keuntungan, karena kami meyakini adanya makna dari pohon kemenyan yang darisitu pemenuhan kebutuhan kami”
Menangani konflik yang terjadi pada PT. TPL dengan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, PT. TPL telah memahami ada masyarakat yang akan
memprotes dan menuntut haknya. Penerapan konsep hak menguasai negara, atas sumber-sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat pada praktiknya lebih banyak digunakan untuk melegitimasi negara dalam hal memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi pemilik modal besar untuk membuka
usaha-usaha pengelolaan Sumber Daya Alam dengan dalih untuk melaksanakan pembangunan perekonomian. Akibatnya dari tujuan tersebut maka keluarlah berbagai
kebijakan pemerintah, yang tidak jarang akibat dari kebijakan tersebut mengeliminasi keberadaan masyarakat termasuk masyarakat adat dari tanah tempat penghidupannya
selama ini.
3.4 Analisis Cara Penyelesaian Masalah Tapal Batas yang Dilakukan
Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari Tbk.
Konflik yang terjadi sejak dari 2009 hingga sekarang di Desa Pandumaan- Sipituhuta peneliti menjelaskan dengan menganalisis dari teori konflik dan teori
kebijakan mengenai faktor penyelesaian sengketa tanah masyarakat yang berujung tidak jelasnya tata batas antara masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta. Peneliti
mencari sasaran penyelesaian konflik tapal batas hutan kemenyan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan melihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan
masyarakat terhadap yang membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk menganalisis cara penyelesaian dan untuk melakukan negoisasi berdasarkan
kepentingan-kepentingan dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. TPL. Pada posisi yang tertekan masyarakat untuk mengadakan aksi demonstrasi,
musyawarah hingga kekerasan yang sudah dijalankan. Namun pada satu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersamadi dalam proses
penyelesaian tapal batas.
Universitas Sumatera Utara
Konflik selalu ada negoisasi-negoisasi yang dilakukan sehingga tercipta konsesus. Menurut teori konflik masyarakat disatukan dengan paksaan dengan artian,
keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan.Oleh karena, teori konflik lekat dengan dominasi, koersi dan kekuatan. Berangkat dari
kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan dimana pihak yang berkonflik yaitu masyarakat dengan
perusahaan terjadi dengan adanya kepemilikan secara keturunan terhadap lahan adat masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan perjuangan yang dilakukan dengan
bermacam usaha untuk memperjuangkan melalui bantuan dari banyak kalangan dan usaha yang dilakukan dengan cara nonlitigasi yang cenderung dipilih oleh
masyarakat. Bahwa dari pandangan tersebut, peneliti melihat dari penjabaran yang disampaikan masyarakat memang yang menguasai dominasi atas lahan adat mereka,
pemerintah yang kurang berpartisipasi keberlangsungan hidup petani kemenyan di Desa pandumaan Sipituhuta.
Dasar kekuatan pada masyarakat adalah rasa persatuan untuk bertahan dalam menangani konflik dan rasa kekeluargaan yang mempunyai tujuan untuk rasa
keadilan terhadap peristiwa yang terjadi, agar masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta mampu menyelesaikan masalah dengan mempertahankan hutan kemenyan
dan terpenuhinya hak-hak masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang ada didapat. Dalam teori konflik, kekuatan pada masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta
kekuatan pada budaya batak yang turun-temurun atas hak keturanan dari nenek moyang mereka yang juga telah diperkuat oleh pernyataan Dinas Arkeologi Medan.
Perjuangan yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan hutan kemenyan yang telah ada secara turun-temurun dan telah lama ditanam oleh
masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dari penebangan yang dilakukan oleh PT. Toba pulp lestari yaitu dengan meminta dan mendesak kementrian sebagai pihak
yang mengeluarkan undang-undang ini untuk meninjau ulang, mencabut dan memberhentikan.
Universitas Sumatera Utara
Upaya yang dilakukan warga pertama kali pada Selasa 23 Juni 2009, dua Desa Pandumaan-Sipituhuta mengetahui setelah adanya berita bahwa hutan kemenyan
warga sudah dirambah atau ditebang PT. TPL sehingga secara spontan warga dua desa berangkat ke hutan kemenyan untuk menghentikan penebangan yang dilakukan
pekerja PT. TPL dan mengambil sinsaw sebanyak 14 unit.
42
Konflik yang sudah terjadi sejak tahun 2009 telah lama membuat masyarakat ingin menyelesaikan
masalah pertanahan yang ada di dua 2 desa ini alami yang mengikat itu masyarakat. Masalah yang dihadapi dari tahun 2009 selain dengan PT. Toba Pulp Lestari,
masyarakat juga berhadapan dengan pihak kepolisian yang menangkap 16 warga desa Pandumaan-Sipituhuta. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Desa Pandumaan dalam
wawancara, sebagai berikut: “Aksi warga pertama kali pada tanggal 23 Juni 2009 mengetahui lahan
kemenyan milik dua warga yang dirambah oleh PT. TPL dengan spontan berangkat ke hutan kemenyan. Setiba disana, masyarakat
berdiskusi dan menanyakan baik-baik kepada pekerja TPL untuk mengentikan penebangan. Selanjutnya warga meminta sinsaw gergaji
mesin supaya tidak lagi menebangi karena lahan ini milik warga dan gergaji mesin tersebut dibawa ke desa. Selanjutnya para pekerja
melaporkan kepada pimpinan PT. TPL dan menjemputnya ke desa. Selanjutnya mereka berikan dengan surat tanda terima kepada pekerja
dan humas PT. TPL dan ditandatangani, warga juga meminta untuk meninggalkan areal tersebut, jangan sampai warga marah dan terjadi
hal yang tidak diinginkan. Warga akhirnya membawa sinsaw pekerja TPL ke desa.”
Analisis yang peneliti dapat dari lapangan pandangan terhadap perbedaan cara dalam mengambil sikap dari masyarakat itulahyang akhirnya akan menimbulkan
konflik dan tahapan-tahapan penyelesaian yang hingga saat ini masih terjadi dan belum terselesaikan, antara masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dan PT. TPL.
Bentuk reaktif dari masyarakat Pertumbuhan penduduk juga mempengaruhi kehidupan masyarakat adat sekitar hutan yang selama ini sangat mengandalkan hasil
hutan non kayu sebagai produk penyokong ekonomi mereka telah rusak oleh pengelolaan hutan oleh pengusahaanhutan yang telah berlangsung.
