Derajat Ketahanan Pangan di Kawasan Timur Indonesia

62 lain-lain belum dimasukkan ke dalam analisis regresi ini dikarenakan keterbatasan data pada level kabupatenkota. Tidak signifikannya variabel produksi pangan memengaruhi ketahanan pangan di KTI ini menjadi salah satu penjelasan dari latar belakang penelitian ini yaitu adanya kontradiksi beberapa kabupaten yang sebenarnya surplus pangan namun dikategorikan sebagai rentan pangan. Rasio Panjang Jalan terhadap Luas Wilayah Variabel rasio panjang jalan digunakan sebagai proksi dari pilar aksesibilitas pangan. Hipotesis dari variabel ini adalah semakin besar rasio panjang jalannya maka semakin memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap pangan mereka sehingga ketahanan pangannya juga semakin tinggi. Namun, berdasarkan hasil estimasi regresi model tobit, rasio panjang jalan tidak signifikan memengaruhi ketahanan pangan di KTI. Wilayah KTI merupakan daerah yang masih banyak dijumpai gunung, hutan, dan lautan. Sarana transportasi yang digunakan di sana tidak hanya mengandalkan jalur darat saja, namun peranan jalur udara maupun air sangat penting di KTI. Transportasi udara dan air juga berfungsi mempercepat aktivitas perekonomian dan memperlancar suplai logistik khususnya ke daerah-daerah terpencil yang belum terjamah oleh pembangunan infrastruktur jalan darat. Persentase Penduduk Miskin Salah satu variabel yang digunakan untuk proksi pilar aksesibilitas pangan adalah variabel persentase penduduk miskin. Hipotesis dari variabel ini adalah semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu kabupatenkota maka aksesibilitas pangan akan semakin rendah dan berakibat pada ketahanan pangan yang juga semakin rendah. Berdasarkan hasil estimasi, didapatkan bahwa persentase penduduk miskin signifikan memengaruhi ketahanan pangan di KTI secara negatif dengan nilai elastisitas sebesar 0,1604 persen. Artinya, apabila jumlah penduduk miskin meningkat 1 persen maka akan menurunkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,1604 persen. Kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendapatan sehingga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sangat rendah. Todaro dan 63 Smith 2006 menguraikan bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Kemiskinan bisa menyebabkan terciptanya kondisi kelaparan yang pada akhirnya menurunkan tingkat ketahanan pangan di suatu daerah. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan harus tetap terus diprioritaskan guna mencapai ketahanan pangan yang kuat dan stabil. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh masyarakat miskin atau yang dikenal dengan pro poor growth adalah salah satu komponen strategi pencapaian ketahanan pangan Timmer, 2004. Petani memiliki peranan yang sangat besar dalam menciptakan ketahanan pangan sebab petani merupakan produsen pangan sekaligus sebagai konsumen pangan. Dengan kata lain, petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Namun, pada kenyataannya kondisi ekonomi petani sangat dekat dengan kemiskinan yang berarti kesejahteraan petani relatif rendah. Dengan demikian, peranan pemerintah sangat diperlukan dalam pemberdayaan petani antara lain melalui peningkatan produktivitas dan daya saing, penyediaan fasilitas yang dibutuhkan petani, dan revitalisasi kelembagaan. PDRB per Kapita Variabel kedua yang digunakan sebagai proksi akses terhadap pangan adalah PDRB per kapita. Berdasarkan hasil estimasi, didapatkan bahwa PDRB per kapita berpengaruh secara positif terhadap jumlah rumah tangga tahan pangan di KTI dengan nilai elastisitas sebesar 0,0786. Artinya, setiap kenaikan 1 persen PDRB per kapita penduduk KTI akan meningkatkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,0786 persen. Semakin tinggi PDRB per kapita suatu kabupatenkota mengindikasikan semakin meningkat kesejahteraan penduduknya. Namun menurut Harper et al. 1986, PDRB hendaknya jangan digunakan