Spesifikasi Model METODE PENELITIAN

44 menempuh jarak yang jauh, dengan adanya Raskin keluarga miskin semakin mudah untuk mendapatkan pangan pokok mereka. Data mengenai besarnya persentase rumah tangga penerima raskin untuk sampel Susenas Panel 2008-2010 masing-masing provinsi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Persentase Rumah Tangga Penerima Raskin di KTI Tahun 2008-2010 Persen Provinsi 2008 2009 2010 Nusa Tenggara Barat 85,59 76,22 81,39 Nusa Tenggara Timur 34,30 46,65 53,16 Kalimantan Barat 39,95 27,92 44,62 Kalimantan Tengah 41,43 28,51 32,67 Kalimantan Selatan 27,12 15,16 23,99 Kalimantan Timur 18,88 20,72 18,62 Sulawesi Utara 35,75 36,32 38,52 Sulawesi Tengah 48,88 29,20 42,15 Sulawesi Selatan 28,61 21,37 29,40 Sulawesi Tenggara 33,64 24,59 53,36 Gorontalo 44,50 32,76 46,98 Sulawesi Barat 44,24 45,23 52,87 Maluku 35,60 50,00 51,73 Maluku Utara 21,05 31,96 37,79 Papua Barat 41,83 48,95 48,74 Papua 32,34 34,11 37,40 Sumber: Susenas Panel 2008-2010 diolah Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga penerima raskin yang paling besar. Padahal Provinsi NTB sendiri termasuk ke dalam daerah surplus beras dan juga sebagai salah satu daerah penyangga stok beras nasional. Jika dilihat dari data tingkat produktivitas padi tahun 2008-2010, Provinsi NTB berada di posisi tertinggi ketiga di KTI setelah Gorontalo dan Sulawesi Selatan dengan rata-rata sebesar 48,7 kuintalhektar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat petani di NTB masih berada pada kondisi miskin.

4.4. Pemanfaatan Pangan

Food Utilization Pemanfaatan pangan meliputi dua hal yaitu pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap zat gizi. Dewan Ketahanan Pangan 2009 menyatakan bahwa pemanfaatan pangan oleh 45 rumah tangga tergantung pada: i fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga; ii pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga lainnya yang sedang sakit atau sudah tua, serta pengetahuan dari ibu dan pengasuh, adatkepercayaan dan tabu; iii distribusi makanan dalam keluarga; dan iv kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk serta kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan. Tabel 9 Persentase Perempuan Buta Huruf di KTI Tahun 2008-2010 Persen Provinsi 2008 2009 2010 Rata-rata Nusa Tenggara Barat 23,37 25,67 26,79 25,28 Nusa Tenggara Timur 15,68 17,90 18,33 17,30 Kalimantan Barat 15,42 18,33 19,23 17,66 Kalimantan Tengah 7,29 8,04 8,50 7,94 Kalimantan Selatan 9,89 9,28 11,00 10,06 Kalimantan Timur 7,83 8,01 8,11 7,98 Sulawesi Utara 3,30 3,82 4,78 3,97 Sulawesi Tengah 9,15 9,82 10,08 9,69 Sulawesi Selatan 16,08 16,94 17,89 16,97 Sulawesi Tenggara 14,27 15,15 14,57 14,66 Gorontalo 7,01 8,06 8,46 7,84 Sulawesi Barat 18,92 19,79 19,77 19,50 Maluku 6,86 7,81 9,80 8,16 Maluku Utara 11,24 10,98 12,29 11,50 Papua Barat 13,88 13,73 18,64 15,42 Papua 29,82 35,96 35,52 33,77 Total KTI 13,92 15,24 16,21 15,12 Sumber: BPS diolah Perempuan yang bisa membaca dan menulis melek huruf terutama ibu dan pengasuh anak menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan karena sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi. Studi di berbagai negara menunjukan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran ibu dapat menjelaskan situasi gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu. Pola perkembangan angka perempuan buta huruf di KTI dari tahun 2008 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 15,12 persen. Persentase perempuan buta huruf tertinggi terdapat di Provinsi Papua dengan rata-rata sebesar 33,77 persen dan yang terendah terdapat di Provinsi 46 Sulawesi Utara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Papua masih rendah yang berdampak pada sumber daya manusia yang rendah pula.

