Food Security in Eastern Indonesia

(1)

KETAHANAN PANGAN

DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

TRIANA RACHMANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Triana Rachmaningsih NRP: H151104474


(4)

(5)

ABSTRACT

TRIANA RACHMANINGSIH. Food Security in Eastern Indonesia. Under direction of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and MUHAMMAD FIRDAUS.

This study aims at analyzing the dynamics of food security and the factors that influence food security in Eastern Indonesia. Food security levels for household are grouped into four, namely food secure, vulnerable, questionable and food insecure. The methodology used is panel data tobit model of 190 districts/cities in the Eastern Indonesia from 2008 to 2010. Results of the research showed that overall consumption of calories and protein in the KTI is below the standard limit of nutritional adequacy. The shares of food expenditures of the eastern Indonesia population are greater than for non-food expenditures. Based on the classification of the food security degree, the majority of households in KTI are including the vulnerable category. Food security is affected by percentage of poor people, GRDP per capita, female illiteracy and average of school. Food availability does not guarantee an increasing in the food security degree in the Eastern Indonesia, but food security is also determined by the accessibility and utilization of food. Education has the highest contribution in improving food security in the KTI. It is seen from the value of the elasticity of average of school the most high.


(6)

(7)

RINGKASAN

TRIANA RACHMANINGSIH. Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan MUHAMMAD FIRDAUS.

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu dan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 Tahun 1996). Dalam perspektif sistem ekonomi pangan, ketahanan pangan memiliki tiga pilar utama yaitu ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization).

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 yang diluncurkan oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menetapkan bahwa terdapat 100 kabupaten paling rentan terhadap kerawanan pangan. Dari 100 kabupaten yang paling rentan tersebut, 80 kabupaten di antaranya berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berdasarkan data rasio konsumsi normatif terhadap produksi pangan serealia per kapita, terlihat bahwa dari 80 kabupaten rentan rawan pangan di KTI, ada 62,5 persen (50 kabupaten) di antaranyadikategorikan sebagai daerah surplus pangan. Hal ini menunjukkan suatu kontradiksi karena daerah yang dikategorikan rentan terhadap kerawanan pangan ternyata surplus pangan. Dengan kata lain, swasembada pangan di Kawasan Timur Indonesia belum disertai dengan pemenuhan dimensi-dimensi lain untuk mencapai ketahanan pangan yaitu akses dan pemanfaatan pangan.

Pada dasarnya, Kawasan Timur Indonesia sangat berpotensi menjadi kekuatan ekonomi karena menyimpan berbagai keunggulan untuk diberdayakan antara lain sumber daya alam yang melimpah. Namun, sumber daya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sumber daya alamnya sangat berpotensi tetapi pengolahannya masih sangat minim atau belum optimal. Keberhasilan membangun KTI akan menciptakan kesejahteraan tidak hanya di KTI saja tetapi juga bagi seluruh bangsa, karena potensi ekonomi di kawasan tersebut terutama di sektor pertanian luar biasa besarnya.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika dan situasi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia serta faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) antara lain data Survei Sosial Ekonomi


(8)

Nasional (Susenas) Panel 2008-2010, produksi tanaman pangan, kemiskinan, PDRB, panjang jalan, angka harapan hidup, angka melek huruf dan data pendukung lainnya. Dalam penelitian ini, tanaman pangan meliputi tujuh komoditas yaitu padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang kedelai. Data yang dikumpulkan merupakan data panel yaitu gabungan antara data time series 3 tahun (2008-2010) dan data cross section 190 kabupaten/kota di KTI.

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan dengan metode regresi model tobit data panel. Analisis deskriptif dilakukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jumlah rumah tangga sampel Susenas Panel di KTI tahun 2008 sebesar 19.002 rumah tangga, tahun 2008 sebesar 19.137, dan pada tahun 2010 sebesar 18.966 rumah tangga. Penghitungan ketahanan pangan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran pangan.

Berdasarkan hasil analisis dapat ditunjukkan bahwa dinamika ketahanan pangan di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 berfluktuasi terutama untuk daerah perkotaan. Tahun 2009, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan merosot tajam dan kembali meningkat pada tahun 2010. Berdasarkan penghitungan derajat ketahanan pangan, didapatkan bahwa pada tahun 2008-2010 sebagian besar rumah tangga di KTI terutama di perdesaan termasuk ke dalam kategori rentan terhadap rawan pangan.

Ketahanan pangan dipengaruhi secara signifikan oleh persentase penduduk miskin, PDRB per kapita, persentase perempuan buta huruf dan rata-rata lama sekolah. Peubah rata-rata lama sekolah sebagai proksi pemanfaatan pangan memiliki nilai elastisitas tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan dalam pemanfaatan pangan memiliki pengaruh terbesar terhadap ketahanan pangan di KTI. Terkait dengan itu maka pendidikan hendaknya menjadi prioritas utama dalam meningkatkan ketahanan pangan di KTI. Rata-rata lama sekolah penduduk di KTI baru berkisar sebesar 7,25 tahun, sehingga program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun perlu mendapatkan prioritas kebijakan di KTI.


(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

KETAHANAN PANGAN

DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

TRIANA RACHMANINGSIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

(14)

(15)

Judul Penelitian : Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia Nama : Triana Rachmaningsih

NRP : H151104474

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M.S. Ketua

Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.

Tanggal Ujian: 1 Agustus 2012

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(16)

(17)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis, khususnya kepada:

1. Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB.

2. Dr. Ir. D.S Priyarsono, M.S. dan Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D. selaku komisi pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat.

3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr.selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. 4. Teman-teman di Direktorat Diseminasi Statistik, khususnya Subdit Rujukan

Statistik atas dukungannya dalam bentuk data, saran, dan masukan yang sangat membangun.

5. Ibu, bapak, dan keluarga besar di Klaten atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.

6. Suamiku tercinta dan anakku tersayang, serta janin dalam kandunganku atas segala pengertian dan kesabarannya selama ini. Kalian adalah motivator terbesarku dalam menyelesaikan penelitian ini.

7. Teman-teman seperjuangan tugas belajar BPS IPB batch 3 khususnya Nurina, Mbak Beta, dan Mbak Fitri atas segala saran dan masukannya.

8. Rekan-rekan kantor lainnya khususnya Mbak Ida (layanan), Mbak Gustin (publikasi), Mbak Nday (perpustakaan), Mas Soni (harga pedesaan), Mbak Ipeh (BPS Kabupaten Bogor), dan Mbak Anna (pemetaan) atas bantuan data dan bimbingannya.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Triana Rachmaningsih, dilahirkan di Klaten pada tanggal 15 Mei 1983 dari pasangan Samono dan Sri Lestari. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Joko Sarjito dan dikaruniai satu orang putri bernama Khansa Gaida Salsabila.

Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Tonggalan 1 Klaten pada tahun 1989 sampai dengan tahun 1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Klaten pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1998, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Klaten pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2001. Kemudian pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan jenjang D4 di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta Jurusan Komputasi Statistik sampai dengan tahun 2005. Selanjutnya penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) dan bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, Subdit Rujukan Statistik, hingga sekarang.

Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 jurusan Matematika di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta dan tamat pada tahun 2007. Kemudian tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi FEM IPB ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.