42
Laporan Konflik Masyarakat Adat Pandumaan Dan Sipituhuta Vs PT. Toba Pulp Lestari. Hal 4
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian yang terjadi bersifat kerakyatan yang dijelaskan terbukti pada kamis, 6 Agustus 2009 masyarakat dua Desa melakukan pertemuan MUSPIDA
dengan pihak warga Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk membahas yaitu mendata secara kasar siapa saja pemilik hutan kemenyan, mengumpulkan dampak penebangan
penebangan yang dilakukan PT. TPL terhadap warga, melihat batas-batas hutan kemenyan dan pembuatan peta lokasi serta terakhir mengetahui keingninan atau
tuntutan masyarakat terhadap penyelesaian konflik. Masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta tidak setuju pendataan karena secara adat dimiliki oleh warga Pandumaan
dan warga Sipituhuta. Peneliti mendapat pengertian bahwa dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 bahwa hak-hak atas tanah yang
dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan atas tanda bukti hak sebagai pembuktian yang kuat dengan hukum adat.
Melihat batas–batas hutan kemenyan untuk sebagai bukti kepemilikan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta peneliti mewawancarai Bapak James
Sinambela mengenai pembatasan dan pengukuran lahan hutan kemenyan: “batas-batas lahan yang sudah dilakukan masyarakat dan peta lokasi
yang sesuai kami ketahui ialah meliputi hutan alam yang menutupi hutan kemenyan dan kami memasangi dengan GPS, TPL harus keluar
dan menghentikan kegiatan dari penebangan hutan kemenyan kami. TPL juga sudah melakukan 2 dua kali pengukuran lahan batas hutan
produksi, tetapi kami menolak karena pembatasan lahan hutan kemenyan masyarakat memang tidak kena, tetapi mengenai hutan
alam yang berdampak padahutan kemenyan. Sebab itu kami menolak hasil pemetaan PT. TPL
43
” Dari wawancara peneliti dengan tokoh masyarakat Desa Pandumaan-
Sipituhuta, yaitu dari 2 dua kali pengukuran dan penataan batas yang dilakukan. Hal ini masih merugikan masyarakat dibandingkan pengukuran yang dilakukan
masyarakat. Ini disebabkan, hutan kemenyan yang seharusnya ditutupi oleh kayu alam termasuk daerah Produksi PT. TPL, hal ini dapat merusak ekosistem hutan
kemenyan karena kayu alam tersebut pelindung hutan kemenyan. Peristiwa yang
43
Wawancara dengan Haposan Sinambela di rumahnya, yang dilakukan 2 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
dipaparkan oleh peneliti, bahwa petani kemenyan dari warga Desa Pandumaan- Sipituhuta memang mengetahui cara hidup hutan kemenyan.
Pemetaan yang dipermasalahkan masyarakat dari pemetaan dari PT. TPL adalah peletakan batas yang masih mengenai garis awal hutan alam, masyarakat
menyatakan tidak sah dan menunda dahulu. Surat tentang warga untuk menghentikan dan pelarangan aktifitas warga harus ada perizinan dari rekomendasi dari Bupati dan
Dinas Kehutan Kabupaten Humbang Hasundutan. Tetapi hal tersebut susah terjadi dikarenakan hal tersebut yang hanya mempersulit masyarakat dan membebani
masyarakat. Rumitnya birokrasi peradilan untuk kasus-kasus konflik yang berawal pada permasalahan lingkungan. Hal-hal itu akan menyebabkan konflik berlangsung
sangat lama atau bahkan tak akan selesai. Sebelum memperoleh ijin pengusahaan kehutanan atau perkebunan, suatu
kewajiban pemerintah dan pengusaha kehutanan melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lainnya yang hidup dalam maupun di sekitar areal konsesi. Kearifan
budaya dan adat masyarakat tersebut bisa dilihat dari pola-pola mereka dalam masalah kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Adanya persepsi yang keliru
tentang pola penyelesaian konflik oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, sulitnya proses pembuktian yang disebabkan kompleksitas factor penyebab konflik
itu, masyarakat dituntut untuk menyelesaikan konflik bersama PT. TPL. Pada tanggal 26 Febrari 2013 ratusan warga berangkat ke hutan kemenyan
untuk melarang aktifitas penebangan hutan kemenyan warga dan ketika warga menahan 20 pekerja dan melepas kembali setelah dinyatakan tidak mengulangi
kegiatannya. Namun warga sangat marah melihat tanah adat mereka yang sudah habis dirampas oleh PT TPL serta truk pengangkut bibit dan pupuk akhirnya di bakar oleh
massa. Pukul 12.00 siang rombongan polisi lengkap dengan seragam dan peralatan
tiba di tempat, mereka datang dari dua arah yaitu dari arah kantor Camat Pollung dan
Universitas Sumatera Utara
arah Kota Doloksanggul. Sehingga warga berada diposisi terjepit, awalnya warga mengira bahwa polisi hanya datang dari arah Doloksanggul sehingga mereka tertuju
ke arah tersebut untuk mendengar himbauan polisi yang menyuruh mereka mundur dan meninggalkan tempat karena dianggap mengganggu pengguna 3 mobil patroli
polisi datang ke desa untuk melakukan penyisiran di rumah-rumah yang dianggap sebagai pengurus dan pimpinan dari warga desa.