sebagai satu-satunya ukuran pembangunan suatu wilayah, karena ia tidak selalu menunjukkan kualitas hidup rakyat yang bertempat tinggal di situ. PDRB per kapita terbukti memengaruhi ketahanan pangan di KTI. Dengan demikian, salah satu upaya dalam meningkatkan ketahanan pangan adalah melalui peningkatan pendapatan rumah tangga. Dengan adanya peningkatan pendapatan, 64 daya beli rumah tangga semakin tinggi dan akses masyarakat terhadap pangan akan meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih pangan yang beragam guna mencukupi kebutuhan gizinya, sehingga pada akhirnya akan memperkuat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, regional maupun nasional. Terkait dengan peningkatan daya beli masyarakat, maka salah satu upaya pemerintah adalah dengan strategi penciptaan lapangan kerja baru. Luas lahan pertanian semakin lama semakin sempit, sehingga kesempatan berusaha tidak harus selalu pada usaha tani tetapi diarahkan pada usaha agribisnis yang berdaya saing dan berkelanjutan. Tabel 15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketahanan Pangan di KTI Variable Coefficient Std, Error Elastisitas C 14,5455 7,7251 - LNPRO -1,0206 0,6350 - JAL 0,0509 0,2457 - MISKIN -0,2829 0,0920 0,1604 LNPDRB 2,3948 1,0859 0,0786 BUTA -0,2365 0,0788 0,1136 RLS 2,5149 0,8133 0,6179 Sumber: Pengolahan Data Keterangan: nyata pada α=10 persen; nyata pada α=5 persen; nyata pada α=1 persen Persentase Perempuan Buta Huruf Salah satu variabel yang digunakan sebagai proksi pemanfaatan pangan adalah variabel persentase perempuan buta huruf. Persentase perempuan buta huruf signifikan secara negatif memengaruhi ketahanan pangan di KTI dengan nilai elastisitas sebesar 0,1136, artinya setiap kenaikan 1 persen perempuan buta huruf akan menurunkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,1136 persen. Pendidikan dan pengetahuan perempuan terutama ibu dan pengasuh rumah tangga akan pentingnya pengolahan pangan sangat mempengaruhi tingkat gizi anggota rumah tangga yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat ketahanan pangan. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan perempuan. Sejauh ini, upaya pemerintah untuk memberantas buta huruf perempuan dituangkan dalam bentuk peraturan bersama tiga menteri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri, 65 dan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2005 tentang percepatan pemberantasan buta aksara perempuan. Dalam peraturan tersebut pemerintah menetapkan program Aksi Nasional Pemberantasan Buta Aksara Perempuan yang dioperasionalkan secara menyeluruh dan terpadu di seluruh Indonesia. Pemberantasan buta huruf perempuan dapat dilakukan dengan program pendidikan non formal seperti Kelompok Belajar Keterampilan KBK, Kelompok Belajar Usaha KBU, Taman Bacaan Masyarakat TBM, dan sejenisnya dengan menggunakan seperangkat instrumen pembelajaran di provinsi, kabupatenkota, kecamatan, kelurahan, dan desa. Namun pada prinsipnya, program tersebut sangat bergantung pada komitmen seluruh komponen pemerintah dan masyarakat untuk menjalankannya. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan sebagainya mempunyai tanggung jawab untuk memberantas buta huruf perempuan melalui program-program yang telah dicanangkan dan tentu saja program tersebut harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di daerah masing-masing. Rata-rata Lama Sekolah Begitupula untuk variabel rata-rata lama sekolah berpengaruh signifikan positif terhadap ketahanan pangan di KTI. Rata-rata lama sekolah merupakan variabel yang memiliki pengaruh paling tinggi terhadap ketahanan pangan di KTI. Hal ini terlihat dari nilai elastisitasnya yang paling tinggi yaitu sebesar 0,6179 yang artinya setiap kenaikan rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah rumah tangga tahan pangan sebesar 0,6179 persen. Perilaku konsumsi pangan rumah tangga sangat erat dengan wawasan