Petunjuk Pelaksanaan Sampling Cemaran

35 Tabel 25. Perbandingan tingkat prioritas Hasil pada tabel 24 Thailand Chemicals Management Profile TCMP Gems food Aflatoksin pada jagung dan kacang Endosulfan pada air minum Organochlorine pesticides OCPS pada produk susu dan turunannya Logam berat histamin pada ikan Logam berat Pb, Cd, dan As pada air minum Timbal pada susu, daging, buah- buahan, jeroan, makanan bayi, dan air minum Logam berat pada jajanan Pestisida pada makanan Kadmium pada jeroan dan crustaceans Logam berat pada produk perikanan Chemicals formalin, boraks, pewarna kimia ilegal pada makanan Merkuri pada ikan Logam berat pada minuman teh susu Obat-obatan ternak clenbuteral, salbutamol, chloramphenicol, nitrofurans Aflatoksin pada susu, jagung, dan kacang Organophosphorous pesticides OPPS pada sereal, buah-buahan, dan sayuran Inorganik arsenik pada air minum Hasil ini cukup berbeda dengan kolaborasi antara United Nations Institute for Training and Research UNITAR dan GEMS FOOD. Hal ini disebabkan keterbatasan data terhadap kontaminan kimia sehingga untuk kontaminan kimia hanya terfokus kepada logam berat, histamin, aflatoksin, dan nitrit saja. Jika data untuk kontaminan kimia ini cukup lengkap, kemungkinan besar hasilnya akan sama dengan prioritas kimia yang diusung oleh UNITAR dan GEMS FOOD. Hasil dari kajian risiko semi kuantitatif yang dilakukan ini masih memiliki kelemahan yaitu kurang lengkapnya data surveilan yang menggambarkan kasus-kasus keamanan pangan secara lebih rinci. Kurang tersedianya data-data pendukung ini menyebabkan hasil yang diperoleh kurang merepresentasikan kondisi aktual yang ada. Sedangkan keunggulan metode semi kualitatif ini dibandingkan metode yang sebelumnya telah dirancang oleh Mardiono 2007 antara lain tingkat bias dalam klasifikasi data dapat diminimalisir dengan menggunakan metode statistika penghitungan kuantil terhadap data aktual yang ada. Kemudian pada kajian ini parameter yang digunakan lebih spesifik, seperti tingkat konsumsi dan tingkat prevalensi serta pembagian jenis bahaya mikrobiologi dan kimia yang pada metode sebelumnya belum dilakukan, sehingga tingkat keakuratan terhadap kondisi aktual lebih baik. Dengan demikian, metode ini dapat menjadi acuan dalam penetapan prioritas. Kajian risiko semi kuantitatif ini akan lebih sempurna lagi apabila data-data pendukungnya dapat terpenuhi dengan baik. Dalam hal ini, peran instansi-instansi terkait sangat dibutuhkan untuk melengkapi data-data tersebut dibantu oleh Jejaring Intelejen Pangan sebagai fasilitatornya.