(20)

(21)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xix

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Tinjauan Teori ... 11

2.1.1. Ketahanan Pangan ... 11

2.1.2. Kerawanan Pangan ... 14

2.1.3. Pangsa Pengeluaran Pangan ... 15

2.1.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan... 16

2.1.5. Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 18

2.1.6. Kawasan Timur Indonesia (KTI) ... 19

2.2. Tinjauan Empiris ... 20

2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian ... 22

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 25

3.2. Metode Analisis ... 26

3.2.1. Analisis Deskriptif ... 26

3.2.2. Analisis Regresi Model Tobit Data Panel ... 28

3.3. Spesifikasi Model ... 32

3.4. Perangkat Lunak (Software) ... 35

IV. SITUASI DAN DINAMIKA KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA ... 37


(22)

xx

4.1. Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein ... 37 4.2. Ketersediaan Pangan (Food Availability) ... 39 4.3. Akses Pangan (Food Accessibility)... 41 4.4. Pemanfaatan Pangan (Food Utilization) ... 44 4.5. Pola Konsumsi Rumah Tangga ... 46 4.6. Pola Pengeluaran Kawasan Timur Indonesia ... 49 4.7. Derajat Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia ... 50 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETAHANAN

PANGAN DI KTI... 59 5.1. Pemilihan Model Terbaik ... 59 5.2. Hasil Estimasi ... 60 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN ... 69


(23)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Beberapa Negara ASEAN

(Persen) ... 2 2 Produksi dan Impor Beras di Indonesia Tahun 2000-2010 ... 3 3 Jumlah Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan ... 7 4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010

(Persen) ... 9 5 Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 27 6 Produksi Padi per Kapita Provinsi di KTI Tahun 2002-2010 (Ton) ... 40 7 Rasio Panjang Jalan Baik dan Sedang terhadap Luas Wilayah (km/km2) .. 43 8 Persentase Rumah Tangga Penerima Raskin di KTI Tahun 2008-2010

(Persen) ... 44 9 Persentase Perempuan Buta Huruf di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) ... 45 10 Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan

dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Kkal) ... 47 11 Persentase Rumah Tangga yang Mengkonsumsi Beberapa Komoditas

Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Persen) ... 48 12 Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan

dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 (Gram) ... 49 13 Rata-rata Pangsa Pengeluaran per Kapita untuk Makanan dan Bukan

Makanan di KTI ... 50 14 Derajat Ketahanan Pangan (Persen) ... 51 15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di


(24)

(25)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Persentase Kabupaten Rentan Pangan Menurut Ketersediaan Serealia di KTI Tahun 2009... 8 2 Pilar Ketahanan Pangan. ... 13 3 Kurva Engel untuk Kebutuhan Pokok. ... 16 4 Kerangka Pemikiran. ... 23 5 Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI

Tahun 2008-2010 (Kkal). ... 37 6 Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi di KTI

Tahun 2008-2010 (Gram). ... 38 7 Produksi Tanaman Pangan di KTI Tahun 1993-2010. ... 39 8 Pertumbuhan Produksi Pangan di KTI Tahun 1994-2010. ... 41 9 Peta Klasifikasi Ketahanan Pangan Tahun 2008-2010. ... 55 10 Peta Persentase Rumah Tangga Tahan Pangan di KTI Tahun 2008-2010. . 57


(26)

(27)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rata-rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita Sehari Menurut Provinsi

di KTI Tahun 2008-2010 (kkal) ... 77 2 Produksi Pangan di KTI Tahun 2008-2010 (Ton) ... 78 3 Persentase Rumah Tangga berdasarkan Konsumsi Kelompok Makanan di

KTI ... 80 4 Persentase Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan di KTI

Tahun 2008-2010... 81 5 Daftar 100 Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan di

Indonesia Tahun 2009 ... 83 6 Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten di KTI

Tahun 2008... 85 7 Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten/Kota di

KTI Tahun 2009 ... 89 8 Persentase Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Kabupaten di KTI

Tahun 2010... 93 9 Dinamika Ketahanan Pangan 2008 dibandingkan 2010 ... 97 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di KTI . ... 99


(28)

(29)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, keamanan, gizi, dan keterjangkauan oleh daya beli masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak ekonomi tetapi juga dapat mengancam keamanan sosial. Oleh karena itu, pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus dipenuhi secara bersama-sama oleh negara dan masyarakat. Sebagaimana tujuan pertama Millennium Development Goals (MDGs) yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang ekstrem, dimana ditargetkan pada tahun 2015 tingkat kemiskinan dan tingkat kelaparan berkurang hingga setengah dari tingkat yang ada ketika penandatanganan kesepakatan tersebut bulan September 2000. Keberhasilan untuk memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi jumlah penduduk miskin merupakan tantangan besar bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu dan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 Tahun 1996). Bank Dunia dalam Hanani (2012) menyatakan bahwa ketahanan pangan yang ditujukan untuk perbaikan gizi merupakan suatu investasi yang sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga alasan suatu negara perlu melakukan ketahanan pangan. Pertama, memiliki economic return yang tinggi. Kedua, terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan ketiga, membantu menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan lamanya sakit, dan pengurangan biaya pengobatan.

Pertanian merupakan sektor ekonomi yang strategis dalam memperkuat sektor pembangunan. Sebagai negara berkembang, agraris, dan berpenduduk besar, seperti Indonesia ini, sektor pertanian tidak dapat tergantikan atau diambil alih perannya oleh sektor-sektor lainnya. Sektor ini berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan sebagian besar angkatan kerja. Hal ini terlihat dari data PDB BPS yang menunjukkan bahwa pada tahun


(30)

2

2010 sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 15,34 persen. Sedangkan data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada kondisi Agustus 2010, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 38,35 persen.

Keterpurukan pada sektor pertanian, menyebabkan terganggunya stabilitas negara. Kekeliruan besar dalam mempertahankan swasembada pangan disebabkan oleh kegagalan dalam melihat bahwa telah terjadi perubahan besar dalam tata hubungan ekonomi industri dunia, dan gagal memahami perlunya revolusi hijau gelombang kedua yaitu usaha dalam memperkenalkan manajemen dalam produksi pangan dan memandang bahwa sektor pertanian bukan sebagai industri rumah tangga namun sebagai industri modern (Sumodiningrat, 2000).

Salah satu komoditi pangan yang utama adalah beras. Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara di ASEAN dapat memenuhi kebutuhan beras dalam negerinya yang ditunjukkan dengan nilai rasio diatas 100 persen, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Brunei Darussalam memiliki nilai rasio produksi terhadap konsumsi beras yang sangat kecil sehingga negara tersebut melakukan impor beras sangat tinggi, sebagaimana data FAO menyebutkan rasio impor terhadap konsumsi beras di Brunei Darussalam sebesar 118,2 persen pada periode 2006-2008.

Tabel 1 Rasio Produksi terhadap Konsumsi Beras Beberapa Negara ASEAN (persen)

Nama Negara 1990-1992 1995-1997 2000-2002 2006-2008

Brunei Darussalam 2,90 1,30 2,60 2,10

Kamboja 81,40 106,50 110,10 169,60

Indonesia 105,70 102,10 101,80 108,40

Laos 107,20 100,00 142,60 147,90

Malaysia 78,90 73,80 71,90 74,20

Philippina 104,70 97,70 93,80 87,70

Thailand 186,50 213,70 227,50 264,70

Vietnam 122,10 134,40 150,60 154,40

Sumber: FAOSTAT 2010

Pada tahun 2010 produksi beras Indonesia mencapai 38,78 juta ton dan digunakan untuk memberi makan 237,6 juta jiwa penduduk. Jika rata-rata konsumsi beras per kapita sebesar 113,48 kg maka beras yang dikonsumsi selama


(31)

3

setahun adalah sebesar 26,96 juta ton (113,48 kg dikalikan 237,6 juta). Selain itu, diperlukan sekitar 3,15 juta ton beras yang digunakan pada penyaluran raskin (program beras murah bagi rumah tangga miskin) untuk 17,5 juta rumah tangga yang dianggarkan masing-masing sebesar 15 kg per bulan per rumah tangga miskin. Cadangan beras nasional yang harus ada di BULOG adalah sebesar 1,5 juta ton. Dengan demikian, kebutuhan beras yang dibutuhkan sebesar 31,61 juta ton (26,96 juta ditambah 3,15 juta ditambah 1,5 juta).

Tabel 2 Produksi dan Impor Beras di Indonesia Tahun 2000-2010 (Juta Ton) Tahun Produksi Padi Produksi Beras Impor Beras

2000 51.898 30.282 1.356

2001 50.460 29.442 645

2002 51.489 30.043 1.805

2003 52.137 30.421 1.428

2004 54.088 31.559 237

2005 54.151 31.596 190

2006 54.454 31.773 438

2007 57.157 33.350 1.407

2008 60.325 35.199 290

2009 64.398 37.575 250

2010 66.469 38.783 688

Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2000-2010

Berdasarkan Tabel 2, produksi beras Indonesia tahun 2010 sebesar 38,78 juta ton. Nilai ini sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan beras sebesar 31,61 juta ton sehingga masih ada surplus sebesar 7,17 juta ton. Namun demikian, ternyata masih ada impor beras selama tahun 2010 sebesar 688 ribu ton sebagai antisipasi pemenuhan kebutuhan beras untuk operasi pasar pada musim paceklik dan musim harga beras tinggi di tingkat konsumen. Swasembada pangan nasional sebenarnya sudah terpenuhi, namun masih terdapat masalah distribusi pangan antardaerah yang berdampak pada aksesibilitas pangan yang tidak merata. Dengan demikian, persediaan pangan yang cukup secara nasional belum menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu.

Beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang defisit pangan. Wilayah Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan dihubungkan dengan lautan yang cukup luas menimbulkan salah satu kendala dalam transportasi untuk pendistribusian beras dari daerah yang surplus ke daerah yang defisit. Pada


(32)

4

umumnya, daerah yang mengalami defisit beras adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang relatif sulit dijangkau sehingga membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, perlu dibangun swasembada pangan di masing-masing daerah dalam KTI itu sendiri. Selain itu, Pulau Jawa dan Sumatera adalah produsen tanaman pangan terbesar di Indonesia. Kepadatan penduduk di kedua pulau ini semakin lama semakin tinggi, sehingga banyak lahan pertanian yang berubah menjadi lahan pemukiman dan industri. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pembangunan pertanian di Kawasan Timur Indonesia.

Pada dasarnya, Kawasan Timur Indonesia sangat berpotensi menjadi kekuatan ekonomi karena menyimpan berbagai keunggulan untuk diberdayakan antara lain sumber daya alam yang berlimpah. Namun, sumber daya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sumber daya alamnya sangat berpotensi tetapi pengolahannya masih sangat minim atau belum optimal. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menganalisis ketahanan pangan regional di Kawasan Timur Indonesia.

Pembangunan Kawasan Timur Indonesia masih diwarnai beberapa permasalahan umum seperti permasalahan pertanian tradisional dan subsistemnya, masih adanya kasus busung lapar yang diderita warga, tingginya angka kematian, kemiskinan dan keterisolasian, terbatasnya pasokan air minum, listrik, dan energi, masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi untuk memudahkan aksesibilitas, bencana alam, masih rendahnya kualitas hidup masyarakat, serta masih rawannya ancaman separatisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi penyebab pembangunan di Kawasan Timur Indonesia berjalan lambat karena masih minimnya sarana dan prasarana/infrastruktur dasar, sumber daya manusia yang rendah, serta industrialisasi yang belum berkembang.

1.2. Perumusan Masalah

Ketahanan pangan terdiri dari tiga pilar utama yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan. Pilar ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Pilar aksesibilitas berfungsi


(33)

5

mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan pilar pemanfaatan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan, dan kehalalannya.

Ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi pangan dalam negeri dihadapkan pada masalah pokok yaitu semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi. Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan pertumbuhan penduduk yang positif menyebabkan permintaan pangan terus meningkat. Padahal ketersediaan sumber daya lahan semakin lama semakin berkurang, karena desakan peningkatan penduduk beserta aktivitas ekonominya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian, menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, semakin terbatas dan tidak pastinya penyediaan air untuk produksi akibat kerusakan hutan, rusaknya sekitar 30 persen prasarana pengairan, dan persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor industri dan pemukiman (Nainggolan dalam Purwaningsih, 2008). Artinya, ketersediaan pangan diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penduduk yang terus bertambah jika tidak ada perhatian khusus dari pemerintah.

Permasalahan dalam distribusi pangan antara lain prasarana distribusi yang diperlukan untuk menjangkau seluruh wilayah konsumen belum memadai, sehingga wilayah terpencil masih mengalami keterbatasan pasokan pangan pada waktu-waktu tertentu. Keadaan ini menghambat aksesibilitas masyarakat terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi, karena kelangkaan pasokan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat. Kelembagaan pemasaran belum mampu berperan, baik sebagai penyangga kestabilan distribusi maupun harga pangan. Pada masa panen, pasokan pangan berlimpah ke pasar sehingga menekan harga produk pertanian dan mengurangi keuntungan usaha tani. Sebaliknya pada masa paceklik atau masa dimana panen tidak berhasil, harga meningkat dengan tajam, sehingga mengurangi aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Bervariasinya kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi pangan, agar pangan


(34)

6

tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah konsumen. Keamanan jalur distribusi dan adanya pungutan liar mengakibatkan biaya distribusi tinggi pada berbagai produk pangan.

Permasalahan mengenai konsumsi penduduk Indonesia adalah mengenai konsumsi yang sebagian besar dari padi-padian. Dengan demikian diperlukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi beras per kapita, serta mengembangkan industri dan bisnis pangan yang lebih beragam. Selain itu, konsumsi energi penduduk Indonesia masih lebih rendah dari yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) yaitu menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 yang disusun oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menetapkan bahwa berdasarkan indeks ketahanan pangan komposit terdapat 100 kabupaten yang paling rentan terhadap kerawanan pangan. Indeks komposit ini menggunakan 13 indikator antara lain:

1) Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar.

2) Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

3) Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai. 4) Persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

5) Angka harapan hidup pada saat lahir. 6) Berat badan balita di bawah standar. 7) Perempuan buta huruf.

8) Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih.

9) Persentase rumah tangga yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan. 10) Bencana alam.

11) Penyimpangan curah hujan. 12) Persentase daerah puso. 13) Deforestasi hutan.

Berdasarkan penghitungan indeks komposit tersebut didapatkan bahwa Papua merupakan pulau dengan jumlah kabupaten rentan pangan terbesar yaitu 24 kabupaten, disusul kemudian Pulau Kalimantan sebanyak 21 kabupaten. Dari 100


(35)

7

kabupaten yang paling rentan tersebut, 80 kabupaten diantaranya berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Tabel 3 Jumlah Kabupaten Paling Rentan terhadap Kerawanan Pangan Pulau Jumlah Kabupaten Rentan Pangan

KBI 20

- Sumatera 14

- Jawa 6

KTI 80

- Kalimantan 21

- Nusa Tenggara 18

- Maluku 7

- Sulawesi 10

- Papua 24

Sumber: DKP (diolah)

Berdasarkan data rasio konsumsi normatif terhadap produksi pangan serealia per kapita tahun 2009 (Lampiran 6), terlihat bahwa dari 80 kabupaten rentan pangan di KTI, 50 kabupaten diantaranya memiliki nilai rasio konsumsi terhadap produksi kurang dari 1, artinya daerah tersebut surplus pangan untuk produksi serealia. Definisi dan perhitungan produksi serealia ini didasarkan pada data rata-rata produksi bersih padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor konversi standar. Rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang setara dengan serealia, kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari dan selanjutnya dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 merupakan daerah surplus pangan untuk produksi serealia.

Ketersediaan pangan di suatu daerah belum menjamin terciptanya ketahanan pangan di daerah tersebut. Gambaran di atas menunjukkan adanya kontradiksi karena beberapa daerah yang dikategorikan paling rentan pangan oleh DKP, 62,5 persen diantaranya adalah surplus pangan. Dengan kata lain, swasembada pangan di Kawasan Timur Indonesia belum disertai dengan dimensi-dimensi lain untuk mencapai ketahanan pangan antara lain akses dan pemanfaatan pangan.


(36)

8

Sumber: DKP (diolah)

Gambar 1 Persentase Kabupaten Rentan Pangan Menurut Ketersediaan Serealia di KTI Tahun 2009.

Ketertinggalan pembangunan di salah satu kawasan berpotensi menjadi sumber masalah nasional yang jika tidak ditangani secara proporsional dapat menjadi sumber pemicu ketidakadilan yang dapat mengkristal menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Kawasan Timur Indonesia adalah bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memerlukan sentuhan, perhatian, dan keadilan dalam pembangunan. Keberhasilan membangun KTI akan menciptakan kesejahteraan tidak hanya di KTI tapi bagi seluruh bangsa, karena potensi ekonomi di kawasan tersebut terutama di sektor pertanian besar.

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di KTI memiliki kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tertinggi dibandingkan sektor lainnya. Nuhung (2010) menyatakan bahwa Kawasan Timur Indonesia merupakan sleeping potential. Hal ini dikarenakan KTI memiliki sumber daya lahan, pertanian, perairan, fauna dan flora yang sangat bervariasi sehingga hampir semua jenis tumbuhan dan hewan dapat ditemukan di kawasan ini. Namun, potensi tersebut belum bahkan masih sangat sedikit dikembangkan sehingga kontribusi dalam pembangunan nasional masih jauh dari optimal. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan yang didukung oleh kebijakan dan program pembangunan di semua sektor KTI.