dan cara pandang yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan tentang gizi juga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap besarnya produktivitas dan output dalam mendapatkan mata pencaharian yang layak. Dari sisi ekonomi, tingginya produktivitas kerja dapat meningkatkan pendapatan seseorang. Begitupula dari sisi fisik, pendidikan yang tinggi dapat menciptakan sarana dan prasarana yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pangan mereka. Pendidikan dapat meningkatkan sumber daya manusia menjadi semakin 66 berkualitas sehingga akses terhadap pangan lebih mudah terjangkau baik dari segi daya beli maupun kemudahan sarana prasarana. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pentingnya pendidikan terhadap ketahanan pangan di KTI adalah dengan peningkatan program pendidikan baik formal program wajib belajar 9 tahun maupun non formal Kejar Paket A, B, dan Bimbingan Masyarakat. Peningkatan program pendidikan juga harus disertai dengan peningkatan sarana prasarana pendidikan seperti gedung, buku pelajaran, tenaga pengajar, dan sarana pendukung lainnya.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Pada tahun 2008 sampai dengan 2010, dinamika ketahanan pangan kabupatenkota di Kawasan Timur Indonesia berfluktuasi terutama untuk daerah perkotaan. Tahun 2009, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan merosot tajam dan kembali meningkat pada tahun 2010. Berdasarkan penghitungan derajat ketahanan pangan, didapatkan bahwa pada tahun 2008-2010 sebagian besar rumah tangga di KTI terutama di perdesaan termasuk ke dalam kategori rentan terhadap rawan pangan. 2. Ketahanan pangan dipengaruhi secara signifikan oleh persentase penduduk miskin, PDRB per kapita, persentase perempuan buta huruf dan rata-rata lama sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah sebagai proksi pemanfaatan pangan memiliki nilai elastisitas tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan dalam pemanfaatan pangan memiliki pengaruh terbesar terhadap ketahanan pangan di KTI.

6.2. Implikasi Kebijakan

Pada akhirnya, penelitian ini memberikan beberapa implikasi kebijakan yang diambil berdasarkan hasil pembahasan sebelumnya. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak asasi manusia yang pada pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Tingginya tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan di KTI perlu diwaspadai, sebab terjadi goncangan sedikit saja bisa menyebabkan rumah tangga yang awalnya dikategorikan rentan terhadap rawan pangan berubah menjadi rawan pangan. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, beberapa implikasi kebijakan yang dapat diberikan antara lain: 1. Sosialisasi program diversifikasi pangan terhadap masyarakat harus lebih intensif dilakukan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi terhadap beras di KTI. Salah satu kekuatan utama BULOG adalah penguasaannya dalam 68 logistik yang menguasai hampir seluruh pelosok tanah air. Dengan demikian dirasa sangat perlu bagi BULOG untuk mengembangkan diversifikasi komoditas lokal masing-masing daerah. 2. Dari sisi ekonomi, peningkatan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan perlu upaya peningkatan pendapatan dan daya beli rumah tangga. Dalam hal ini sektor pertanian perlu mendapat dukungan kuat dari sektor lain terutama dalam peningkatan pendapatan penduduk di pedesaan. Terkait dengan itu, pengembangan agroindustri di pedesaan merupakan salah satu strategi yang perlu dikedepankan. 3. Terkait dengan nilai elastisitas rata-rata lama sekolah yang tertinggi dan persentase perempuan buta huruf yang juga cukup tinggi, maka pendidikan hendaknya menjadi prioritas utama dalam meningkatkan ketahanan pangan di KTI. Rata-rata lama sekolah penduduk di KTI baru berkisar sebesar 7,25 tahun, sehingga program Wajib Belajar Wajar 9 tahun perlu mendapatkan menjadi prioritas kebijakan di KTI.

6.3. Saran

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini masih bisa terus dikembangkan lebih lanjut. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini masih terbatas pada variabel-variabel yang merupakan proksi dari tiga pilar utama ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Dalam rangka penyempurnaan model, penelitian selanjutnya dapat menambahkan satu pilar lagi yang sifatnya temporer yaitu pilar stabilisasi pangan. Beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai proksi stabilisasi pangan antara lain curah hujan, inflasi yang didekati dengan deflator PDRB, jumlah bencana alam, dan lain-lain. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan regional di KTI dengan unit analisis kabupatenkota. Ketahanan pangan di tingkat regional belum menjamin terciptanya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu, saran penelitian selanjutnya adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan di KTI dengan unit analisis rumah tangga. Unit sampel rumah tangga Susenas Panel sama pada tahun 2008 69 sampai 2010, sehingga bisa digunakan untuk analisis model data panel rumah tangga 2008-2010. Namun, memang ada beberapa sedikit unit sampel rumah tangga yang tidak sama antara 2008-2010 dikarenakan beberapa alasan seperti suatu rumah tangga tidak diketemukan lagi. Oleh karena itu, unit sampel rumah tangga Susenas 2008-2010 perlu disesuaikandisamakan terlebih dahulu sebelum dianalisis lebih lanjut. Kawasan Timur Indonesia terkenal dengan komoditas lokal seperti sagu dan gaplek. Dalam penelitian ini, kedua komoditas tersebut dianalisis dari sisi konsumsinya. Dengan demikian sebagai saran untuk penelitian selanjutnya, dirasa sangat penting untuk menganalisis lebih lanjut komoditas lokal masing-masing daerah dilihat dari sisi produksinya. Penghitungan derajat ketahanan pangan dalam penelitian ini hanya memperhitungkan tingkat ketercukupan kalori. Sebagai saran selanjutnya dapat memperhitungkan tingkat ketercukupan protein, lemak maupun karbohidrat. 70 Halaman ini sengaja dikosongkan. DAFTAR PUSTAKA Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data, Third Edition. Chichester: John Wiley and Son Ltd. Bello AL. 2006. Ensuring Food Security: A Case for ASEAN Integration. Asian Journal of Agriculture and Development 212: 87-108. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2008: Buku 2 . Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009-2011. Daerah Dalam Angka. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Produk Domestik Regional Bruto KabupatenKota di Indonesia 2006-2010 . Jakarta: BPS. Demeke AB dan Zeller M. 2009. Using Panel Data to Estimate The Effect of Rainfall Shocks on Smallholders Food Security and Vulnerability in Rural Ethiopia. Research in Development Economics and Policy , Discussion Paper No. 2 2009, University of Hohenheim, Germany. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan-BKP Deptan. FAO. 1996. Food Security; Some Macroeconomic Dimensions The State of Food and Agriculture . Rome: FAO. FAO. 2007. What is Food Security? http:www.bb.undp.orguploadsfileppts povertyFAO20-20About20Food20Security20-20070614.pdf [26 April 2012]. Gross R, Schoeneberger H, Pfeifer H, Preuss HJA. 2000. The Four Dimensions of Food and Nutrition Security: Definitions and Concepts . http:www.foodsec.orgDLcourse shortcourseFAenpdfP-01_ RG_Concept.pdf [15 April 2012]. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. Singapore: McGraw-Hill Companies. Hanani N. 2012. Strategi Pencapaian Ketahanan Pangan Keluarga. Agricultural Economics Electronic Journal 11: 1-10. Hariyati Y dan Raharto S. 2012. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Solusinya di ASEAN. Agricultural Economics Electronic Journal 11: 35-44. Harper LJ, Deaton BJ, Driskel JA. 1986. Pangan dan Gizi Second Edition. Penerjemah: Suhardjo. UI Press, Jakarta.