4.5. Pola Konsumsi Rumah Tangga

Pada tahun 2009, konsumsi kalori rumah tangga di hampir semua kelompok makanan mengalami penurunan kecuali kelompok makanan dan minuman jadi. Hasil penelitian Rachman dan Suryani 2010 menyatakan bahwa krisis Pangan Energi Finansial PEF merupakan penyebab terjadinya penurunan konsumsi kalori pada tahun 2009 di Indonesia. Hal ini juga dirasakan secara regional di KTI dimana akibat krisis PEF banyak rumah tangga yang tergolong rentan mengurangi jumlah dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Pada tahun 2007-2008, harga pangan dunia bergejolak akibat krisis finansial yang dialami Amerika Serikat. Harga komoditas padi-padian melonjak hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk komoditas jagung meningkat lebih dari tiga kali lipat yang semula 2,5 menjadi 8 per gantang. Para pakar sepakat bahwa dampak lonjakan harga ini dapat mengakibatkan kelaparan pada masyarakat miskin di negara berkembang. Selain itu, dengan makin berkembangnya jumlah penduduk dunia dan meningkatnya kebutuhan energi, padahal sumber bahan baku energi fosil semakin langka, maka terjadi persaingan dalam pemanfaatan bahan pangan untuk produksi energi nabati. Kondisi lonjakan harga pangan dunia dan persaingan pemanfaatan pangan untuk energi yang dipicu oleh krisis finansial dunia itulah yang dikenal dengan sebutan krisis Pangan Energi Finansial PEF. Apabila dilihat berdasarkan kelompok makanan, konsumsi kalori per kapita KTI untuk kelompok makanan padi-padian merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan kelompok makanan lainnya. Besarnya kontribusi padi- padian terutama beras menunjukkan bahwa sampai saat ini beras masih merupakan pangan pokok yang sangat penting dalam pola konsumsi di KTI dan mengandung asupan energi tinggi yaitu sesuai daftar konversi zat gizi sebesar 3622 kkalkg. 47 Tabel 10 Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kelompok Makanan dan Klasifikasi Desa di KTI Tahun 2008-2010 Kkal Kelompok Makanan 2008 2009 2010 K D K+D K D K+D K D K+D Padi-padian 933,88 1068,28 1029,80 887,14 1038,28 1014,58 894,13 1074,48 1023,62 Umbi-umbian 91,69 231,05 196,14 349,62 147,04 185,30 69,85 224,13 185,12 Ikan 80,53 75,34 76,84 47,06 76,06 71,79 75,12 73,54 74,00 Daging 111,88 123,25 118,94 116,48 115,22 115,33 115,57 123,45 120,41 Telur dan susu 86,57 51,07 63,58 20,57 64,99 60,61 89,79 58,41 69,23 Sayur-sayuran 40,22 50,29 47,48 40,62 44,09 43,50 36,01 44,58 42,16 Kacang-kacangan 62,74 76,26 71,25 73,99 69,39 69,88 59,95 72,47 67,85 Buah-buahan 66,48 77,00 73,90 53,74 65,84 64,16 62,40 68,74 66,87 Minyak dan lemak 237,95 239,19 238,84 154,33 241,23 227,15 228,32 237,56 234,90 Bahan minuman 124,44 132,99 130,49 84,00 128,01 121,42 115,49 125,76 122,72 Bumbu-bumbuan 15,23 13,04 13,65 6,63 14,23 12,95 14,99 13,15 13,68 Konsumsi lainnya 91,08 68,36 75,44 35,65 71,84 67,20 80,46 63,06 68,53 Makanan dan minuman jadi 278,37 161,35 197,51 89,82 220,45 202,29 288,26 172,76 209,07 Keterangan: K = Kota; D = Desa Sumber: Susenas Panel 2008-2009 diolah Berdasarkan tipe daerah tempat tinggal, pada tahun 2008 sampai dengan 2010 terlihat bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk perdesaan lebih besar dibandingkan konsumsi kalori penduduk perkotaan. Hal ini wajar karena aktivitas penduduk di perdesaan pada umumnya membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk di perkotaan. Tahun 2008 dan 2010, kelompok makanan dan minuman jadi memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap total konsumsi kalori di daerah perkotaan. Gambaran ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan dan minuman siap jadi yang meliputi roti, kue, makanan gorengan, air kemasan, dan aneka makanan serta minuman jadi lainnya yang disajikan oleh rumah makan. Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari 96 persen rumah tangga di KTI mengkonsumsi beras. Ketergantungan penduduk terhadap beras sangat besar hingga di wilayah pedalaman. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mengkonsumsi pangan pokok selain beras seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Masyarakat Papua dan Maluku yang dulunya terbiasa dengan makanan pokok berupa sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan mulai tergantikan ke beras. Hal ini jika tidak diantisipasi, akan mengancam ketahanan pangan di Papua dan Maluku. Sebab jika suatu saat stok pangan lokal menipis dan suplai beras mulai tersendat dapat menjadi pemicu kelaparan di daerah pelosok. Oleh karena itu,