40 komoditas ubi kayu terbesar di KTI berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
ubi jalar berada di Provinsi Papua. Padi masih merupakan komoditas utama di KTI. Hal ini terlihat dari data
produksi padi yang jauh di atas produksi komoditas lainnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Data produksi padi juga dianalisis dengan
menggunakan penimbang jumlah penduduk produksi padi per kapita dan didapatkan gambaran bahwa Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan
produksi padi per kapita tertinggi sedangkan Papua merupakan provinsi dengan produksi padi per kapita terendah di KTI. Produksi pangan sangat tergantung pada
berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan, dan bahkan insentif bagi para petani untuk
menghasilkan tanaman pangan, sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan produksi pangannya berfluktuasi.
Tabel 6 Produksi Padi per Kapita Provinsi di KTI Tahun 2002-2010 Ton
Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
NTB 0,33
0,35 0,36
0,33 0,36
0,36 0,40
0,42 0,39
NTT 0,12
0,12 0,13
0,11 0,12
0,11 0,13
0,13 0,12
Kalimantan Barat 0,23
0,26 0,26
0,25 0,27
0,29 0,31
0,30 0,31
Kalimantan Tengah 0,20
0,27 0,32
0,26 0,25
0,28 0,25
0,28 0,29
Kalimantan Selatan 0,44
0,44 0,47
0,49 0,49
0,58 0,57
0,56 0,51
Kalimantan Timur 0,17
0,16 0,18
0,18 0,18
0,19 0,19
0,18 0,17
Sulawesi Utara 0,17
0,17 0,19
0,20 0,21
0,02 0,24
0,25 0,26
Sulawesi Tengah 0,33
0,33 0,32
0,31 0,31
0,36 0,40
0,38 0,36
Sulawesi Selatan 0,47
0,49 0,42
0,45 0,44
0,47 0,52
0,55 0,55
Sulawesi Tenggara 0,15
0,18 0,17
0,17 0,17
0,21 0,20
0,19 0,20
Gorontalo 0,18
0,18 0,18
0,18 0,20
0,21 0,24
0,26 0,24
Sulawesi Barat 0,00
0,00 0,00
0,26 0,30
0,31 0,33
0,30 0,31
Maluku 0,01
0,03 0,03
0,03 0,04
0,04 0,06
0,07 0,05
Maluku Utara 0,00
0,07 0,06
0,07 0,06
0,05 0,05
0,05 0,05
Papua Barat 0,00
0,00 0,00
0,04 0,04
0,04 0,05
0,05 0,05
Papua 0,04
0,03 0,03
0,03 0,03
0,04 0,04
0,05 0,04
Sumber: BPS diolah Pertumbuhan sektor pertanian sebagai salah satu tolok ukur ekonomi
kinerja pembangunan, sepanjang sejarah memang hampir selalu lebih rendah dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan yang dihitung
antara lain dari nilai produksi setiap tahun yang relatif kecil tersebut mengindikasikan bahwa nilai produk pertanian primer memang lebih rendah
dibandingkan dengan industri olahan. Namun, perlu ditekankan bahwa produk
41 pertanian juga menyumbang pada dua sektor dalam PDB nasional yaitu sektor
pertanian dan sektor industri.
Sumber: BPS diolah Gambar 8 Pertumbuhan Produksi Pangan di KTI Tahun 1994-2010.
Pertumbuhan produksi pangan di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 berfluktuasi bahkan untuk beberapa komoditas pertumbuhan produksinya
negatif. Komoditas yang mengalami kemerosotan paling tajam adalah jagung dimana pertumbuhannya merosot dari 46,18 persen pada tahun 2008 menjadi 0,59
persen pada tahun 2010. Pada beberapa kabupaten di KTI, pertumbuhan produksi pangan yang menurun ini disebabkan antara lain karena meluasnya areal
pertambangan terbuka, masih rendahnya produktivitas dimana beberapa program intensifikasi maupun ekstensifikasi belum efektif berjalan di KTI, dan adanya
bencana alam karena penebangan hutan yang tidak dapat dihindari, kekeringan atau banjir. Hal ini akan mengancam keberlangsungan tingkat produksi saat ini
dan di masa yang akan datang.
4.3. Akses Pangan
Food Accessibility
Salah satu permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan di KTI adalah masih besarnya proporsi masyarakat yang mempunyai daya beli rendah
dan yang tidak mempunyai akses terhadap pangan. Beberapa hal yang menyebabkan kurangnya akses masyarakat terhadap pangan antara lain karena
-60 -40
-20 20
40 60
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
P e
rt u
m b
u h
a n
Tahun
Padi Jagung
Ubi Kayu Ubi Jalar
Kac. Kedelai Kac. Tanah
Kac. Hijau
42 keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya infrastruktur yang memadai.
Sumber daya manusia yang rendah antara lain kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan, pengolahan pangan yang
higienis, dan rendahnya kesadaran masyarakat akan keamanan pangan. Sektor infrastruktur di Indonesia memiliki peran penting dalam menopang
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan standar
hidup masyarakat. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik akan mendorong lebih banyak
investasi di berbagai sektor. Dapat dikatakan bahwa sektor infrastruktur merupakan sektor antara yang menghubungkan berbagai aktivitas ekonomi.
Kurangnya akses terhadap infrastruktur dapat menyebabkan kemiskinan lokal dimana suatu masyarakat menjadi terisolir dengan kondisi geografis yang sulit
sehingga kurang mendapatkan kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai.