30 kabupaten (37,50%) 50 kabupaten

(62,50%)


(37)

9

Tabel 4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 (Persen)

Provinsi Lapangan Usaha

*)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

NTB 19,89 36,30 3,32 0,43 6,32 12,97 6,83 4,36 9,58 NTT 8,45 1,31 1,54 0,42 6,97 16,76 5,78 4,07 24,69 Kalimantan Barat 25,00 1,98 18,29 0,51 9,14 22,87 7,60 4,74 9,87 Kalimantan Tengah 28,59 8,98 7,87 0,64 5,57 20,90 8,74 5,85 12,88 Kalimantan Selatan 21,33 21,91 9,58 0,59 6,10 15,30 9,09 5,16 10,93 Kalimantan Timur 5,86 47,88 24,74 0,27 2,79 8,15 3,75 2,32 4,24 Sulawesi Utara 19,50 4,03 8,07 0,78 16,50 16,96 11,49 6,10 16,55 Gorontalo 28,95 1,18 4,85 0,54 6,92 10,37 9,03 10,39 27,78 Sulawesi Tengah 39,36 4,02 7,63 0,65 6,72 12,04 7,17 4,81 17,59 Sulawesi Selatan 25,77 6,08 12,27 0,92 5,55 17,34 8,02 6,63 17,42 Sulawesi Barat 49,79 0,87 7,25 0,44 4,12 13,01 2,13 6,09 16,31 Sulawesi Tenggara 33,20 4,90 7,14 0,93 8,26 18,13 9,29 5,52 12,62 Maluku 31,73 0,73 4,50 0,59 1,89 28,93 9,33 4,48 17,81 Maluku Utara 36,37 5,16 13,05 0,58 2,95 23,44 7,83 3,78 6,85 Papua 9,45 63,15 1,39 0,13 7,81 4,41 4,35 2,08 7,24 Papua Barat 20,71 10,22 35,45 0,43 9,03 8,38 6,38 2,18 7,23 Keterangan:

*) 1. Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan

2. Pertambangan dan penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, gas, dan air bersih 5. Konstruksi

6. Perdagangan, hotel, dan restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan 9. Jasa-jasa

Sumber: BPS

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana situasi dan dinamika ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis situasi dan dinamika ketahanan pangan di Kawasan Timur

Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia.


(38)

10

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menentukan arah dan strategi kebijakan ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia yang lebih baik. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan kajian dan wawasan keilmuan untuk penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik dan mendalam khususnya dalam bidang ketahanan pangan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meliputi dua aspek penting yaitu menganalisis situasi dan dinamika ketahanan pangan di KTI serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia. Penelitian ini mencakup 190 kabupaten/kota dan 16 provinsi di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2008-2010. Data yang digunakan merupakan data sekunder antara lain data Kor dan Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010, PDRB, penduduk miskin, angka melek huruf, panjang jalan, dan data pendukung lainnya.

Tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Tembakau dan sirih dalam Susenas termasuk ke dalam bahan makanan yang dikonsumsi penduduk, namun karena tembakau dan sirih tidak mengandung kalori dan protein maka tidak dicakup dalam penelitian ini. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Ketahanan Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan pangan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah, maka ketersediaan pangan menjadi sasaran utama dalam kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Ketersediaan pangan tersebut dapat dipenuhi dari tiga sumber, yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) pemasukan pangan; dan (3) cadangan pangan. Bila terjadi kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan pangan di suatu wilayah dapat diatasi dengan melepas cadangan pangan, oleh sebab itu cadangan pangan merupakan salah satu komponen penting dalam ketersediaan pangan.

Konsep ketahanan pangan menurut UU Nomor 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yaitu akses setiap rumah tangga dan individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dimana semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang fleksibel dan biasanya diterapkan pada tiga tingkat agregasi yaitu nasional, regional, dan rumah tangga


(40)

12

atau individu. Pilar utama yang menentukan ketahanan pangan adalah (DKP, 2009):

1) Ketersediaan pangan (food availability)

Merupakan tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

2) Akses pangan (food accessibility)

Adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.

3) Pemanfaatan pangan (food utilization)

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll) dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.

Gross et al (2000) menyatakan bahwa selain ketiga dimensi di atas, terdapat satu dimensi ketahanan pangan lagi yaitu stabilitas. Namun, stabilitas di sini merupakan faktor temporer dari ketahanan pangan dan sifatnya memengaruhi ketiga dimensi yang lainnya. Stabilitas dari ketiga dimensi tersebut di atas menentukan kekuatan ketahanan pangan (FAO, 2007). Apabila salah satu dari


(41)

13

dimensi tersebut tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Demikian pula, walaupun ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat dapat dikatakan cukup, namun jika stabilitas harga pangan tidak mampu terjaga secara baik maka ketahanan pangan tidak dapat dikatakan cukup kuat. Ketersediaan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat memenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan peningkatan standar hidup sumber daya manusia Indonesia.

Sumber: FAO, 2007

Gambar 2 Pilar Ketahanan Pangan.

Berdasar konsep tersebut, maka terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan ketahanan pangan (food security) baik langsung maupun tidak langsung, yang harus diperhatikan (Sumardjo, 2006):

 Rumah tangga sebagai unit perhatian terpenting pemenuhan kebutuhan pangan nasional maupun komunitas dan individu.

 Kewajiban negara untuk menjamin hak atas pangan setiap warganya yang terhimpun dalam satuan masyarakat terkecil untuk mendapatkan pangan bagi keberlangsungan hidup.

 Ketersediaan pangan mencakup aspek ketercukupan jumlah pangan (food sufficiency) dan terjamin mutunya (food quality).


(42)

14

 Produksi pangan yang sangat menentukan jumlah pangan sebagai kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.

 Mutu pangan yang nilainya ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.

 Keamanan pangan (food safety) adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan keadaan manusia.

 Kemerataan pangan merupakan dimensi penting keadilan pangan bagi masyarakat yang ukurannya sangat ditentukan oleh derajat kemampuan negara dalam menjamin hak pangan warga negara melalui sistem distribusi produksi pangan yang dikembangkannya. Prinsip kemerataan pangan mengamanatkan sistem pangan nasional harus mampu menjamin hak pangan bagi setiap rumah tangga tanpa terkecuali.

 Keterjangkauan pangan mempresentasikan kesamaan derajat keleluasaan akses dan kontrol yang dimiliki oleh setiap rumah tangga dalam memenuhi hak pangan mereka. Prinsip ini merupakan salah satu dimensi keadilan pangan yang penting untuk diperhatikan.

2.1.2. Kerawanan Pangan

Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Kerawanan pangan yang bersifat sementara (transient food insecurity) adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti


(43)

15

penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi), dan lain-lain. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis.

Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu masyarakat yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak.

2.1.3. Pangsa Pengeluaran Pangan

Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Keadaan ini jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang bukan makanan atau ditabung.

Hubungan antara pendapatan dan konsumsi barang telah dipelajari secara meluas oleh para ekonom, salah satunya adalah Engel. Hasil penelitian Engel menyatakan bahwa proporsi pengeluaran total yang ditujukan untuk makanan menurun sementara pendapatan meningkat. Dengan kata lain, makanan merupakan bahan kebutuhan pokok konsumsi yang meningkat lebih lambat daripada pendapatan. Hipotesis ini dikenal sebagai “Hukum Engel”.

Hukum Engel merupakan penemuan empiris yang begitu konsisten sehingga para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Hubungan antara pengeluaran total dengan jumlah kebutuhan pokok terlihat dalam Kurva Engel pada Gambar 2.


(44)

16

Kurva Engel yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa pada kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang tersebut akan menurun sementara pendapatan meningkat.

Sumber: Nicholson, 1995

Gambar 3 Kurva Engel untuk Kebutuhan Pokok.

Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menetukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et al. dalam Maxwell et al. (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Begitupula hasil penelitian Ilham dan Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan layak dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, dan pendapatan serta memiliki ciri yang dapat diukur dengan angka, cukup sederhana untuk memperoleh dan menafsirkannya, objektif dan responsif terhadap perubahan-perubahan akibat adanya perubahan kondisi perekonomian, kebijakan dan program pembangunan.

2.1.4. Kerawanan Pangan dan Kemiskinan

Kemiskinan yang meluas di kalangan masyarakat berkorelasi dengan kerawanan pangan, meskipun banyak faktor penentu lainnya seperti kegagalan produksi, terisolasinya kawasan pemukiman penduduk dari sumber pangan, dan rusaknya infrastruktur produksi dan transportasi (Mulyana, 2011). Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan tidak mudah mengukurnya. Untuk mengidentifikasi fenomena kemiskinan seringkali menggunakan istilah standar


(45)

17

hidup, pendapatan, distribusi pendapatan dan stratifikasi sosial. Bagi yang memperhatikan konsep tingkat hidup yaitu tidak hanya menekankan tingkat pendapatan saja tetapi juga masalah pendidikan, perumahan, kesehatan dan kondisi-kondisi sosial lainnya dari masyarakat.