4.2. Petunjuk Pelaksanaan Sampling Cemaran

Badan POM RI telah melaksanakan monitoring dan survei keamanan pangan yang ditujukan pada pengawasan untuk penegakan hukum. Prioritas pengawasan pangan lebih dititikberatkan pada pengawasan yang bersifat preventif, sehingga survei keamanan pangan di sepanjang rantai pangan perlu dilaksanakan. Setiap survei harus dikumpulkan datanya, diolah, dianalisis, dilakukan interpretasi serta ditindaklanjuti dalam suatu sistem yang terintegrasi. Keakuratan data tersebut sangat bergantung pada kegiatan sampling yang dilakukan saat survei lapangan. Untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi selama survei ini dibuatlah petunjuk pelaksanaan sampling. 36 Dua berkas petunjuk pelaksanaan sampling dibuat untuk masing-masing bahaya mikrobiologi dan kimia. Petunjuk pelaksanaan yang dibuat berisikan penjelasan singkat tentang cemaran seperti sumber cemaran, efeknya terhadap kesehatan, dan batas maksimum cemaran menurut SNI dan Badan POM. Selain itu, petunjuk pelaksanaan ini juga berisi cara atau teknik penentuan jumlah lokasi, jumlah sampel, dan prosedur sampling yang baik sesuai dengan literatur. Dasar dari penentuan lokasi dan jumlah sampel menggunakan metode statistika sampling. Metode sampling ini antara lain menggunakan tabel krejcie dan rumus slovin. Contohnya, jika dalam satu provinsi terdapat 25 kecamatan maka jumlah kecamatan yang akan disampling minimal adalah 24 kecamatan dengan tingkat kepercayaan 1 tabel krejcie. Untuk penentuan jumlah sampel sedikit berbeda dengan penentuan jumlah lokasi. Karena dasar dari penentuan sampel adalah populasi sedangkan populasi dari produk pangan sukar untuk diketahui maka penentuan sampel ini didasarkan pada jumlah penjualnya terutama untuk pangan siap saji. Contohnya, jika ingin menganalisis cemaran timbal pada produk ayam goreng maka hal harus dilakukan adalah mendata jumlah pedagang ayam goreng disuatu daerah kemudian dari data tersebut akan ditentukan jumlah pedagang yang akan dijadikan sampel di masing-masing daerah. Misalnya di suatu kecamatan terdapat 500 pedagang ayam goreng maka yang akan dijadikan sampel adalah 285 pedagang dengan taraf kepercayaan 1 tabel krejcie. Untuk masing-masing pedagang dapat diambil 30 sampel jika memungkinkan atau 10 dari jumlah produksinya. Penentuan jumlah sampel untuk pangan terkemas lebih mudah dibandingkan penentuan jumlah sampel pada pangan siap saji. Pada pangan terkemas sampel yang diambil untuk masing- masing lokasi cukup diambil 30 sampel. Hal ini disebabkan ragam sampelnya kecil jumlah produsennya tidak sebanyak pangan siap saji. Prosedur pengambilan sampel untuk cemaran mikrobiologi ditekankan pada pengawasan kondisi lingkungan sehingga diharapkan selama distribusi jumlah mikroba pada sampel mulai dari tempat pengambilan hingga laboratorium terjaga konstan. Sedangkan untuk cemaran kimia lebih ditekankan kepada pengawasan peralatan yang digunakan sehingga tidak terjadi kontaminasi silang antara cemaran yang ada di lingkungan dengan sampel. Untuk bahaya mikrobiologi, petunjuk pelaksanaan yang dibuat adalah petunjuk sampling Bacillus cereus pada nasi dan Staphylococcus aureus. Untuk bahaya kimia, petunjuk pelaksanaan yang dibuat adalah petunjuk sampling kadmium Cd pada ikan dan merkuri Hg pada gorengan. Secara lengkap petunjuk pelaksanaan sampling terlampir pada Lampiran 8, 9, 10, dan 11. Pengembangan petunjuk pelaksanaan di adaptasi dari petunjuk pelaksanaan untuk kasus KLB dan teknik sampling FDA. 37

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Surveilan keamanan pangan merupakan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada pihak pengguna yang membutuhkan untuk ditindaklanjuti. Diantara kontaminan kimia, mikrobiologi, dan fisik; bahaya mikrobiologis dan kimia merupakan bahaya yang cukup sering ditemukan pada produk-produk pangan baik segar maupun olahan. Penentuan prioritas menggunakan pendekatan dengan kajian risiko kualitatif. Informasi yang dibutuhkan untuk melakukan kajian ini antara lain tingkat keparahan, tingkat konsumsi, dan prevalensi bahaya. Masing-masing parameter tersebut kemudian disimbolkan dengan angka-angka sehingga dapat dikalkulasikan skala prioritasnya berdasarkan skor tersebut. Hasil yang diperoleh dari penentuan prioritas mikrobiologi menyatakan bahwa Bacillus cereus pada nasi putih memperoleh skor tertinggi sedangkan prioritas kimia tertinggi adalah aflatoksin B1 pada jagung. Hasil prioritas untuk bahaya mikrobiologi yang diperoleh cukup sesuai dengan literatur Michael Amerika dan ECDC Eropa. Namun untuk bahaya kimia, hasilnya kurang sesuai dengan literatur UNITAR dan GEMS FOOD dikarenakan keterbatasan data. Apabila data yang digunakan lebih lengkap kemungkinan hasilnya akan sesuai dengan literatur UNITAR dan GEMS FOOD. Protokol yang dibuat berisi penjelasan singkat tentang cemaran seperti sumber cemaran, efeknya terhadap kesehatan, dan jumlah maksimum cemaran menurut SNI atau instansi terkait. Selain itu, protokol ini juga berisi cara atau teknik penentuan jumlah lokasi, jumlah sampel, dan prosedur sampling yang baik sesuai dengan literatur untuk masing-masing parameter mikrobiologi dan kimia. Bahaya yang dibuat protokolnya adalah protokol Bacillus cereus pada nasi putih, Staphylococcus aureus pada olahan ayam, kadmium Cd pada ikan segar, dan merkuri Hg pada gorengan.

5.2. Saran

Metode yang digunakan pada skripsi ini masih dalam proses pengembangan sehingga perlu adanya penyempurnaan. Selain itu, datainformasi yang digunakan dalam analisis ini masih sangat minim. Diharapkan kepada pihak terkait seperti Badan POM dapat mengelola dan melakukan penyusunan data dengan baik sehingga saat datainformasi tersebut akan digunakan dalam analisis akan memudahkan analis mengolahnya. Apabila kajian risiko ini ingin diperluas menjadi lingkup nasional, perlu adanya koordinasi antara lembaga-lembaga terkait dalam penambahan dan penyempurnaan datainformasi yang dibutuhkan untuk kajian risiko.