Salah satu infrastruktur dasar yang perlu dikembangkan adalah prasarana jalan yang memiliki fungsi aksesibilitas untuk membuka daerah kurang
berkembang dan fungsi mobilitas untuk memacu daerah yang telah berkembang. Pembangunan infrastruktur jalan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dengan pengembangan akses jalan, masyarakat dapat menjangkau pusat kesehatan yang
lebih baik seperti rumah sakit besar sehingga angka kematian anak dapat dikurangi. Selain itu, pembangunan jalan dapat memberikan akses yang lebih baik
ke pasar bagi para produsen, penjual dan pembeli. Tenaga pendidik dapat mengajar masyarakat sehingga bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia
di wilayah tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan PPL dapat menjangkau petani pedesaan dalam menyediakan bantuan teknis dan informasi lainnya.
Hasil penelitian Prasetyo dan Firdaus 2009 menyatakan bahwa panjang jalan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Distribusi faktor produksi ataupun barang dan jasa hasil produksi sangat tergantung dari keberadaan infrastruktur jalan. Provinsi yang memiliki rasio
panjang jalan yang baik dan sedang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Sulawesi
Selatan lebih bagus dibandingkan provinsi lain di KTI. Sebaliknya, Provinsi
43 Papua dan Papua Barat memiliki rasio panjang jalan yang paling kecil. Hal ini
disebabkan karena kondisi geografis Pulau Papua yang sulit sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membangun infrastruktur disamping
kepadatan penduduknya yang masih rendah. Tabel 7 Rasio Panjang Jalan Baik dan Sedang terhadap Luas Wilayah kmkm
2
Provinsi 2008
2009 2010
Nusa Tenggara Barat 0,1431
0,1324 0,1555
Nusa Tenggara Timur 0,1791
0,1814 0,1976
Kalimantan Barat 0,0420
0,0415 0,0426
Kalimantan Tengah 0,0349
0,0371 0,0359
Kalimantan Selatan 0,1287
0,1444 0,1515
Kalimantan Timur 0,0297
0,0317 0,0350
Sulawesi Utara 0,1690
0,1990 0,2081
Sulawesi Tengah 0,0852
0,0873 0,1059
Sulawesi Selatan 0,3717
0,3853 0,3987
Sulawesi Tenggara 0,1335
0,1454 0,1344
Gorontalo 0,0972
0,1669 0,1800
Sulawesi Barat 0,1638
0,1794 0,1902
Maluku 0,0520
0,0477 0,0543
Maluku Utara 0,0295
0,0295 0,0196
Papua Barat 0,0174
0,0174 0,0322
Papua 0,0111
0,0128 0,0139
Total 0,0591
1,0549 1,0706
Sumber: BPS diolah Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kerawanan pangan adalah
dengan program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin secara langsung atau yang dikenal dengan Program Raskin Beras untuk Keluarga Miskin.
Diharapkan dengan adanya program Raskin ini, dapat memberikan manfaat yang nyata dalam peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan sosial rumah
tangga. Selain itu, program Raskin merupakan program transfer energi yang kaya akan kalori sehingga dapat memperbaiki gizi keluarga miskin.
Namun, ada hal yang perlu diwaspadai dari program Raskin yaitu timbulnya ketergantungan masyarakat pada konsumsi beras. Beberapa daerah
pada awalnya mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan mengkonsumsi umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lain-lain. Setelah adalah
program Raskin, terjadi pergeseran pola pangan dari umbi-umbian beralih mengkonsumsi beras. Hal ini bukan hanya karena harga beras Raskin lebih
murah, namun juga karena kemudahan untuk memperolehnya. Kalau sebelumnya keluarga miskin harus menanam sendiri maupun memperoleh pangan dengan
44 menempuh jarak yang jauh, dengan adanya Raskin keluarga miskin semakin
mudah untuk mendapatkan pangan pokok mereka. Data mengenai besarnya persentase rumah tangga penerima raskin untuk sampel Susenas Panel 2008-2010
masing-masing provinsi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Persentase Rumah Tangga Penerima Raskin di KTI Tahun 2008-2010
Persen
Provinsi 2008
2009 2010
Nusa Tenggara Barat 85,59
76,22 81,39
Nusa Tenggara Timur 34,30
46,65 53,16
Kalimantan Barat 39,95
27,92 44,62
Kalimantan Tengah 41,43
28,51 32,67
Kalimantan Selatan 27,12
15,16 23,99
Kalimantan Timur 18,88
20,72 18,62
Sulawesi Utara 35,75
36,32 38,52
Sulawesi Tengah 48,88
29,20 42,15
Sulawesi Selatan 28,61
21,37 29,40
Sulawesi Tenggara 33,64
24,59 53,36
Gorontalo 44,50
32,76 46,98
Sulawesi Barat 44,24
45,23 52,87
Maluku 35,60
50,00 51,73
Maluku Utara 21,05
31,96 37,79
Papua Barat 41,83
48,95 48,74
Papua 32,34
34,11 37,40
Sumber: Susenas Panel 2008-2010 diolah Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB merupakan provinsi dengan
persentase rumah tangga penerima raskin yang paling besar. Padahal Provinsi NTB sendiri termasuk ke dalam daerah surplus beras dan juga sebagai salah satu
daerah penyangga stok beras nasional. Jika dilihat dari data tingkat produktivitas padi tahun 2008-2010, Provinsi NTB berada di posisi tertinggi ketiga di KTI
setelah Gorontalo dan Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 48,7 kuintalhektar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat petani di
NTB masih berada pada kondisi miskin.
4.4. Pemanfaatan Pangan
Food Utilization
Pemanfaatan pangan meliputi dua hal yaitu pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap zat gizi.
Dewan Ketahanan Pangan 2009 menyatakan bahwa pemanfaatan pangan oleh