Hariyati dan Raharto (2012) menyatakan bahwa definisi kemiskinan bisa dilihat dari beberapa segi:

1) Dilihat dari standar kebutuhan hidup yang layak/pemenuhan kebutuhan pokok.

Golongan ini mengatakan bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok/dasar disebabkan karena adanya kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar hidup yang layak. Definisi ini merupakan kemiskinan absolut/mutlak yakni tidak terpenuhinya standar kebutuhan pokok/dasar.

2) Dilihat dari segi pendapatan/penghasilan income

Kemiskinan oleh golongan ini dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan/ penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

3) Dilihat dari segi kesempatan/opportunity

Kemiskinan adalah karena ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan (meraih) basis kekuasaan sosial.

Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Banyak peneliti lain juga menekankan sangat pentingnya pertumbuhan pertanian dan ekonomi perdesaan pada umumnya bagi penurunan kemiskinan di Indonesia selama ini.

BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kkal perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar


(46)

18

lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi.

2.1.5. Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Ekonomi

Ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi berinteraksi saling menguatkan dalam mencapai pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat miskin atau yang dikenal dengan pro poor growth adalah salah satu komponen strategi pencapaian ketahanan pangan (Timmer, 2004). Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah sarana utama negara-negara Asia untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan.

Ilham (2006) dalam analisisnya menunjukkan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita memiliki arah yang berlawanan. Semakin tinggi PDRB per kapita maka pangsa pengeluaran pangan cenderung makin menurun. Namun, jika diamati lebih cermat, terlihat adanya hubungan yang sedikit anomali antara pangsa pengeluaran pangan dengan PDRB per kapita. Ada beberapa provinsi yang PDRB per kapitanya relatif rendah, memiliki pangsa pengeluaran yang juga relatif rendah seperti Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi, tetapi pangsa pengeluaran pangan penduduknya masih relatif tinggi. Anomali tersebut membuktikan bahwa bukan hanya PDRB per kapita yang menentukan ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah. Ketersediaan pangan, pengetahuan gizi dan pola konsumsi juga menentukan ketahanan pangan di suatu daerah.

PDRB per kapita yang tinggi belum menjamin bahwa penduduk di daerah itu memiliki pendapatan riil yang tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena PDRB yang tinggi di suatu daerah bisa jadi tidak hanya dinikmati oleh penduduk daerah tersebut saja, namun juga dinikmati oleh penduduk di luar daerah tersebut. Namun demikian, dari hasil analisis sebelumnya pangsa pengeluaran pangan untuk Indonesia masih relevan untuk digunakan sebagai indikator ketahanan pangan atau tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat provinsi.


(47)

19

2.1.6. Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2000 Tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia memutuskan bahwa provinsi-provinsi yang termasuk dalam KTI antara lain:

1) Nusa Tenggara Barat 2) Nusa Tenggara Timur 3) Irian Jaya

4) Maluku 5) Maluku Utara 6) Sulawesi Utara 7) Sulawesi Tengah

8) Sulawesi Selatan 9) Sulawesi Tenggara 10) Kalimantan Timur 11) Kalimantan Selatan 12) Kalimantan Tengah 13) Kalimantan Barat

Selama ini pembangunan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) jauh lebih baik dari pada pembangunan di KTI. Hal ini timbul sebagai konsekuensi dari alokasi proyek pembangunan yang ditetapkan atas dasar jumlah penduduk. Kebijakan ini tidak berhasil membangun fundamen ekonomi rakyat yang kuat. Akan lain halnya jika kebijakan alokasi proyek tersebut ditetapkan atas dasar luas wilayah. Kawasan Timur Indonesia, yang wilayahnya jauh lebih luas dan memiliki potensi maupun sumberdaya pembangunannya lebih bervariasi akan lebih berkembang. Fundamen ekonomi rakyat di kawasan itu akan lebih kokoh, dan sekaligus akan memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, budaya dan politik nasional.

Mappamiring (2006) menyatakan bahwa untuk menyingkirkan kesan adanya pusat dan daerah pinggiran, dan adanya polarisasi kemajuan pembangunan di Kawasan Barat dan Timur Indonesia, maka perlu pembangunan infrastruktur di berbagai sektor di KTI. Namun, perlu dipahami bahwa ada banyak kendala untuk membangun KTI. Karena itu niat baik pemerintah dan wakil-wakil rakyat di pusat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

Disisi lain, leading sectors pembangunan termasuk perikanan dan kelautan, perkebunan, pertambangan, peternakan dan lain sebagainya di KTI cukup menjanjikan, jika dikelola dengan baik. Sektor tersebut dapat memperkuat fundamen ekonomi rakyat dan dapat meningkatkan perolehan devisa negara.


(48)

20

Bagaimanapun, keberhasilan pengembangan Kawasan Timur Indonesia dapat mengurangi beban kependudukan di Kawasan Barat, terutama di Jawa. Melalui transmigrasi, tekanan kependudukan di Jawa dapat dikurangi dan pembangunan di KTI dapat ditingkatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan itu dan di Indonesia.

Wilayah yang begitu luas dengan potensi SDA yang memadai, sudah barang tentu dapat memberi kontribusi yang besar pada pengembangan ekonomi nasional. Namun demikian, hal ini akan terjadi, jika seluruh elemen bangsa menyadari pentingnya paradigma baru pembangunan yang spesifik daerah, tanpa meremehkan aspek kesatuan negara-bangsa, terutama untuk pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang masih tertinggal.

Pembangunan regional ialah bagian integral dari pembangunan nasional. Sejak awal strategi pembangunan di Indonesia bertumpu pada pembangunan nasional. Ada harapan bahwa pada gilirannya hasil pembangunan nasional akan terdistribusi ke tingkat regional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa yang dianut pada awal strategi pembangunan adalah penerapan fungsi alokatif atau distribusi dalam perencanaan pembangunan nasional, yang dijabarkan lebih jauh dalam strategi pembangunan regional. Uraian-uraian tersebut di atas mengisyaratkan bahwa Kawasan Timur Indonesia mendambakan kebijakan dan program yang Go to East, yang didasarkan pada keyakinannya bahwa cahaya kemajuan bangsa ke depan bersinar dari ufuk timur yang tidak hanya akan menerangi wilayah nusantara tapi dunia.

2.2. Tinjauan Empiris

Ilham (2006) menganalisis efektifitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan dampaknya pada stabilitas ekonomi makro. Ukuran ketahanan pangan yang digunakan adalah tingkat ketersediaan dan konsumsi energi dan protein. Model hubungan antara pangsa pengeluaran dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk dibangun dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pangsa pengeluaran dan konsumsi. Fungsi yang diperoleh berupa hiperbola dengan elastisitas negatif. Tanda elastisitas yang negatif menunjukkan bahwa hubungan antara kedua


(49)

21

variabel yaitu pangsa pengeluaran pangan berlawanan arah dengan konsumsi energi dan konsumsi protein setiap penduduk. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada jangka pendek maupun jangka panjang kebijakan harga pangan dan PDB ternyata berpengaruh terhadap ketersediaan energi di tingkat nasional. Namun di sisi lain, ketersediaan pangan di tingkat nasional tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga.

Omotesho et al (2006) menganalisis determinan ketahanan pangan rumah tangga perdesaan di Negara Bagian Kwara, Nigeria. Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan dari 165 rumah tangga tani perdesaan dengan teknik sampling acak tiga tahap (three-stage random sampling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepertiga dari rumah tangga tani perdesaan termasuk rawan pangan. Variabel yang signifikan memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga perdesaan di daerah ini antara lain ukuran rumah tangga petani, pendapatan kotor pertanian, serta ukuran rumah tangga dan total pendapatan non pertanian. Penelitian ini merekomendasikan untuk mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan rumah tangga petani perdesaan agar mampu memenuhi kebutuhan minimum pangan khususnya ketika tidak musim panen.

Demeke dan Zeller (2009) meneliti tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap ketahanan pangan di perdesaan di Ethiopia dengan menggunakan data panel rumah tangga. Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan indeks ketahanan pangan rumah tangga dan pengkategorian rumah tangga berdasarkan tiga kategori yaitu: tahan pangan, rentan pangan dan rawan pangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, gender kepala rumah tangga (laki-laki/perempuan), umur kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dalam rumah tangga, tabungan, pinjaman, income dari pertanian dan jumlah ternak yang dimiliki.