Diketahui informasi bahwa polisi telah menangkap 16 warga dan membawa ke Polres. Kepala Desa, lima warga dan pihak KSPPM yang diwakili oleh Delima
Silalahi berangkat ke Polres untuk melihat 16 warga yang ditahan. Mereka menjalani pemeriksaan tanpa didampingi pengacara sampai pukul 00.45 WIB 26 Pebruari
2013. Adapun ke – 16 warga tersebut adalah:
1. Tohom lumban batu, 30 tahun, Petani, Desa Pandumaan Banjar Lumban Batu
2. Tumpal Pandiangan, 45 tahun, Petani, Desa Pandumaan Lumban Pandiangan
3. Mampu Lumban Gaol, 32 tahun, Petani, Desa Sipituhuta, Sibuntuon
4. Bilter Lumban Batu, 43 tahun, Petani, Desa Sipituhuta
5. Leo Lumban Batu, 42 tahun, Petani, Desa Sipituhuta, Lumban Dongdong
6. Madilaham Lumban Gaol, 30 tahun, Petani,Desa Pandumaan Sosor Hoting
7. Iriano Lumban Gaol, 31 tahun, Petani, Desa Pandumaan Pea Toruan
8. Ranap Lumban Gaol, 42 tahun, Petani, Desa Sipituhuta
9. Giot Taripar Lumban Gaol, 33 tahun, Petani, Desa Pandumaan Pea Toruan
10. Disamar Lumban Gaol, 32 tahun, Petani, Desa Sipituhuta
11. Gaul Lumban Gaol, 34 tahun, Petani, Desa Pandumaan Panghualan
12. Roy Marbun, 27 tahun, Petani, Desa Sipituhuta Huta Godang
13. Karson poster Pasaribu, 28 tahun, Petani, Desa Sipituhuta Dongdong
14. Janter Lumban Gaol,32 tahun, Petani, Desa Sipituhuta Sibuntuon
15. Jausman Sinambela, 55 tahun, Petani, Desa Sipituhuta, Lumban Pareme
16. Elister Lumban Gaol, 29 tahun, Petani, Desa Pandumaan Simpang Muhalan
Universitas Sumatera Utara
Dalam penyelesaian sengketa di Desa Pandumaan-Sipituhuta banyak melalui alternatif ada beberapa tahapan dalamproses penyelesaiannya. Proses penyelesaian
sengketa tanah melalui caranon litigasi atau alternatif secara umum di bagi dalam 3 tiga proses pada tahap musyawarah daripada lewat hukum yang harus dilalui oleh
para pihak yang terlibat. Prosesnya antara lain : A. Proses pertama adalah persiapan yang mana pada proses ini akan ditentukan siapa
yang akan menjadi juru penengah atau mediatornya, mediator atau juru penengah melakukan pemahaman terhadap sengketa yang terjadi, penentuan tempat
penyelesaian, waktu, dan pihak-pihak lain yang akan dilibatkan, serta hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung musyawarah.
B. Proses kedua adalah pembukaan yang mana dalam proses ini akan diperoleh keterangan-keteranga dari pihak pemohonpenggugat dan pihak termohontergugat
berkaitan dengan sengketa serta mendengar keterangan dari para saksi-saksi yang berasal dari penggugat atau tergugat.
C. Proses ketiga yaitu penutup yang meliputi penyimpulan pembicaraan, pembuatan surat pernyataan perdamaian, penandatanganan kesepakatan oleh para pihak yang
bersengketa bila sudah disepakati, saksi dan penutupan musyawarah. Berdasarkan data yang diketahui peneliti bahwa alternative non-litigasi
penyelesaian sengketa di Kabupaten Humbang Hasundutan di Desa Pandumaan- Sipituhuta dalam kenyataannya masih berlangsung dan menjadi kebutuhan yang
sangat penting bagi setiap warga masyarakat. Ada berbagai alasan yang mendorong masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta lebih memilih penyelesaian sengketa
tanah ulayat melalui cara non litigasialternaif. Oleh karena terdapat banyak kepentingan yang harus diperhatikan dalam musyawarah untuk menyelesaikan
sengketa tanah yang terjadi dan menghargai kepercayaan yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa kepada mediator atau juru penengah, maka sebelum memulai
musyawarah dengan para pihak yang bersengketa juru penengahmediator harus mempelajari, mengelompokkan dan memahami betul sengketa tanah yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat memfokuskan apa yang menjadi sengketanya dan mengetahui faktor – faktor apa yang mendorong sehingga sengketa tanah tersebut muncul.
Penyelesaian sengketa
non litigasialternatif yang didapat peneliti adalah sebagai berikut dengan Bapak Roganda Simajuntak :
“Penyelesaiaan sengketa secara alternatif lebih dipilih oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta karena penyelesaian dengan cara ini tidak
banyak biayanya.Mereka menyadari bahwa tidak mungkinmereka menyelesaikan sengketa tanahnya melalui jalur hukum karenabiayanya
yang mahal, sedangkan mereka sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan peternak.”
44
Hal lain yang mendorong mereka lebih memilih menggunakan cara alternatif, karena cara ini sudah menjadi kebiasaan dalam lingkungan mereka dimana setiap
terjadi sengketa dalam masyarakat akan diselesaikan secara musyawarah di antara mereka. Cara seperti ini telah berlangsung secara turun temurun.Waktu penyelesaian
yang relatif singkat juga menjadi alasan yang mendorong peneliti ketahui dan terlebih mengetahui alasan masayarakat memilih penyelesaian secara alternatif. Untuk
menyelesaikan satu sengketa biasanya hanya membutuhkan waktu beberapa minggu saja kalau saja adanya koordinasi dari PT. TPL pada saat mendirikan hutan konsesi.
Berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan yang membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Peneliti melihat dari proses nonlitigasi menjelaskan butuhnya pihak penengah yaitu oknum atau organisasi kemasyrakatan, di dalam teori konflik meningkatkan
komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik dan mengusahakan toleransi dan agar masyarakat bisa saling menerima
keragaman agar nilai-nilai yang tidak selaras dapat dipecahkan, seperti proses panjang dalam perjalanan penyelesaian telah ada dilakukan,masyarakat melalui
kepala desa Pandumaan merasa dirugikan dengan objektivitas dalam menemukan
44
Wawancara dengan Roganda Simajuntak di Desa Pandumaan yang dilakukan pada 13 September 2013. Di GKPI Pandumaan
Universitas Sumatera Utara
solusi. Interaksi sosial antara masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta telah tercipta jangka waktu yang relatif lama bersama-sama dengan KSPPM.
Adapun harapan yang diinginkan oleh Kepala Desa Pandumaan, dalam wawancara yang dilakukan peneliti yaitu Bapak Budiman Lumban Batu:
“Yang dikehendaki dari masyarakat Pandumaan-Sipituhuta adalah Pemerintah harus menghargai dan mengakui bahwa itu sudah beberapa
generasi mengusahai bukan aturan atau hak, bahwa adatkan diakui di Indonesia itulah harapan kami. Bahwa pemerintah itu tetap mengakui
karena tanah leluhur itu sudah diusahai bukan milik negara, tetapi itu program pemerintah yang katanya harus mensejahterakan masyarakat,
tetapi ntah kenapa mengasih selembar kertas ke perusahaan yang artinya hanya itu cuma modal yang diberikan untuk membabat hutan
masyarakat, artinya silsilah tadi dan sejarah masyarakat tidak diakui, harapan saya selaku pemerintah desa kepada pemerintah agar
mengakui lahan adat desa ini.”
45
Kasus seperti itu padaakhirnya akan membawa masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban dalam masalah
pembatasan hutan kemenyan. Hadirnya aktifitas PT. TPL yang merusak ekosistem hutan berdampak pada hutan kemenyan yang dimiliki masyarakat hal ini dikarenakan
areal hutan produksi milik PT. TPL yang tak jelas batas wilayahnya hingga lahan adat milik Desa Pandumaan-Sipituhuta kembali dilakukan pembabatan. Oleh karena
itu pada tahun 2009 aktifitas PT. TPL diminta untuk berhenti oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta. Penyelesaian konflik atau sengketa pada kondisi masyarakat
yang masih sederhana, dimana hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang terjadi
diarahkan kepada institusi yang bersifat kerakyatan folk institutions, karena institusi penyelesaian konflik atau sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai
institusi penjaga keteraturan dan pengembalian keseimbangan magis dalam masyarakat.
45
Wawancara dengan Kepala Desa Bapak Budiman Lumban Batu di GKPI Pandumaan, yang dilakukan 12
September 2013
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 Peta Luas Hutan Adat Desa Pandumaan-Sipituhuta
S umber
data diperoleh dari situs resmi mongabay.comPeta
‐Hutan‐Kemenyan‐dan‐Desa‐pandumaan‐ Sipituhuta.jpg keterangan
: Peta Hutan Adat Masyarakat Pandumaan‐Sipituhuta dengan PT.Toba
Pulp Lestari yang Menjadi Sengketa.
Pada proses penyelesaian yang berjalan pada masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta dengan KSPPM di penghujung 2013 adalah adanya pembuatan formulasi
pembuatan rancangan peraturan daerah hak masyarakat adat. Hal ini masih menjadi kajian terhadap perlindungan hak petani dalam penggunaan lahan yang telah
Universitas Sumatera Utara
diusahakan secara turun-temurun.Begitu juga untuk mengurangi potensi konflik pertanahan yang terjadi di daerah Humbang-Hasundutan.
Adanya rancangan peraturan daerah yang diharapkan akan menjadi penyelesaian kepada masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, agar terlihat jelas batas
pemisahan lahan adat kemenyan Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari. Hal ini, juga membantu perkembangan nasib lahan adat yang ada di daerah
Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada saat ini masih diformulasikan untuk menjadi undang-undang yang akan di sahkan oleh DPRD Humbang Hasundutan. Melihat juga
dari kejadian yang sudah memakan waktu hampir 5 lima tahun dan formulasi terhadap rancangan undang-undang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat
adat seperti yang sudah berlaku di Sumatera Barat dan beberapa di Kalimantan. Hingga peneliti melakukan wawancara untuk penyelesaian yang diharapkan akhir
permasalahan, yaitu: “Pada saat ini masyarakat menunggu rancangan undang-undang untuk
memberikan pengakuan lahan adat di berikan kepada masyarakat bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah, bersama-sama
BAKUMSU dan KSPPM merancang undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hal ini tinggal
menunggu rapat persetujuan dari pihak DPRD Humbang Hasundutan. adapun dua 2 kali cara penyelesaian yang dibuat oleh Dinas
Kehutanan Humbang Hasundutan, masyarakat desa Pandumaan- Spituhuta dan PT. TPL dengan penataan tapal batas hutan kemenyan
dengan hutan produksi milik PT. TPL tetapi masyarakat menolak hasil penataan tapal batas.”
46
Rekomendasi dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mempercepat proses penyelesaian konflik meminta supaya pemerintah kabupaten
yang berkepentingan memberikan waktu dalam bebersps hari kedepan dalam membuat rencana peraturan daerah yaitu perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Berikut dengan jawaban yang harus dipikirkan bersama-sama untuk masalah pengukuran tombak hamijon hutan kemenyan .
46
Wawancara dengan Suryati Simajuntak Sekretaris Eksekutif KSPPM, KSPPM Parapat 12 November 2013
Universitas Sumatera Utara
Didampingi oleh elemen lembaga swadaya masyarakat, untuk mendampingi setiap proses konflik. Kebijakan yang selama ini ada belum mendukung penyelesaian
masalah untuk warga. Komitmen dari KSPPM terhadap masyarakat dibangun oleh rasa kepercayaan untuk dapat bertahan pada permasalahan yang dihadapi, peneliti
juga menganalisis penyelesaian yang diusahakan oleh pihak KSPPM untuk memperjelas proses penyelesaian masalah, dengan ini peneliti melakukan wawacara
kepada Suryati Simanjuntak: “berdasarkan dari Badan Arkeologi Sumatera Utara bahwa memang
benar adanya kehidupan masyarakat lebih dari 150 tahun yang lalu dan itu penelitian awal yang mereka kerjakan dan itu kami akan
dikaji jauh lagi. bersama-sama dengan masyarakat diundang Dirjen BUK dari Kementrian Kehutanan untuk membicarakan bagaimana
penyelesaian masalah ini, tetapi lagi-lagi memang Kementrian Kehutanan melihat persoalan ini secara sempit, dimana Dirjen BUK
Kementrian Kehutanan bermitra dengan PT. TPL dalam hal ini TPL sebagai Pembina dan masyarakat sebagai binaan PT. TPL, padahal
kunjungan Dirjen BUK Kehutanan yang pada saat itu langsung terjun kelapangan sudah membuat penyelasaian yang jelas-jelas ditolak oleh
masyarakat. Karena masyarakat tidak mungkin bermitra dan PT. TPL sebagai Pembina karena masyarakat yang sudah paham betul tentang
mnegelola hutan kemenyan sejak beratus-ratus tahun yang lalu, yang kedua adalah, itu adalah lahan adat mereka dan milik mereka dan
bagaimanapun mereka tidak mau menjadi buruh diatas lahan tanah mereka sendiri. Nah, menurut mereka, bersedia bermitra dengan PT.
TPL dan suatu saat mereka tidak akan mandiri, bebas dalam menelola hutan kementan mereka dan akan terikat dengan mereka
yang diposisikan sebagai Pembina.
