktor  yang
paling  berpengaruh  hanya  tingkat  konsumsi.  Tingkat  prevalensi  dan  konsekuensi  relatif  kecil kontribusinya  karena  tingkat  keparahan  logam  berat  umumnya  rendah  dan  hampir  seluruh  hasil
pengujian prevalensi yang didapat tergolong dalam klasifikasi rendah.
34
Tabel 23. Penghitungan prioritas kimia perikanan
Produk Bahaya
Prevalensi Konsekuensi
Konsumsi Skor
Akhir Klasifikasi
Skor Klasifikasi
Skor Klasifikasi
Skor
Ikan segar Timbal Pb
ST 10
R 1
ST 10
100 Merkuri Hg
R 3
30 Kadmium Cd
ST 10
100 Arsen As
SR 1
10 Histamin
T 10
100 Crustacea
udang, kepiting
Merkuri Hg SR
1 R
3 3
Kadmium Cd SR
1 3
Arsen As SR
1 3
Mollusca kerang
Merkuri Hg SR
1 SR
1 1
KadmiumCd ST
10 10
Arsen As SR
1 1
Keterangan: SR
: Sangat Rendah R
: Rendah M
: Sedang T
: Tinggi ST
: Sangat Tinggi
Hasil  penghitungan  prioritas  keseluruhan  untuk  bahaya  kimia  non-perikanan  dan  perikanan tercantum  dalam  Tabel  24.  Hasil  tersebut  menyatakan  bahwa  aflatoksin  B1  menempati  prioritas
tertinggi. Hal ini disebabkan tingkat keparahannya yang tinggi dan tingkat konsumsi yang tinggi. Tabel 24. Urutan prioritas bahaya kimia
No. Jenis bahaya
Produk pangan Skor prioritas
1 Aflatoksin B1
: Jagung basah + pipilan
1000 2
Aflatoksin B1 :
Kacang tanah 300
3 Timbal Pb
: Ikan segar
100 4
Kadmium Cd :
Ikan segar 100
5 Histamin
: Ikan segar
100 6
Merkuri Hg :
AMDK 100
7 Merkuri Hg
: Gorengan
100 8
Merkuri Hg :
Ikan segar 30
9 Na-nitrit
: Daging sapi olahan
10 10
Arsen As :
Ikan segar 10
11 Kadmium Cd
: Mollusca kerang
10 12
Timbal Pb :
AMDK 10
13 Timbal Pb
: Gorengan
10 14
Timbal Pb :
Susu UHT 10
15 Kadmium Cd
: AMDK
10 16
Kadmium Cd :
Gorengan 10
17 Merkuri Hg
: Minuman teh seduhan
10 18
Merkuri Hg :
Custacea udang, kepiting 3
19 Kadmium Cd
: Custacea udang, kepiting
3 20
Arsen As :
Custacea udang, kepiting 3
21 Merkuri Hg
: Mollusca kerang
1 22
Arsen As :
Mollusca kerang 1
23 Timbal Pb
: Minuman teh seduhan
1 24
Kadmium Cd :
Minuman teh seduhan 1
25 Kadmium Cd
: Susu UHT
1 26
Merkuri Hg :
Susu UHT 1
Di Indonesia, aflatoksin menjadi prioritas karena konsumsi jagung, kacang tanah, dan produk olahannya  cukup  tinggi.  Selain  itu,  aflatoksin  juga  menjadi  penyebab  ditolaknya  ekspor  pangan
Indonesia  seperti  pala  di  Uni  Eropa.  Cemaran  logam  berat  Pb,  Cd,  dan  As  pada  ikan  menjadi prioritas  dikarenakan  hasil  laut  Indonesia  yang  melimpah  dan  tingginya  angka  konsumsi  produk
perikanan. Panduan penentuan prioritas ini secara lengkap terlampir pada Lampiran 7.
35
Tabel 25. Perbandingan tingkat prioritas
Hasil pada tabel 24 Thailand Chemicals
Management Profile TCMP Gems food
Aflatoksin pada jagung dan kacang
Endosulfan pada air minum Organochlorine pesticides OCPS
pada produk susu dan turunannya Logam berat  histamin
pada ikan Logam berat Pb, Cd, dan As
pada air minum Timbal pada susu, daging, buah-
buahan, jeroan, makanan bayi, dan air minum
Logam berat pada jajanan Pestisida pada makanan
Kadmium pada jeroan dan crustaceans Logam berat pada produk
perikanan Chemicals formalin, boraks,
pewarna kimia ilegal pada makanan
Merkuri pada ikan Logam berat pada
minuman teh  susu Obat-obatan ternak clenbuteral,
salbutamol, chloramphenicol, nitrofurans
Aflatoksin pada susu, jagung, dan kacang
Organophosphorous pesticides OPPS pada sereal, buah-buahan, dan sayuran
Inorganik arsenik pada air minum Hasil ini cukup berbeda dengan kolaborasi antara  United Nations Institute for Training and
Research  UNITAR  dan  GEMS  FOOD.  Hal  ini  disebabkan  keterbatasan  data  terhadap  kontaminan kimia sehingga untuk kontaminan kimia hanya terfokus kepada logam berat, histamin, aflatoksin, dan
nitrit  saja.  Jika  data  untuk  kontaminan  kimia  ini  cukup  lengkap,  kemungkinan  besar  hasilnya  akan sama dengan prioritas kimia yang diusung oleh UNITAR dan GEMS FOOD.
Hasil dari kajian risiko semi kuantitatif yang dilakukan  ini masih memiliki kelemahan  yaitu kurang  lengkapnya  data  surveilan  yang  menggambarkan  kasus-kasus  keamanan  pangan  secara  lebih
rinci.  Kurang  tersedianya  data-data  pendukung  ini  menyebabkan  hasil  yang  diperoleh  kurang merepresentasikan  kondisi  aktual  yang  ada.  Sedangkan  keunggulan  metode  semi  kualitatif  ini
dibandingkan metode yang sebelumnya telah dirancang oleh Mardiono 2007 antara lain tingkat bias dalam  klasifikasi  data  dapat  diminimalisir  dengan  menggunakan  metode  statistika  penghitungan
kuantil  terhadap  data  aktual  yang  ada.  Kemudian  pada  kajian  ini  parameter  yang  digunakan  lebih spesifik, seperti tingkat konsumsi dan tingkat prevalensi serta pembagian jenis bahaya mikrobiologi
dan  kimia  yang  pada  metode  sebelumnya  belum  dilakukan,  sehingga  tingkat  keakuratan  terhadap kondisi  aktual  lebih  baik.  Dengan  demikian,  metode  ini  dapat  menjadi  acuan  dalam  penetapan
prioritas. Kajian  risiko  semi  kuantitatif  ini  akan  lebih  sempurna  lagi  apabila  data-data  pendukungnya
dapat  terpenuhi  dengan  baik.  Dalam  hal  ini,  peran  instansi-instansi  terkait  sangat  dibutuhkan  untuk melengkapi data-data tersebut dibantu oleh Jejaring Intelejen Pangan sebagai fasilitatornya.
4.2. Petunjuk Pelaksanaan Sampling Cemaran