Lokasi dan Waktu Alat dan Obyek Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada daerah dengan kepadatan penduduk paling tinggi di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Tengah dengan lokasi sampel yaitu sekitar Taman Kencana, Lapangan Sempur dan sekitar Taman Peranginan. Waktu studi mengenai strategi meningkatkan partisipasi para pihak dalam pembangunan hutan kota di Kota Bogor dilaksanakan selama dua bulan, September sampai bulan November 2011. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4.2 Alat dan Obyek

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Kuisioner, sebagai alat bantu untuk pengambilan data primer b. Kamera, sebagai alat untuk mendokumentasikan penelitian c. Program SPSS, sebagai alat bantu untuk pengolahan data secara kuantitatif Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah responden pada daerah sampel yang terpilih dengan teknik sampling yang digunakan. 4.3 Metode Penelitian 4.3.1 Jenis dan metode pengambilan data Data yang diambil terbagi menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil melalui wawancara langsung dengan responden sedangkan data sekunder mengenai kondisi wilayah dan kependudukan diperoleh dari Kantor Kecamatan dan data mengenai ruang terbuka hijau dan rencana strategis taman kota diperoleh dari Dinas Pertamanan Kota Bogor. Jenis dan metode pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis data yang dikumpulkan No Jenis Data Sumber Metode 1 Primer a. Persepsi Responden Wawancara b. Partisipasi Responden Wawancara 1 c. Karakteristik responden - Jenis kelamin - Umur - Pendidikan - Pekerjaan Responden Wawancara 2 Sekunder a. Kondisi wilayah Monografi kecamatan b. Kependudukan c. Rencana strategis taman kota Dinas Pertamanan Kota Bogor d. Data ruang terbuka hijau Kota Bogor Pengambilan data primer tentang persepsi masyarakat dilakukan melalui wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Responden ditentukan dengan cara pengambilan contoh acak bertujuan Purpossive Random Sampling yaitu pengambilan contoh secara acak dengan keadaantujuan yang kita kehendaki. Responden ditentukan berdasarkan karakteristik sosial ekonominya dengan membagi daerah contoh menjadi tiga kategori dilihat dari tingkat ekonominya yaitu tinggi, sedang dan rendah. Kawasan sekitar Taman Peranginan termasuk tingkat ekonomi rendah, Lapangan Sempur termasuk tingkat ekonomi menengah dan sekitar Taman Kencana termasuk tingkat ekonomi tinggi. Penggolongan tingkat ekonomi didasarkan pada daya listrik yang dimiliki setiap rumah. Rumah dengan daya listrik 900 Watt dikategorikan kelas rendah, daya listrik 900 – 2200 Watt dikategorikan kelas sedang dan daya listrik 2200 Watt dikategorikan sebagai kelas tinggi. Responden yang diambil sebanyak 90 orang dengan jumlah masing-masing responden 30 orang tiap kelas. Hal ini didasarkan pada Singarimbun dan Effendi 1989 yang menyatakan bahwa untuk penelitian yang menggunakan analisa data dengan statistik, jumlah sampel terkecil adalah sebanyak 30 orang. Pengambilan data untuk persepsi dan peran pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi dilakukan dengan metode wawancara dengan pihak yang terkait. Data untuk persepsi dan pemerintah diambil dari Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Bogor dengan melakukan wawancara terhadap Kepala Bidang Pertamanan dan Kepala Seksi Pembangunan dan Penataan Taman. Data untuk lembaga swadaya masyarakat diambil dari seluruh lembaga yang bergerak di bidang lingkungan. Data untuk perguruan tinggi diambil dari perguruan tinggi dengan jurusan dalam bidang lingkungan dengan melakukan wawancara dengan tenaga pengajar.

4.3.2 Metode analisis data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan uji non parametrik. Penyajian secara deskriptif dilakukan untuk menjelaskan gambaran dari setiap bentuk hubungan pertanyaan dengan jawaban responden. Untuk mengetahui tingkat persepsi dan partisipasi responden dalam pembangunan hutan kota, tanggapan yang diberikan diberikan nilai score. Penentuan nilai untuk setiap tanggapan dilakukan dengan menggunakan Skala Linkert. Nilai tanggapan berkisar dari satu sampai tujuh dengan kategori Sangat Buruk nilai 1, Buruk nilai 2, Agak Buruk nilai 3, Sedang nilai 4, Agak Baik nilai 5, Baik nilai 6 dan Sangat Baik nilai 7. Sedangkan uji statistik non parametrik menggunakan uji Chi-Kuadrat untuk menguji hubungan antar variabel dengan tingkat persepsi masyarakat. Perhitungan dalam uji ini menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan : x 2 : Nilai Chi-Kuadrat A : Nilai amatan H : Nilai harapan Hipotesis yang dipakai untuk menguji hubungan antar variabel dengan tingkat persepsi responden yaitu : a. H = Tidak terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi responden b. H 1 = Terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi responden Kemudian nilai dibandingkan dengan pada tingkat kepercayaan 95 dan 99 dengan derajat bebas tertentu. Kriteria keputusan untuk uji nyata ini adalah sebagai berikut: a. Apabila nilai maka terima H 1 , yang berarti terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi responden b. Apabila nilai maka terima H , yang berarti tidak terdapat hubungan antara variabel dengan tingkat persepsi responden BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tingkat Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Hutan Kota 5.1.1 Persepsi masyarakat Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan tindakannya Kartini 1984. Persepsi masyarakat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan program pengelolaan hutan kota. Jika tidak ada faktor lain yang berpengaruh, persepsi yang rendah atau negatif akan menghambat jalannya pelaksanaan pengelolaan, sedangkan persepsi yang tinggi atau positif merupakan dukungan dalam menciptakan dan memelihara hutan kota yang sudah ada. Hasil perhitungan dari sembilan puluh responden menunjukkan bahwa rata- rata nilai persepsi masyarakat Kota Bogor khususnya Kecamatan Bogor Tengah terhadap hutan kota tergolong dalam tingkat persepsi yang cenderung baik dengan nilai rata-rata responden untuk tingkat persepsi yaitu 5,88 dari skala 7. Komposisi tingkat persepsi masyarakat terhadap hutan kota disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Banyaknya responden berdasarkan tingkat persepsi Tingkat persepsi Jumlah Persentase Cenderung sedang 1 1,11 Cenderung agak baik 18 20 Cenderung baik 66 73,33 Baik 3 3,33 Cenderung sangat baik 2 2,22 Total 90 100,00 Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi yang tinggi terhadap hutan kota. Persepsi yang tinggi ini ditunjukkan dengan 73,33 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik yaitu sebanyak 66 orang dari 90 responden. Perhitungan skala Linkert pada persepsi masyarakat dapat untuk setiap tingkatan ekonomi menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi masyarakat berada pada tingkat yang sama yaitu tingkat persepsi yang cenderung baik. Persepsi masyarakat Kota Bogor pada tingkat ekonomi rendah cenderung sangat baik. Hal ini dapat ditunjukkan dengan 63,33 dari 30 responden tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 26,67 memiliki tingkat persepsi yang cenderung agak baik, 6,67 yang memiliki tingkat persepsi yang cenderung sangat baik dan 3,33 dengan tingkat persepsi yang cenderung sedang. Hal tersebut juga tidak berbeda pada masyarakat dengan tingkat ekonomi atas, 86,67 dari 30 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 10 cenderung agak baik dan 3,33 baik. Persepsi masyarakat pada tingkat ekonomi menengah, sebagian besar masyarakat hanya memiliki persepsi pada tingkat yang cenderung baik. Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah, 70 dari 30 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 23,33 cenderung agak baik dan 6,67 baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi dapat dilihat pada gambar di bawah ini Gambar 5. Gambar 5 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel tingkat ekonomi memiliki nilai X 2 hitung sebesar 11,515, dimana nilai X 2 hitung tersebut lebih kecil daripada nilai X 2 tabel nya yang sebesar 15,507. Nilai signifikasi pada hasil uji Chi- Square untuk variabel tingkat ekonomi memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat ekonomi dengan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat Kota Bogor terhadap hutan kota dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar ada pada tingkat persepsi yang cenderung sangat baik. Untuk responden dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar SD, 50 dari 10 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 40 cenderung agak baik dan 10 cenderung sedang. Responden dengan pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama SMP, 70 dari 10 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 20 cenderung agak baik dan 10 cenderung sangat baik. Responden dengan tingkat pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas SMA, 80 dari 45 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 15,56 cenderung agak baik, 2,22 dengan tingkat persepsi yang baik dan 2,22 dengan tingkat persepsi yang cenderung sangat baik. Responden dengan tingkat pendidikan terakhir Perguruan Tinggi, 72 dari 25 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 20 cenderung agak baik dan 8 dengan tingkat persepsi yang baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada gambar di bawah ini Gambar 6. Gambar 6 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel tingkat pendidikan memiliki nilai X 2 hitung sebesar 17,447, dimana nilai X 2 hitung tersebut lebih kecil daripada nilai X 2 tabel nya yang sebesar 21,026. Nilai signifikasi pada hasil uji Chi- Square untuk variabel tingkat pendidikan memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat Kota Bogor terhadap hutan kota dilihat dari jenis kelamin berada pada tingkat persepsi yang sama yaitu cenderung sangat baik. Responden dengan jenis kelamin laki-laki, 68,75 dari 32 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 21,88 cenderung agak baik, 6,25 baik dan 3,13 cenderung sangat baik. Responden dengan jenis kelamin perempuan, 75,86 dari 58 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 18,97 cenderung agak baik, 1,72 cenderung sangat baik, 1,72 baik dan 1,72 dengan persepsi yang cenderung sedang. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar di bawah ini Gambar 7. Gambar 7 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel jenis kelamin memiliki nilai X 2 hitung sebesar 2,231, dimana nilai X 2 hitung tersebut lebih kecil daripada nilai X 2 tabel nya yang sebesar 9,488. Nilai signifikasi pada hasil uji Chi-Square untuk variabel jenis kelamin memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi masyarakat. Kelas umur responden dibagi menjadi dua yaitu kelas umur produktif dan kelas umur tidak produktif. Kelas umur produktif dimulai dari umur 17 tahun sampai 55 tahun. Kelas umur tidak produktif yaitu umur lebih dari 55 tahun. Persepsi masyarakat Kota Bogor terhadap hutan kota dilihat dari segi kelas umur berada pada tingkat persepsi yang cenderung sangat baik. Responden dengan kelas umur produktif, 74,60 dari 63 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 17,46 cenderung agak baik, 3,17 baik, 3,17 cenderung sangat baik dan 1,59 cenderung sedang. Responden dengan kelas umur tidak produktif, 70,37 dari 27 responden memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik, 25,93 cenderung agak baik dan 3,70 dengan tingkat persepsi yang baik. Grafik untuk persepsi masyarakat berdasarkan kelas umur dapat dilihat pada gambar di bawah ini Gambar 8. Gambar 8 Tingkat persepsi masyarakat berdasarkan kelas umur. Berdasarkan uji Chi-Square diketahui bahwa variabel kelas umur memiliki nilai X 2 hitung sebesar 2,025, dimana nilai X 2 hitung tersebut lebih kecil daripada nilai X 2 tabel nya yang sebesar 9,488. Nilai signifikasi pada hasil uji Chi-Square untuk variabel kelas umur memiliki nilai lebih besar dari 0,05 pada selang kepercayaan 95, sehingga keputusan yang diambil adalah terima H yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara kelas umur dengan persepsi masyarakat. Empat variabel yang diteliti yaitu tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan kelas umur diketahui tidak memiliki hubungan dengan tingkat persepsi masyarakat yang ada. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Mauludin 1994, Purwanto 1998 dan Kurniasih 2004 yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan yang cukup erat dengan tingkat persepsi. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh beberapa faktor dimana tidak hanya pendidikan yang berpengaruh terhadap persepsi. Pendidikan termasuk kedalam faktor internal yang mempengaruhi persepsi selain pendapatan, jenis kelamin kecerdasan dan emosi. Namun, ada faktor-faktor eksternal juga yang mempengaruhi persepsi yaitu pengaruh dari kelompok di sekelilingnya dan pengalaman masa lalu Kayam 1985 diacu dalam Purwanto 1998. Adanya media massa sebagai sumber informasi juga diindikasikan memiliki hubungan dengan tingkat persepsi. Zakih 1997 menyatakan bahwa media massa merupakan sumber yang efektif dalam menyebarkan informasi. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara informasi dengan tingkat persepsi bahwa semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat tingkat persepsi juga semakin tinggi. Adanya media massa baik cetak maupun elektronik masyarakat dapat mendapatkan berbagai informasi dan pengetahuan yang banyak selain dari bangku sekolah. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah SD mayoritas adalah penghuni lama Kota Bogor, mereka mengalami metamorphosis Kota Bogor dari yang dahulunya sangat sejuk dan rimbun hingga menjadi kota dengan hunian yang padat. Mereka benar-benar merasakan manfaat adanya vegetasi pepohonan bagi lingkungan mereka sehingga mereka memiliki persepsi yang positif terhadap hutan kota. Kedekatan tempat tinggal masyarakat dengan hutan kota juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap hutan kota. Kedekatan tempat tinggal dengan hutan kota memberikan manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap hutan kota.