Wang (2010) memberikan bukti empiris determinan ketahanan pangan di Cina yang meliputi pendapatan per kapita penduduk pedesaan, harga pangan, daerah bencana pertanian, dan jumlah tabungan penduduk desa dan kota. Penelitian ini mencakup 27 provinsi dalam kurun waktu 1985 sampai dengan 2007. Metode yang digunakan adalah analisis data panel dinamis dengan


(50)

22

pendekatan pooled ordinary least square, fixed effect, difference generalized method of moments dan system generalized method of moments. Hasil penelitian menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan, namun harga pangan tidak berpengaruh. Pendapatan penduduk pedesaan berpengaruh negatif terhadap konsumsi pangan. Jumlah tabungan penduduk desa dan kota tidak memengaruhi konsumsi.

Nurlatifah (2011) menganalisis ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan merupakan data Susenas modul konsumsi tiga tahunan yaitu tahun 2002, 2005, dan 2008. Metode analisis yang digunakan adalah metode regresi data panel untuk menggambarkan faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan regional dan menggunakan model logistik untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di KTI tahun 2010. Hasil penghitungan ketahanan pangan menunjukkan bahwa persentase penduduk yang rawan pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

2.3. Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Penelitian

Ketahanan pangan yang stabil baik antarwaktu maupun antardaerah perlu mendapatkan perhatian yang serius. Kebijakan pangan yang komprehensif sangat dibutuhkan untuk menanggulangi berbagai tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan akan tercipta jika tiga pilar utamanya saling mendukung dan menguatkan yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Apabila ada satu saja pilar yang tidak bekerja maka belum menjamin terciptanya ketahanan pangan yang stabil. Salah satu upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan yang stabil yaitu melalui pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian. Oleh karena itu, peran penduduk yang terlibat di bidang pertanian perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi dalam upaya peningkatan ketahanan pangan.

Kawasan Timur Indonesia merupakan kawasan yang lebih banyak dijumpai kabupaten rentan pangan dibandingkan Kawasan Barat Indonesia. Dilihat dari ketersediaan pangannya, produksi padi dan palawija di KTI masih lebih rendah dibandingkan produksi padi dan palawija di KBI. Pembangunan


(51)

23

infrastruktur di KTI sebagai salah satu pendukung aksesibilitas pangan juga masih rendah dikarenakan daerah yang luas dengan dikelilingi lautan, hutan, dan sungai. Pemanfaatan pangan masyarakat KTI pun masih rendah dimana banyak dijumpai komoditas lokal yang tinggi akan gizi namun tidak dimanfaatkan/diolah dengan baik sehingga nilai gizinya turun. Hal ini dirasa menarik untuk menganalisis situasi ketahanan pangan di KTI.

Gambar 4 Kerangka Pemikiran.

Penelitian ini pada awal analisis melakukan klasifikasi status ketahanan pangan hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan yang dihitung dari konsumsi kalori dan protein. Selanjutnya dilakukan klasifikasi rumah tangga yang rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan, dan tahan pangan. Pada tahap berikutnya dilakukan analisis determinan ketahanan pangan


(52)

24

dengan regresi model tobit data panel. Diharapkan dengan analisis ini diperoleh langkah-langkah kebijakan pembangunan ekonomi yang dapat meningkatkan ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia.

Berdasarkan permasalahan, tujuan dan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah ketahanan pangan di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi secara positif oleh produksi pangan, panjang jalan, PDRB per kapita, rata-rata lama sekolah serta dipengaruhi secara negatif oleh persentase penduduk miskin dan persentase perempuan buta huruf.


(53)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Beberapa data yang bersumber dari BPS antara lain data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), produksi tanaman pangan, PDRB, persentase penduduk miskin, rata-rata lama sekolah, dan data pendukung lainnya. Produksi tanaman pangan dalam penelitian ini meliputi produksi tanaman padi (padi ladang dan padi sawah), jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah. Pemilihan komoditas tanaman pangan disini mengikuti konsep BPS disamping karena sumber energi utama dari asupan energi makanan berasal dari serealia dan umbi-umbian. Data ketersediaan pangan dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tersebut tidak tersedia di tingkat kabupaten/kota. Beberapa data yang bersumber dari DKP antara lain data kabupaten rentan pangan dan rasio konsumsi normatif terhadap produksi per kapita. DKP menyebutkan bahwa besarnya konsumsi normatif serealia per hari per kapita adalah 300 gram yang didasarkan pada profil konsumsi Indonesia. Rentang waktu penelitian ini dari tahun 2008 sampai dengan 2010.

Data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Susenas Panel merupakan survei rumah tangga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun yang dilakukan pada bulan Maret dan dimulai tahun 2002. Pada tahun 2002–2006 jumlah sampel Susenas Panel hanya 10.000 rumah tangga, tetapi mulai tahun 2007 jumlah sampel naik menjadi 68.800 rumah tangga. Rumah tangga yang menjadi sampel akan selalu berubah setiap tiga tahun sekali. Sampel Susenas Panel tahun 2008 akan sama dengan tahun 2009 dan 2010. Sampel Susenas Panel 2008 meliputi 195 kabupaten/kota di KTI, begitupula untuk tahun 2009. Namun, ada 3 kabupaten yang tidak dilakukan pencacahan kembali pada tahun 2010 yaitu Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Sarmi dikarenakan kondisi lapangan yang tidak memungkinkan.


(54)

26

Susenas mengumpulkan data kor dan modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga. Data kor yang dikumpulkan mencakup antara lain keterangan umum anggota rumah tangga, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, fertilitas, perumahan, dan sosial ekonomi. Sedangkan susenas modul berisi tentang kuantitas dan nilai konsumsi makanan yang mencakup 215 komoditi dengan sub kelompok sebanyak 14 sub kelompok komoditi. Empat belas sub kelompok komoditi tersebut yaitu padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih. Pengeluaran/konsumsi rumahtangga untuk non makanan mencakup 108 item pengeluaran dengan sub kelompok sebanyak 6 sub kelompok yaitu perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa, pakaian/alas kaki dan tutup kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan pesta dan upacara serta berisikan pendapatan, penerimaan, dan pengeluaran bukan konsumsi.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi, yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kkal dan 52 gram protein.

3.2. Metode Analisis 3.2.1. Analisis Deskriptif

Analisis data dilakukan secara deskriptif, baik deskriptif kualitatif maupun kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Oleh karena itu, analisis deskriptif menyangkut berbagai macam aktivitas dan proses. Salah satu


(55)

27

bentuk analisisnya adalah kegiatan menyimpulkan data mentah dalam jumlah yang besar sehingga hasilnya dapat ditafsirkan. Pengelompokkan atau pemisahan komponen atau bagian yang relevan dari keseluruhan data, juga merupakan salah satu bentuk analisis untuk menjadikan data mudah dikelola.

Penghitungan ketahanan pangan dalam penelitian ini dengan menggunakan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pengsa pengeluaran makanan. Hal ini adalah berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000). Adapun derajat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan ketercukupan gizi dan pangsa pengeluaran ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketercukupan kalori Pangsa Pengeluaran Makanan Rendah < 60% Tinggi ≥ 60%

Cukup > 80% Tahan Pangan

(food secure)

Rentan Pangan (vulnerable)

Kurang ≤ 80% Kurang Pangan

(questionable)

Rawan Pangan (food insecure) Sumber: Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al. (2000)

Pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengeluaran total penduduk selama sebulan. Pangsa pengeluaran pangan penduduk diperoleh dengan menggunakan data di tingkat rumah tangga kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Besar pangsa pengeluaran terhadap total pengeluaran diperoleh dari data Susenas BPS. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut:

= × 100%

dimana,

PP = Pangsa pengeluaran pangan (%)

EP = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran (Rp/bulan)


(1)

Kode Kabupaten/Kota Tahan Pangan

Rentan Pangan

Kurang Pangan

Rawan Pangan

109. Takalar 36,67 50,00 6,67 6,67

110. Gowa 23,23 56,77 5,16 14,84

111. Sinjai 25,81 56,45 3,23 14,52

112. Maros 43,42 38,16 5,26 13,16

113. Pangkajene Kepulauan 17,11 46,05 14,47 22,37

114. Barru 29,79 63,83 0,00 6,38

115. Bone 23,50 33,88 21,31 21,31

116. Soppeng 56,25 23,44 6,25 14,06

117. Wajo 36,36 56,36 3,64 3,64

118. Sidenreng Rappang 18,06 62,50 8,33 11,11

119. Pinrang 43,01 39,78 4,30 12,90

120. Enrekang 31,82 47,73 9,09 11,36

121. Luwu 36,00 38,67 14,67 10,67

122. Tana Toraja 14,55 60,91 2,73 21,82

123. Luwu Utara 26,56 51,56 1,56 20,31

124. Luwu Timur 27,42 54,84 3,23 14,52

125. Kota Makasar 52,43 26,21 14,89 6,47

126. Kota Pare-Pare 59,38 28,13 9,38 3,13

127. Kota Palopo 38,71 32,26 19,35 9,68

128. Buton 16,22 37,84 21,62 24,32

129. Muna 26,47 37,65 15,88 20,00

130. Konawe 43,48 27,17 14,13 15,22

131. Kolaka 42,14 42,14 5,66 10,06

132. Konawe Selatan 13,74 48,85 10,69 26,72

133. Bombana 25,86 46,55 17,24 10,34

134. Wakatobi 29,17 16,67 18,75 35,42

135. Kolaka Utara 42,22 35,56 13,33 8,89

136. Konawe Utara 28,13 60,94 3,13 14,29

137. Kota Kendari 53,72 27,27 5,79 13,22

138. Kota Bau-Bau 50,00 25,81 12,90 11,29

139. Boalemo 23,91 54,35 7,61 14,13

140. Gorontalo 36,32 35,82 7,96 19,90

141. Pohuwato 30,85 37,23 11,70 20,21

142. Bone Bolango 29,09 49,09 6,36 15,45

143. Gorontalo Utara 18,35 62,66 4,43 14,56

144. Kota Gorontalo 37,90 20,97 20,97 20,16

145. Majene 33,75 62,50 1,25 2,50

146. Polewali Mamasa 24,52 59,62 2,88 12,98

147. Mamasa 24,36 64,10 2,56 8,97

148. Mamuju 36,55 36,55 7,59 19,31

149. Mamuju Utara 57,45 36,17 2,13 4,26

150. Maluku Tenggara Barat 19,05 9,52 17,46 53,97

151. Maluku Tenggara 28,17 49,30 4,23 18,31

152. Maluku Tengah 38,81 36,82 14,43 9,95

153. Buru 41,77 45,57 6,33 6,33

154. Seram Bagian Barat 13,58 46,91 3,70 35,80

155. Seram Bagian Timur 24,44 60,00 2,22 13,33

156. Kota Ambon 45,39 14,47 18,42 21,71

157. Halmahera Barat 34,88 34,88 4,65 25,58

158. Halmahera Tengah 6,67 66,67 0,00 26,67

159. Kepulauan Sula 20,00 34,29 5,71 40,00

160. Halmahera Selatan 30,43 38,04 6,52 25,00

161. Halmahera Utara 35,29 37,25 2,94 24,51

162. Halmahera Timur 36,36 18,18 18,18 27,27

163. Kota Ternate 65,00 1,25 26,25 7,50


(2)

Kode Kabupaten/Kota Tahan Pangan

Rentan Pangan

Kurang Pangan

Rawan Pangan

165. Fak-fak 17,02 38,30 10,64 34,04

166. Kaimana 35,48 19,35 29,03 16,13

167. Teluk Wondama 60,00 40,00 0,00 0,00

168. Teluk Bintuni 28,13 68,75 0,00 3,13

169. Manokwari 30,56 25,93 13,89 29,63

170. Sorong Selatan 25,00 62,50 6,25 6,25

171. Sorong 39,34 50,82 1,64 8,20

172. Raja Ampat 6,67 73,33 0,00 20,00

173. Kota Sorong 50,89 13,39 23,21 12,50

174. Merauke 31,19 49,54 1,83 17,43

175. Jayawijaya 7,19 37,91 16,34 38,56

176. Jayapura 8,93 75,00 3,57 12,50

177. Nabire 25,97 36,36 19,48 18,18

178. Yapen Waropen 15,22 58,70 13,04 13,04

179. Biak Numfor 19,15 65,96 2,13 12,77

180. Paniai 1,59 63,49 0,00 34,92

181. Puncak Jaya 4,44 66,67 4,44 24,44

182. Mimika 44,16 24,68 14,29 16,88

183. Boven Digoel 50,00 12,50 31,25 6,25

184. Mappi 0,00 83,87 0,00 16,13

185. Yahukimo 0,00 100,00 0,00 0,00

186. Pegunungan Bintang 0,00 85,71 0,00 14,29

187. Tolikara 0,00 100,00 0,00 0,00

188. Keerom 35,48 51,61 0,00 12,90

189. Waropen 13,33 26,67 0,00 60,00


(3)

Lampiran 9 Dinamika Ketahanan Pangan 2008 dibandingkan 2010

A.

KONDISI MEMBURUK

Kondisi ketahanan pangan dari ‘tahan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rentan

pangan’ tahun 2010

1. Sumbawa 6. Bulungan 11. Enrekang

2. Kota Bima 7. Penajam Paser Utara 12. Luwu

3. Nageko 8. Kepulauan Talaud 13. Halmahera Utara

4. Kutai 9. Kota Tomohon 14. Kota Tidore Kepulauan

5. Berau 10. Takalar 15. Teluk Bintuni

Kondisi ketahanan pangan dari ‘tahan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘kurang

pangan’ tahun 2010

1. Kota Palangkaraya

Kondisi ketahanan pangan dari ‘tahan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rawan

pangan’ tahun 2010

1. Nunukan

2. Jayawijaya

Kondisi ketahanan pangan dari ‘rentan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rawan

pangan’ tahun 2010

1. Sikka

2. Maluku Tenggara Barat

3. Kepulauan Sula

4. Waropen

Kondisi ketahanan pangan dari ‘kurang pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rawan

pangan’ tahun 2010

1. Wakatobi

B.

KONDISI MEMBAIK

Kondisi ketahanan pangan dari ‘rentan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘tahan

pangan’ tahun 2010

1. Barito Utara 5. Minahasa Utara 9. Konawe 13. Halmahera Timur

2. Sukamara 6. Minahasa Tenggara 10.Gorontalo 14. Teluk Wondama

3. Murung Raya 7. Banggai 11.Mamuju

4. Pasir 8. Pinrang 12.Maluku Tengah

Kondisi ketahanan pangan dari ‘kurang pangan’ tahun 2008 menjadi ‘tahan

pangan’ tahun 2010

1. Kota Samarinda

Kondisi ketahanan pangan dari ‘rawan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘tahan

pangan’ tahun 2010

1. Kaimana


(4)

Kondisi ketahanan pangan dari ‘rawan pangan’ tahun 2008 menjadi ‘rentan

pangan’ tahun 2010

1. Seram Bagian Barat

2. Paniai

3. Mappi

4. Yahukimo

C.

KONDISI SAMA

Kondisi ketahanan pangan tahun 2008 dan 2010 sama ‘tahan pangan’

1. Sumbawa Barat 11. Kutai Barat 21. Kota Palu 31. Kota Gorontalo

2. Kota Mataram 12. Kutai Timur 22. Maros 32. Mamuju Utara

3. Kota Kupang 13. Malinau 23. Soppeng 33. Kota Ambon

4. Sekadau 14. Kota Balikpapan 24. Kota Makasar 34. Halmahera Barat

5. Kota Pontianak 15. Kota Tarakan 25. Kota Pare-Pare 35. Kota Ternate

6. Kota Singkawang 16. Kota Bontang 26. Kota Palopo 36. Kota Sorong

7. Kotawaringin Barat 17. Kota Manado 27. Kolaka 37. Mimika

8. Tanah Bumbu 18. Kota Bitung 28. Kolaka Utara 38. Boven Digoel

9. Kota Banjarmasin 19. Kota Kotamobago 29. Kota Kendari 39. Kota Jayapura

10. Kota Banjar Baru 20. Morowali 30. Kota Bau-Bau

Kondisi ketahanan pangan tahun 2008 dan 2010 sama ‘rentan pangan’

1. Lombok Barat 28. Sintang 55. Bolaang Mongondow

Utara

82. Konawe Utara

2. Lombok Tengah 29. Kapuas Hulu 56. Kep. Siau

Tagulandang Biaro

83. Boalemo

3. Lombok Timur 30. Melawi 57. Banggai Kepulauan 84. Pohuwato

4. Dompu 31. Kayong Utara 58. Poso 85. Bone Bolango

5. Bima 32. Kotawaringin Timur 59. Donggala 86. Gorontalo Utara

6. Sumba Barat 33. Kapuas 60. Toli-Toli 87. Majene

7. Sumba Timur 34. Barito Selatan 61. Buol 88. Polewali Mamasa

8. Kupang 35. Lamandau 62. Parigi Moutong 89. Mamasa

9. Timor Tengah Selatan 36. Seruyan 63. Tojo Una-Una 90. Maluku Tenggara

10. Timor Tengah Utara 37. Katingan 64. Selayar 91. Buru

11. Belu 38. Pulang Pisau 65. Bulukumba 92. Seram Bagian Timur

12. Alor 39. Gunung Mas 66. Bantaeng 93. Halmahera Tengah

13. Lembata 40. Barito Timur 67. Jeneponto 94. Halmahera Selatan

14. Flores Timur 41. Tanah Laut 68. Gowa 95. Fak-fak

15. Ende 42. Kota Baru 69. Sinjai 96. Sorong Selatan

16. Ngada 43. Banjar 70. Pangkajene Kepulauan 97. Sorong

17. Manggarai 44. Barito Kuala 71. Barru 98. Raja Ampat

18. Rote Ndao 45. Tapin 72. Bone 99. Merauke

19. Manggarai Barat 46. Hulu Sungai Selatan 73. Wajo 100. Jayapura

20. Sumba Barat Daya 47. Hulu Sungai Tengah 74. Sidenreng Rappang 101. Nabire

21. Sumba Tengah 48. Hulu Sungai Utara 75. Tana Toraja 102. Yapen Waropen

22. Sambas 49. Tabalong 76. Luwu Utara 103. Biak Numfor

23. Bengkayang 50. Balangan 77. Luwu Timur 104. Puncak Jaya

24. Landak 51. Bolaang Mongondow 78. Buton 105. Pegunungan Bintang

25. Pontianak 52. Minahasa 79. Muna 106. Tolikara

26. Sanggau 53. Kep. Sangihe Talaud 80. Konawe Selatan 107. Keerom


(5)

Lampiran 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan

di KTI

Test likelihood-ratio membandingkan model panel RE dengan model pooled

Ho: Pooled Tobit lebih sesuai

Keputusan: tolak Ho artinya model tobit panel lebih sesuai

.

0 r i ght - cens or ed obs er v at i ons 555 uncens or ed obs er v at i ons Obser v at i on summar y: 15 l ef t - cens or ed obs er v at i ons

Li k el i hood- r at i o t es t of s i gma_u=0: chi bar 2( 01) = 214. 20 Pr ob>=c hi bar 2 = 0. 000 r ho . 6335906 . 0362513 . 5606405 . 7020006 / s i gma_e 7. 870019 . 2921749 26. 94 0. 000 7. 297367 8. 442671 / s i gma_u 10. 34896 . 6606843 15. 66 0. 000 9. 054045 11. 64388 _cons 14. 5455 7. 725055 1. 88 0. 060 - . 5953255 29. 68633 l npdr bj t 2. 394808 1. 085927 2. 21 0. 027 . 2664297 4. 523186 but a - . 2365183 . 0788377 - 3. 00 0. 003 - . 3910374 - . 0819992 r l s 2. 514857 . 8132704 3. 09 0. 002 . 920876 4. 108837 mi s k - . 2829024 . 0920065 - 3. 07 0. 002 - . 4632318 - . 102573 j l n . 0508076 . 2457038 0. 21 0. 836 - . 4307631 . 5323782 l npr ober as k w - 1. 020559 . 6349594 - 1. 61 0. 108 - 2. 265056 . 2239388 t ahan Coef . St d. Er r . z P>| z | [ 95% Conf . I nt er v al ] Log l i k el i hood = - 2109. 7211 Pr ob > chi 2 = 0. 0000 Wal d c hi 2(6) = 128. 89 max = 3 av g = 3. 0 Random ef f ect s u_i ~ Gaussi an Obs per gr oup: mi n = 3 Gr oup v ar i abl e: kab Number of gr oups = 190 Random- ef f ect s t obi t r egr es si on Number of obs = 570 I t er at i on 3: l og l i k el i hood = - 2109. 7211

I t er at i on 2: l og l i k el i hood = - 2109. 7211 I t er at i on 1: l og l i k el i hood = - 2109. 7303 I t er at i on 0: l og l i k el i hood = - 2111. 0967 Fi t t i ng f ul l model :

I t er at i on 3: l og l i k el i hood = - 2149. 1415 I t er at i on 2: l og l i k el i hood = - 2149. 1415 I t er at i on 1: l og l i k el i hood = - 2149. 1628 I t er at i on 0: l og l i k el i hood = - 2151. 6579 Obt ai ni ng s t ar t i ng v al ues f or f ul l model : I t er at i on 3: l og l i k el i hood = - 2216. 8193 I t er at i on 2: l og l i k el i hood = - 2216. 8193 I t er at i on 1: l og l i k el i hood = - 2216. 8252 I t er at i on 0: l og l i k el i hood = - 2219. 6473 Fi t t i ng f ul l model :

I t er at i on 2: l og l i k el i hood = - 2353. 829 I t er at i on 1: l og l i k el i hood = - 2353. 8291 I t er at i on 0: l og l i k el i hood = - 2354. 1369 Fi t t i ng const ant - onl y model :

Fi t t i ng compar i s on model :


(6)

Hasil estimasi model tobit panel RE

0 r i g ht - c e ns or e d ob s er v a t i on s 555 un c e ns or e d ob s er v a t i on s Ob s e r v a t i on s ummar y : 15 l e f t - c e ns or e d ob s er v a t i on s

r h o . 63 35 906 . 036 25 13 . 560 64 05 . 70 200 06

/ s i g ma_ e 7 . 8 70 019 . 292 17 49 2 6. 94 0. 000 7 . 29 73 67 8 . 4 426 71

/ s i gma_ u 1 0. 34 896 . 660 68 43 1 5. 66 0. 000 9 . 05 40 45 1 1. 643 88

_c on s 14 . 5 455 7 . 72 50 55 1. 88 0. 060 - . 595 32 55 2 9. 686 33

b ut a - . 23 65 183 . 078 83 77 - 3. 00 0. 003 - . 391 03 74 - . 08 199 92

r l s 2 . 5 14 857 . 813 27 04 3. 09 0. 002 . 92 08 76 4 . 1 088 37

l n pdr bj t 2 . 3 94 808 1 . 08 59 27 2. 21 0. 027 . 266 42 97 4 . 5 231 86

mi s k - . 28 29 024 . 092 00 65 - 3. 07 0. 002 - . 463 23 18 - . 1 025 73

j l n . 05 08 076 . 245 70 38 0. 21 0. 836 - . 430 76 31 . 53 237 82

l n pr ob er a s k w - 1 . 0 20 559 . 634 95 94 - 1. 61 0. 108 - 2 . 26 50 56 . 22 393 88

t a ha n Co ef . St d. Er r . z P>| z | [ 95% Con f . I n t e r v a l ] Lo g l i k el i h oo d = - 2 10 9. 7 21 1 Pr ob > c h i 2 = 0 . 00 00

Wa l d c h i 2 (6) = 1 28. 89

max = 3

a v g = 3 . 0

Ra nd om ef f e c t s u_i ~ Gaus si an Ob s p er g r ou p: mi n = 3

Gr ou p v ar i a bl e: ka b Nu mb er of g r ou ps = 1 90

Ra nd om- ef f e c t s t ob i t r egr es s i on Nu mbe r of o bs = 5 70

I t er at i on 3 : l og l i k el i ho od = - 2 10 9. 7 21 1 I t er at i on 2 : l og l i k el i ho od = - 2 10 9. 7 21 1 I t er at i on 1 : l og l i k el i ho od = - 2 10 9. 7 30 3 I t er at i on 0 : l og l i k el i ho od = - 2 11 1. 0 96 7 Fi t t i n g f ul l mo del :

I t er at i on 3 : l og l i k el i ho od = - 2 14 9. 1 41 5

I t er at i on 2 : l og l i k el i ho od = - 2 14 9. 1 41 5

I t er at i on 1 : l og l i k el i ho od = - 2 14 9. 1 62 8

I t er at i on 0 : l og l i k el i ho od = - 2 15 1. 6 57 9

Ob t a i n i ng s t a r t i ng v al ues f or f u l l mode l :