Dengan pemahaman dari yang disampaikan saudari Suryati Simajuntak, keberadaan dari sejarahnya hutan kemenyan ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta dan
perekonomian yang pernah terjadi 150 tahun yang lalu, begitu juga modal untuk mengangkat masyarakat tetap percaya pada perjuangan konflik ini terselesaikan
adalah berjuang. Berangkat dari kemauan perjuangan dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam persoalan penyelesaian konflik maka disini KSPPM
berusaha untuk menemukan jalan keluar untuk memastikan adanya kehidupan di hutan kemenyan warga yaitu bekerjasama dengan lembaga Arkeologi Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Utara, yang menemukan bukti kehidupan pada masa itu. Hal itu bisa jadi dasar penguatan bahwa masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan penerus dari
lahan adat. Permasalahannya hadirnya hutan konsesi PT. TPL memang tidak mengkaji asal-usul lahan adat yang akan menjadi hutan eucalyptus.
Sebagaimana diketahui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 didalam Pasal 2, mengenai Hak menguasai negara atas tanah telah diuraikanbahwa kewenangan-
kewenangan dari negara tersebut adalah berupa: A.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
B. Menentukan dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa C.
Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan- perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan wewenang tersebut, walaupun secara tegas tidak diatur, namun wewenang untuk menyelesaikan konflik atau sengketa adalah ada pada Negara
Republik Indonesia yang kewenangannya diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam hal ini BPN untuk kembali melakukan sosialisasi
mengenai berbagai peraturan yang berkaitan dengan bidang pertanahan khususnya dalam hal kepemilikan tanah. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui
penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat adat. Lemahnya penegakan hukum dalam penyelesaian berbagai permasalahan
yang terjadi antara masyarakat sekitar hutan dan perusahaan akan mengakibatkan konflik ini terjadi. Hal ini sering dijadikan pihak ketiga seperti cukong kayu untuk
memanfaatkan konflik tersebut demi kepentingannya. Maraknya penebangan dan okupasi dari perusahaan yang cenderung diutamakan merupakan wujud ketidak
harmonisan pemerintahaparat keamanan, perusahaan dan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kelemahan-kelemahan penyelesaian sengketa non litigasialternatif : 1. Dikarenakan penyelesaian secara non litigasialternatif merupakan suatu kebiasaan
maka hasil kesepakatan digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sehingga terkadang menimbulkan kericuhan antar kedua
belah pihak dikarenakan temperaman mereka yang labil. 2. Tidak ada kepastian hukum karena biasanya tidak dituangkan dalam suatu bukti
tertulis bukti otentik 3. Jika informasi tidak cukup diberikan kepada masyarakat Desa Pandumaan-
Sipituhuta dan apabila tidak ada bukti otentik yang kuat bagi para pemilik tanah, kemungkinan akan timbul lagi tuntutan balik dari keturunanpewaris yang terdahulu
dikarenakan kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat mengenai pertanahan. 4. Penyelesaian sengketa secara alternatif yang memakai upacara adat biasanya
kendalanya biaya sehingga rakyat tidak efisisen lagi karena masyarakat yang nota bene hanya bermata pencaharian rendah.
3.5Analisis Cara Penyelesaian Masalah Tapal Batas yang DilakukanPT. Toba Pulp Lestari Tbk.
Peneliti lihat dari kajian teori konflik dengan hukum adat penyelesaian tapal batas yang dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, terlihat dari pengamatan fungsi alokasi
yang jelas bagi tanah pertanian dan tanaman pangan milik rakyat.Investasi hutan eucalyptus tidak boleh mengalihfungsikan hutan kemenyan masyarakat dan atas tanah
bagi pertanian rakyat. Strategi penyelesaian konflik pertanahan tidak hanya sebatas persoalan tanah siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek terutama rasa
keadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa meminimalisir konflik di masa datang. Konflik agrarian juga merupakan konflik struktural yang timbul karena
kebijakan yang salah arah dari pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Struktural mengatur hubungan kepemilikan, penguasaan dan peruntukan atau pemanfaatan agraria, Ketiga hal tersebut bila dibagi dalam arti yang lebih luas hal itu
meliputi bahwa tanah sebagai penopang kehidupan manusia dan tanah sebagai pondasi dari terbentuknya susunan sosial masyarakat, maka tanah haruslah dibagi
secara merata berdasarkan kebutuhan manusia, dan dalam penguasaanya haruslah adil sehingga tidak ada monopoli yang dilakukan oleh manusia dengan mengunakan
segala cara untuk memonopolinya. Hal menggambarkan besar kepentingan PT. TPL lebih diperhatikan oleh tuan tanah di Humbang Hasundutan yang memiliki
wewenang, terlebih dengan adanya alibi pemerintah daerah untuk meningkatkan perekonomian.
Keberadaan PT. Toba Pulp Lestari sejak dari 2009 yang melakukan kegiatan penanaman pohon eucalyptus di Kecamatan Pollung yang menimbulkan konflik
pertanahan. PT. Toba Pulp Lestari yang melakukan penanaman usaha pohon eucalyptus menyebabkan konflik pertanahan terjadi. Ini menyebabkan awal konflik
dikarenakan pengerusakan hutan kemenyan dan perusahaan tidak melakukan sosialisasi terhadap masyarakat di Desa Pandumaan-Sipituhuta.Warga masyarakat
Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. TPL tetap melakukan perjuangan untuk mempertahankan hak kepemilikan hutan adat atas tombak hamijon hutan kemenyan
yang dimiliki secara turun temurun hingga sekarang sudah ada 13-16 generasi. Warga Desa Pandumaan-Sipituhuta mempunyai prinsip hidup yang mereka milik yaitu hutan
kemenyan merupakan sebagai penunjuk kehidupan dan harga diri dan rela mati untuk memperjuangkan hak dan sumber utama kehidupan. Tetapi perjuangan masyarakat
dengan perusahaan akan lebih mudah dikendalikan dengan putusan-putusan dalam
Hukum adat di undang-undang pokok agraria 1960.
Ketimpangan struktural merupakan ciri khas Negara yang karakternya adalah negara agraris dimana penopang kehidupan sepenuhnya pada sektor agraria dan
negara tersebut dalam sistem dunia dikategorikan sebagai Negara pembangunan
Universitas Sumatera Utara
ekonomi yang berkembang. Produksi masyarakat yang meliputi keterlibatan kerja dan pembagian hasil kerja maupun hasil panen disetiap pekerjaan produksi pertanian,
lebih dikenal dengan nama negara semi jajahan dan semi feodal. Faktor terjadinya ketimpangan struktural tidak bisa dipandang temporal,
melainkan kita harus dipandang dari segi-segi yang mempengaruhinya dan juga harus dikaji dari sejarah yang telah melandasi dan telah menciptakan hal itu ada. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan seperti : 1 Adanya perubahan struktur politik
2 Perubahan orientasi politik 3 Perubahan kebijakan ekonomi
4 Perubahan orientasi kehidupan untuk apa manusia hidup dan harus berbuat selama hidup, hidup damai atau hidup dengan berbagai macam masalah
5 Faktor lainnya yang mempengaruhi hal itu seperti budaya yang meliputi pendidikan, karakter dan lain lain
Konflik agraria sekarang menjadi meluas karena Pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, salah satunya dengan membuka lahan eucalyptus baik
di atas tanah-tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah ulayat mereka, maupun dengan mengkonversi hutan. Di tengah sistem hukum yang mengindahkan
keberadaaan klaim-klaim masyarakat atas sistem penguasaan lahan masyarakat, Pemerintah melalui aparatur penegak hukum dan bersenjatanya menopang kekuasaan
perusahaan-perusahaan pemegang bukti formal meski terkadang diperoleh dengan mekanisme yang koruptif. Ini tampak kuat terjadi pada semua sektor konflik.
Negara, tak hanya memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk mengambil- alih tanah masyarakat, tetapi juga membangun mesin pencari keuntungan sendiri
Universitas Sumatera Utara
melalui PT. TPL. Alhasil, perusahaanlah yang menjadi aktor utama yang berkonflik dengan masyarakat. Modus yang digunakan oleh perusahaan untuk membungkam
masyarakat yang memprotes perampasan lahan itu adalah dengan menggunakan aparat hukum seperti polisi Brimob dan TNI. Mereka juga menggunakan centeng
atau preman bayaran. Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan
sumber utama untuk memperoleh bahan-bahan yang berupa konsepsi, azas-azas dan lembaga-lembaga hukum, untuk dirumuskan menjadi norma yang tertulis. Fungsi
hukum adat sebagai sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional yang dimaksudkan dalam konsiderans UUPA. Ketentuan hukum adat itu sebagai hukum
yang melindungi lahan masyarakat perlindungan hak ulayat masyarakat. Maka pembatasan lahan ulayat menentukan tujuan penggunaan yang berdasarkan hasil
turun-temurun dan geanologis. Melalui kekuatan yang dimiliki dengan SK Kemenhut No. 493Kpts-II92
tanggal 1 juni 1992 untuk mendirikan perusahaan bubur kertas yaitu dengan nama Indorayoon hutan eucalyptus atas tanah dan hutan yang disewakan selama 45 tahun,
melihat dari kekuasaan yang dimiliki perusahaan bisa melakukan konsesi seluas 250 ribu Ha pada sektor Tele hingga ke Humbang Hasundutan Kecamatan Pollung. PT.
TPL berdiri dengan cara tertib administrasi semakin mengukuhkan bahwa tidak ada yang salah pada proses penyelenggaraan hutan eucalyptus yang dimiliki perusahaan
pembuatan kertas. Proses pemilihan tempat yang digunakan PT. Toba Pulp Lestari telah melakukan observasi kelayakan tempat.
Dalam hukum adat juga melihat peranan dalam kepemilikan lahan yang dimiliki masyarakat, ini termasuk dalam ketentuan hukum adat. Kerangka dalam
hukum adat, hak ulayat dikenal dengan kepemilikan pribadi. Wewenang lebih dalam mengetahui soal tanah yaitu tepat pada negara, sebagaimana dalam proses tidak
dibenarkan masyarakat mempertahankan tanah ulayat dengan mutlak untuk dikelola secara pribadi dalam pasal 6 ayat keempat dari undang-undang pokok agraria 1960.
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan masyarakat dengan perusahaan haruslah mengimbangi hingga tercipta tujuan pokok masyarakat yaitu kemakmuran, keeadilan dan kebahagiaan bagi rakyat.
Hukum adat yang berlaku, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun.
Teori ini lebih menekankan bahwa timbulnya konflik agaria akibat adanya pertentangan pemberlakukan dua hukum yaitu, hukum negara satu sisi dan hukum
adat pada sisi lainya. Sebagai contoh pada kasus-kasus tertentu adanya konflik- konflik lahan dan SDA yang melibatkan masyarakat adat dan negara. Negara dalam
kapasitas sebagai pemegang dan pembuat berbagai kebijakanhukum. Pendapat ini juga diperkuat oleh teori kebijakan. Teori ini juga sering menjadi acuan untuk
melakukan identifikasi terhadap penyebab-penyebab munculnya konflik agraria. Menurut teori ini, bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tertentu dari
negara. Seperti kebijakan pembangunan masyarakat yang adil dan makmur, ternyata bahkan sebaliknya.
Pada sisi lainnya terhadap merekamasyarakat yang telah terusir dari tanahnya, tidak menerima ketidakadilan akibat kebijakan tersebut kemudian
mendorong mereka bersama-sama melakukan perlawanan, sehingga konflikpun bermunculan. Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan petani yang
mempertahankan hak-haknya dari segala bentuk penguasaan sewenang-wenang dari perusahaan-perusahaan pemilik modal yang berselimut di balik perlindungan negara
dengan konsesi. Dalam menangani konflik ini pihak PT. TPL mengatakan sudah melakukan yang terbaik, seperti yang diungkapkan Bapak Simon Sidabukke:
“bentuk usaha yang dilakukan pihak PT. TPL sudah dilakukan dengan menyikapi dengan arif dan bijaksana berdasarkan klaim
masyarakat, tentunya hal ini juga bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, departemen kehutanan dan pemerintah provinsi. Terhadap
konflik yang terjadi, PT. TPL mensinkronkan kepentingan masyarakat, kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah
bagaimana ini berjalan dengan balance agar tidak ada pihak yang dirugikan dan katakanlah tidak ada pihak yang diuntungkan.
Perusahaan juga berperan aktif bagaimana langkah perusahaan untuk
Universitas Sumatera Utara
pendekatan kepada masyarakat, pemerintah kabupaten dan pusat. Pada saat ini arahan dari dirjen bina usaha kehutan kalau perusahaan
bermitra dengan masyarakat.”
47
Tawaran bermitra PT. TPL dengan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalah daerah tapal batas.
Karena hal itu, sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dalam bermitra, yaitu pihak dari masyarakat Desa Pandumaa-Sipituhuta sebagai objek mitra untuk
melakukan kembali penanaman 7000 bibit kemenyan. Tawaran bermitra tersebut disampaikan di Jakarta bulan Agustus 2013, hal itu ditolak oleh perwakilan warga.
Tuntutan masyarakat tetap bahwa konsesi PT. TPL yang sudah merusak hutan kemenyan masyarakat harus dikeluarkan dari areal konsesi PT. TPL.
Berikut hasil dari wawancara yang peneliti lakukan kepada Tokoh Adat dari Desa Pandumaan-Sipituhuta Bapak Haposan J. Sinambela yang mengatakan bahwa :
“cara yang dilakukan oleh pihak PT.TPL untuk penyelesaian masalah dengan masyarakat adalah dengan bermitra, dimana masyarakat
sebagai objek mitra dari PT. TPL dan PT. TPL sebagai guru yang memitra. Akantetapi, masyarakat tetap menolak dengan alasan itu
karena itu dirasa masyarakat hanya membodoh-bodohi dan menipu masyarakat. Karena program dari bermitra yang diusulkan PT. TPL
oleh masyarakat hanya merugikan masyarakat, yang ujung-ujungnya juga terus merambah hutan kemenyan. ”
48
Cara yang ditawarkan oleh PT. TPL melalui Dirjen Kehutanan di Jakarta pada bulan Agustus 2013 merupakan langkah yang ditawarkan, akan tetapi ditolak oleh
masyarakat dengan alasan mitra yang ditawarkan adalah warga didampingi oleh PT. TPL untuk melakukan penanaman dan pengelolaan kemenyan. Hal ini masyarakat
jauh memahami soal penanaman dan pengelolaan, usaha yang ditawarkan juga memberatkan masyarakat. Masyarakat yang didampingi oleh pihak KSPPM
menyatakan ada beberapa hal peran serta masyarakat sekitar hutan sangat diperlukan dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan. Mengusulkan putusan Mahkamah
47
Wawancara dengan Bapak Sidabukke, manager 4L PT. Toba Pulp Lestari di Porsea. 7 Januari 2014
48
Wawancara dengan Bapak Haposan Sinambela di rumahnya Pandumaan, 13 September 2013
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi NO.35PUUX2012 yang menyebutkan hutan adat bukan lagi hutan negara. Peran dalam tahap perencanaan pengelolaan hutan dan pemanfaatan kawasan
hutan akan berdiri sampai dengan berproduksi harus mampu melihat fungsi hutan sebelum beroperasi.
Berikut tanggapan PT. TPL terhadap perencanaan pengelolaaan hutan di Humbang Hasundutan, melalui Bapak Simon Sidabukke:
“Sejak berdirinya PT. Indorayon dengan SK Menteri Kehutanan No. 493Kpts-II1992 yang berganti nama PT. Toba Pulp Lestari. Sebelum
mendapatkan ijin PT. TPL sudah melakukan survey terlebih dahulu ke kabupaten-kabupaten yang berpotensi sebagai penyuplai bahan baku.
Sebenarnya PT. TPL tidak melihat adanya konflik pada waktu meminta izin pada kementrian kehutanan dari hasil rekomendasi dari
Bupati Taput sebelum adanya pemekaran. Pada prinsipnya semua perizinan dan rekomendasi didukung”
49
Tinjauan PT. TPL melakukan survey pada tahun 1990an untuk melihat potensi sumber daya alam yang digunakan, pada dasarnya beranggapan tanah di
Indonesia khususnya di Sumatera Utara adalah hutan Negara atau hutan register. Pada zaman Belanda sudah ada penempatan tanah yang menjadi milik negara dan
masyarakat. Permasalahan pemilikan hutan menurut saudari Suryati Simajuntak untuk memperjelas tujuannya, bahwa SK Menhut No 44 tahun 2005 belum diketahui
oleh masyarakat dan PT. TPL tidak melakukan sosialisasi terhadap pembangunan hutan eucalyptus selama 45 tahun. Apabila adanya pemberitahuan kepada
masyarakat dan jelasnya batas-batas hutan eucalyptus PT. TPL konflik mungkin bisa dicegah.
Setelah kehadiran PT. TPL di Humbang Hasundutan banyak bentuk kegiatan yang berujung pada kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat dan
pihak aparat. Perjuangan akan menempuh penyelesaian yang dijalankan lebih banyak menggunakan non-litigasi seperti ajakan bermitra dan pemetaan ulang. Akan tetapi
masyarakat dan KSPPM melihat perjuangan seperti itu akan menjadikan masyarakat
49
Wawancara dengan Bapak Sidabukke, manager 4L PT. Toba Pulp Lestari di Porsea. 7 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
akan menjadi membuat masyarakat terpojok. Bukti masyarakat memperjuangkan lahan adat dari pembabatan yang dilakukan PT. TPL adalah telah membuat GPS
untuk memantau aktifitas kegiatan yang dilakukan perusahaan. Jelas pembuatan GPS untuk melihat aktifitas dari PT. TPL juga memantau
batas hutan kemenyan dilakukan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan perjuangan mempertahanakan lahan adat, terlihat kurang besar perhatian dari
pemerintah setempat untuk memberi penjelasan lahan yang seharusnya menjadi milik Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk memenuhi substansi kehidupan dasar masyarakat.
Adanya tuntutan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta sebagai warga Negara seharusnya Negara mampu mendahulukan kepentingan hidup layak, hak atas
pekerjaan dan hak untuk perlindungan lahan adat yang dimiliki. Seperti yang diungkapkan Sekretaris Eksekutif KSPPM Suryati Simajuntak:
“hasilnya juga menurut pemerintah belum sah dengan berbagai dalih. Dalam kasus ini pernah dibentuk Tim Pansus DPRD Humbang
Hasundutan untuk penyelesaian kasus Pandumaan-Sipituhuta. Bersama-sama tim ini juga talah melakukan pemetaan dengan
menggunakan GPS, nah ini juga menjadi persoalan karena ini merupakan peluang karena bersamaan dengan revisi pengajuan tata
ruang kabupaten. Nah, DPRD melihat posisi ini akan membaik bila bersama-sama dengan desa-desa yang lain yang mempunyai lahan
adat dan kemenyan yang diklaim sebagai hutan Negara dan masuk konsesi PT. TPL. Karena di Kecamatan Pollung ada 13 desa, dari
desa ini dipetakan dan ini yang diminta oleh tim Pansus DPRD untuk ditanda tangani Bupati untuk bersama-sama diajukan kepada
Kementrian Kehutanan supaya areal tersebut bisa di keluarkan dari hutan Negara.dan konsesi TPL. Tetapi waktu itu Bupati tidak
bersedia menandatangi berita acara dari hasil pemetaan tersebut, karena terus didesak oleh warga maka pemerintah DPR Kabupaten
mengirimkan berita acara tersebut yang tidak ditanda tangani Bupati tersebut dan keputusan DPRD melalui Tim Pansus kepada
Kementrian Kehutanan. Nah, hingga sekarangpun belum ada hasilnya karena tidak ada respon. Saya pikir memang persoalan ini
sepanjang pemerintah kabupaten atau pusat tidak menduduk
Universitas Sumatera Utara
persoalan dengan jernih dan tidak mengakui lahan adat masyarak Adat Pandumaan-Sipituhuta”
50
PT. TPL sebenarnya juga tidak mau melakukan cara-cara pengadilan karena masalah ini seperti halnya akan terjadi karena memandang Sumatera Utara yang luas
secara geografis. Cara penyelesaian yang mulai dilakukan dengan melakukan pemetaan ulang dan bermitra, tetapi dengan kuatnya komitmen masyarakat membuat
perusahaan bingung untuk memutuskan dan memenuhi tuntutan masyarakat. Bersama-sama dengan pemerintah juga telah diwadahi dengan adanya tim pansus
yang harapannya mampu menengahi sebagai mediator dalam permasalahan konflik. Peraturan ini hanya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut oleh pemerintah daerah
masing-masing dimana masih terdapat masyarakat hukum adat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengakuan terhadap hak atas tanah
berdasar hukum adat dibatasi oleh beberapa hal: 1.
hak atas tanah adat masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-
undang; 2.
eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat menjadi dasar penentuan pengakuan terhadap hak tanah adat.
Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan
cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam kebijakan
pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat tercermin dalam kebijakan pertambangan, kehutanan, pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan kebijakan pemerih
pusat atau pemerintah daerah yang lebih memihak kepentingan pemodal.
50
Wawancara dengan Suryati Simajuntak di KSPPM, 12 November 2013
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan itu, dapat analisa bahwa berbagai peraturan perundang- undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik dan sengketa. Dalam
larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap di areal hutan kemenyan. Aturan ini merupakan
aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap di areal perkebunan.Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun
hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yang memberikan
kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak ulayat.Peristiwa ini menimbulkan
interaksi tertentu di antara berbagai unsur sistem hukum yang ada. Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalah
merupakan hak ulayat mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup, serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka patuh dan taat
walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya budaya hukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakini norma-norma positif yang berasal dari
hukum Barat. Interaksi dalam sistem hukum mengarah kepada konflik yang terus menerus tanpa dapat diselesaikan secara tuntas. Dengan adanya teori dan konsep
penguasaan tanah, serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis maupun hukum yang hidup dalam
masyarakat living law, berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan.
Penanganan konflik agraria oleh Pemerintah juga cenderung represif, sehingga alih-alih membuat konflik selesai, Pemerintah dan aparat penegak
hukumnya bersama-sama perusahaan, justru melakukan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak sipil politik ketika melakukan penanganan terhadap masyarakat
yang menuntut hak atas tanah. Pelaku pelanggaran HAM juga meluas, tak hanya negara, aparatusnya, dan perusahaan, tetapi juga para individu yang menjadi
pemimpin-pemimpin kampung.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kerangka menjalankan amanat TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam terdapat point yang peneliti
temukan untuk menjadikan permasalahan tapal batas bisa diterima oleh kedua oknum yang terlibat. Konflik-konflik agraria tersebut akan terpelihara selama Pemerintah
tidak melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, moratorium atas semua perijinan untuk perusahaan-perusahaan dibidang perkebunan, kehutanan,
pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan.
Ketiga, membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria yang bertugas mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria yang terjadi, case by
case, dan memberikan rekomendasinya kepada pemerintah.Keempat, dari rekomendasi lembaga tersebut, pemerintah melakukan tindakan tegas berupa
pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan tersebut, dan menindak secara pidana terhadap perusahaan maupun aparat pemerintah yang melakukan perampasan
tanah rakyat, kelima, melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih di bidang sumber daya alam dan semua perizinan yang
dikeluarkan di bidang sumber daya alam, dan keenam, mengembalikan tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat sebagai
pemiliknya. Dari pemaparan diatas sudah bisa sebagai cara penyelesaian untuk konflik
yang berujung pada konflik horizontal anatara masyarakat dengan perusahaan Perundangan-undangan yang tumpang tindih ketika memang harus diperuntukkan
untuk rakyat seakan dipersulit dan hanya perusahaan seolah-olah yang diuntamakan oleh sang tuan tanah negara. Apabila negara mampu secara tegas untuk mereview
hasil hak guna usaha pada tanaman monokultur yaitu eucalyptus, hal ini mampu menjawab permasalahan juga membuktikan peran pemerintah memang sangat
penting pada proses legalitas antara pemerintah kabupaten dengan pusat untuk menyatukkan akar permasalahan tanpa adanya campur tangan perusahaan.
Perusahaan juga yang mampu menyewa penjaga keamanan untuk melarang kegiatan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang menghambat kegiatan penanaman pohon eucalyptus dan ini memicu konflik karena sering kali terjadi kekerasan yang terjadi karena rakyat yang melawan
untuk mempertahankan kepemilikan atas tanah ulayat. Proses penyelesaian cenderung lebih berpihak kepada perusahaan yang
peneliti dapatkan dari lapangan dan juga dari pemaparan masyarakat. Hal ini diidentifikasi dari beberapa cara kegiatan untuk bermitra antara masyarakat
perusahaan yang dirasa akan tetap menimbulkan permasalahan karena masyarakat akan jadi objek hal ini akan merugikan masyarakat. Penyelesaian dari permasalahan
ini yang ditawarkan dari konflik pertanahan untuk pengitungan luas lahan masyarakat dalam bentuk pemetaan sudah ditolak dan begitu juga pemetaan dari perusahaan.
Tindakan akhir yang diperjuangkan oleh masyarakat yaitu dari putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan tanah adat untuk dikelola, akantetapi akan terlebih
dahulu harus dijadikan dengan aturan perda. Hal ini bersambut dari pernyataan perusahaan Toba Pulp Lestari Tbk untuk menarik dan menghentikan kegiatan
penanaman apabila memang disahkan peraturan daerah perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan