Pengaruh Lingkungan Keluarga, Pendidikan, Dan Sosial Terhadap Jiwa Dan Minat Kewirausahaan Mahasiswa

(1)

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Lingkungan Keluarga, Pendidikan, dan Sosial Terhadap Jiwa dan Minat Kewirausahaan Mahasiswa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Moh. Ilham


(4)

(5)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(6)

(7)

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Nama : Moh. Ilham

NIM : I251090071

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Ketua

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu

Keluarga dan Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(9)

(10)

ALHAMDULILLAHIROBBIL ALAMIN....

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat AllahSubhanahu waa Ta ala, pemilik alam semesta dan isinya, karena dengan rahmat dan hidayah dari-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Pengaruh Lingkungan Keluarga, Pendidikan, dan Sosial Terhadap Jiwa dan Minat Kewirausahaan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor . Shalawat serta salam semoga selalu tercurah bagi Rasulullah Muhammad Shallahu alihi waa As-sallam, keluarga, sahabat, tabiin, dan seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, Fakultas Ekologi Manusia.

Tesis ini terwujud atas bantuan dan do a dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Ibu Dr. Euis Sunarti, MS dan Ibu Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS. selaku komisi pembimbing tesis, yang telah mendorong dan memberi semangat, masukan, dan perbaikan selama pembuatan tesis ini. Bapak Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc., selaku dosen penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc. selaku dosen penguji wakil departemen. Terima kasih atas kesempatan, kesediaan dan masukan yang diberikan kepada penulis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Pengelolah Asrama TPB-IPB, Direktorat Tingkat Persiapan Bersama IPB, dan mahasiswa TPB angkatan 47 yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Terima kasih juga ingin penulis ucapkan kepada seluruh dosen Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak dan Seluruh staf dan pegawai Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Keluargaku, istri dan anak-anakku, Mama, Bapak, Ayah dan Ibu Mertuaku atas setiap do a, dorongan, pengorbanan, cinta dan kasih yang selalu dicurahkan tiada henti syukurku karena memiliki kalian. Seluruh keluargaku di IKA 2009, Mba Kenty dan keluarga, Mba Mul dan keluarga, Uni Wiwik dan keluarga, Mba Nia dan keluarga, Mba Dian dan keluarga, serta Mba Puji yang segera berkeluarga, terima kasih teman, telah menjadi bagian terindah dalam hidupku, dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas segalanya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian dan meridhoi apa-apa yang kita lakukan. Aaaamiiin.

Tiada yang sempurna, selain Sang Maha Pencipta, saya hanya manusia yang tak akan pernah sempurna, begitupun dengan karya ini. Selain itu, Penulis berharap karya ilmiah ini bermanfaat untuk seluruh pembaca. Amin dan terima kasih.

Bogor, Februari 2012


(11)

(12)

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Aprill 1983 di Pulau Masalembu, Kab. Sumenep, Jawa Timur. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan H. Moh. Sadik DM. dan Hj. R. Ermaningsih. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di SMUN 1 Sumenep, pada tahun 1998-2001. Pada tahun 2001 pula, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Komunikasi dan pengembangan Masyarakat (KPM). Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, Sekolah Pascasarjana IPB.

Selama kuliah S1, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai ketua komisi keuangan DPM KM IPB periode 2001-2002, ketua humas UKM Komunitas Layar IPB (KLIP) periode 2002-2004, Dirjen Kebijakan Kabupaten Bogor-Departemen Kebijakan Daerah BEM KM IPB (2003-2004), Menteri Sekretaris Kabinet BEM KM IPB periode 2004-2005, Relawan LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI) sejak September 2004-2005, GASISMA (Ikatan Keluarga Mahasiswa Madura), Tarbiyah Club, dan trainer lepas pada beberapa training center (2003-2006). Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan (2003-2004), dan aktif juga sebagai pembawa acara, moderator dan pembicara pada berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi di IPB, luar kampus dan organisasi kemasyarakatan sampai sekarang. Selama menempuh S2, penulis aktif dalam Forum Wacana IPB (2009-2010). Penulis juga mendapatkan beasiswa satu tahun dari Tanoto Foundation pada tahun 2011. Sejak tahun 2008 penulis bekerja di SMP Islam Terpadu Nurul Fajar Bogor.

MOH. ILHAM I251090071


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Dewasa ini masih banyak lulusan perguruan tinggi yang masih berstatus sebagai pencari kerja (job seeker) daripada sebagai pencipta lapangan kerja (job creator). Keadaan ini timbul sebagai salah satu akibat dari sistem pembelajaran sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia lebih menitikberatkan pada penciptaan lulusan yang cepat dan mudah mendapatkan pekerjaan, bukan lulusan yang siap menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri (Napitupulu 2009). Hendarman dalam Siswoyo (2010) menyebutkan semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin rendah kemandirian dan semangat kewirausahaannya.

Data BPS Indonesia (2011) menunjukkan bahwa Jumlah pengangguran mencapai 8.3 juta orang atau 7.14 persen dari total angkatan kerja. 12.78 persen berada pada tingkat pendidikan Diploma dan 11.92 persen pada tingkat pendidikan Sarjana. Secara umum jumlah pengangguran setiap tahun cenderung menurun, namun jumlahnya masih tetap tinggi sehingga masih diperlukan untuk mengembangkan strategi penciptaan lapangan kerja baru melalui pengembangan kewirausahaan di kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa.

Data Dirjen Pemuda dan Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional (2009) dari 75.3 juta pemuda Indonesia, 6.6 persen lulusan sarjana. 82 persen dari jumlah tersebut, bekerja sebagai pegawai pada instansi pemerintah maupun swasta, sementara hanya 18 persen yang berusaha sendiri atau menjadi wirausahawan. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan kesadaran lulusan perguruan tinggi akan pentingnya peranan wirausaha dalam pembangunan masih rendah, sehingga berpengaruh pada rendahnya minat wirausaha mahasiswa (Silalahi, 2005).

Indonesia dengan segala sumber daya alam yang dimiliki, saat ini baru memiliki pengusaha tak lebih dari 0,18 persen dari total penduduknya. Jumlah tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura. Amerika Serikat telah memiliki 11,5 persen pengusaha dari total penduduknya. Singapura memiliki 7,2 persen pengusaha. Secara historis dan konsensus, sebuah negara akan maju apabila memiliki wirausaha minimal 2 persen dari total penduduknya (Alma, 2009). Singapura menjadi negara yang maju, karena prinsip-prinsip entrepreneurship. Pemerintah bersama dunia usaha, yang menyadari akan minimnya sumber daya alam, sangat bergantung


(14)

pada kemampuan berkreasi dan berinovasi masyarakatnya dalam menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Pemerintah juga mendorong lulusan perguruan tinggi menjadi wirausahawan yang kreatif dan membangun usaha kecil menengah yang tangguh. Hasilnya adalah perusahaan IT kelas dunia yang dirintis oleh wirausahawan muda Singapura. Hal yang sama dilakukan juga oleh negara Jepang, Taiwan, dan Korea yang peka terhadap pembentukan entrepreneurs dan menyadari pengaruh entrepreneurship terhadap kemajuan ekonomi bangsa. (Sillalahi, 2005).

Sumahamijaya (1980) menyatakan bahwa dunia wirausaha pada dasarnya merupakan pilihan yang cukup rasional dalam situasi dan kondisi yang tidak mampu diandalkan, serta sulitnya mencari lapangan pekerjaan, namun sampai saat ini dunia wirausaha belum menjadi lapangan pekerjaan yang diminati dan dinanti generasi muda, khususnya para sarjana. Penyebab rendahnya minat wirausaha ini muncul akibat dari keinginan para lulusan untuk menjadi pegawai negeri, sifat malas (tidak mau bekerja), belum siap pakai, sikap mental yang kurang baik, tidak percaya diri, dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut Qomarun (2000) bersumber pada kehidupan yang penuh keragu-raguan,tanpa orientasi tegas, mentalitas yang suka menerabas, tidak percaya pada diri sendiri, tidak berdisiplin, dan mentalitas yang mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.

Penyebab lain yang mengakibatkan rendahnya minat berwirausaha rendah adalah sulitnya mengubah persepsi masyarakat bahwa menjadi wirausaha merupakan pekerjaan yang lebih menguntungkan dan mulia, karena dapat membuka lowongan pekerjaan bagi orang lain. Selain itu, pemerintah juga belum optimal mendukung pemunculan pengusaha baru yang merupakan solusi terbaik untuk menekan pengangguran, kejahatan dan peningkatan perekonomian bangsa (Arbie, 2008).

Sejak tahun 2007, Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional RI bersama perguruan tinggi di Indoensia mulai gencar melakukan berbagai upaya yang berkaitan dengan pengembangan entrepreneurship dalam dunia pendidikan dengan menjadikan program kewirausahaan mahasiswa sebagai prioritas nasional. Hal ini dilakukan sebagai upaya pembenahan sistem pendidikan, agar terjadi keselarasan antara dunia pendidikan dan dunia kerja (Irwandi, 2009). Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia turut berpartisipasi dalam program tersebut. Saat ini IPB menjadikan mata kuliah kewirausahaan menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa tahun pertama atau Tingkat Persiapan Bersama (TPB). IPB memberlakukan technopreneurship atau entrepreneurship berbasis teknologi menjadi arahan program kerja dalam


(15)

pencapaian visi dan misi IPB. Hal ini bertujuan untuk merubah mindset mahasiswa dari job seeker menjadi job creator, serta membekali mahasiswa dengan kemampuan untuk menyusun sebuah rencana/proposal bisnis.

Sutjipto (2002) menyatakan Individu yang mempunyai minat pada suatu kegiatan akan melakukan lebih giat daripada kegiatan yang tidak diminati. Minat kewirausahaan yang tinggi dapat berarti kesadaran wirausaha pada diri individu telah melekat kuat, sehingga individu lebih banyak perhatian dan lebih senang melakukan kegiatan wirausaha. Suryana (2006) mengatakan keinginan seseorang untuk berwirausaha dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: faktor pribadi dan faktor lingkungan. Faktor pribadi meliputi minat berwirausaha dan konsep diri, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan keluarga dan sosial.

Lingkungan keluarga terutama orang tua berperan sebagai pengarah bagi masa depan anaknya, oleh karena itu, orang tua secara tidak langsung dapat mempengaruhi minat pekerjaan anak di masa yang akan datang, termasuk dalam hal berwirausaha. Kondisi orangtua sebagai keadaan yang ada dalam lingkungan keluarga dapat menjadi figur bagi pemilihan karier anak, sekaligus dapat dijadikan sebagai pembimbing untuk menumbuh kembangkan minat terhadap suatu pekerjaan. Alma (2009) menyatakan anak yang berasal dari keluarga dengan orangtua yang bekerja sendiri dan memiliki usaha mandiri cenderung memilih pekerjaan yang yang sama dengan orangtuanya, yaitu berwirausaha.

Beberapa penelitian menunjukkan lingkungan keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat wirausaha antara lain: Ginting (2009) melakukan penelitian pada siswa kelas II sekretaris SMKN 1 Kabanjahe Tahun Pembelajaran 2008/2009; Nadeak (2008) melakukan penelitian pada siswa Kelas XI Jurusan Tata Busana SMK Pembangunan Daerah Lubuk Pakam Tahun Ajaran 2007/2008; Sumarni (2005) dengan subjek siswa kelas 3 SMK Negeri 2 Semarang Tahun Ajaran 2005/2006 dan Tobing (2010) yang meneliti mahasiswa Politeknik Negeri Medan Jurusan Akuntansi Program Studi Perbankan dan Keuangan. Penelitian lain tentang keluarga dan minat kewirausahaan pada mahasiswa juga dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Wijatmiko (2004), Meinitha (2006), Nurrohmah (2005), Indarti et al. (2008), Setiyorini (2009), Khusnuriyah (2006), Morello et al. (2003); Harpowo et al. (2009), dan Basu et al. (2009). Wijatmiko (2004) dan Meinitha (2006) menemukan bahwa pola asuh demokrasi/autorian berpengaruh positif terhadap minat wirausaha. Peneliti lain menghubungkan minat wirausaha dengan suku bangsa (Wibisono 2006), pekerjaan orangtua (Morello et al. 2003; Harpowo et al. 2009), pekerjaan ayah, pengalaman berwirausaha (Basu et al. 2009), dan pendidikan kewirausahaan


(16)

(Harpowo et al. 2009). Penelitian tesebut menunjukkan bahwa lingkungan keluarga berperan penting dalam menumbuhkan minat wirausaha pada individu.

Lingkungan sosial menurut Suryana (2006) berpengaruh terhadap pengembangan minat wirausaha mahasiswa. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008), lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya, memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian individu. Lingkungan sosial dapat berupa nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau budaya tertentu, juga dapat berupa pengaruh dari kondisi ekonomi, politik, dan sosial. Role model yang berada pada lingkungan sosial dapat mempengaruhi minat wirausaha seseorang. Role model dapat berupa teman, sahabat, pasangan dan atau pengusaha sukses yang diidolakan, selain orangtua, saudara, dan atau keluarga lain, seperti kakek, nenek, paman, bibi, anak, dan lain-lain (Alma, 2009). Dorongan teman memberi pengaruh signifikan terhadap pembukaan usaha baru, disebabkan oleh aspek kedekatan dan keterbukaan. Teman dapat menjadi teman diskusi, pemberi dorongan dan pengertian, bahkan bantuan (Alma, 2009).

Faktor lain yang juga memiliki andil dalam mempengaruhi atau mendukung minat kewirausahaan adalah lingkungan pendidikan, baik saat SMA maupun perguruan tinggi dalam hal ini IPB, yaitu dengan membekali pengetahuan tentang kewirausahaan kepada mahasiswa melalui pengajaran kewirausahaan. Mahasiswa diajak dan diarahkan, agar mereka mampu membuka wawasan tentang pentingnya kewirausahaan, karena dapat dijadikan potensi mencapai kehidupan yang baik disaat sulit mencari pekerjaan seperti yang telah dinyatakan Sumahamijaya (1980).

Proses pendidikan yang tidak membentuk konsep diri individu, tidak akan berpengaruh terhadap pengembangan minat kewirausahaan. Hal ini dinyatakan oleh Sumarni (2005) bahwa pada umumnya mahasiswa yang dibekali dengan mata kuliah kewirausahaan dan memperoleh nilai baik tidak mempengaruhi minat mahasiswa untuk berwirausaha. Menurutnya, minat untuk menjadi seorang wirausaha harus didukung dengan konsep diri, dimana mahasiswa harus mengetahui dan mengenali dirinya dan juga dukungan dari lingkungan keluarga. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperlukan sebuah kajian tentang minat wirausaha mahasiswa yang dikaitkan dengan lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan sosialnya dengan harapan dapat dikembangkan program dan kurikulum yang sesuai untuk melahirkan banyak wirausaha dari kampus.


(17)

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan, maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

1 . Bagaimanakah karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011?

2 . Adakah perbedaan karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011 berdasarkan jenis kelamin?

3 . Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial dengan jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011?

4 . Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah antara lain untuk:

1 . Mengkaji karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011.

2 . Menganalisa perbedaaan karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011 berdasarkan jenis kelamin.

3 . Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial dengan jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011.


(18)

4 . Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak berikut:

1 . Sebagai masukan bagi perguruan tinggi agar dapat membuat kebijakan dan kurikulum yang mendorong dan meningkatkan minat kewirausahaan bagi para mahasiswa, sehingga para mahasiswa dapat menjadi pencipta lapangan pekerjaan setelah lulus perguruan tinggi.

2 . Sebagai masukan bagi pemerintah daerah, terutama dinas pendidikan dalam membuat kebijakan dan program yang tepat untuk meningkatkan minat berwirausaha para lulusan perguruan tinggi, sehingga dapat membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi angka pengangguran di masyarakat, menggerakkan perekonomian dan lain-lain.

3 . Sebagai masukan bagi para mahasiswa, sehingga mahasiswa bisa tertarik menjadi wirausaha dan dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum terjun menjadi wirausaha.

4 . Sebagai kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dalam penelitian di bidang kewirausahaan, keluarga, dan pengembangan karier.

5 . Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya dalam melakukan penelitian yang sama di masa mendatang.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Jiwa dan Minat Kewirausahaan

Definisi Kewirausahan. Kewirausahaan atau entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis "entreprende" yang artinya to undertake yakni menjalankan, melakukan dan berusaha. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Richard Cantillon dan semakin popular ketika dipakai oleh ahli ekonomi Jean Baptise Say dalam Riyanti (2003) untuk menggambarkan para pengusaha yang mampu memindahkan sumber-sumber daya ekonomi dari tingkat produktivitas rendah ke tingkat produktivitas yang lebih tinggi dan menghasilkan lebih banyak lagi atau lebih produktif. Dalam Bahasa Indonesia kata entrepreneur diartikan sebagai wirausaha yang merupakan gabungan dari dua kata yakni kata wira yang artinya gagah berani, perkasa dan usaha. Jadi wirausaha berarti orang yang gagah berani atau perkasa dalam usaha.

Banyak ahli yang mendefinisikan tentang kewirausahaan dan wirausaha, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Hisrich dan Peters dalam Tunggal (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah proses membuat sesuatu yang baru dengan mempertimbangkan resiko dan balas jasa. Drucker dalam Suryana (2006) menyatakan kewirausahaan adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Prawirokusumo dalam Suryana (2006) menyatakan wirausaha adalah mereka yang melakukan usaha-usaha kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang dan perbaikan hidup. Zimmerer dan Scarborough dalam Tunggal (2008) menyatakan wirausaha sebagai orang yang melakukan reformasi atau merevolusioner pola produksi dengan menggunakan penemuan atau teknologi yang belum dicoba untuk memproduksi komoditas baru atau memproduksi produk lama dengan cara baru. Drucker dalam Tunggal (2008) menyatakan wirausaha sebagai orang yang memindahkan sumber-sumber ekonomi yang produktivitasnya rendah menjadi sumber-sumber ekonomi berproduktivitas tinggi.

Meng dan Liang dalam Riyanti (2003) merangkum pendapat pandangan berbagai ahli dan mendefinisikan wirausaha sebagai: seorang inovator (Shumpeter), seorang pengambil resiko atau a risk taker (Yee), orang yang mempunyai misi dan visi (Silver), hasil dari pengalaman masa kanak-kanak (Kets De Vries), orang yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi (Mc Clelland & Brockhaus), orang yang memiliki locus internal of control (Rotter).


(20)

Jiwa dan Karakteristik Wirausaha. Jiwa wirausaha yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sifat dan karakter wirausaha yang telah tertanam dalam diri individu sebagai akibat dari proses belajar individu seumur hidupnya. Sifat-sifat wirausaha tersebut antara lain: (1) Percaya diri: sifat yakin, mandiri, individualitas,optimisme, dan dinamis; (2) Originalitas: sifat inovatif, kreatif, mampu mengatasi masalah baru, inisiatif, mampu mengerjakan banyak hal dengan baik, dan memiliki banyak sumber pengetahuan; (3) Berorientasi tugas dan hasil kerja: sifat ingin berprestasi, berorientasi keuntungan, teguh, tekun, determinasi, kerja keras, penuh semangat dan penuh energi; (4) Berorientasi masa depan: sifat pandangan ke depan, dan ketajaman persepsi; (5) Berani ambil resiko: sifat mampu ambil resiko, suka tantangan; (6) Berorientasi manusia (kepemimpinan): sifat suka bergaul, fleksibel, responsif terhadap saran/kritik (Marbun dalam Alma, 2009; Kemendiknas, 2010).

Zimmerer dan Scarborough (2004) mengemukakan delapan karakteristik kepribadian dari seorang wirausaha sukses yakni: (1) Desire for responsibility yakni memiliki rasa tanggung jawab atas usaha-usaha yang dilakukannya; (2) Preference for moderate risk yakni memilih resiko yang moderat dan telah diperhitungkan dan tidak mengambil resiko yang terlalu rendah atau terlalu tinggi; (3) Confidence in their ability to succees yakni percaya bahwa dirinya bisa meraih kesuksesan yang diinginkannya; (4) Desire for immediate feedback yakni memiliki keinginan untuk segera mendapatkan umpan balik; (5) High level of energy yakni memiliki semangat dan energi yang tinggi untuk bekerja keras mencapai tujuannya; (6) Future orientation yakni berorientasi pada masa depan dan jangka panjang; (7) Skill of organizing yakni mempunyai ketrampilan mengorganisir sumber-sumber daya untuk mencapai tujuannya; (8) Value of achievement over money yakni lebih menghargai prestasi dibandingkan uang, karena uang akan mengalir masuk dengan sendirinya jika seorang wirausaha mempunyai prestasi yang bagus.

Harris dalam Suryana (2006) menyatakan bahwa wirausaha yang sukses pada umumnya adalah mereka yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai-nilai pribadi serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Penelitian oleh Mazzarol et al. dalam Saud et al. (2009) yang meneliti 93 responden wirausaha di Australia Barat, menemukan bahwa faktor kepribadian (sikap pribadi dan latar belakang responden) mempengaruhi dorongan untuk mendirikan usaha.


(21)

Menururt Bygrave dalam Suryana (2006) wirausaha adalah orang yang memperoleh peluang dan menciptakan suatu organisasi untuk mengejar peluang itu. Pendapat Meredith dalam Suryana (2006) mengemukakan wirausaha sebagai suatu kemampuan untuk melihat dan menilai peluang-peluang bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna menghasilkan keuntungan dari peluang tersebut. Tropman dan Morningstar dalam Nirbito (2000) mengemukakan wirausaha adalah kombinasi dari pemikir dan pelaksana yang melihat peluang untuk produk dan jasa baru, suatu pendekatan baru, suatu kebijakan baru, atau cara baru untuk memecahkan masalah-masalah sekaligus berbuat sesuatu dengan apa yang dilihatnya hingga memberikan suatu hasil keuntungan.

Faisol (2002) menyatakan pola/cara berpikir, bertingkang laku, dan berbuat seorang wirausaha dalam kehidupan sehari-hari dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Berani mengambil resiko. Wirausaha adalah orang yang berani mengambil resiko wajar yang sudah diperhitungkan, optimis akan berhasil, namun bukan pasti berhasil atau gagal. (2) Kreatif dan inovatif. Seorang wirausaha senang memikirkan dan menciptakan hal–hal baru dan lebih menyukai kegiatan yang memungkinkan berkembangnya ide/gagasan dan daya ciptanya. (3) Mempunyai visi. Seorang wirausaha mampu membuat gambaran tentang masa depan yang ingin diraih. (4) Mempunyai tujuan yang berkelanjutan. Seorang wirausaha sukses mampu merumuskan tujuan yang jelas, menantang, namun realistis, serta selalu melakukan evaluasi dan penyesuaian–penyesuaian terhadap tujuan yang telah dirumuskan, guna memastikan tujuan tersebut konsisten dengan visi pribadi dan perusahaan yang berkembang. (5) Percaya diri. Wirausaha sukses memiliki rasa percaya diri yang kuat, dan optimis (percaya dan yakin) bahwa apa yang dilakukan akan berhasil sesuai dengan harapannya, walaupun banyak orang meragukan. (6) Mandiri. Seorang wirausaha adalah orang yang mandiri, tidak mau hidupnya tergantung pada orang lain, dan mempunyai keinginan menjadi pemimpin minimal untuk dirinya sendiri, terbebas dari perintah atau kontrol orang lain. (7) Aktif, Energik dan Menghargai waktu. Seorang wirausaha akan puas kalau dapat menggunakan waktu sebaik–baiknya, dan bekerja kalau perlu sampai 24 jam sehari dalam rangka mencapai prestasi usahanya. (8) Memiliki konsep diri positif. Wirausaha sejati adalah orang yang terbuka terhadap kritik, karena kritik sangat berguna bagi diri ataupun usahanya, dan tidak bangga terhadap pujian. (9) Berpikir positif. Berpikir positif merupakan bagian dari sikap hidup sehari–hari seorang wirausaha berhasil. (10) Bertanggung jawab secara pribadi. Seorang wirausaha akan konsisten bertanggung jawab ketika keputusan–keputusan yang telah diambilnya ternyata kurang/tidak tepat


(22)

sekali. (11) Selalu belajar dan menggunakan umpan balik. Seorang wirausah senang mempelajari apa yang menyebabkan dirinya berhasil atau gagal dari waktu ke waktu dan hasilnya dapat dipergunakan untuk lebih menyempurnakan usaha selanjutnya.

Minat Kewirausahaan. Menurut Winkel (1989) minat adalah kecenderungan yang agak menetap dalam subyek untuk merasa tertarik pada bidang/hal tertentu atau merasa senang berkecimpung dalam bidang itu. Menurut Loekmono (1994) minat diartikan kecenderungan untuk merasa tertarik atau terdorong untuk memperhatikan seseorang, sesuatu barang atau kegiatan dalam bidang-bidang tertentu. Minat salah satu hal ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam segala bidang, baik studi, kerja dan kegiatan-kegiatan lain. Minat pada suatu bidang tertentu akan memunculkan perhatian terhadap bidang tertentu.

Minat merupakan perangkat mental yang terdiri dari campuran dari perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut, kecenderungan lain yang mengarahkan individu pada suatu pilihan tertentu (Mapiare,1982). Tarmudji (2006) menyatakan minat adalah perasaan tertarik atau berkaitan pada sesuatu hal atau aktivitas tanpa ada yang meminta/menyuruh. Lebih lanjut Tarmudji (2006) menyatakan minat seseorang dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan seorang lebih tertarik pada suatu obyek lain dan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Super dan Crites dalam Sukardi (1988) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai minat pada obyek tertentu dapat diketahui dari pengungkapan/ucapan, tindakan/perbuatan dan dengan menjawab sejumlah pertanyaan.

Hurlock (1991) menjelaskan minat adalah sumber motivasi yang mendorong individu untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya. Ketika individu menilai sesuatu akan bermanfaat, maka akan terbentuk minat, kemudian mendatangkan kepuasan. Ketika kepuasan menurun, maka minatnya juga akan menurun sehingga minat tidak bersifat permanen, tetapi bersifat sementara atau dapat berubah-ubah. Kartono dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa minat merupakan momen kecenderungan yang terarah secara intensif kepada sesuatu objek yang dianggap penting. Fryer dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa minat adalah gejala psikis yang berkaitan dengan objek atau aktivitas yang menstimulir perasaan senang pada individu. Crow & Crow dalam Yuwono et al. (2008) menyebutkan ada tiga aspek minat pada diri seseorang, yaitu: (a) dorongan dari dalam untuk memenuhi kebutuhan diri sebagai sumber penggerak untuk melakukan sesuatu; (b) kebutuhan untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang akan menentukan posisi individu dalam lingkungannya; (c) Perasaan individu terhadap suatu pekerjaan yang dilakukannya.


(23)

Yuwono (2008) menyatakan minat kewirausahaan adalah rasa ketertarikan seseorang untuk melakukan kegiatan usaha yang mandiri dengan keberanian mengambil resiko. Steinhoff dan Burgess dalam Suryana (2006) menyatakan bahwa ada tujuh alasan mengapa seseorang berminat terhadap kegiatan kewirausahaan, yaitu ingin memiliki penghasilan yang tinggi, karier yang memuaskan, bisa mengarahkan diri sendiri/tidak diatur oleh orang lain, meningkatkan prestise diri sebagai pemilik bisnis, menjalankan ide atau konsep yang dimiliki secara bebas, kesejahteraan hidup dalam jangka panjang, dan ingin menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Minat berkaitan erat dengan perhatian, oleh karena itu, minat merupakan sesuatu hal yang sangat menetukan dalam setiap usaha, maka minat perlu ditumbuh kembangkan pada diri setiap mahasiswa. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sebagaimana yang dikutip dalam Ristanti (2002) yaitu:

1) Kebutuhan Pendapatan. Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh seseorang baik berupa uang maupun barang. Berwirausaha dapat memberikan pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi hidupnya. Keinginan untuk memperoleh pendapatan itulah yang akan menimbulkan minat seseorang untuk berwirausaha.

2) Harga Diri. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling mulia, karena dikaruniai akal, pikiran dan perasaan. Hal ini menyebabkan manusia merasa butuh dihargai dan dihormati orang lain. Berwirausaha dalam suatu bidang usaha dapat digunakan untuk meningkatkan harga diri seseorang karena dengan usaha tersebut seseorang akan memperoleh popularitas, menjaga gengsi, dan menghindari ketergantungan terhadap orang lain. Keinginan untuk meningkatkan harga diri tersebut akan menimbulkan seseorang berminat untuk berwirausaha.

3) Perasaan Senang. Perasaan adalah suatu keadaan hati atau peristiwa kejiwaan seseorang, baik perasaan senang atau tidak senang (Ahmadi,1992). Perasaan erat hubungannya dengan pribadi seseorang, maka tangggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu hal yang sama tidaklah sama antara orang yang satu dengan yang lain. Rasa senang berwirausaha akan diwujudkan dengan perhatian, kemauan, dan kepuasan dalam bidang wirausaha. Hal ini berarti rasa senang terhadap bidang wirausaha akan menimbulkan minat berwirausaha.


(24)

4) Peluang. Peluang merupakan kesempatan yang dimiliki seseorang untuk melakukan apa yang diinginkan atau menjadi harapannya. Suatu daerah yang memberikan peluang usaha akan menimbulkan minat seseorang untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Masrun dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi belum mampu berwirausaha. Mahasiswa cenderung berpikir bagaimana caranya mereka bisa diterima bekerja sesuai dengan gelar kesarjanaannya dan dengan gaji yang sesuai ketika menyelesaikan kuliahnya. Mereka berpendapat lebih baik menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya. Lebih lanjut Masrun menyatakan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi justru kurang berminat menjadi wirausaha, tercatat hanya 10 persen yang berminat menjadi wirausaha. Mereka yang pendidikannya rendah justru 49 persen yang berminat menjadi wirausaha.

Dalam Enterpreneur's Handbook seperti yang dikutip oleh Wirasasmita dalam Suryana (2006) dikemukakan empat alasan utama yang menumbuhkan minat seseorang menjadi wirausaha: pertama, alasan keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, menjadi kaya, mencari pendapatan tambahan dan sebagai jaminan stabilitas keuangan; kedua, alasan sosial, yaitu untuk memperoleh gengsi/status agar dikenal dan dihormati banyak orang, menjadi teladan untuk ditiru orang lain dan agar dapat bertemu banyak orang; ketiga, alasan pelayanan, yaitu agar bisa membuka lapangan pekerjaan dan membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, dan keempat adalah alasan pemenuhan diri, yaitu untuk bisa menjadi seorang atasan, mencapai sesuatu yang diinginkan, menghindari ketergantungan kepada orang lain, menjadi lebih produktif dan menggunakan potensi pribadi secara maksimum.

Mudjiarto et al. (2005) menyatakan bahwa umumnya orang berminat membuka usaha sendiri karena beberapa alasan berikut ini: mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan, memenuhi minat dan keinginan pribadi, membuka diri untuk berkesempatan menjadi bos bagi diri sendiri, adanya kebebasan dalam manajemen. Megginson dan Byrd dalam Yohnson (2003) menyatakan alasan seseorang memulai kewirausahaan kecil adalah memuaskan tujuan pribadi (kemandirian dalam hidup, menerima pendapatan yang lebih besar, membantu keluarga, menemukan produk baru); mencapai tujuan bisnis (melayani kebutuhan masyarakat baik produk maupun jasa, mendapatkan keuntungan, peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat, mendapatkan pertumbuhan, tujuan bisnis dihubungkan dengan tujuan pribadi.


(25)

Zimmerer dan Scarborough (2004) menyatakan ada delapan faktor yang menjadi pendorong pertumbuhan minat kewirausahaan, yakni: (1) Pendapat bahwa wirausaha adalah seorang pahlawan; (2) Pendidikan kewirausahaan. (3) Faktor ekonomi dan kependudukan. (4) Pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa. (5) Kemajuan teknologi. (6) Gaya hidup bebas. (7) E-Commerce dan The World Wide Web. (8) Terbukanya peluang bisnis internasional. Hisrich et al. (2008) menyatakan pendidikan sangatlah penting dalam perjalanan wirausaha. Pentingnya pendidikan tidak hanya tercermin dalam tingkat pendidikan yang dicapai, tetapi juga dalam kenyataan bahwa pendidikan memainkan peranan penting untuk membantu para wirausaha mengatasi masalahmasalah yang mereka hadapi. Studi di India oleh Sinha diacu oleh Indarti (2008) membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting minat kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan. Situmorang (2007) menyatakan tujuan dari pendidikan kewirausahaan adalah mengembangkan masyarakat berkewirausahaan (entreprising people) dan menanamkan sikap percaya pada diri sendiri melalui proses belajar yang sesuai. Pendidikan kewirausahaan dan program pendidikan dan pelatihan kewirausahaan bertujuan untuk mendirikan usaha kecil yang independen.

Jones dan English (2009) lebih menekankan bahwa pendidikan kewirausahaan adalah proses menyiapkan individu dengan kemampuan untuk mengenali kesempatan komersial, meningkatkan penghargaan diri, pengetahuan dan ketrampilan untuk bertindak terhadap kesempatan komersial tersebut. Kourilsky diacu oleh Jones dan English (2009) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai kesempatan untuk mengenali, menyusun sumber-sumber daya dengan kehadiran resiko, dan membangun sebuah perusahaan bisnis. Bechard and Toulouse diacu oleh Jones dan English (2009) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai kumpulan dari pengajaran formal yang memberikan informasi, melatih dan mendidik siapapun yang tertarik untuk mendirikan bisnis atau mengembangkan bisnis kecil. Pendidikan kewirausahaan dapat memberikan kesempatan untuk melakukan simulasi kegiatan bisnis dan mengamati model peran. Pengalaman ini akan mempengaruhi keputusan mahasiswa untuk memilih karir sebagai wirausaha.

Charney et. al. (2000) pada penelitiannya terhadap lulusan Universitas Arizona tahun 1985-1999 dengan membandingkan para lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan dengan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan menyimpulkan beberapa hal penting berikut ini:


(26)

1) Pendidikan kewirausahaan terbukti meningkatkan minat pendirian perusahaan baru. Lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan tiga kali lebih banyak yang mendirikan perusahaan baru dibandingkan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan.

2) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan minat para lulusan tiga kali lebih besar untuk menjadi pekerja mandiri (self-employed) dibandingkan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan.

3) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan pendapatan para lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan sebanyak 27 persen lebih tinggi.

4) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan pertumbuhan perusahaan terutama pada perusahaan kecil, pada perusahaan besar pengaruh pendidikan kewirausahaan lebih sulit diukur. Tetapi perusahaan besar memberikan gaji yang lebih besar kepada para lulusan yang memiliki pendidikan kewirausahaan. Perusahaan yang didirikan para lulusan yang memiliki pendidikan kewirausahaan juga lebih besar.

5) Pendidikan kewirausahaan mempromosikan perpindahan teknologi dari universitas kepada sektor swasta dan mempromosikan perusahaan dan produk berbasis teknologi. Para lulusan dengan pendidikan kewirausahaan lebih cenderung bekerja para perusahaan dengan teknologi yang lebih tinggi.

Bandura, Hollenbeck dan Hall, Wilson et al. diacu oleh Basu et al. (2009) menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan dapat meningkatkan tingkat efikasi diri seseorang. Noel diacu oleh Basu et al. (2009) menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan minat kewirausahaan terutama untuk mahasiswi. Wilson et al. diacu oleh Basu et al. (2009) menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan meningkatkan minat mahasiswa terhadap kewirausahan sebagai karier.

Pengalaman kerja menyatakan jenis dan jumlah pekerjaan, lamanya bekerja di sebuah atau beberapa bidang yang dialami seseorang di dalam karirnya. Setiap orang mempunyai pengalaman kerja yang berbeda-beda yang mempengaruhi kehidupan dan karirnya ke depan. Evan dan Leighton diacuh oleh Colambato dan Melnik (2009) menyatakan pengalaman kerja biasanya pada industri yang sama merupakan prasyarat alami untuk menjadi seorang wirausaha. Colambato dan Melnik (2009) pada penelitiannya terhadap para pengusaha di Italia menemukan bahwa dibutuhkan pengalaman kerja rata-rata selama 8 tahun sebagai pekerja sebelum seseorang memutuskan menjadi seorang wirausaha. Drennan diacu oleh Basu et al. (2009) menyatakan bahwa pandangan yang positip terhadap pengalaman


(27)

bisnis keluarga dan pengalaman langsung memulai bisnis baru akan mempengaruhi sikap dan persepsi tentang kewirausahaan sebagai karier.

Din (1992) dalam penelitiannya pada populasi mahasiswa sekolah bisnis di Malaysia menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja tetap lebih memiliki kecenderungan melakukan kegiatan kewirausahaan yang lebih besar dibandingkan mereka yang pengalaman kerjanya lebih sedikit, hal ini berlaku untuk pengalaman kerja di perusahaan bisnis yang besar dan tidak berlaku untuk pengalaman kerja di sektor publik. Peterman dan Kennedy dalam Frazier (2009) menemukan bahwa pengalaman yang positif dalam kegiatan kewirausahaan pada bisnis kecil mempunyai pengaruh terhadap minat kewirausahaan. Penelitian Reitan dalam Frazier (2009) menemukan bahwa pengalaman kerja pada bisnis keluarga mempunyai pengaruh positif pada minat kewirausahaan.

Penelitian Rotefoss dan Kolvereid dalam Kautonen et al. (2008) menunjukkan bahwa pengalaman kewirausahaan sebelumnya yang positif mempengaruhi kemungkinan mendirikan bisnis dan ada perbedaan antara wirausaha yang baru pertama kali berbisnis (novice entrepreneurs) dengan wirausaha yang sudah memiliki bisnis sebelumnya (serial entrepreneurs). Menurut Ucbasaran et al. dalam Kautonen et al. (2008) serial entrepreneurs menikmati pengalaman dan manfaat kewirausahaan dibandingan novice entrepreneurs karena serial entrepreneurs memiliki kesempatan untuk mendapatkan sumber-sumber daya dan belajar dari karir wirausaha sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Indarti et al. (2008) membuktikan bahwa mahasiswa Norwegia yang memiliki pengalaman kerja memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak, akan tetapi pendapat ini tidak berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan Jepang.

Lingkungan Keluarga

Definisi dan Fungsi Keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Interaksi sosial yang dibangun berdasarkan simpati, tempat pertama anak belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang mempunyai norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain (Alex Sobur 2003). Keluarga merupakan tempat aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung, sehingga keluarga menjadi institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia (Sunarti 2008).


(28)

tingkat hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi dan hubungan darah (Rice & Tucker 1986). Menurut Burges dan Locke dalam Puspitawati (2009), ada 4 ciri keluarga yaitu: (a) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orang tua dan anak) atau adopsi; (b) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga; (c) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial; (d) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum.

Menurut Mattessich dan Hill dalam Zeitlin (1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal, yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, serta melakukan tugas-tugas keluarga. Definisi lain menurut Settels dalam Sussman & Steinmetz (1987), keluarga diartikan sebagai suatu abstraksi ideologi yang memiliki citra romantis, suatu proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan peristirahatan/ tujuan akhir.

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992).

Menurut United Nation (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak, pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa. Rice dan Tucker (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga juga meliputi fungsi ekspresif, yaitu memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan fungsi instrumental yaitu manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan serta pengembangan anggota keluarga.


(29)

faktor yang dapat mempengaruhi minat seseorang untuk berwirausaha. Moos & Moos (2002) membagi lingkungan keluarga dalam 3 dimensi utama, yaitu dimensi relasi (relationship), perkembangan individu (personal growth), sistem pemeliharaan (system maintenance). Dimensi relasi (relationship) terdiri dari 3 sub komponen yaitu: Kohesi (Cohesion) yang berarti kewajiban, bantuan dan dukungan diantara anggota keluarga; Ekspresi (expressiveness) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung; dan Konflik (conflict) berhubungan dengan tingkat ekspresi perasaan tidak suka, kemarahan dan ketidaksetujuannya anggota keluarga secara terbuka.

Dimensi perkembangan individu (personal growth) berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan individu yang terdiri dari 5 sub komponen yaitu: Kebebasan (independence) berarti tingkat keinginan, harapan dan kemampuan anggota keluarga untuk membuat keputusan sendiri; Orientasi berprestasi (achievement orientation) yang berhubungan dengan aktivitas dalam keluarga yang mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi; Orientasi budaya-intelek (intelectual-cultural orientation) yang berhubungan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan, budaya dan intelektual; Orientasi aktif rekreasi (active-recreation orientation) yang berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi; dan Orientasi moral-agama (moral-religion orientation) yang berhubungan dengan nilai, moral dan agama dalam keluarga. Dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dalam keluarga yang terdiri dari: Organisasi (organization): tingkat perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga, dan kontrol (control): seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam keluarga (Moos & Moss 2002).

Slameto (2003) membagi lingkungan keluarga menjadi 6 faktor, yaitu: cara orangtua mendidik anak (pengasuhan), relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pemahaman orang tua, latar belakang kebudayaan. Cara orangtua mendidik anak. Cara orangtua mendidik anak berpengaruh besar terhadap cara belajar dan berpikir anak. Ada orang tua yang mendidik secara diktator militer (otoriter), ada yang demokratis, dan ada yang acuh tak acuh (permisif) dengan pendapat setiap keluarga. Brooks (2001) menyatakan bahwa orang tua yang permisif akan menghasilkan anak yang memiliki regulasi emosi yang rendah, pemberontak, menunjukkan tingkah laku yang anti-sosial dan memiliki ketahanan yang rendah dalam menghadapi hal-hal yang menantang, sementara itu orang tua yang otoritatif akan menghasilkan anak bahagia, memiliki


(30)

rasa percaya diri, memiliki regulasi emosi dan kemampuan sosial yang baik. Penelitian Sephana (2010) tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecenderungan Jiwa Wirausaha Mahasiswa ITS dengan Menggunakan Model Persamaan Struktural memperoleh kesimpulan bahwa pola asuh demokrasi berpengaruh secara signifikan sebesar 0,49 terhadap jiwa wirausaha, sedangkan pola asuh permisif dan pola asuh otoriter keduanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jiwa wirausaha dengan nilai estimasi parameter masing-masing sebesar 0,02 dan 0,09.

Relasi antar anggota keluarga. Menurut Slameto (2003) relasi antar anggota keluarga merupakan salah satu cara menggambarkan lingkungan keluarga, namun relasi antar anggota keluarga yang terpenting adalah relasi antara orang tua dan anak-anaknya. Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu adanya relasi yang baik di dalam keluarga. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan untuk mensukseskan belajar anak.

Suasana rumah. Suasana rumah dimaksudkan oleh Slameto (2003) adalah situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga, dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah merupakan faktor yang penting dan tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan kacau-berantakan tidak akan memberi ketenangan pada anak yang belajar. Suasana rumah yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok pertengkaran antar anggota keluarga atau dengan keluarga lain menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah dan akibatnya belajar kacau, sehingga untuk memikirkan masa depannya tidaklah terkonsentrasi dengan baik.

Kondisi ekonomi keluarga. Pada keluarga yang kondisi ekonominya relatif kurang, kemampuan memenuhi kebutuhan pokok anak menjadi relatif lebih sulit, sehingga menyebabkan anak menjadi patah semangat untuk mengejar prestasi, namun pada beberapa keluarga, faktor kesulitan ekonomi justru menjadi motivator atau pendorong anak untuk lebih berhasil. Adapun pada keluarga yang ekonominya berlebihan, orang tua cenderung mampu memenuhi segala kebutuhan anak, termasuk kemampuan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi. Kadangkala kondisi serba berkecukupan tersebut membuat orang tua kurang perhatian pada anak, karena sudah merasa memenuhi semua kebutuhan anaknya, akibatnya anak menjadi malas belajar dan prestasi yang diperoleh tidak akan baik.


(31)

orang tua. Orang tua wajib memberi pengertian, mendorong, dan membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak, baik di sekolah maupun masyarakat. Hal ini penting untuk tetap menumbuhkan rasa percaya dirinya.

Latar Belakang Kebudayaan. Tingkat pend

.idikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam kehidupannya. Anak perlu di tanamkan kebiasaan-kebiasan dan contoh yang baik, agar mendorong anak untuk menjadi semangat dalam meniti karier dan masa depan. Hal ini dijelaskan oleh Soemanto dalam Supartono (2004) mengatakan bahwa cara oreng tua dalam meraih suatu keberhasilan dalam pekerjaanya merupakan modal yang baik untuk melatih minat, kecakapan dan kemampuan nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan pekerjaan yang diinginkan anak.

Penelitian berdasarkan perbedaan gender dalam perkembangan kemandirian terdapat beberapa inkonsistensi. Douvan dan Adelson (1966), Coleman (1961) menemukan bahwa laki-laki lebih pesat dalam hal kemandirian tingkah laku dibanding perempuan, namun di sisi lain Steinberg dan Silverberg (1986) menemukan bahwa kemandirian emosi selama masa remaja awal lebih terlihat pada perempuan (Tung dan Dhillon, 2006).

Menurut penelitian Tung dan Dhillon (2006) dilaporkan bahwa perempuan memiliki lingkungan keluarga yang lebih kohesif dan lebih religius dibanding laki-laki. Persepsi perempuan terhadap lingkungan keluarga lebih kohesif, ekspresif, mendukung pengambilan keputusan, lebih berorientasi pada kegiatan intelektual, budaya dan rekreasi. Remaja putri lebih dekat dan lebih lekat pada orang tua terutama pada ibu, sementara remaja putra lebih banyak terlibat konflik dengan orang tuanya (Douvan & Adelson, 1966). Remaja putra lebih merasa bebas dari pengawasan orang tua dan menganggap bahwa lingkungan keluarga mengekangnya dan tidak memberi mereka kebebasan (Tung dan Dhillon, 2006).

Keluarga sangat tergantung dari lingkungan di sekitarnya, begitu pula sebaliknya. Beberapa peneliti memberikan contoh-contoh hubungan antara keluarga dan lingkungan. Khairuddin (1985) dan Lenski & Lenski (1987) menjelaskan bahwa berbagai perubahan global yang terjadi saat ini, baik dari segi sosial-ekonomi, teknologi dan politik, serta perubahan sistem dunia telah berdampak pada perubahan dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga menjadi tidak stabil dan berada pada masa transisi menuju keseimbangan yang baru (Khairuddin 1985).

Bronfenbrenner (Bronfenbrenner 1981; Santrock dan Yussen 1989), Deacon dan Firebaugh (1988), Melson (1980), Holman (1983), Klein dan White (1996) diacuh


(32)

oleh Puspitawati (2006) menyajikan model pandangan ekologi untuk mengerti proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.

Gambar 1. Hubungan anak denganm lingkungannya (Model ekologi dari Bronfenbrenner, 1981)1

1


(33)

Pendekatan ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Menurut Holland et al. (Kilpatrick dan Holland 2003) bahwa perspektif ekosistem (sistem ekologi) merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya (mulai dari tingkatan mikro ke makro). Pendekatan lain dari Megawangi (1994) menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Sistem ekologi juga menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam melihat perubahan budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian dalam pengasuhan (Harris dan Liebert 1992).

Berkaitan dengan keluarga dan lingkungannya, Coleman (Fukuyama 2000), seorang ahli sosiologi, membawa istilah modal sosial atau social capital pada aspek pendidikan dan pengasuhan anak. Modal sosial didefinisikan sebagai suatu set sumberdaya yang diwariskan dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial masyarakat di sekitarnya yang sangat berguna untuk perkembangan kognitif dan sosial anak-anaknya. Fukuyama (2000) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara keluarga dengan modal sosialnya. Keluarga merupakan landasan unit kerjasama sosial dengan melibatkan orangtua, ayah dan ibu, untuk bekerja bersama dalam berkreasi, melakukan sosialisasi, dan mendidik anak-anaknya.

Sosialisasi. Cohen dan Orbuch (1990) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses belajar yang terjadi pada semua umur dan tahapan dalam kehidupan seluruh umat manusia. Selain itu mereka didefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana manusia belajar cara hidup masyarakatnya dan mengembangkan kapasitas fungsi masing-masing, baik sebagai individu maupun anggota kelompok.

Macionis (1991) menunjukkan bahwa sosialisasi adalah proses dimana individu menjadi manusia seutuhnya berdasarkan pengalamannya. Macionis (1991) mendefinisikan sosialisasi sebagai “Proses pengalaman sosial seumur hidup dimana individu-individu mengembangkan potensi manusia mereka dan mempelajari pola budaya mereka.” Cohen dan Orbuch (1990) menyatakan bahwa tujuan sosialisasi, antara lain: Individu harus diajarkan menuntut keterampilan yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakatnya; Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuan untuk


(34)

berbicara, membaca, dan menulis; Individu harus menginternalisasi nilai-nilai dasar dan kepercayaan masyarakat; Individu harus mengembangkan konsep dirinya. Individu belajar untuk melihat diri sendiri sebagai entitas yang berbeda, terpisah dari semua orang dan sesuatu yang lainnya.

Meskipun remaja menjadi semakin mandiri dari orangtua mereka, sejak mereka SMA, namun mereka tetap bergantung pada orangtua mereka untuk pengembangan karir. Beberapa orangtua mempengaruhi remaja dalam pemilihan perguruan tinggi untuk mendukung karir mereka di masa depan. Apakah kelas atas, menengah, atau kelas bawah, orangtua mengharapkan anak-anak mereka suatu saat menjadi orang yang sukses dengan mendapatkan posisi dan karier yang baik. Sebuah studi oleh Trusty et al. menunjukkan bahwa remaja perempuan memiliki keterlibatan orang lebih tinggi daripada remaja laki-laki (Trusty, Watts & Erdman, 1997). Tampaknya gender mungkin merupakan variabel yang penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan karir. Wanita mungkin perlu atau ingin terlibat lebih dari orangtua untuk memetakan jalur karir mereka sendiri.

Weidman (1989) telah mengembangkan pendekatan konseptual sosialisasi di tingkat sarjana. Kerangka dibangun atas dasar teori-teori struktural psikologis dan sosial yang pada akhirnya berpengaruh pada proses pengembangan remaja dan dewasa, karena sosialisasi mereka dalam organisasi (Lihat Gambar 2). Konsisten dengan penelitian kontemporer tentang dampak kuliah, Weidman mengusulkan empat set variabel dalam kerangka nya: 1) karakteristik latar belakang siswa, 2) karakteristik perguruan tinggi; 3) ukuran hubungan siswa dengan lingkungan perguruan tinggi; dan 4) indikator dampak perguruan tinggi.

Kerangka konseptual wiedman memiliki dua masalah: pertama adalah untuk mengetahui perkembangan situasi dan kendala individu pada pilihan yang dibuat oleh mahasiswa dalam lingkungan organisasi, dan perhatian kedua adalah untuk mengeksplorasi dampak dari proses sosialisasi dimana individu terlibat dalam konteks normatif hubungan interpersonal antar anggota. Selain itu, Weidman (1989) berpendapat bahwa dampak perguruan tinggi adalah proses dinamis dan berpengaruh penting terhadap hasil sosialisasi untuk mahasiswa dalam preferensi pilihan karir mereka, gaya hidup, aspirasi, dan nilai-nilai individu.


(35)

Gambar 2. Model Konseptual Sosialisasi Kesarjanaan Weidman2

Kerangka konseptual Weidman dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, siswa masuk perguruan tinggi sebagai Mahasiswa baru dengan nilai tertentu, aspirasi, dan tujuan pribadi lainnya dengan berbagai latar belakang siswa. Kedua, mereka mendapatkan beberapa pengalaman perguruan tinggi yang terkena pengaruh berbagai sosialisasi saat mengikuti kuliah, termasuk tekanan normatif dari hubungan sosial dengan fakultas perguruan tinggi dan teman sebaya, orang tua dan kelompok-kelompok referensi bukan universitas. Ketiga, mereka menilai berbagai tekanan normatif yang ditemui untuk menjaga tujuan-tujuan pribadi. Kempat, setelah mereka mengikuti kuliah, apakah mereka bisa mengubah atau mempertahankan nilai-nilai, aspirasi, dan tujuan pribadi yang telah ada sejak mereka masuk ke perguruan tinggi (Weidman, 1989).

Menurut Rosenblatt, de Mik, Anderson dan Johnson diacuh oleh Greve dan Salaff (2003) anggota keluarga memainkan peranan yang penting ketika seorang calon wirausaha merencanakan dan mendirikan usaha karena anggota keluarga

2

Diambil dari John C. Weidman, 1989, Undergraduate Socialization: A Conceptual Approach. Higher Education: Handbook of Theory and Research. Vol. V (p. 299). Edited by Smart, J.C. New York: Agathon Press. (www. books.google.co.id)


(36)

dan jaringannya selalu dilibatkan untuk dimintai bantuan dan dukungan. Penelitian yang dilakukan oleh McClelland diacuh oleh Muhandri (2002) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50% pengusaha yang menjadi sampel yang diambil secara acak dalam penelitiannya berasal dari keluarga pengusaha dan faktor lingkungan keluarga mempengaruhi minat kewirausahaan. Penelitian McClelland didukung oleh penelitian Crant diacuh oleh Saud et al. (2009) yang menemukan fakta bahwa minat kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor kepemilikan bisnis oleh orang tua. Mathews dan Moser diacuh oleh Cotleur (2009) juga menyatakan bahwa pengaruh keluarga sangat signifikan dalam mengembangkan minat kewirausahaan, hal ini terutama berlaku untuk laki-laki. Adanya model peran/role model juga merupakan faktor yang menentukan minat kewirausahaan seseorang.

Davidsson dan Honig (2003) menemukan hubungan yang kuat antara kewirausahaan dan kepemilikan orang tua yang mempunyai bisnis. Dalam studi itu ditemukan dukungan teman dekat atau tetangga di dalam usaha mempunyai pengaruh positif pada minat kewirausahaan individu. Staw diacuh oleh Riyanti (2003:38) menemukan bukti kuat adanya hubungan antara minat kewirausahaan dengan profesi orang tua yang bekerja mandiri atau sebagai wirausaha. Kemandirian dan fleksibilitas dapat ditularkan oleh orang tua kepada anaknya sejak dini dan menjadi sifat yang melekat kepada anak-anaknya. Pendapat Staw didukung oleh Duchesneau diacuh oleh Riyanti (2003) yang menemukan bahwa wirausaha yang berhasil adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang juga wirausaha. Aldrich dan Zimmer diacuh oleh Greve dan Salaff (2003) menyatakan wirausaha membutuhkan jaringan sosial yang kuat selain informasi, modal, ketrampilan, tenaga kerja untuk memulai usaha. Jaringan sosial ini bisa berupa jaringan profesional, teman-teman, rekan-rekan kerja sebelumnya mulai dari dalam organisasi, kumpulan perusahaan, atau orang-orang yang membantu menjalankan dan mendirikan usaha (Hansen diacuh oleh Greve dan Salaff 2003)

Lingkungan Pendidikan

Lingkungan pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lingkungan yang menjadi tempat individu (pelajar) melakukan proses pembelajaran formal dan memberikan pengalaman pendidikan yang terintegrasi bagi individu, baik secara akademik maupun secara sosial. Astin (1996) merancang sebuah kerangka kerja konseptual untuk mempelajari mahasiswa output dengan menggunakan model input-environment-outcomes (I-E-O). Astin (1996) menyatakan jika ingin hasil terbaik dari seorang mahasiswa, maka mahasiswa tersebut harus terlibat aktif dalam


(37)

lingkungan yang dijalaninya. Lingkungan yang dimaksudkan adalah berbagai program, kebijakan, fakultas, teman-teman, dan pengalaman pendidikan yang mengenai mahasiswa dan memberikan nilai tambah bagi mahasiswa. Astin (1996) menemukan fakta bahwa banyak mahasiswa menghabiskan empat tahun atau lebih kuliah dengan maksud mendapatkan pengalaman perguruan tinggi yang memberikan perubahan nilai, sikap, aspirasi (cita-cita), keyakinan, dan perilaku, selain perubahan pengetahuan dan keterampilan kejuruan yang mereka ambil. Keterlibatan penting yang berdampak pada pengembangan mahasiswa adalah intensitas belajar siswa dan pengembangan pribadi terkait dengan program pendidikan, serta efektivitas setiap kebijakan atau praktik pendidikan untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kampus (Davis & Murrell, 1993).

Weidman (1989) mengusulkan bahwa seorang mahasiswa akan mendapatkan pengalaman perguruan tinggi yang mereka harapkan ketika dimensi normatif, baik dimensi akademik dan dimensi sosial, didukung oleh proses sosialisasi yang baik. Dimensi akademik mengacu pada aspek-aspek dari lingkungan perguruan tinggi yang berkontribusi secara eksplisit untuk pemenuhan tujuan pendidikan (sebagaimana tercantum dalam misi institusi), termasuk hal-hal seperti alokasi sumber daya untuk organisasi pengajaran, dan proses seleksi mahasiswa. Dimensi sosial mengacu pada cara di mana kesempatan untuk berinteraksi antara anggota diatur dan mengelompok dalam sebuah institusi atau lembaga (Weidman, 1989).

Dalam model Tinto, karakteristik mahasiswa seperti atribut individu, latar belakang keluarga, dan pengalaman pra-perguruan dimasukkan ke dalam model dinamis keberangkatan mahasiswa ‘dynamic model of student departure’ (Davis & Murrell, 1993). Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan faktor-faktor yang dianggap mengarah pada komitmen siswa dan dianggap ketika memprediksi keberhasilan siswa dalam gelar akademis. Semakin lemah komitmen siswa untuk sebuah institusi atau terhadap penyelesaian derajat, semakin besar kemungkinan siswa akan putus sekolah.

Dalam program orientasi mahasiswa baru, sosialisasi antisipatif, Pascarella dan Terenzini (1986) hipotesis bahwa latar belakang sifat dan pengaruh komitmen awal kesuksesan akademik dan integrasi mahasiswa dengan lingkungan. Mereka bekerja dua variabel integrasi akademik: 1) mahasiswa tahun nilai rata-rata kumulatif, dan 2) siswa tingkat perkembangan intelektual dirasakan selama tahun pertama. Ada empat variabel integrasi sosial: 1) tingkat keterlibatan dalam kegiatan ekstra kurikuler selama tahun pertama; 2) frekuensi kontak tahun pertama dengan fakultas di luar kelas; 3) cakupan dan kualitas hubungan siswa dengan rekan-rekan mahasiswa; dan


(38)

4) kualitas dan dampak dari kontak siswa dengan fakultas di luar kelas

Sebagian besar studi melaporkan terdapat kontribusi positif integrasi akademis terhadap mahasiswa, pembelajaran mahasiswa, serta ketekunan untuk menyelesaikan tugas pembelajarannya (Napoli & Wortman,1998). Mahasiswa yang mempunyai gambaran dan tujuan yang jelas dengan program studi yang diambil sebagai bagian dari integrasi akademiknya cenderung mempunyai prestasi belajar yang lebih baik (William, Clive & Tom Pepe, 1982). Berbagai penelitian tersebut menggunakan istilah ’integrasi akademik’ untuk menjelaskan variabel yang berkenaan dengan pemahaman mahasiswa tentang program studi, persepsi mahasiswa terhadap perilaku guru/dosen, interaksi antara mahasiswa dengan dosen, dan interaksi antar mahasiswa dengan mahasiswa (Suhartono dan Suripto, 2006).

Lingkungan Sosial

Dewanti (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan tidak hanya dipicu oleh faktor pribadi dan lingkungan, tetapi juga aspek sosiologis. Faktor lingkungan yang berpengaruh menurut Dewanti adalah peluang situasi yang menguntungkan, model peranan, aktivitas, pesaing dengan industri yang sama, inkubator sebagai sumber ide, sumber daya alam dan manusia, teknologi dan kebijakan pemerintah.

Penelitian Mazzarol et al. dalam Saud et al. (2009) menemukan bahwa faktor lingkungan (faktor sosial, ekonomi, politik dan perkembangan infrastruktur) mempengaruhi dorongan untuk mendirikan usaha. Zimmerer dan Scarborough (2004) menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti faktor ekonomi dan kependudukan, pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa, kemajuan teknologi, perkembangan e-Commerce dan the world wide web, terbuka lebarnya peluang internasional dan perubahan gaya hidup masyarakat mempengaruhi minat kewirausahaan.

Menurut Zastrow dan Ashman (1987) lingkungan sosial adalah suatu kondisi, keadaan dan interaksi manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Dimensi lingkungan sosial menurut Zastrow dan Ashman (1987), antara lain: transactions, energy, interface, adaptation, coping, dan interdependence. Transactions, yaitu interaksi seseorang dengan orang lain dalam lingkungannya. Interaksi bersifat aktif dan dinamis. Energy, yaitu kekuatan alami yang dimiliki seseorang untuk terlibat aktif dengan lingkungannya. Interface, merupakan poin penting dimana interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Dengan kata lain interface ini merupakan penghubung dari suatu interaksi, seperti bahan pembicaraan yang menyebabkan


(39)

seorang individu berinteraksi dengan individu lain. Adaptation, menunjukkan pada kemampuan untuk menyesuaikan diri untuk menyatu dengan kondisi lingkungan. Coping, adalah bentuk manusia menyesuaian diri dan implikasinya suatu perjuangan untuk mengatasi masalah. Bentuk penyesuaian ini ada yang bersifat positif namun ada juga yang bersifat negatif. Interdependence, menunjukkan hubungan saling tergantung atau kepercayaan dari setiap orang kepada orang lain.

Menurut Ginting (2003), yang dimaksud lingkungan sosial disini termasuk lingkungan pergaulan di kampus, rekan sepemondokan, dan masyarakat di sekitarnya serta keluarga. Kampus adalah lingkungan sosial, di samping lingkungan pendidikan. Kehidupan sosial yang sehat di kampus perlu dibina dan dikembangkan. Keberhasilan dalam menjalin hubungan sosial sangat penting bagi semua manusia, yang merupakan makhluk sosial. Kondisi itu sangat menunjang keberhasilan secara keseluruhan (Ginting, 2003).

Menurut Gunarsa & Gunarsa (2008), lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya, memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada individu. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga. Kesenjangan antara norma, ukuran, patokan dalam keluarga dengan lingkungannya perlu diperkecil, agar tidak timbul keadaan timpang atau serba tidak menentu, suatu kondisi yang memudahkan munculnya perilaku tanpa kendali, yakni penyimpangan dari berbagai aturan yang ada. Kegoncangan memang mudah timbul karena kita berhadapan dengan berbagai perubahan yang ada dalam masyarakat.

Ketersediaan Informasi. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna dalam Indarti et al. (2008) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Mujianto (2009) menyatakan informasi dan ide untuk melakukan kegiatan kewirausahaan dapat berasal dari berbagai sumber seperti pekerjaan dan ketrampilan yang dimiliki saat ini, minat dan hobi, pengalaman kerja, pengamatan terhadap lingkungan, informasi dari media massa, melalui berbagai pameran, dan jejaring sosial dengan orang lain. Muhyi (2007) menyatakan ada banyak cara untuk mendapatkan informasi untuk memulai kegiatan kewirausahaan, yakni: (a) melalui pendidikan formal; (b) melalui seminar-seminar kewirausahaan; (c) melalui pelatihan; (d) otodidak.


(40)

Akses Kepada Modal. Modal merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk memulai usaha. Penelitian oleh beberapa peneliti seperti Marsden, Meier dan Pilgrim, Steel dalam Indarti et al. (2008) menyatakan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara berkembang. Kristiansen dalam Indarti et al. (2008) menyatakan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha. Menurut Indarti et al. (2008) akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usahausaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat. Kasmir (2007) menyatakan bahwa ada dua jenis modal yang dibutuhkan seorang wirausaha, yakni: (1) Modal investasi. Modal investasi bersifat jangka panjang dan dapat digunakan secara berulangulang dan umumnya berumur lebih dari satu tahun. Modal investasi dipakai untuk membeli aktiva tetap seperti tanah, gedung, mesin-mesin, peralatan, kendaraan, dan lain-lain. Modal ini biasanya diperoleh dari perbankan selain modal sendiri; (2) Modal kerja. Modal kerja merupakan modal yang dipakai untuk membiayai operasional perusahaan pada saat perusahaan beroperasi. Modal ini bersifat jangka pendek dan biasanya hanya dipakai sekali atau beberapa kali dalam proses produksi, membeli bahan baku, membayar gaji karyawan, biaya pemeliharaan, dan lain-lain. Lebih lanjut Kasmir (2007) menyatakan sumber-sumber modal untuk kegiatan usaha dapat berupa: (1) Modal sendiri. Modal sendiri diperoleh dari pemilik usaha karena pemilik usaha bisa mengeluarkan saham sebagai modal sendiri; dan (2) Modal asing (pinjaman). Modal asing/pinjaman adalah modal yang diperoleh dari luar perusahaan dan biasanya diperoleh sebagai pinjaman.

Manurung (2008) menyatakan bahwa modal usaha adalah dana yang digunakan untuk menjalankan usaha agar dapat berlangsungnya usaha tersebut. Lebih lanjut Manurung (2008) menyatakan ada beberapa sumber modal, yakni:(1) Dana milik sendiri; (2) Menggadaikan barang yang dimiliki ke lembaga formal atau non-formal; (3) Meminjam dari lembaga formal atau non-formal; (4) Menggunakan modal dari pemasok; (5) Bermitra dengan mitra kerja agar modal kerja yang dibutuhkan dapat dibagi bersama; (6) Melakukan pinjaman dari bank; (7) Mendapatkan modal dari pasar modal dengan menerbitkan obligasi, saham, dll.; (8) Mendapatkan bantuan dari pemerintah, perusahaan baik swasta maupun BUMN, universitas, dan lain-lain. Akses kepada modal dalam penelitian ini adalah kemampuan wirausaha untuk mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya.


(41)

Kepemiikan Jaringan Sosial. Membentuk jaringan sosial dapat diartikan sebagai proses dua arah di mana di antara dua orang atau lebih melakukan pertukaran informasi dan sumber daya untuk saling mendukung kegiatan masing-masing. Dengan membentuk jaringan sosial maka semua kesempatan bisnis yang ada, permasalahan modal kerja, teknologi produksi, informasi bisnis, investasi, perubahan kebijakan dan peraturan, dan lain-lain dapat dibagi sehingga usaha akan lebih efektif dan efisien dan mengurangi resiko usaha.

Mazzarol dalam Indarti et al. (2008) menyatakan bahwa jaringan sosial mempengaruhi minat kewirausahaan. Gregoire et al. dalam Gadar dan Yunus (2009) menyatakan jaringan sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh pada wirausaha wanita. Penelitian oleh Gadar dan Yunus (2009) menemukan bahwa jaringan sosial merupakan faktor kelima terpenting pada wirausaha wanita di Malaysia. Gadar dan Yunus (2009) menemukan bahwa hubungan dengan elit politik yang kuat dan dengan pemimpin bisnis, dukungan suami merupakan faktor yang mendukung para wirausaha wanita di Malaysia. Kristiansen dalam Indarti et al. (2008) menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.

Marshall dan Oliver (2005) mendukung pendapat Aldrich dan Zimmer dengan menyatakan kegiatan kewirausahaan membutuhkan modal sosial/social capital selain modal manusia/human capital dan modal keuangan/financial capital. Marshall membagi modal sosial menjadi dua jenis yakni jaringan keluarga dan jaringan yang dibentuk dari pertemanan atau kenalan. Chrisman, Chua dan Steier dalam Marshall dan Oliver (2005) menyatakan bahwa pengaruh keluarga pada pembentukan usaha baru lebih penting dibandingkan faktor budaya yang lain.

Penelitian Kewirausahan Terdahulu

Penelitian tentang minat berwirausaha pada mahasiswa telah banyak dilakukan, tidak hanya pada jenjang perguruan tinggi, namun juga pada tingkat sekolah menengah atas/umum. Penelitan yang dilakukan pada jenjang perguruan tinggi ada yang mengubungkannya dengan pola asuh orangtua (Wijatmiko 2004; Meinitha 2006), efikasi diri (self efficacy) (Nurrohmah 2005; Indarti et al. 2008; Setiyorini 2009), sensation seeking (Khusnuriyah 2006), suku bangsa (Wibisono 2006), pekerjaan orangtua (Morello et al. 2003; Harpowo et al. 2009), pilihan jurusan saat perguruan tinggi, usia akademik (Morello et al. 2003), kebutuhan akan prestasi


(1)

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA

MOH. ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alma, B. 2009. Kewirausahaan. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Azzahra R. 2009. Perilaku wirausaha mahasiswa Institut Pertanian Bogor peserta Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) dan Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Bandura, A. (1977). Self-Efficacy:Toward a Unifying Theroy of Behavioral Change. Phsycological Review. 84 (2). 191 - 215.

Basu. A. et.al. 2009. Assessing Entrepreneurial Intentions Amongst Students: A

Comparative Study. San Jose State University (tidak dipublikasikan).

http://nciia.org.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Ketenagakerjaan Indonesia. [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id [22 Mei 2011].

Burhan. M. 1994. Model Pembinaan dan Pendidikan Kewirausahaan di Kalangan Pemuda. Jakarta: Makalah Seminar Nasional Pengembangan Kewirausahaan Pemuda.

Burlin. F. 1976. The relationship of parental education and maternal work and occupational status to occupational aspiration in adolescent females. Journal of Vocational Behavior. 9: 99-104.

Charney, A. et.al. (2000). The Impact of Entrepreneurship Education:An Evaluation of the Berger Entrepreneurship Program at the University of Arizona. 1985-1999. Arizona: University of Arizona Tucson.

Chowdhury, S. 2009. Gender Difference and The Formation of Entrepreneurial Self efficacy. Michigan.

Chung, YB., Loeb, JW., & Gonzo, ST. 1996. Factor predicting the educational and career aspirations of Black College freshmen. Journal of Career Development. 23(2). 127-135.

Ciputra. 2008. Quantum Leap: Bagaimana Entrepreneurship Dapat Mengubah Masa Depan Anda dan Masa Depan Bangsa. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo.

Cohen. J. 1983. Peer influence on college aspirations with initial aspirations controlled. American Sociological Review. 48: 728-734.

Coutleur. CA dan Sandra K.. (2009). Parental and Gender Influences on Entrepreneurial Intentions. Motivations and Attitudes. Frostburg State University dan California State Polytechnic University. (tidak dipublikasikan). http://usasbe.org.

Cromie. S. dan O'Donaghue. (1992). Research Note:Assessing Entrepreneurial Inclinations. International Small Business Journal. 10 (2).

Davis. M. & Kandel. DB. 1981. Parental and peer influence on adolescents’ education plan: some further evidence. American Journal of Sociology. Vol. 87 (2): 363-387.

Davidsson, P. dan Honig, B. 2003. The Role of Social and Human Capital Among Nascent Entrepreneurs. J. Bus. Venturing. 18(3): 301-331.


(3)

Dewanti. R. 2008. Kewirausahaan. Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media.

Din, MS. 1992. Entrepreneurship and Enterprise:The Influence of Work Experience

on Enterprising Tendency - An Empirical Tendency. Malaysian Management

Journal. 1 (1). 1 - 7.

Faisol. 2002. Kalau begitu, saya berani berwirausaha: Jilid 1 Memahami dan mengembangkan sikap kewiraushaaan. Cet. 1. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Farmer. HS. 1985. Model of career and achievement motivation for women and men.

Journal of Counseling Psychology. 32 (3): 363- 390.

Frazier. Barbara J. dan Linda S. Niehm. Predicting The Entrepreneurial Intentions Of Non-Business Majors:A Preliminary Investigation. Western Michigan University dan Iowa State University (tidak dipublikasikan).

Friedman. H.S. dan Miriam W.S. 2008. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Alih Bahasa: Benedictine Widyasinta. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga. Gadar. K. dan NKY. Yunus. 2009. The Influence of Personality and Socio-Economic

Factors on Female Enterpreneurship Motivations in Malaysia. International Review of Business Research Papers. January. 5 (1). 149 - 162

Garcia. Elizabeth Arteaga dan Virginia Lasio Morello. 2003. Entrepreneurial Intentionsof Undergraduates at ESPOL in Equador. Espae Espol (tidak dipublikasikan).

Greve. A. and JW. Salaff. 2003. Social Networks and Entrepreneurship. Entrepreneurship. Theory & Practice. 28(1):1-22.

Gunarsa, SD. 2004. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan: Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: Gunung Mulia.

Gunarsa, SD. dan Gunarsa, YSD. 2004. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Gunarsa, SD. dan Gunarsa, YSD. 2008. Psikologi Prkatis: Anak, Remaja dan Keluarga. Cet. 8. Jakarta: Gunung Mulia.

Harpowo dan Sri WW. 2009. Budaya Kewirausahaan Pada Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang.

Hastuti, D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Diktat kuliah. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hisrich, RD., Michael PP., dan Dean, AS. 2008. Kewirausahaan. Edisi 7. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Hurlock. 1991. Perkembangan Anak. Edisi ke-6. Jakarta : Erlangga.

Indarti. N. dan Rokhima R. (2008). Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia. Jepang dan Norwegia. Jurnal Ekonomika dan Bisnis Indonesia. Oktober. 23 (4).

Jones. C. snd J. English. (2009). A Contemporary Approach to Entrepreneurship Education.

Kasmir. 2007. Kewirausahaan. Edisi 1. Jakarta: Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Kemendiknas. 2010. Membangun Jiwa Kewirausahaan. Direktorat Pembinaan


(4)

Kursus dan Kelembagaan. Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal. Jakarta Kolbre, E., T. Piliste dan U. Venesaar. Students' Attitudes and Intentions toward

Entrepreneurship at Tallinn University of Technology. TUTWPE No 154.

Lupiyoadi, R. 2007. Entrepreneurship From Mindset To Strategy. Cetakan Ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Manurung. AH. 2008. Modal untuk Bisnis UKM. Cet. Ke-2. Jakarta: Penerbit PT

Kompas Media Nusantara.

Marshall, MI. dan WN, Oliver. 2005. The Effects of Human. Financial. and Social Capital on the Entrepreneurial Process for Entrepreneurs in Indiana. Allied Social Science Associations Annual Meeting. Philadelphia. Pennsylvania.

Meredith. Geoffrey G. 2002. Kewirausahaan:Teori dan Praktek. PPM. Jakarta.

Morello. Virginia Lasio. Dirk Deschoolmeester dan Elizabeth Arteaga Garcia. (2003). Entrepreneurial Intention of Undergraduates at ESPOL in Equador. CICYT-ESPOL.

Mudjiarto dan Aliaras W. 2006. Membangun Karakter dan Kepribadian Kewirausahaan. Edisi Pertama. Cet. I. Yogyakarta dan Jakarta: Penerbit Graha Ilmu dan UIEU University Press.

Muhandri. Tjahja. (2002). Strategi Penciptaan Wirausaha (Pengusaha) Kecil Menengah yang Tangguh. Program Pasca Sarjana S3. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

Muhyi. Herwan Abdul. (2007). Menumbuhkan Jiwa dan Kompetensi Kewirausahaan. Universitas Padjadjaran. Bandung (tidak dipublikasikan).

Napitupulu. Ester Lince. (2009). Lulusan Perguruan Tinggi Hanya Berorientasi Jadi Pencari Kerja. Kompas.Com. Jakarta.

Nora. A. 1993. Two-year colleges and minority students' educational aspirations: Help or hindrance? Higher Education: Handbook of Theory and Research. 9. 212-247.

Oosterbeek, H.. MCV. Praag dan Auke Ijsselstein. (2008). The Impact of Entrepreneurship Education On Entrepreneurship Competencies and Intentions. TI 2008-038/3. Tinbergen Institute dan University of Amsterdam. http://www.economist.ne.

Oswari, T. (2005). Membangun Jiwa Kewirausahaan (Entrepreneurship) Menjadi Mahasiswa Pengusaha (Entrepreneur Students) Sebagai Modal Untuk Menjadi Pelaku Usaha Baru. Proceeding Seminar Nasional PESAT. Agustus.

Pascarella. ET.. & Terenzini. PT. 1991. How college affects students. Jossey-Bass. San Francisco

Prasetyo. JR. 2005. A Study Of Educational And Career Aspirations Of Semarang Freshmen Universities. Indonesia. [dissertation]. Pittsburgh: University of Pittsburgh.

Puspitawati. H. 2009. Kenakalan Pelajar Dipengaruhi oleh Sistem Sekolah dan Keluarga.Bogor: IPB Press.

Qomarun. 2000. Kewirausahaan: Buku Pegangan Kuliah. Teknik Arsitektur. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.


(5)

Penerbit Alfabeta.

Riyanti. BPD. 2003. Kewirausahaan Dipandang dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.

Rudy. 2010. Analisis Pengaruh Faktor Kepribadian. Lingkungan dan Demografis Terhadap Minat Kewirausahaan Mahasiswa Strata Satu Universitas Sumatera Utara. [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. 124 hlm.

Saleh, A. 1986. Determinants of access to higher education in Indonesia.

[dissertation]. Ohio: The Ohio State University.

Saud, MB dan MN. Sharrif. 2009. An Attitude Approach to the Prediction of Entrepreneurship on Students at Institution of Higher Learning in Malaysia.

International J. of Business and Management. July. 4 (4). 129 - 135.

Sephana, A. 2010. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecenderungan Jiwa Wirausaha Mahasiswa ITS dengan Menggunakan Model Persamaan Struktural. [skripsi]. Surabaya: Institut Teknologi Surabaya. 66 hlm.

Setiyorini, M. (2009). Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan terhadap Keinginan Berwirausaha. Universitas Sebelas Maret Surakarta (tidak dipublikasikan)

Shastri, RK., S. Kumar dan M. Ali. 2009. Entrepreneurship Orientation Among Indian Professional Students. J. of Economics and Internatioanl Finance Vol.1(3). pp 085-087. August 2009.

Silalahi, GJ. 2005. Kesempatan Wirausaha Bagi Lulusan Perguruan Tinggi. [terhubung berkala]. http://www.depdiknas.co.id [10 Mei 2011].

Siswoyo. H. Bambang Banu. (2009). Pengembangan Jiwa Kewirausahaan di Kalangan Dosen dan Mahasiswa. Jurnal Ekonomi Bisnis. Tahun 14 No 2. Juli. Situmorang, J. 2007. Program Diklat Enterpreneurship. DisainTek Vol. 01, No. 01

Desember.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumahamijaya. S. 1980. Membina Sikap Mental Wiraswasta. Gunung jati. Jakarta.

Sunarti. E. 2008. Program Pemerintah Terkait Penanggulangan Kemiskinan. Peningkatan Kesejahteraan dan Pemberdayaan Keluarga. Bahan Kuliah KKP. Departemen IKK. FEMA-IPB.

Suryana. 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Salemba.

Sutjipto. 2002. Minat Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMEA) terhadap kewiraswastaan. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 2. Agustus 2008. Hal 119-127.

Tarmudji. T. 1996. Prinsip-prinsip Kewirausahaan. Liberti. Yogyakarta.

Tunggal. Amin Wijaya. 2008. Pengantar Kewirausahaan. Edisi Revisi. Penerbit Harvarindo. Jakarta.

Umar H. 2006. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Van der Zwan, P., I. Verheul, dan R. Thurik. 2011. Drivers of Female Entrepreneurial Activity Across Countries: Choice or Barriers?. ICSB paper. Holand: Erasmus


(6)

University Rotterdam.

Verheul, I., R. Thurik dan I. Grilo. 2009. Explaining Preferences and Actual Involvement in Self-Employment:New Insights into the Role of Gender. Holland: Erasmus Research Institute of Management.

Weidman. J. C. (1989). Undergraduate socialization: a conceptual approach. In Higher education: Handbook of theory and research. Edited by Smart. John C. Vol. V. pp. 289-322. Agathon Press. New York

Wijaya. Tony. (2008). Kajian Model Empiris Perilaku BerwirausahaUKM DIY dan Jawa Tengah. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. September. 10 (2). 93 - 104.

Yohnson. (2003). Peranan Universitas dalam Memotivasi Sarjana Menjadi Young Entrepreneurs. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan. 5 (2). September. 97 - 111.

Yuwono. Susatyo dan Partini. (2008). Pengaruh Pelatihan Kewirausahaan Terhadap Tumbuhnya Minat Berwirausaha. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol 9 No 2. Agustus. 119 - 127

Zarkasyi, SW. (2006). Mahasiswa dan Motivasi Berprestasi. Universitas Padjadjaran (tidak dipublikasikan) http://pustaka.unpad.ac.id.

Zimmerer. TW. dan N. Scarborough. 2009. Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil. Jakarta: Gramedia.


Dokumen yang terkait

PENGARUH KEPRIBADIAN, PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP AKTIVITAS BERWIRAUSAHA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

16 61 173

PENGARUH PENGALAMAN BERWIRAUSAHA DAN LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA Pengaruh Pengalaman Berwirausaha Dan Lingkungan Keluarga Terhadap Minat Berwirausaha Pada Mahasiswa Pendidikan Akuntansi Angkatan 2011 Universitas Muhamma

0 3 13

PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN DAN BUDAYA KELUARGA TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA Pengaruh Jiwa Kewirausahaan Dan Budaya Keluarga Terhadap Minat Berwirausaha ( Studi Kasus pada Mahasiswa UMS Program Pendidikan PKn Angkatan 2012 ).

0 4 16

PENDAHULUAN Pengaruh Jiwa Kewirausahaan Dan Budaya Keluarga Terhadap Minat Berwirausaha ( Studi Kasus pada Mahasiswa UMS Program Pendidikan PKn Angkatan 2012 ).

0 1 8

PENGARUH JIWA KEWIRAUSAHAAN DAN BUDAYA KELUARGA TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA Pengaruh Jiwa Kewirausahaan Dan Budaya Keluarga Terhadap Minat Berwirausaha ( Studi Kasus pada Mahasiswa UMS Program Pendidikan PKn Angkatan 2012 ).

0 2 13

PENGARUH SIKAP MANDIRI DAN LINGKUNGAN KELUARGA TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA MAHASISWA PROGRAM Pengaruh Sikap Mandiri dan Lingkungan keluarga Terhadap Minat Berwirausaha Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah

1 5 16

PENGARUH FAKTOR KELUARGA DAN KARAKTERISTIK KEWIRAUSAHAAN TERHADAP MINAT MENJADI WIRAUSAHA Pengaruh Faktor Keluarga dan Karakyeristik Kewirausahaan Terhadap Minat Menjadi Wirausaha Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi Angkatan 2008 Universitas muh

0 3 16

PENGARUH EKSPEKTASI PENDAPATAN, LINGKUNGAN KELUARGA, DAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA (Studi Kasus pada Mahasiswa Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta).

1 4 155

PENGARUH KEPRIBADIAN, LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA MAHASISWA PROGRAM STUDI AKUNTANSI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA.

0 1 149

PENGARUH PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA MAHASISWA

0 0 10