1.2 Tujuan
Tujuan penelitian pengaruh pemberian tanaman sorgum Sorghum bicolor L terhadap pertumbuhan rusa timor Rusa timorensis de Blainville 1822 adalah
untuk : 1.
Mengkaji konsumsi, bobot badan dan konversi pakan rusa timor dengan pemberian tanaman sorgum di penangkaran rusa Hutan Penelitian
Dramaga, Bogor 2.
Mengkaji ukuran morfometrik pertumbuhan rusa timor dengan pemberian tanaman sorgum
3. Mengkaji perilaku makan rusa timor dan pemilihan pakan di penangkaran
rusa Hutan Penelitian Dramaga, Bogor
1.2 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah: 1.
Dapat dijadikan sebagai saran atau masukan bagi pihak pengelola dalam peningkatan pertumbuhan rusa timor dengan menggunakan tanaman
sorgum sebagai pakan tambahan selama masa pertumbuhan sehingga produksi rusa dapat meningkat.
2. Dapat dijadikan sebagai suatu pertimbangan dalam menjaga kelestarian
dan pemanfaatan satwa rusa timor.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Rusa Timor 2.1.1 Klasifikasi
Rusa timor merupakan satwa yang dilindungi karena terjadi penurunan populasi sehingga dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Secara umum
klasifikasi rusa timor Rusa timorensis menurut Schroder 1976 dan red list IUCN 2012 adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Sub ordo : Ruminansia
Family : Cervinae
Genus : Cervus
Species : CervusRusa timorensis de Blainville, 1822
2.1.2 Morfologi
Rusa timor memiliki warna rambut coklat kemerahan, hidup berkelompok dan mempunyai daerah teritorial. Rusa jantan memiliki rambut yang berwarna
coklat keabu-abuan sampai coklat gelap dan kasar serta mempunyai ranggah. Bobot badan dewasa dapat mencapai 60 kg, panjang badan berkisar antara 1,95
– 2,10 m, tinggi badan 1,00
– 1,10 m. Ranggah tumbuh pertama kali pada anak jantan umur 8 bulan Schroder 1976.
Rusa timor jantan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan rusa betina dan memiliki warna gelap hingga kecoklatan pada kaki belakang. Rusa
timor jantan memiliki surai yang terdapat pada lehernya seperti yang dimiliki oleh rusa sambar Rusa unicolor Firmansyah 2007. Untuk lebih jelasnya morfologi
rusa timor dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi rusa timor Rusa timorensis di penangkaran rusa Hutan Penelitian Dramaga.
2.2 Ekologi Rusa Timor 2.2.1 Penyebaran
Rusa timor Rusa timorensis merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar Rusa unicolor. Pada masa penjajahan Belanda, rusa timor banyak
tersebar ke Pulau Papua dan pulau kecil lainnya di sekitar Indonesia bagian Timur serta pengiriman ke luar negeri seperti ke negara Australia, Brasil, Kep. Komoro
di Afrika, Madagaskar, Selandia baru, Mauritus, Kaledonia baru, Papua New Guinea, Malaysia dan Thailand Semiadi dan Nugraha 2004. Di Nusa Tenggara
Timur penyebaran rusa timor banyak terdapat pada Pulau Timor, Pulau Rote, Pulau Semau, Pulau Kambing, Pulau Alor dan Pulau Pantar.
2.2.2 Habitat
Habitat merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dengan satwa. Pada umumnya rusa dapat bertahan hidup di beberapa tipe vegetasi seperti savana yang
dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung istirahat, kawin dan menghindarkan diri dari predator.
Secara alami habitat rusa berada di hutan sampai ketinggian 2.600 m dpl dengan padang rumput yang tersedia sebagai pakan Garsetiasih dan Takandjandji 2007.
2.2.3 Pakan
Rusa timor merupakan satwa herbivore yang mengkonsumsi berbagai jenis hijauan. Sebagai satwa herbivore, rusa selalu mendeteksi jenis hijauan
sebelum memakannya. Pendeteksian ini dapat dilihat dari perilakunya dalam menciumi hijauan. Apabila hijauan tersebut tidak cocok atau tidak disukai, maka
rusa akan meninggalkannya dan beralih ke hijauan yang lain Priyono 1997. Ketersediaan hijauan sangat erat hubungannya dengan habitat sehingga diperlukan
upaya penanganan pakan hijauan di penangkaran Garsetiasih dan Takandjandji 2007. Menurut Takandjandji 2004 jenis-jenis pakan yang disukai oleh rusa
umumnya terdiri dari jenis rumput poaceae dan leguminosae. Semiadi dan Nugraha 2004 mengemukakan bahwa selain mengkonsumsi
hijauan, rusa cenderung menyukai keragaman pakan non rumput seperti konsentrat dedak dan ubi, buah
–buahan, sayuran atau limbah pertanian yang mudah diperoleh. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang cukup bagi rusa timor
di penangkaran tidaklah mudah karena semua zat-zat nutrisi harus dalam keadaan seimbang. Secara umum, sulit untuk memformulasikan jenis pakan yang baik
bagi rusa sebab informasi tentang kualitas pakan masih terbatas dan data tentang konsumsi kecernaan dari berbagai bahan pakan juga masih terbatas sehingga sulit
untuk memberi rekomendasi yang tepat Latupeirissa dan Matitaputty 2005.
2.2.4 Pertumbuhan
Basuni 1987 mengemukakan bahwa rusa merupakan sumber protein hewani yang cukup tinggi mengingat ukuran tubuhnya cukup besar, produksi
dagingnya tinggi, kemampuan adaptasi dan berkembangbiak juga tinggi. Selain itu, satwa ini juga sangat responsif terhadap perbaikan nutrisi. Firmansyah 2007
menyatakan bahwa rusa yang berada di alam menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan, mencari shelter dan tempat minum ingestive. Aktivitas ini lebih
banyak dilakukan pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari satwa ini istirahat Masy’ud et al. 2007, sama halnya dengan rusa di penangkaran yang
telah mampu beradaptasi dan terbiasa dengan kondisi yang diatur. Pakan bagi satwa ini harus disediakan secara kontinyu untuk memenuhi nutrisi bagi
pertumbuhannya. Pertumbuhan dipengaruhi oleh kesehatan satwa khususnya yang berada di
penangkaran. Syarief 1974 dalam Firmansyah 2007 mengemukakan umur sapih rusa sekitar 4-7 bulan, dewasa kelamin 7-9 bulan, remaja 6-12 bulan, masa
pematangan reproduksi 12-24 bulan, umur tertua rusa berkisar 10-20 tahun. Pertumbuhan rusa timor sebaiknya diamati setelah umur masa sapih dan sebelum
bereproduksi, karena pertumbuhan fisiknya akan terlihat lebih jelas. Secara
fisiologis, pertumbuhan rusa timor dapat dilihat dari tulang-tulang yang membentuk rongga pinggul melebar Takandjandji et al. 1998.
2.3 Penangkaran Rusa Timor
Penangkaran satwaliar merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan untuk tujuan konservasi, ekonomis, sosial budaya dan ilmu
pengetahuan dengan tetap mempertahankan kelestarian populasi dan kemurnian jenis Basuni 1987. Penangkaran ex-situ dibangun dengan memperhatikan
aspek-aspek habitat yang terdiri dari pakan, air, naungan cover, berada pada tempat yang tenang, aman dari gangguan predator, mudah dicapai baik pada
musim hujan maupun kemarau, tersedia air sepanjang tahun dan permukaan tanah yang tidak berbatu, di sekitarnya terdapat lapangan rerumputan untuk
mempermudah penyediaan pakan selain dari kebun pakan, topografi rata sampai bergelombang ringan, luas lahan minimal 0,5 ha atau sesuai kebutuhan serta
tersedianya pohon-pohon peneduh atau semak-semak Garsetiasih dan Takandjandji 2007.
2.4 Tanaman Sorgum 2.4.1 Klasifikasi
Sorgum merupakan tanaman budidaya yang dapat dikembangkan di daerah-daerah lahan kering yang berpotensi tinggi akan protein dan karbohidrat
setelah jagung, padi, dan gandum. Tanaman ini telah banyak dimanfaatkan sebagai penganekaragaman pangan, pakan dan industri Prabowo et al. 1999.
Secara umum klasifikasi sorgum menurut Suci 1992, Felicia 2006, Wiratma 2010 adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta Divisi
: Magniliophyta Superdivisi
: Spemartophyta Class
: Monocotyledon Family
: Poaceae Genus
: Sorgum Ordo
: Cyperales
Spesies : Sorghum bicolorL, Andropogon sorghum L, Holchus sorghum
L, Sorghum vulgareL Nama daerah yang biasa disebut : Cantel di Jawa Tengah dan Jawa Timur, jagung
cantrik di daerah Jawa Barat, batara tojeng di daerah Sulawesi Selatan.
2.4.2 Morfologi
Umumnya biji sorgum berbentuk bulat lonjong atau bulat telur dengan ukuran biji kira-kira 4 x 2,5 x 3,5 mm Wiratma 2010 yang terdiri dari 3 bagian,
yaitu kulit luar sebanyak 8 persen, lembaga 10 persen dan daging biji endosperm 82 persen. Kulit terdiri dari epikarp, mesokarp dan endocarp. Epikarp
mengandung zat pigmen dan sebagian zat pigmen dapat masuk ke dalam daging biji. Mesokarp adalah lapisan kulit biji paling tebal, mengandung granula pati
kecil berbentuk polygonal. Endokarp terdiri dari sel-sel melintang berbentuk tabung panjang 200 mikro dan lebarnya 5 mikro. Salah satu fungsi endocarp
untuk mengangkut air Suci 1992. Batang sorgum beruas-ruas mirip tebu, namun berukuran lebih kecil dengan diameter 2 cm dan tinggi tanaman bisa mencapai 2,5
m. Daun sorgum berbentuk pita mirip dengan daun jagung maupun tebu. Malai tumbuh pada ujung tanaman seperti halnya padi FKA 2008. Secara morfologis
sorgum dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2 Morfologi sorgum Sorghum bicolor L.
Untuk lebih jelasnya struktur penampang membujur sorgum disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3 Penampang membujur sorgum Sumber : Laimeheriwa 1990. Laimeheriwa 1990 mengemukakan berat biji sorgum bervariasi antara 8-50
mg dengan rata-rata 28 mg. Berdasarkan ukurannya sorgum dibagi menjadi: 1. sorgum biji kecil 8-10 mg
2. sorgum biji sedang 12-24 mg 3. sorgum biji besar 25-35 mg.
Biji sorgum tergolong jenis kariopsis caryopsis dengan seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Di bawah endocarp terdapat lapisan testa yang
mengelilingi endosperm dan mengandung pigmen. Endosperm terdiri dari lapisan aleuron yang mengandung banyak mineral dan vitamin B. Selain lapisan aleuron,
endosperm dilengkapi dengan peripheral corneous, dan zona floury. Scutellum merupakan jaringan penyimpan yang kaya akan lemak, protein, enzim, dan
mineral Felicia 2006. Warna kulit biji sorgum bervariasi mulai dari putih, merah dan coklat
keunguan. Warna ini disebabkan oleh adanya pigmen yang terletak di epikarp berwarna putih, kuning, jingga dan merah. Tanaman sorgum lebih tahan
kekeringan dibandingkan jagung karena mempunyai akar serabut terletak agak dalam di bawah tanah yaitu mencapai kedalaman 1,3 sampai 1,8 m, panjangnya
mencapai 10,8 m. Selain akar seperti di atas tanaman tersebut juga mempunyai daun berlapis lilin, berguna untuk mengurangi penguapan air Wright 1993 dalam
Suarni dan Singgih 2002.
2.4.3 Kandungan gizi
Kandungan nilai gizi sorgum tidak jauh berbeda dengan tanaman serelia lainnya. Komposisi kimia biji sorgum sangat beragam, tetapi secara umum adalah
protein total 9,5 , serat kasar 2,3 , abu 2,3 , karbohidrat 68 , kalcium 0,11 , methionin ditambah cystin 0,35 , dan lysiin 0,22 Wright 1993 dalam
Suarni dan Singgih 2002. Yayuk et al. 1990 mengemukakan kandungan protein, lemak dan P pada
tanaman sorgum melebihi tanaman pangan lainnya Tabel 1. Tabel 1 Kandungan nutrisi sorgum dibandingkan bahan pangan lainnya
Komoditas Kandungan nutrisi
Kalgram Lemak
gram Protein
gram Karbohidrat
gram Ca
mg P
mg Fe
mg Sorgum
332 3,3
11,0 73
28 287
4,4 Beras
336 0,7
7,0 79
6 147
0,8 Jagung
361 4,5
9,0 72
9 380
4,6 Kentang
83 0,1
2,0 19
11 56
0,7 Ubi kayu
157 0,3
1,2 35
33 40
0,7 Ubi jalar
123 0,7
1,8 28
30 49
0,7 Terigu
365 1,3
8,9 77
16 106
1,2 Sumber : Yayuk et al. 1990
Suci 1992 mengemukakan bahwa protein dalam biji sorgum dapat dibagi menjadi 2 golongan pokok, yaitu protein dalam lembaga dan protein dalam
endosperm. Kandungan protein lembaga lebih tinggi dibandingkan kandungan protein dalam endosperm. Protein inilah yang dapat mendukung pertumbuhan
satwa yang ditandai dengan pertambahan bobot badan, pertumbuhan morfometrik tubuh dan keaktifan bergerak.
2.4.4 Penyebaran di Indonesia
Prabowo et al. 1999 menyebutkan bahwa tanaman sorgum telah lama dikenal dan ditanam di NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Kabupaten Demak merupakan penghasil sorgum di Pulau Jawa dan pada tahun 1994 luas panen mencapai 9.405 hektar dengan hasil 3,5 tonha. Kenaikan
luas per tanaman sorgum di Kabupaten Demak selama pelita V sebesar 16,7 menempati urutan kedua setelah jagung.
Utama et al. 2007 mengemukakan bahwa tanaman sorgum tumbuh relatif cepat, tahan terhadap kekeringan, ditopang oleh perakaran halus dan dapat
tumbuh agak dalam di bawah tanah serta dapat dipanen pada umur 120 hari.
Sorgum dapat menghasilkan biji dengan baik pada musim kemarau dan tumbuh optimum pada suhu 23
o
c sampai 30 c dengan kelembaban 20 sampai 40 serta
tumbuh di daerah tropis dan sub tropis sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut.
Tanaman sorgum dikenalkan oleh Negara Belanda pada tahun 1925 di Indonesia, meskipun sudah masuk ke Indonesia sejak jaman pemerintah kolonial,
namun sorgum baru mulai berkembang baik sekitar tahun 1970-an yang disebabkan ketika tahun 1960-an Indonesia kekurangan pangan beras, maka
pemerintah mulai agak serius mengembangkan komoditas ini. Hasilnya baru terlihat sekitar tahun 1970-an, dengan varietas berwarna coklat dan putih. Dengan
semakin baiknya perekonomian Indonesia setelah tahun 1970-an, maka komoditas sorgum kembali dilupakan. Budidayanya hanya dilakukan oleh masyarakat secara
terbatas untuk kebutuhan sendiri. Sorgum dikenal dengan nama cantel, otek dan jagung cantrik di Pulau Jawa. Pemanfaatan jenis sorgum mulai muncul kembali
dari perdagangan pakan burung perkutut FKA 2008. Untuk penyebaran daerah penghasil sorgum di Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2 Penyebaran daerah penghasil sorgum di Indonesia
Propinsi Daerah penghasil
Jawa Barat Indramayu, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Garut, Cianjur, dan
Sukabumi Jawa Tengah
Tegal, Kebumen, Kendal, Demak, Grobogan, Boyolali dan Wonogiri DI Yogyakarta
Kulon Progo, Sleman, Bantul dan Gunung Kidul Jawa Timur
Pacitan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang
NTB Lombok Tengah, Sumbawa, Dompu dan Bima
NTT Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores
Timur, Lembata, Alor, Timor Tengah Utara, Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan dan Rote Ndao
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2007
2.4.5 Produksi
Tanaman sorgum di Indonesia hingga saat ini tahun 2012 masih belum merupakan tanaman penting dibandingkan dengan padi, jagung, gandum dan
tanaman serelia lainnya. Potensi sorgum sebagai makanan tambahan bagi ternak pengganti jagung dan satwa cukup tinggi. Industri plywood dan kertas, sorgum
berpotensi menggantikan terigu sebagai bahan perekat lem sementara batang dan daunnya dijadikan sebagai pakan ternak. Produktivitas sorgum rata-rata ditingkat
petani hanya sekitar 1 ton per hektar per musim tanam FKA 2008. Dengan pola pengembangan sorgum untuk keperluan substitusi gandum maupun industri
minuman serta untuk pakan satwa, maka usaha petani akan terus berkepanjangan. Produktivitas sorgum di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Produktivitas sorgum di Indonesia
Tempat Luas tanam ha
Produksi ton Produktivitas
hatahun Jawa Tengah
15,31 17,35
1,13 Jawa Timur
5,97 10,52
1,76 DI Yogyakarta
1,8 67,0
0,37 NTB
30 54
1,80 NTT
26 39
1,50 Sumber : Sirappa 2003
2.5 Perilaku Makan
Perilaku makan merupakan sifat appentites yang lebih bervariasi dan harus melalui proses belajar serta adaptasi terhadap lingkungan baru tergantung pada
lamanya makan atau frekuensi makannya setiap hari Suratmo 1979 dalam Wardani 2002. Menurut Craig 1981 dalam Wardani 2002, perilaku makan
dipengaruhi oleh tingkat nutrisi, efek musim, kesehatan, pengalaman baru dan belajar. Pola makan juga merupakan perilaku yang sering kali dipengaruhi oleh
macam dan modifikasi banyak faktor. Rusa pada umumnya mempunyai pola ruminansia atau memamah biak. Setelah makan, satwa tersebut sering kali
berbaring, mengunyah dan memamah biak. Lambung terdiri dari beberapa bagian yang dapat membantu memisahkan makanan yang kasar dan yang halus. Ismail
2011 menambahkan cara merumput rusa yaitu dengan melilitkan rumput pada lidah di mulutnya, kemudian menyentakkan kepalanya ke depan sehingga rumput
terpotong oleh gigi seri bawah. Rusa lebih memilih istirahat memamah biak dan tidur pada siang hari
sesuai dengan pernyataan Wardani 2002 bahwa aktivitas makan satwa di penangkaran menurun pada siang hari kemudian naik lagi pada sore hari. Selain
itu Masy’ud et al. 2007 juga menyatakan aktivitas makan lebih banyak
dilakukan pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari satwa ini istirahat.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian