3.2 Penyebab Awal terjadinya Konflik
Pada awal Juni 2009 yang lalu, pihak PT. Toba Pulp Lestari bersama para kontraktor melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Hamijon hutan
kemenyan milik masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang terdiri 700 KK masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara. Mereka bukan hanya menebang kayu alam, tetapi juga kemenyan dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman
euclayptus. Mereka juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan limbah padat PT. TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Alasan pihak PT.TPL
melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena memiliki izin HPHTI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Menteri Kehutanan antara
lain: Areal hutan kemenyan seluas kurang lebih 4100 Ha ini, sebenarnya sudah
dimiliki dan diusahai masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta secara turun- temurun sejak 300-an tahun yang lalu secara hukum adat yang hidup, ditaati hingga
sekarang. Areal ini merupakan identitas dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta sebagai masyarakat adat dan merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Dari
areal inilah masyarakat dari dua 2 desa tersebut memperoleh sumber kehidupan. Kekecewaan dari dua 2 desa ini adalah kenapa pemerintah memberikan izin
penanaman pohon eucalyptus tanpa sosialisasi yang memberitahukan bahwa adanya kegiatan dari PT. TPL yang merusak dan mengganggu hutan kemenyan masyarakat.
Sepanjang pengetahuan peneliti yang di dapat dari masyarakat, hal sebagaimana dapat diuraikan sebagai pelanggaran dari PT. TPL terhadap masyarakat
adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, yaitu pemberian izin HPH-TI terhadap PT. TPL atas areal hutan kemenyan Desa Sipituhuta-Pandumaan merupakan pelanggaran hak
warga negara yang diakui oleh mahkamah konstitusi. Pemberian izin HPH-TI kepada PT. TPL atas areal hutan kemenyan bertentangan dengan kebijakan UU NO.41 Tahun
1999 tentang kehutanan, perampasan dan penebangan hutan kemenyan
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kerusakan lingkungan yang merugikan ekosistem hutan kemenyan. Aktivitas PT. TPL merupakan tindakan pelanggaran hukum perdata maupun pidana
yang cenderung mendapat kekebalan hukum dari pemerintah daerah. Atas tindakan Pihak PT. TPL ini, masyarakat adat dua desa melakukan
penolakan dan protes, melarang dan menghentikan tindakan penebangan yang dilakukan PT. TPL bersama para kontarktornya. Penolakan dan protes warga atas
penebangan Hutan Adat warga dari dua 2 desa tersebut menimbulkan reaksi dari pihak aparat Kepolisian Resort Polres Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi
Sumatera Utara yaitu melakukan proses hukum kriminalisasi beberapa warga, yaitu: James Sinambela, Mausin Lumban Batu, Sartono Lumban Gaol, Medialaham
Lumban Gaol. Bukan hanya itu, aparat Polres Humbang Hasundutan juga melakukan tindakan represif, kebrutalan dan tindakan pemaksaan terhadap warga Desa
Pandumaan-Sipituhuta, merusak rumah warga, menggledah secara paksa, menangkap secara paksa yang terjadi 15 Juli 2009.
Proses hukum terhadap empat 4 warga desa tersebut sampai sekarang belum jelas,meskipun sudah dibebaskan keempat warga tersebut tetap masih sebagai
tahanan luar. Proses hukum yang diusahakan beberapa Ormas, LSM dan Tokoh Agama meminta dihentikan, tetapi pihak kepolisian tidak mengabaikan. Karena dari
keempat dituduhkan melakukan pencurian dengan kekerasan, tentang pencurian, tentang pengerusakan di muka umum, tentanag pengeruskan barang.
Sepanjang pengetahuan dan pengalaman masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta dalam mengelola tanaman kemenyan, bahwa tanaman kemenyan termasuk
tanaman endemik yakni hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat tertentu di bumi yang salah satunya adalah di daerah Humbang Hasundutan khususnya di Kecamatan
Pollung. Tanaman kemenyan juga hanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila tumbuh bersama tanaman kayu alam lainnya yang berfungsi sebagai tanaman
pelindung, sehingga tanaman kemenyan ini sepatutnya harus dilindungi dari kepunahan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan dari data yang peneliti peroleh dari lapangan dan dari hasil wawancara atau diskusi yang dilakukan oleh peneliti kepada masyarakat maupun
elemen Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat, penyebab konflik secara langsung antara lain :
1. Pengrusakan dan penebangan pohon kemenyan yang ada di areal
hutan kemenyan. 2.
Pengrusakan areal hutan kemenyan dengan membuka jalan-jalan baru oleh PT. TPL sebagai jalan untuk masuk dan keluar dari areal
untuk tujuan pengangkutan kayu hasil tebangan. 3.
Menanami areal yang sudah ditebang PT. TPL dengan tanaman eucalyptus.
4. Penangkapan dan penahanan atas warga karena telah berupaya
melarang aktifitas PT. TPL. Begitu juga data yang diperoleh dari KSPPM dan PT.Toba Pulp Lestari
bahwa konflik agraria yang terjadi secara tidak langsung yaitu 1.
SK Menhut No. 493Kpts-II1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perubahan dengan SK Menhut No. 351Menhut-II2004 tentang
perubahan kedua atas keputusan Menhut No. No. 493Kpts-II1992 tentang pemberian HPHTI kepada PY IIU. SK. Menhut ini hanya
merubah nama dari PT IIU menjadi PT. TPL dengan luas konsesi 269.069 Ha.
2. SK Menteri Kehutanan No. 44Menhut-II2005 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 Ha.
3. Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang
Hasundutan, nomor 522.212075.ADPK-X2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas
Kehutanan dan Pertambangan.
Universitas Sumatera Utara
4. Surat Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera, Nomor
552.210684IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan RKT PT. Toba Pulp Lestari 2009.
3.3 Peranan Kebijakan Pemerintah Humbang Hasundutan.