5.1.2 Partisipasi dan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kota

Partisipasi adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan Suharto dan Iryanto 1989 diacu dalam Rahmawaty et al. 2006. Berdasarkan tangga partisipasi Arnstein, partisipasi masyarakat Kecamatan Bogor Tengah ini berada pada tingkatan terendah yaitu manipulasi dan terapi yang dideskripsikan tidak adanya partisipasi. Pada tingkatan ini tidak ada partisipasi dari masyarakat dalam merencanakan maupun melaksanakan program. Pemegang kekuasaan mendikte masyarakat dimana tidak ada dialog diantara mereka. Bentuk partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan kota di Kota Bogor khususnya Kecamatan Bogor Tengah yang dikemukakan oleh seluruh responden penelitian adalah sama, yaitu pada umumnya masyarakat belum pernah berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengelolaan hutan kota di Kota Bogor. Hal ini sangat bertentangan dengan persepsi dan sikap masyarakat yang positif terhadap kawasan hutan kota. Masyarakat mengetahui arti pentingnya hutan kota yang ada bagi kehidupan mereka dan perlunya kegiatan pelestarian terhadap kawasan, tapi masyarakat belum pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tidak adanya partisipasi terhadap pengelolaan hutan kota ini terjadi dikarenakan dari pemerintah sendiri memang belum pernah mengadakan kegatan-kegiatan yang menuntut keterlibatan masyarakat baik berupa penyuluhan maupun upaya-upaya pengelolaan lainnya. Berdasarkan karakteristik partisipasi Pretty 1995, partisipasi masyarakat ini digolongkan kedalam partisipasi pasif. Masyarakat berpartisipasi berdasarkan informasi yang mereka terima dari pihak luar tentang apa yang terjadi di lingkungan mereka. Masyarakat memang belum berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan, namun mereka merasa bertanggungjawab menjaga areal yang ada itu dengan tidak melakukan partisipasi yang negatif seperti mencoret-coret dan menebang pohon di wilayah hutan kota dan melakukan perburuan satwa. Bahkan mayoritas dari masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan dengan melakukan penanaman di sekitar rumah atau halaman mereka. Beberapa responden dengan tingkat ekonomi atas bersedia berpartisipasi dalam upaya pembiayaan pengelolaan hutan kota, hanya saja tidak adanya pengelolaan dari pemerintahnya sendiri untuk hal tersebut. Terkait dengan permasalahan pengelolaan hutan kota, masyarakat diharapkan tidak hanya menjadi obyek melainkan dapat menjadi subyek dalam program- program pengelolaan lingkungan. Dengan demikian akan tumbuh perasaan memiliki dan dengan sukarela akan menjaga dan mengelola lingkungan dengan baik. Persepsi masyarakat yang cenderung baik merupakan modal pertama untuk menyertakan masyarakat dalam program pengelolaan hutan kota. Hal ini sejalan dengan pernyataan Surata 2003 persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi benar mengenai lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Masyarakat dapat bertindak sebagai pelaku utama, penerima manfaat dan sekaligus sebagai pengawas kegiatan dalam program pengelolaan hutan kota. Masyarakat merupakan penerima langsung manfaat dari adanya hutan kota karena faktor keberadaan mereka yang dekat dengan kawasan hutan kota. Sebagai pengawas, masyarakat dapat mengawasikontrol berbagai kegiatan di kawasan hutan kota kapan saja tanpa harus meninggalkan pekerjaan mereka. Dengan peran masyarakat sebagai pengawas, maka permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan hutan kota dapat dideteksi sedini mungkin dan dapat segera dilaporkan ke pemerintah. Sehingga pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama menangani permasalahan yang timbul dengan cepat. Peran masyarakat sebagai pelaku utama memegang peran sentral dalam implementasi program pembangunan dan pengelolaan hutan kota, sehingga pengelolaan tidak lagi terpaku pada pemerintah. Bentuk partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan dapat dilakukan mulai dari proses perencanaan sampai operasional mengelola hutan kota. Sesuai dengan pernyataan Huda 2008 yang menyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pada tahapan perencanaan, pelaksanaan awal, adopsi programpersetujuan, implementasipelaksanaan serta tahapan pemantauan dan evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut dalam mengelola merupakan suatu aset sumber daya manusia yang harus dimanfaatkan secara maksimal guna memelihara hutan kota yang ada. Bentuk partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan dalam berbagai tahap pengelolaan hutan kota tersaji dalam Tabel 7. Tabel 7 Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan kota Tahapan Partisipasi peran masyarakat dalam pengelolaan hutan kota Perencanaan Partisipasi dalam pengumpulan data dasar dan pelatihan pengumpulan data Menghadiri pertemuan dalam identifikasi dan analisis isu. Pemberi masukan terhadap permasalahan serta penentuan prioritas isu Berpartisipasi dalam penyusunan draft perencanaan Pelaksanaan awal Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan hidup Berpartisipasi dalam pelatihan pengelolaan Berpartisipasi dalam pembuatan konsep rencana pengelolaan Pengambil keputusan dan pelaksanaan dalam kegiatan pelaksanaan awal Berpartisipasi dalam penentuan kelompok intikelompok perencanaan Pengambil keputusan dan pemberi masukan dalam rencana pengelolaan hutan kota Adopsi program Berpartisipasi dalam menentukan isu prioritas, tujuan pengelolaan, dan kegiatan yang akan dilakukan, serta waktu pelaksanaan. persetujuan Berpartisipasi dalam persetujuan rencana pengelolaan, dan pendanaan Memberi dukungan terhadap pendanaan dan bantuan teknis Mencari dukungan dana dan bantuan teknis melalui swadaya masyarakat, pengusaha, lembaga donor lain, LSM, perguruan tinggi, selain dukungan dana dari pemerintah. Bersama-sama dengan pemerintah menyetujui rencana pengelolaan, strategi, dan pendanaannya. Berpartisipasi dalam peluncuran dokumen rencana pengelolaan Implementasi Berpartisipasi dalam rapat untuk menentukan rencana tahunan pelaksanaan Berpartisipasi dalam rapat untuk menentukan anggota kelompok pengelola Pengambil keputusan bagi prioritas kegiatan dalam rencana tahunan Penyusunan rencana kerjakegiatan Pemberi kontribusi tenaga dan dana Berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan Berpartisipasi dalam pembuatan laporan dan pertanggungjawaban keuangan dan program Berpartisipasi dalam presentasi laporan dalam rapat umum Pemantauan dan Berpartisipasi dalam pelatihan pemantauan dan evaluasi evaluasi Bertindak sebagai pengawas kesepakatanaturan dan pelaporan pelaksanaan aturan dan rencana Bertindak sebagai pemantau dan pengevaluasi pelaksanaan rencana kerja tahunan dan dana.

5.2 Persepsi dan Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Kota

Hutan kota memiliki peranan penting yaitu menghasilkan oksigen, mengurangi polusi, meredam kebisingan, melestarikan air tanah, menambah keindahan sebagai sarana rekreasi, penyerap partikel timbal dan pelestarian plasma nutfah Dahlan 1992. Pengelolaan hutan kota membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak, mengingat bahwa hutan kota merupakan kepentingan bersama dan manfaatnya dirasakan oleh semua pihak. Persepsi yang baik merupakan dasar dari tindakan partisipasi. Hal ini penting mengingat persepsi para pihak berbeda antara satu dengan lainnya, baik individu maupun kelompok. Feldman 1996 mengemukakan bahwa persepsi tersebut dapat berupa pandangan terhadap kebijakan, program, kegiatan, dan upaya promosi yang dilakukan pihak eksternal terhadap masyarakat lokal. Oleh karena itu, pengetahuan tentang persepsi para pihak mulai dari di mana mereka, apa yang mereka ketahui, apa yang mereka miliki, hingga apa yang mereka inginkan, merupakan elemen penting untuk memotivasi komitmen mereka dalam kegiatan pengelolaan hutan kota. Persepsi para pihak ini perlu diperhatikan dalam pengintegrasian peran dan tugas para pihak Iqbal 2007. Pada penelitian ini, pihak-pihak yang dilibatkan dalam pengelolaan hutan kota yaitu pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat. Peran masing-masing pihak dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Skema peran para pihak dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor. Dinas Pertamanan Perencana, pelaksana, pemegang kekuasaan dan kebijakan serta pemrakarsa kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat Sarana penghubung, penyadar, alat kontrol dalam proses pembangunan serta mitra pemerintah dalam menjalankan programnya Perguruan Tinggi Perencana dan mitra pemerintah Masyarakat Membantu desain taman dan tanaman yang ramah sesuai dengan iklim kota Bogor Pelaku utama, penerima manfaat dan sekaligus sebagai pengawas kegiatan Merekomendasikan jenis tanaman untuk hutan kota Mempublikasikan bahwa kota Bogor sebagai kota yang hijau Green City

5.2.1 Persepsi dan peran pemerintah

Pemerintah merupakan salah satu pihak yang memiliki peranan penting dalam program pembangunan hutan kota yaitu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengelolaan hutan kota. Pemerintah Kota Bogor dalam kaitannya dengan ruang terbuka hijau memiliki misi untuk mewujudkan kota yang bersih dengan sarana prasarana transportasi yang berkualitas. Peningkatan keindahan dan keasrian kota dilakukan melalui upaya memperluas ruang terbuka hijau, diantaranya dengan cara pemeliharaan taman dan penghijauan kota, penataan taman-taman dan pembuatan sarana pendukung lainnya serta penambahan pohon- pohon pelindung jalan dan bantaran sungai dengan tanaman penghijauan. Untuk mewujudkan misi ini pemerintah memiliki program pengelolaan ruang terbuka hijau RTH yang meliputi: a. Peningkatan kuantitas dan kualitas taman kota dan taman lingkungan, yang meliputi kegiatan Perencanaan RTH, Pembangunan RTH, Pemeliharaan RTH, Penataan RTH, Penyediaan dan pemutakhiran data RTH dan Pengujian pohon peneduh rawan tumbang b. Tertatanya lokasi eks PKL, dengan indikasi kegiatan penataan jalur hijau eks PKL Secara khusus pemerintah daerah kota Bogor memberikan mandat kepada Dinas Pertamanan untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan ruang terbuka hijau RTH. Selaku pengelola ruang terbuka hijau, Dinas Pertamanan Kota Bogor memiliki persepsi yang cenderung baik terhadap hutan kota dengan nilai 6,25 dari skala 7. Dinas Pertamanan Kota Bogor dalam menjalankan mandatnya telah membuat beberapa kegiatan untuk pengelolaan ruang terbuka hijau yang ada. Daftar kegiatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Daftar kegiatan Dinas Pertamanan Kota Bogor tahun 2011 No. Kegiatan Pekerjaan 1 Renovasi taman lingkungan Renovasi bangku taman, bloombak taman, dan penggantian lantsai keramik dengan batu alam di Taman Kencana Pengadaan tanaman dan media tanam dalam rangka renovasi Taman Kencana 2 Renovasi taman dan jalur hijau di 25 taman kota jalur hijau di Kota Bogor Revitalisasi areal taman bermain anak di Taman Sudut Lap. Sempur Renovasi taman sudut pertigaan Jl. Ir. H. Juanda - Jl. Kapten Muslihat 3 Revitalisasi taman kota dan jalur hijau Penataan Median Jalur Hijau Jalan Pajajaran dari Pertigaan Bangbarung s.d. Pertigaan Jambu Dua Penataan Median Jalur Hijau Jalan Pajajaran dari Simpang lima Ekalokasari s.d. U-Turn Balebinarum Pengadaan Tanaman dan Media Tanam dalam Rangka Revitalisasi Median Jalur Hijau U-Turn Jl. Tol Jagorawi 4 Penyulaman drum, pot, dan bloombak tanaman Pengadaan media tanam, pot tanaman, dan tanaman untuk penyulaman pot dan bloombak tanaman 5 Penanaman pohon penghijauan di jalur hijau jalan, sempadan jalan, dan penghijauan di trotoar jalan Pengadaan pohon pelindung dan media tanam dalam rangka penanaman pohon penghijauan di jalur hijau 6 Pembangunan taman dan jalur hijau di pulau jalan dan eks U- Turn Pembangunan Taman pulau Jalan Surya Kencana, Jl. Mawar, Jl. Otto Iskandar Dinata Pertigaan Tugu Kujang dan Jl. Kapten Muslihat depan Toko Pria 7 Pemeliharaan pagar dan ornamen taman Pengadaan peralatan dan bahan perbaikan pagar dan ornamen taman Perbaikan pagar jalur hijau Jl.Ir. H. Juanda depan Hotel Salak dan depan Kantor BNI 46 s.d. Kantor KPPN, Jl. Kapten Muslihat depan Kantor PLN, Jl. Pajajaran Sekitar Kebun Raya Bogor, dan pagar taman Peranginan 8 Penataan jalur hijau sekitar kebun raya Penataan Jalur Hijau Jl. Otto Iskandar Dinata dari Pertigaan Jl. Surya Kencana s.d. Jembatan Pemasangan Pagar Pelindung Jalur Hijau Jl. Otto Iskandar Dinata dari Pertigaan Jl. Surya Kencana s.d. Jembatan Dinas Pertamanan Kota Bogor sendiri mengalami keterbatasan dalam bidang sumberdaya manusia dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan di atas. Sumber daya manusia yang dimiliki Dinas Pertamanan Kota Bogor hanya berjumlah 74 orang. Sumberdaya manusia yang berjumlah 74 orang tersebut dirasa tidak mencukupi untuk melakukan pengelolaan ruang terbuka hijau Kota Bogor yang luasnya ± 40 hektar. Dinas Pertamanan juga memiliki keterbatasan dana sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan membebaskan lahan untuk menambah jumlah ruang terbuka hijau di Kota Bogor. Oleh karena itu, untuk meningkatkan penataan, pemeliharaan dan penambahan ruang terbuka hijau dinas pertamanan memiliki rencana program mengajak pihak-pihak lain untuk bekerja sama dalam pengelolaan ruang terbuka hijau Kota Bogor. Kerjasama yang akan dijalin oleh Dinas Pertamanan Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kerjasama yang akan dijalin oleh Dinas Pertamanan Kota Bogor No Pihak Bentuk Kerjasama 1. Perhimpunan Burung Indonesia Merekomendasikan jenis tanaman yang ramah burung dan mempublikasikan bahwa Kota Bogor sebagai kota hijau yang ramah burung. 2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Memberikan tanaman koleksilangka untuk ditanam di seputar Kebun Raya Bogor 3. Institut Pertanian Bogor IPB Membantu desain taman dan tanaman yang ramah burung sesuai dengan iklim Kota Bogor 4. Pedagang tanaman Penyediaan tanaman 5. PT. Trans Pakuan Menyumbang pot-pot tanaman hias untuk ditempatkan di setiap halte bus Trans Pakuan 6. Pengurus Masjid Raya Bogor Pembuatan taman di jalur hijau depan Masjid Raya Bogor dan memeliharanya 7. PDAM Menata jalur penyebrangan di median Jalan Pajajaran dengan menggunakan batu alam, membangun taman pulau jalan dan menempatkan pot-pot tanaman hias depan Ekalokasari serta membuat taman jalur hijau depan masjid PDAM Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa salah satu tugas pemerintah yaitu mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan kemitraan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Dukungan dari pihak pemerintah sebagai lembaga formal dalam proses menuju kemitraan sangat diperlukan mengingat pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam menentukan kebijakan. Walaupun dalam kemitraan kedudukan aktor pelakunya sejajar, namun dukungan dari pemerintah merupakan dorongan motivasi terbentuknya kemitraan. Berdasarkan hal tersebut Dinas Pertamanan Kota Bogor perlu merubah strategi pengelolaan hutan kota tersebut dengan menerapkan pola pendekatan kemitraan karena masyarakat juga menghendaki adanya pengelolaan hutan kota secara maksimal. Pola dari kemitraan juga melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan rencana tindak kerja, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Pengelolaan dengan kemitraan mensyaratkan adanya dua kelompok besar pemangku kepentingan untuk bersama-sama berbagi peran dalam pengelolaan. Kedua kelompok pemangku kepentingan tersebut adalah kelompok masyarakat dan kelompok instansi pemerintah. Masyarakat merupakan kelompok pemangku kepentingan yang merasakan langsung dampak dari pengelolaan hutan kota. Kelompok instansi pemerintah merupakan pemegang mandat dari undang-undang untuk melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang ada agar dapat bermanfaat secara lestari. Pada dasarnya kedua kelompok tersebut dapat bekerja secara sinergi, karena mempunyai kepentingan yang sama. Tetapi kekurangpahaman dan kurang komunikasi antar keduanya bisa menimbulkan perbedaan peran yang saling bertentangan. Oleh karena itu, perlu diupayakan turun rembug antar berbagai pihak pada saat sosialisasi kegiatan. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan kota disini jelas sangat berpengaruh, yakni sebagai perencana dan pelaksana sekaligus pemegang kekuasaan dan kebijakan. Tidak hanya itu, pemerintah juga berperan sebagai pemrakarsafasilitator dari keterlibatan berbagai pihak seperti masyarakat, swasta dan lembaga-lembaga lainnya. Iqbal 2007 menyatakan bahwa fungsi peran pemerintah seyogianya lebih bersifat sebagai koordinator dan fasilitator, sehingga implementasi program pembangunan berjalan efisien dan efektif. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peran pemerintah daerah sangat strategis dalam menjembatani para pemangku kepentingan guna memperlancar pembangunan hutan kota. White et al. 1994 juga menyatakan bahwa dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif dengan peran sebagai berikut: a. Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif. b. Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat. c. Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis. d. Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok masyarakat yang berhasil. e. Menegakkan hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap pelanggaran aturan lokal, maka pemerintah perlu mendelegasikan kepada kelompok masyarakat. Tetapi pemerintah harus siap memberikan bantuan dalam penegakan hukum, jika masyarakat membutuhkannya. Hal ini berarti bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan partisipatif oleh masyarakat. f. Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku kepentingan. g. Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan, keuangan, sarana dan perlengkapan, serta peningkatan kesadaran masyarakat.

5.2.2 Persepsi dan peran lembaga swadaya masyarakat

Pengertian lembaga swadaya masyarakat atau lebih dikenal LSM dalam Inmendagri No. 8 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasilembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasilembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Peran lembaga swadaya masyarakat LSM dalam program pengelolaan hutan kota tidak kalah pentingnya yaitu sebagai mitra pemerintah dalam menjalankan programnya. Selain itu, LSM juga berperan untuk menyediakan sistem mediasi untuk memfasilitasi pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi keesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau. Sehingga dalam posisi ini, LSM juga berperan sebagai sarana penghubung, penyadar, sekaligus sebagai alat kontrol dalam proses pembangunan. Kedekatan LSM dengan rakyat bawah memungkinkan melihat persoalan dari sisi yang berimbang, pada tahap lanjut LSM dapat membawanya pada pemerintah beserta alternatif solusi yang memadai. Peran LSM tersebut sesuai dengan pernyataan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan yang menyatakan bahwa Organisasi non pemerintah atau organisasi lain yang serupa berperan utama sebagai perantara, pendamping, menghubungkan masyarakat dengan pemerintah dan swasta, dalam rangka mengatasi kesenjangan komunikasi, informasi dan pemahaman di pihak masyarakat serta akses masyarakat ke sumber daya. Untuk mencapai peran tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi non-pemerintah antara lain: a. Membentuk sistem mediasi dan fasilitasi antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengatasi kesenjangan komunikasi dan informasi pembangunan ruang terbuka hijau b. Menyelenggarakan proses mediasi jika terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan antara pihak yang terlibat c. Berperan aktif dalam mensosialisasikan dan memberikan penjelasan mengenai proses kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta serta mengenai proses pengajuan keluhan dan penyelesaian konflik yang terjadi d. Mendorong danatau menfasilitasi proses pembelajaran masyarakat untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan penyusunan RTH perkotaan. Kegiatan ini dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat danatau yang terkait dalam pembangunan ruang terbuka hijau, maupun dengan proses diskusi dan seminar e. Menciptakan lingkungan dan kondisi yang kondusif yang memungkinkan masyarakat dan swasta terlibat aktif dalam proses pemanfaatan ruang secara proporsional, adil dan bertanggung jawab. Dengan membentuk badan atau lembaga bersama antara pemerintah, perwakilan masyarakat dan swasta untuk aktif melakukan mediasi f. Menjamin tegaknya hukum dan peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh semua pihak dengan konsisten tanpa pengecualian Lembaga swadaya masyarakat yang berada di Kota Bogor memiliki persepsi yang cenderung sangat baik terhadap hutan kota. Telapak memiliki persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,21. Burung Indonesia dengan persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,43. World Conservation Society memiliki persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,39. Lembaga swadaya masyarakat LSM yang aktif berperan serta dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor adalah Burung Indonesia. Lembaga ini memiliki persepsi yang cenderung sangat baik dengan nilai 6,43 dari skala 7. Program yang dimiliki Burung Indonesia untuk pengelolaan ruang terbuka hijau di kota Bogor yaitu BArU Birds Around Us. Program ini bertujuan untuk mewujudkan kota Bogor sebagai kota yang ramah burung. Lembaga ini ikut serta dalam program pembangunan yang dimiliki pemerintah dimana program yang mereka miliki bersinergi dengan program pemerintah. Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah dengan visi yang berbeda untuk kepentingan bersama sehingga terjalin keserasian.

5.2.3 Persepsi dan peran perguruan tinggi

Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang turut berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan ruang hutan kota. Perguruan tinggi memberikan pendidikan berupa mata kuliah yang terkait dengan hutan kota, ruang terbuka hijau beserta pengelolaannya. Pendidikan yang diberikan tidak hanya teori-teori saja, melainkan praktek-praktek langsung pada ruang terbuka hijau yang ada. Lulusan-lulusan dari perguruan tinggi tersebut diharapkan dapat menjadi tenaga ahli yang dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan kemajuan bagi ruang terbuka hijau kota Bogor. Beberapa tenaga pengajar perguruan tinggi merupakan ahli dalam bidang hutan kota dan ruang terbuka hijau. Berbagai penelitian terkait dengan hutan kota dan ruang terbuka hijau telah dilakukan oleh para tenaga pengajar di perguruan tinggi sebagai upaya kontribusi dalam pengelolaan hutan kota. Perguruan tinggi juga dapat memegang peranan dalam pengelolaan hutan kota melalui kerjasama dengan pemerintah. Bentuk kerjasama tersebut dapat berupa rekomendasi- rekomendasi terkait dengan pengelolaan hutan kota dari berbagai penelitian yang dilakukan, perguruan tinggi disini dapat bertindak sebagai perencana. Bersama- sama dengan pemerintah merencanakan pembangunan dan pengelolaan hutan kota yang baik. Bentuk kerjasama juga dapat berupa pengadaan workshop atau penyuluhan kepada masyarakat tentang hutan kota dan manfaatnya, dalam hal ini pihak perguruan tinggi dapat berperan sebagai narasumber. Perguruan tinggi yang berada di Kota Bogor memiliki persepsi yang cenderung baik terhadap hutan kota. Institut Pertanian Bogor memiliki persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,29 dari skala 7. Universitas Nusa Bangsa memiliki tingkat persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,23 dan Universitas Pakuan memiliki persepsi yang cenderung baik dengan nilai 6,11. Perguruan tinggi yang turut berpartisipasi secara aktif dalam program pembangunan dan pengelolaan hutan kota di Kota Bogor yaitu Institut Pertanian Bogor IPB khususnya Departemen Arsitektur Lanskap. Bentuk partisipasi yang diberikan oleh IPB dalam pengelolaan hutan kota di Kota Bogor yaitu memberikan rekomendasi jenis-jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di hutan kota, membantu desain taman bagi taman-taman kota di Kota Bogor dan melakukan berbagai penelitian tentang hutan kota dan ruang terbuka hijau.

5.3 Strategi Meningkatkan Partisipasi Para Pihak

Partisipasi merupakan kunci utama dalam menjalin rasa saling memahami, keterlibatan dalam implementasi kegiatan kolektif, dan kekuatan dalam membangkitkan pemberdayaan. Pengelolaan hutan kota membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak. Program pembangunan dan pengelolaan hutan kota dilaksanakan secara terpadu antar berbagai pihak agar perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutan kegiatan sesuai dengan sasaran, yakni dalam konteks memperluas jumlah ruang terbuka hijau yang ada. Pemerintah Kota Bogor perlu merubah strategi pengelolaan hutan kota dengan menerapkan pola pendekatan kemitraan. Pola dari kemitraan harus melibatkan masyarakat baik secara perorangan maupun forum dalam semua proses mulai dari proses penyusunan rencana tindak kerja, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Melalui pola kemitraan diantara masyarakat, pemerintah, LSM serta perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas lingkungan, sehingga memunculkan rasa tanggungjawab dan keinginan untuk melestarikan. Pemerintah perlu menyusun suatu strategi untuk meningkatkan partisipasi berbagai pihak dalam pengelolaan hutan kota. Para pihak harus terwakili secara khusus dalam rancangan organisasi, mereka berpartisipasi dan sekaligus menjalani proses pembelajaran dalam pelaksanaan program pembangunan. Karakteristik partisipasi seperti ini disebut karakteristik partisipasi interaktif. Pretty 1995 menyatakan bahwa karakteristik partisipasi interaktif paling sesuai untuk implementasi program pembangunan. Masyarakat berada dalam tingkat partisipasi paling rendah yaitu manipulasi dan terapi yang dideskripsikan sebagai tidak adanya partisipasi. Diperlukan sebuah strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan hutan kota sehingga partisipasi masyarakat dapat mencapai tingkatan tertinggi pada tangga partisipasi Arnstein yaitu partisipasi aktif dengan level kontrol masyarakat. Pada tingkatan partisipasi aktif, masyarakat dapat bermitra dengan pemegang kekuasaan yang memungkinkan mereka bernegoisasi. Jika tingkat partisipasi diperdalam hingga level tertinggi yaitu kontrol masyarakat, masyarakat memiliki kekuasaan penuh untuk membuat keputusan. Namun penyusunan strategi harus diklasifikasikan berdasarkan setiap tingkatan ekonomi, karena masing-masing tingkatan ekonomi masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda. Strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat kelas menengah dan bawah yaitu: 1. Penyerahan pengelolaan kepada tingkat Rukun Warga RW, sehingga masyarakat dapat mengambil peran aktif dalam upaya pengelolaan tentunya disertai dengan sosialisasi dan bimbingan yang terus menerus. 2. Sosialisasi yang intens untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya berpartisipasi, serta menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya perbaikan lingkungan mereka. Selain itu sosialisasi dilakukan dengan memperluas media pengumuman hingga ketingkat komunitas terkecil. 3. Pembentukan jaringan sosialforum lokal sebagai wadah masyarakat dalam berpartisipasi serta pemberian sanksi sosial bagi masyarakat yang tidak ikut serta dalam berpartisipasi. Forum lokal ini nantinya akan diberdayakan dalam pengelolaan hutan kota melalui bimbingan teknis dan pendampingan masyarakat. Pembentukan forum ini harus sesuai dengan fungsi utamanya, yakni membahas secara intensif masalah-masalah hutan kota. Pembentukannya harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat serta beranggotakan semua pihak yang terkait. Para pihak yang terkait ini mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan, yaitu pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan sosialnya, perguruan tinggi dengan pendidikan dan ilmu pengetahuannya serta LSM dengan kelompok institusinya. Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang pelaksanaan program pembangunan dan pengelolaan hutan kota. 4. BimbinganPendampingan yang terus menerus untuk meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam berpartisipasi. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan teknis masyarakat dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan hutan kota. Materi pembekalan berkaitan dengan pemberdayaan seperti fungsi, tugas, perencanaan, dan pengawasan. 5. Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat terkait hal-hal yang bersifat teknis. Pelatihan diberikan kepada masyarakat sebagai kerangka dasar dalam menciptakan dan sekaligus meningkatkan kesadaran mereka terhadap konsep pelaksanaan program pembangunan dan pengelolaan hutan kota. Pelatihan ini sebagai upaya penguatan modal sosial dengan meningkatkan pelibatan masyarakat dalam kegiatan, berangsur mengurangi peran pemerintah dalam ikut mengambil keputusan, serta meningkatkan intensitas kegiatan kepada masyarakat. Pelatihan mencakup unsur kepemimpinan, pengambilan keputusan, teknis ketatalaksanaan, pengembangan inovasi, aksesibilitas terhadap sumber daya dan aspek sosial ekonomi pembangunan lainnya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi dan LSM memberi pengetahuan bagaimana pengelolaan dan pemeliharaan hutan kota. 6. Pengoptimalan penggunaan tenaga kerja dan material lokal sesuai sumber daya yang tersedia Strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat kelas atas tidak jauh berbeda dengan strategi untuk kelas menengah dan bawah, yang menjadi perbedaan nyata diantara mereka hanya kemampuan dana yang mereka miliki. Selain strategi-strategi yang telah disebutkan di atas, strategi yang perlu ditambahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat kelas atas yaitu: 1. Pembentukan perkumpulan masyarakat kelas atas yang peduli akan lingkungan hutan kotaruang terbuka hijau. Pada perkumpulan ini dapat dijadwalkan secara rutin untuk melakukan pertemuan untuk mendiskusikan masalah- masalah hutan kota. Pada forum ini juga dapat dilakukan pengumpulan dana untuk pengelolaan hutan kota. Besarnya dana yang disumbangkan dapat ditentukan oleh Peraturan Daerah. Perguruan tinggi dan LSM memiliki peran yang hampir sama dalam pengelolaan hutan kota yaitu sebagai mitra pemerintah dan sarana penghubung serta penyedia informasi. Oleh karena itu, strategi yang disusun untuk meningkatkan partisipasi LSM dan perguruan tinggi hampir sama. Strategi untuk meningkatkan partisipasi LSM dan Perguruan Tinggi yaitu: 1. Membentuk wadah kerjasama penelitian, yang mencakup bidang yang luas baik sektoral, regional, maupun yang berupa studi kebijakan umum. Melalui wadah ini dapat diserap sekaligus diuji pandangan-pandangan kritis dari LSM dan perguruan tinggi. Sebaliknya, kalangan LSM dan perguruan tinggi dapat mengkaji secara kritis berbagai kebijakan pembangunan yang dirasakan kurang mendukung kemajuan lapisan bawah masyarakat. Hasil-hasil pengkajian bersama tersebut kemudian diterbitkan untuk menjadi konsumsi umum, sekaligus untuk mendapatkan umpan-balik lebih lanjut dari masyarakat luas. 2. Melakukan lokakarya bersama pada berbagai tingkat. Hal pokok yang perlu menjadi perhatian utama untuk dibahas dalam lokakarya adalah penentuan program-program dan proyek-proyek pembangunan yang paling tepat untuk memajukan daerah dan strategi pelaksanaan yang partisipatif. 3. Membentuk wadah khusus untuk mengelola hubungan kerjasama dan kemitraan antara pemerintah dengan LSM dan perguruan tinggi 4. Membuat lomba-lomba antar perguruan tinggi terkait dengan hutan kota karya tulis dan desain taman khusus untuk meningkatkan partisipasi perguruan tinggi. Agar program pembangunan dan pengelolaan hutan kota dapat berjalan optimal, diperlukan suatu strategi dalam pelaksanaannya. Strategi yang perlu diterapkan dalam pengelolaan hutan kota yaitu: 1. Penyusunan Rencana strategis dan peraturan perundangan yang jelas serta penyusunan pedoman umum pembangunan dan pengelolaan hutan kotaRTH. 2. Menindaklanjuti pelibatan masyarakat melalui penyusunan metodologi dan teknik pelibatan yang lebih operasional serta memperkuat komitmen semua pihak untuk berperan serta. 3. Pembuatan Standar Operational Procedure SOP bagi keterlibatan masyarakat dalam program pengelolaan hutan kota. 4. Bekerjasama dengan pemerintah lokal lainnya yang mempunyai pola pengelolaan hutan kota yang sudah sangat baik untuk saling tukar informasi dan teknologi dalam pengelolaan hutan kota. 5. Para pengusaha di Kota Bogor wajib mengalokasikan dana bagi program Corporate Social Responsibility CSR untuk pengelolaan hutan kota yang besarnya dana ditentukan dalam Peraturan Daerah 6. Pemerintah sebagai lembaga yang bertugas terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan hukum lingkungan seharusnya dapat melaksanakannya secara baik dan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Strategi untuk meningkatkan partisipasi para pihak ini dapat diterapkan oleh pemerintah dengan terlebih dahulu membuat peraturan daerah PERDA tentang hutan kota dan keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraannya. Jangka waktu satu tahun pasca penyusunan PERDA dirasa cukup untuk dapat menerapkan strategi ini. Pasca penyusunan PERDA, pemerintah dapat mengadakan sosialisasi terkait PERDA dan keterlibatan berbagai pihak dalam program pengelolaan hutan kota. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan