Analisis Rantai Nilai Pada Komoditas Jamur Tiram Putih Di Kabupaten Bogor (Studi Kasus Pada P4S Nusa Indah)

(1)

ANALISIS RANTAI NILAI PADA KOMODITAS JAMUR

TIRAM PUTIH DI KABUPATEN BOGOR

(STUDI KASUS PADA P4S NUSA INDAH)

Oleh

MUHAMMAD SYIBIL

H24104020

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

MUHAMMAD SYIBIL. H24104020. Value Chain Analysis In White Oyster Mushroom In Bogor Regency (Case Study on Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Nusa Indah Bogor). Under the guidance of JONO M MUNANDAR.

Today, fierce competition in the global market is not only the competition between enterprises, but also the competition between supply chains. Products with increasingly shorter life cycle and increased expectations on a product's customers have forced business enterprises to invest in and focus attention on their supply chain.

Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaaan Nusa Indah (P4S Nusa Indah) is a governmental agency under the agricultural extension Bogor. Value chain research on P4S Nusa Indah as white oyster mushroom producers is very important, because white oyster mushroom had a large market, but this competition relatively tight. So to win the competition P4S Nusa Indah should strengthen their relationship of elements to each party involved in their supply chain.

This study aims to (1) analyze the condition of the supply chain on white oyster mushrooms P4S Nusa Indah. (2) Knowing the magnitude of the distribution of value added along the value chain of white oyster mushroom cultivation. (3) Knowing the amount of margin and R / C obtained by the each party of white oyster mushroom value chain. Information obtained from the primary data and secondary data. The primary data obtained through observations and interviews with the parties involved along the supply chain on the white oyster mushroom P4S Nusa Indah. The secondary data obtained from various literature related. The analysis tools are value chain, supply chain management and value added. Results from The studies that the performance of the value chain has been going well. However, market information transparency of white oyster mushroom is still constraint in this supply chain. So, transparency of information is monopolized by one party.

The research was conducted at P4S Nusa Indah is located at Jl. Ciapus Raya, Gg. Pala No. 51 RT/RW 02/01, Tamansari village, Tamansari district, Bogor regency, West Java Province. This study was conducted for 3 (three) months, during September until November 2012. This study consisted of primary data and secondary data. Primary data obtained from interviews. The secondary obtained from the study of literature and books references associated with research.

The results of the study is : (1) A supply chain consists of white oyster mushroom primary members (P4S Nusa Indah, collectors and retailers) and secondary members (suppliers of raw materials and packaging). The flow of the supply chain starting from P4S Nusa Indah, collectors and finally to retailers. (2) The distribution of the added value gained by each party is: 19.83% for P4S Nusa Indah, 16.86% were acquired by collectors, and 35% were obtained by the retailer. (3) For P4S Nusa Indah gain margin of Rp. 1485 per kg of white oyster mushroom. While margin traders gained Rp. 1196 per kg. However, for the R / C


(3)

ratio (revenue cost) obtained by each party is relatively balanced, sum of 1.23 for P4S Nusa Indah, 1.14 for traders, and 1.3 for retailers.


(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD SYIBIL. H24104020. Analisis Rantai Nilai Pada Komoditas Jamur Tiram Putih Di Kabupaten Bogor ( Studi Kasus pada Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya Nusa Indah Kabupaten Bogor ). Di bawah bimbingan JONO M MUNANDAR.

Persaingan sengit dalam pasar global sekarang tidak hanya persaingan antar perusahaan namun juga menjadi persaingan antar rantai pasok. Produk-produk dengan daur hidup yang semakin pendek dan meningkatnya harapan pelangaan atas sebuah produk telah memaksa perusahaan-perusahaan bisnis untuk menginvestasikan dan memusatkan perhatian pada rantai pasok mereka.

Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya Nusa Indah (P4S Nusa Indah) merupakan lembaga swadaya dibawah penyuluh pertanian Kabupaten Bogor. Penelitian rantai nilai pada P4S Nusa Indah sebagai produsen jamur tiram putih sangatlah penting, karena meskipun pasar jamur yang relatif besar namun persaingan dalam memperebutkan pasar jamur yang ada semakin ketat. Sehingga untuk dapat memenangkan persaingan P4S Nusa Indah harus memperkuat elemen hubungan pada setiap pihak yang terlibat didalam rantai pasok mereka.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis kondisi rantai pasokan jamur tiram putih pada P4S Nusa Indah. (2) Mengetahui besarnya distribusi nilai tambah di sepanjang rantai nilai budidaya jamur tiram putih. (3) Mengetahui jumlah marjin dan R/C yang diperoleh oleh para pelaku rantai nilai jamur tiram putih. Informasi diperoleh berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat disepanjang rantai pasok jamur tiram putih pada P4S Nusa Indah. Adapun data sekunder diperoleh dari berbagai literatur terkait. Alat analisis yang digunakan yaitu value chain, supply chain management dan value added. Hasil dari penilitian, bahwa kinerja rantai nilai yang sudah berjalan telah berlangsung dengan baik. Namun, transparansi informasi pasar jamur tiram putih masih menjadi kendala dalam rantai pasok ini. Sehingga, transparansi informasi masih dimonopoli oleh satu pihak saja.

Penelitian ini dilakukan di P4S Nusa Indah yang beralamat di Jl. Ciapus Raya, Gg. Pala No. 51 RT/RW 02/01, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yaitu pada bulan September hingga bulan November 2012. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara. Adapun data sekunder diperoleh dari studi literatur maupun buku-buku refrensi yang terkait dengan penelitian.

Adapun hasil dari penelitian adalah sebagai berikut : (1) Anggota rantai pasokan jamur tiram putih terdiri dari anggota primer (P4S Nusa Indah, pengumpul dan pengecer) dan anggota sekunder (pemasok bahan baku dan kemasan). Aliran rantai pasokan dimulai dari P4S Nusa Indah, pedagang pengumpul dan terakhir ke pedagang pengecer. (2) Besarnya distribusi nilai tambah yang didapat oleh setiap pihak adalah : 19,83% untuk P4S Nusa Indah sel,


(5)

16,86 % yang diperoleh oleh pedagang pengumpul, dan sebesar 35% yang diperoleh oleh pedagang pengecer. (3) Bagi P4S Nusa Indah mendapatkan margin sebesar Rp. 1.485 per kg jamur tiram putih. Sedangkan margin yang didapat pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.196 per kg. Namun untuk R/C Ratio (Revenue cost) yang diperoleh oleh setiap pihak relatif berimbang, yaitu : Sebesar 1,23 untuk P4S Nusa Indah, 1,14 untuk pedagang pengumpul, dan 1,3 untuk pedagang pengecer.


(6)

(STUDI KASUS PADA P4S NUSA INDAH)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen

Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MUHAMMAD SYIBIL

H24104020

PROGRAM SARJANA ALIH JENIS MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(7)

Judul Skripsi :Analisis Rantai Nilai Pada Komoditas Jamur Tiram Putih Di Kabupaten Bogor (Studi Kasus Pada P4S Nusa Indah)

Nama : Muhammad Syibil

NIM : H24104020

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc NIP . 19610123 198601 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc NIP . 19610123 198601 1 002


(8)

iv

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Syibil lahir pada tanggal 14 Oktober 1989 di Jakarta. Penulis merupakan anak ke 4 (empat) dari 6 (enam) bersaudara dari Bapak Mashudi dan Ibu Erliena Rofiati.

Pada tahun 1993-1995 penulis memulai pendidikan di TK Fatahillah Jakarta. Setelah itu melanjutkan pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah II Jakarta pada tahun 1995-2001. Pada tahun 2001-2004 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Darul Hikmah Bekasi. Pada tahun 2007 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) IIBS RI di Cikarang, Bekasi. Selanjutnya di tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) pada jurusan Administrasi Bisnis. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Angkatan 8.


(9)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya dalam proses penyelesaian skripsi ini hingga selesai. Segala karunia yang membuat penulis merasa bersyukur telah menyelesaikan skripsi dengan baik sebagai syarat kelulusan program strata satu.

Skripsi ini berjudul Analisis Rantai Nilai Pada Komoditas Jamur Tiram Putih di Kabupaten Bogor (Studi Kasus Pada P4S Nusa Indah). Skripsi merupakan salah satu syarat guna mencapai gelar kesarjanaan pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca agar skripsi ini lebih baik lagi pada masa mendatang.

Bogor, Maret 2013


(10)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, membimbing, memberikan saran dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Jono M. Munandar, M. Sc selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan berbagai masukan dan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Cucu Komalasari selaku ketua P4S Nusa Indah.

3. Kedua orang tua, kakak Ibkarula Adha, Mecca Nurjannah serta adik-adik Nauval Toumy Alfarisy dan Nabilla Rosyada yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Laila Afifah, Novi Yulianti dan Endang Suhendar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selaku rekan dalam melakukan penelitian di P4S Nusa Indah.

5. Bayu Putra Anggerianto, Prasetia Nugraha dan Pramadyka Kusuma Anggara

selaku rekan di SBJ (Sindang Barang “Jelas”).

6. Keluarga Besar P4S Nusa Indah yang telah membantu dalam pemberian informasi dan pengumpulan data penelitian.

7. Rekan-rekan “The Master” (Yanda, Arnold, Kemas, Wawaw, Bang Wawan, Willy, Agoy, Ranger, Ginia, Ihsan, Onte, Eja, Arfi, Tikul, Awiw, Anggun, Ipeh dll.)

8. Rekan-rekan Program Sarjana Alih Jenis Manajemen Angkatan 8 yang telah memberikan bantuan, motivasi, pengetahuan, informasi dan doa dalam penyusunan skripsi ini.

9. Pihak-pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.


(11)

vii

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR GAMBAR ...viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Deskripsi Jamur Tiram ... 8

2.2. Rantai Nilai ... 9

2.3. Manajemen Rantai Pasok ... 14

2.4. Supply Chain Management Untuk Agroindustri ... 16

2.5. Konsep Nilai Tambah ... 17

2.6. Tataniaga Pertanian ... 20

2.7. Marjin Tataniaga ... 21

2.8. Analisis R/C ... 22

2.9. Struktur penerimaan dan pendapatan usahatani ... 23

2.10. Kemitraan usaha 2.11. Penelitian Terdahulu ... 28

III.METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Kerangka Pemikiran ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1. Gambaran Umum P4S Nusa Indah ... 32

4.1.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 33

4.2. Kegiatan Budidaya Jamur Tiram Putih ... 34

4.2.1 Pembuatan Media Tanam... 34

4.2.2 Inokulasi ... 36


(12)

viii

4.2.4 Penumbuhan ... 37

4.2.5 Penyiraman dan Pengaturan Suhu Ruangan ... 38

4.2.6 Panen dan Pasca Panen ... 38

4.2.7 Pengendalian Hama, Gulma dan Penyakit ... 40

4.3. Kondisi Rantai Pasok Jamur Tiram Putih Pada P4S Nusa Indah ... 44

4.3.1 Aktifitas Anggota Primer Rantai Pasokan ... 44

4.3.2 Anggota Rantai Pasok ... 46

4.3.3 Pola Aliran Ranti Pasok ... 50

4.3.4 Pola Kemitraan Pada P4S Nusa Indah ... 52

4.4. Analisis Nilai Tambah ... 54

4.4.1 Analisis Nilai Tambah P4S ... 54

4.4.2 Analisis Nilai Tambah Pengumpul ... 56

4.4.3 Analisis Nilai Tambah Pengecer ... 58

4.4.4 Analisis Nilai Tambah Keripik Jamur ... 59

4.4.5 Analisis Nilai Tambah Rill ... 61

4.5. Analisis Rantai Nilai ... 62

4.5.1 Analisis Rantai Nilai Jamur Tiram Mentah ... 62

4.5.2 Analisis Rantai Nilai Jamur Tiram Putih Olahan ... 64

4.6. Implikasi Manajerial ... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

1. Kesimpulan ... 66

2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68


(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Rantai nilai generik ... 10

2. Simplifikasi Model Supply Chain ... 14

3. Proses loss produk segar pertanian sepanjang SCM ... 16

4. Definisi marjin tataniaga, nilai marjin tataniaga dan ongkos ... 22

5. Kerangka pemikiran ... 29

6. Pola aliran rantai pasok komoditas jamur tiram putih Pada P4S ... 51

7. Kemitraan investasi jamur tiram putih ... 52

8. Skema kemitraan pada budidaya jamur tiram putih ... 53


(14)

x

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Luas panen, produktivitas dan produksi jamur tiram putih di Pulau Jawa

Tahun 2009 ... 1

2. Kebutuhan masyarakat terhadap jamur tiram putih di beberapa kota Di Pulau Jawa ... 2

3. Produksi jamur tiram di Jawa Barat ... 2

4. Produksi jamur tiram pada tahun 2007-2011 di Jawa Barat ... 5

5. Contoh aplikasi nilai tambah ... 20

6. Aktivitas anggota primer rantai pasok jamur tiram putih ... 45

7. Total biaya produksi pada P4S Nusa Indah ... 55

8. Biaya penyusutan peralatan pada P4S Nusa Indah ... 55

9. Beban sewa tananh pada P4S Nusa Indah ... 56

10. Biaya penyusutan kumbung dan kendaraan ... 56

11. Perhitungan nilai tambah ... 56

12. Biaya bahan baku ... 57

13. Biaya operasional ... 57

14. Biaya penyusutan ... 57

15. Perhitungan nilai tambah ... 58

16. Biaya bahan baku ... 58

17. Biaya operasional ... 58

18. Biaya penyusutan ... 58

19. Perhitungan nilai tambah ... 59

20. Biaya bahan baku dan operasional ... 60

21. Biaya penyusutan peralatan ... 60

22. Perhitungan nilai tambah ... 60

23. Nilai tambah rill ... 61

24. Pembentukan rantai nilai jamur tiram putih Pada P4S Nusa Indah ... 62


(15)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman


(16)

1.1Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor penting pembangunan ekonomi Indonesia dimana didalamnya termasuk kegiatan budidaya jamur tiram putih. Jamur tiram putih merupakan bisnis yang cukup prospektif meskipun seperti jenis kegiatan usaha pada umumnya kegiatan budidaya jamur tiram putih juga memiliki beberapa masalah. Usaha jamur tiram putih dapat turut berperan serta dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia karena dapat menjadi sumber pendapatan, penyedia lapangan kerja serta penghasil bahan pangan berkualitas tinggi khususnya protein nabati yang mampu menunjang ketersediaan gizi bagi masyarakat.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan produksi jamur tiram putih terbesar di pulau Jawa. Produksi jamur tiram putih di provinsi Jawa Barat mencapai 7.306 ton per tahun. Adapun luas panen jamur tiram putih ini mencapai 291,79 Ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Luas panen, produktivitas dan produksi jamur tiram putih di Pulau Jawa tahun 2009

Provinsi Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

Jawa Barat 291,79 7.306,75 25,04

Jawa Tengah 15,23 1.838,93 120,75

DI Yogyakarta 5,86 651,32 111,23

Jawa Timur 385,09 28.557,05 74,16

Sumber : Direktorat Hortikultura 2009

Minat masyarakat untuk mengkonsumsi jamur tiram putih pun cukup tinggi. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2, pasaran jamur tiram putih di Pulau Jawa masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Permintaan banyak berdatangan dari rumah makan, hotel-hotel hingga restoran yang menyediakan menu olahan jamur tiram putih.


(17)

2

Tabel 2. Kebutuhan masyarakat terhadap jamur tiram putih di beberapa kota di Pulau Jawa

Kota Kebutuhan per hari (Kg)

Jakarta 10.000

Bandung 7.000

Bogor 600

Bekasi 3.000

Tangerang 3.000

Sumber : Martawijaya & Nurjayadi, 2010

Permintaan yang besar ini direspon oleh para pelaku usaha budidaya jamur tiram putih ini dengan meningkatnya produksi jamur tiram putih dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 dimana terdapat peningkatan produksi jamur tiram putih yang signifikan dari tahun ke tahun. Keadaan ini sangat memicu perkembangan agroindustri yang bergerak di bidang holtikultura khususnya jamur tiram putih.

Tahun Ton

2007 225.796

2008 5.416.093

2009 7.306.746

2010 19.623.166

2011 33.846.602

Sumber : Dinas Pertanian Jawa Barat 2012 (data diolah)

Tabel 3 dapat dilihat bahwa total produksi jamur tiram putih di Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya permintaan jamur tiram putih dewasa ini menciptakan berbagai macam peluang untuk meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.

Permintaan terhadap jamur tiram putih dari tahun ke tahun memang terus mengalami peningkatan. Kebutuhan jamur tidak hanya terlepas pada permintaan jamur segar, masih ada peluang besar pada beberapa segmen usaha yang berkaitan erat dengan bisnis jamur.


(18)

Misalnya, bisnis bibit jamur, bisnis penjualan media jamur (inokulan), bisnis olahan jamur, bisnis jasa dan pelatihan budi daya jamur, serta bisnis bidang agrowisata jamur. Oleh karena itu peluang pasar ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan.

Seperti produk hortikultura pada umumnya jamur tiram putih juga memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan komoditi lainnya. Komoditi ini memiliki risiko ketergantungan yang besar diantara produsen, pasar serta konsumen. Sifat-sifat jamur tiram putih antara lain sensitif atas perubahan cuaca, mudah busuk atau rusak (perishable) dan dikonsumsi dalam jumlah sedikit tapi terus-menerus. Meningkatkan daya saing produk adalah upaya untuk mengembangkan usaha di bidang holtikultura ini.

Meningkatkan daya saing produk dalam kondisi ekonomi yang hiperkompetitif dan pembeli yang semakin lama semakin rasional hanya bisa dimenangkan dengan menciptakan dan memberikan nilai yang lebih unggul. Hal ini memerlukan lima kemampuan ; (1) memahami nilai pelanggan; (2) menciptakan nilai pelanggan; (3) memberikan nilai pelanggan; (4) memenangkan nilai pelanggan; (5) mempertahankan nilai pelanggan. Agar berhasil, perusahaan perlu mempergunakan konsep rantai nilai dan jaringan penyerahan nilai (rantai pasok) (Kotler, 2004).

Rantai nilai merupakan alat untuk mengidentifikasi cara-cara untuk menciptakan nilai pelanggan yang lebih besar. Setiap perusahaan adalah kumpulan aktivitas yang dilakukan untuk mendesain, memproduksi, memasarkan, menyerahkan dan mendukung produk (Kotler, 2004). Rantai nilai memperlihatkan nilai total dan terdiri atas aktivitas nilai dan margin. Aktivitas nilai adalah aktivitas yang terpisah secara fisik dan teknologi. Sedangkan margin merupakan perbedaan antara nilai total dan biaya kolektif pelaksanaan aktivitas nilai (Porter, 1994). Disini rantai nilai memiliki peranan penting dimana seluruh siklus produksi diperhatikan termasuk hubungan dengan pasar akhir. Pendekatan rantai nilai berperan dalam membantu menjelaskan kepada siapa saja keuntungan


(19)

4

didistribusikan sehingga mempermudah dalam mengidentifikasi kebijakan mana yang sesuai agar memperoleh bagian keuntungan yang lebih baik.

Agar berhasil meningkatkan daya saing produk, sebuah perusahaan juga perlu mencari keunggulan kompetitif di luar perusahaannya sendiri, yaitu ke rantai nilai pemasok, distributor dan pelanggan. Beberapa perusahaan bermitra dengan pemasok dan distributor tertentu untuk membentuk rantai pasokan (Supply Chain) yang lebih unggul (Kotler, 2004).

Menurut Morgan et al (2004), kendala utama dalam rantai pasokan sayuran adalah perencanaan, sosialisasi, pengiriman dan ekspektasi. Oleh karena itu manajemen rantai pasokan memegang peranan penting dalam upaya peningkatan bisnis jamur tiram putih.

Supply Chain Management merupakan serangkaian pendekatan

yang diterapkan untuk mengintegrasikan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu rantai pasok secara efisien. Supply Chain Management produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen (Marimin & Nurul 2011). Supply Chain Management membentuk sebuah sistem terpadu setiap pihak saling mendukung satu sama lain.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra penghasil jamur tiram terbesar di Jawa Barat (Tabel 4). Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26oC dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu terendah Bogor adalah 21,8oC. Kondisi alam dan sumberdaya yang mendukung dalam budidaya jamur tiram putih mengharuskan petani untuk berupaya untuk mengelola rantai pasokan dengan efektif dan efisien. Oleh karena itu penelitian mengenai rantai nilai pada jamur tiram putih ini perlu dilakukan.


(20)

Tabel 4. Produksi jamur tiram tahun 2007-2011 di Jawa Barat (Ton)

Wilayah Tahun

2007 2008 2009 2010 2011

Bogor 4.410 638.969 26.167 696.483 2.724.851

Cianjur 111.835 24.143 3.022.531 905.145 967.527

Sukabumi 467 1.566 645 473.787 620.755

Bandung 30.604 54.535 105.174 276.471 120.007

Garut 275 18.586 45.753 10.800 95.820

Tasikmalaya 638 2.122 2.242 9.886 44.605

Ciamis 133 3.823 354 40.089 14.138

Kuningan - 7.145 23.357 66.820 119.712

Cirebon 25 133 623 80.413 52.942

Majalengka - - 11.003 62.641 20.300

Sumedang 6.825 12.527 63.957 11.371 82.169

Indramayu 2.914 27.775 57.675 57.413 127.160

Subang 2.719 348.100 679.911 4.663.867 2.269.471

Purwakarta 99 372 17 75.388 8.435

Karawang 46.145 3.811.559 1.851.128 7.304.916 18.377.013

Bekasi 25.157 35.239 161.620 122.624 91.365

Bandung Barat - 390.401 1.004.884 4.418.284 7.860.090

Kota Bogor 17. 383 2.171 110.267 24.975 16.975

Kota Sukabumi

- - - 17.340 14.310

Kota Bandung - 110 60 - -

Kota Cirebon 543 46 1.909 306 -

Kota Bekasi - - - - 500

Kota Depok - - - - 6.750

Kota Cimahi - 40 2.073 112.750 188.800

Kota Tasikmalaya

1.426 35.056 104.399 153.401 59.151

Kota Banjar 4.171 `1.675 31.015 37.996 33.756

Jumlah 255.796 5.416.093 7.306.746 19.623.166 33.846.602


(21)

6

1.2Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi rantai pasokan pada budidaya jamur tiram putih? 2. Bagaimana distribusi pada rantai nilai dan nilai tambah di sepanjang

rantai nilai budidaya jamur tiram putih?

3. Seberapa besar marjin dan R/C yang diperoleh oleh para pelaku dalam rantai nilai jamur tiram putih?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kondisi rantai pasokan jamur tiram putih pada P4S Nusa Indah

2. Mengetahui besarnya distribusi rantai nilai dan nilai tambah di sepanjang rantai nilai budidaya jamur tiram putih.

3. Mengetahui jumlah marjin dan R/C yang diperoleh oleh para pelaku rantai nilai jamur tiram putih.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi : 1. Bagi penulis dapat mengaplikasikan teori-teori yang telah dipelajari selama masa program belajar mengajar berlangsung. Selain itu penulis dapat mengetahui alur produksi hingga pemasaran jamur tiram putih pada P4S Nusa Indah.

2. Bagi perusahaan dapat mengetahui besarnya distribusi nilai tambah, marjin serta R/C ratio dalam budidaya jamur tiram serta pelaku yang terlibat di dalam rantai nilai budidaya jamur tiram putih.

3. Bagi peneliti lain agar tulisan ini dapat dijadikan refrensi untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan selama 3 bulan (September-November 2012). Penelitian ini membahas rantai nilai yang terjadi di sepanjang rantai anggota primer pada komoditas jamur tiram di Taman Sari


(22)

Kabupaten Bogor Jawa Barat yang meliputi rantai nilai, rantai pasok, nilai tambah, margin tataniaga dan R/C ratio. Analisis penelitian ini berfokus pada rantai nilai pada pelaku usaha dalam rantai jamur tiram putih.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Jamur Tiram

Menurut Rahmat dan Nurhidayat (2011), jamur tiram (Pleurotus sp.) merupakan salah satu dari sekian jenis jamur kayu yang bisa dikonsumsi. Jamur tiram sudah cukup dikenal di masyarakat luas, baik di Indonesia maupun di berbagai negara. Menurut catatan sejarah, jamur tiram sudah dibudidayakan di cina sejak 1000 tahun silam. Sementara itu, di Indonesia, jamur tiram mulai dibudidayakan pada tahun 1980 di Wonosobo. Varietas yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), meskipun varietas jamur tiram yang lain ada, pembudidayaannya kurang populer.

Menurut Martawijaya dan Nurjayadi (2010), terdapat beberapa jenis jamur tiram yang dapat dikonsumsi yaitu diantaranya :

1. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)

2. Jamur tiram merah jambu (Pluerotus flabellatus) 3. Jamur tiram abu-abu (Pluerotus sajor caju) 4. Jamur tiram cokelat (Pluerotus cystidiosus) 5. Jamur tiram hitam (Pluerotus sapidus)

6. Jamur tiram kuning (Pluerotuscitrinopileatus)

Masyarakat sudah lama mengenal jamur tiram sebagai jamur konsumsi yang mempunyai cita rasa lezat. Aspek lain yang cukup membuat jamur inii populer adalah dampak positifnya bagi kesehatan manusia. Berikut beberapa khasiat jamur tiram untuk kesehatan :

1. Sebagai antikolestrol, antioksidan dan antitumor. Pasalnya, jamur tiram memiliki kandungan gizi yang mengagumkan. Beberapa diantaranya adalah lemak, mineral, serta beragam vitamin dan serat yang sangat penting bagi ketahanan tubuh manusia.

2. Dalam setiap 100 gram jamur tiram segar, terdapat 8,9 mg kalsium; 1,9 mg besi, 17,0 mg fosfor; 0,15 mg vitamin B-1 (tiamin); 0,75 mg vitamin B-2 (riboflavin), dan 12,40 mg vitamin C.


(24)

3. Kandungan asam folat (folic acid) dalam jamur tiram sangat baik untuk mencegah serangan kanker dan menyembuhkan penyakit anemia.

4. Kandungan asam folat pada jamur tiram sangat baik dikonsumsi oleh wanita hamil. Pasalnya, asam folat merupakan zat yang bisa mengurangi risiko cacat kelahiran dan cacat otak pada anak.

5. Jamur tiram mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh, diantaranya fenilalanin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, metionin, triptofan, treonin dan valin.

6. Kandungan lemak jamur tiram sebagian besar berupa lemak tidak jenuh. Seperti sudah diketahui secara luas bahwa pemicu penumpukan kolesterol dalam tubuh adalah asam lemak jenuh, bukan asam lemak tak jenuh. Dengan demikian jamur tiram aman dan sangat layak untuk dikonsumsi (Rahmat dan Nurhidayat 2011).

2.2. Rantai Nilai

Rantai Nilai didefinisikan sebagai urutan kegiatan yang harus memberikan kontribusi lebih kepada nilai akhir dari produk daripada biaya. Produk yang dihasilkan oleh sebuah organisasi bergantung pada berbagai kegiatan organisasi dan menggunakan sumber daya yang berbeda sepanjang rantai nilai tergantung pada spessifikasi produk. Pada dasarnya, semua aliran produk yang melalui rantai nilai, dimulai dengan penelitian, pengembangan , rekayasa kemudian bergerak melalui aktifitas manufaktur dan terus kepada pelanggan. Tergantung pada suatu produk, pelanggan mungkin memerlukan layanan dan atau memilih untuk mengkonsumsi produk tersebut atau membuangnya setelah mendapatkan tujuan dari mengkonsumsi produk tersebut (Atkinson et al, 2007).

Dalam Kotler dan Keller (2008), rantai nilai merupakan alat untuk mengidentifikasi cara-cara menciptakan lebih banyak nilai pelanggan. Menurut model ini, setiap perusahaan merupakan sintesa dari kegiatan yang dilakukan untuk merancang, menghasilkan, memasarkan, memberikan dan mendukung produknya. Rantai nilai mengidentifikasi sembilan kegiatan strategis dan relevan yang menciptakan nilai dan biaya


(25)

10

Keuangan/Akunting

Manajemen Sumber Daya Manusia Pengembangan Teknologi

Pembelian

Marjin Litbang Proses Pemasaran Logistik Jasa

Manufaktur Ke Luar

Kegiatan Primer Kegiatan Pendukung

didalam bisnis tertentu. Kesembilan kegiatan yang menciptakan nilai itu terdiri dari lima kegiatan utama dan empat kegiatan pendukung.

Sedangkan menurut Porter (1985), kerangka value chain dengan data biaya diperlukan untuk mendukung analisis rantai nilai yang dibutuhkan untuk memberikan informasi bagi manajer dalam mengambil keputusan strategis dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan. Dengan demikian analisis value chain dapat digunakan sebagai salah satu alat analisis untuk pengambilan keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat.

Gambar 1. Rantai nilai generik (Porter, 1985)

Kegiatan-kegiatan utama mencerminkan urutan dari membawa

bahan baku ke perusahaan (inbound logistic), mengkonversinya menjadi produk jadi (operations), mengirim produk jadi (outbound logistic), memasarkannya (marketing and sales) dan melayaninya (service).

Kegiatan-kegiatan penunjang – perolehan sumberdaya (bahan baku),

pengembagnan teknologi, manajemen sumber daya manusia, dan prasarana perusahaan – ditangani oleh departemen-departemen khusus tertentu, tetapi tidak hanya di tempat itu. Sebagai contoh, departemen-departemen lain mungkin melakukan beberapa kegiatan pembelian dan mempekerjakan karyawan. Infrasttruktur perusahaan mencakup


(26)

biaya-biaya manajemen umum, perencanaan, keuangan, akuntansi, hukum dan masalah pemerintahan.

Tugas perusahaan adalah memeriksa biaya dan kinerja di masing-masing kegiatan penciptaan nilai dan mencari cara untuk memperbaikinya. Perusahaan harus memperkirakan biaya dan kinerja pesaingnya sebagai acuan pembanding untuk dibandingkan dengan biaya dan kinerjanya sendiri.

Keberhasilan perusahaan bukan hanya bergantung pada keberhasilan masing-masing bagian dalam melakukan tugasnya, melainkan juga pada keberhasilan dalm mengkoordinasikan berbagai kegiatan bagian tersebut untuk melakukan proses bisnis inti. Proses-proses bisnis inti ini mencakup hal-hal berikut ini :

a. Proses memahami pasar. Semua kegiatan yang mencakup pengumpulan inteligensi pasar, penyebarannya dalam organisasi, dan tindakan berdasarkan informasi tersebut.

b. Proses realisasi produk baru. Semua kegiatan yang mencakup penelitian, pengembangan, dan peluncuran produk-produk baru yang berkualitas tinggi dengan segera dan sesuai anggaran.

c. Proses mendapatkan pelanggan. Semua kegiatan yang tercakup dalam upaya menetapkan pasar sasaran dan mencari pelanggan baru.

d. Proses manajemen pemenuhan. Semua kegiatan yang mencakup penerimaan dan persetujuan pesanan, pengiriman barang yang tepat waktu dan penagihan piutang (Kotler & Keller, 2008).

Analisis rantai nilai (value chain analysis–VCA) mengacu pada proses yang dengannya perusahaan menentukan biaya yang terkait dengan aktivitas organisasional dari pembelian bahan mentah sampai produksi dan pemasaran produk tersebut. VCA bertujuan untk mengidentifikasi dimana keunggulan (advantage) atau kelemahan (disadvantage) biaya rendah yang ada di sepanjang rantai nilai mulai dari bahan mentah sampai aktivitas layanan konsumen. VCA memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi secara lebih baik kekuatandan kelemahannya sendiri,


(27)

12

khususnya bila dibandingkan dengan analisis rantai nilai pesaing dan data mereka sendiri yang diteliti dari waktu ke waktu (David, 2009).

Penilaian substansial kiranya dibutuhkan dalam melakukan VCA karena hal-hal yang berbeda dalam rantai nilai bisa berdampak secara positif atau negatif terhadap hal yang lain, sehingga terdapat keterkaitan yang kompleks. Sebagai contoh layanan konsumen yang baik mungkin sangat mahal tetapi mampu menekan biaya retur dan meningkatkan pendapatan. Perbedaan biaya dan harga diantara perusahaan pesaing bisa jadi merupakan akibat dari aktivitas yang dilakukan oleh pemasok, distributor, kreditoor atau bahkan pemegang saham. Terlepas dari kompleksitas VCA, langkah awal untuk menerapkan prosedur ini adalah dengan membagi operasi suatu perusahaan ke dalam berbagai aktivitas atau proses bisnis yang spesifik. Kemudian, analis berusaha untuk mengenakan biaya pada setiap aktivitas, dan biaya tersebut bisa dalam bentuk waktu dan uang. Terakhir, analis mengubah data biaya itu menjadi informasi dengan mencari kekuatan dan kelemahan biaya kompetitif yang mungkin menghasilkan keunggulan atau kelemahan kompetitif.

Ketika suatu pesaing terbesar atau pelaku baru di pasar menawarkan produk atau jasa dengan harga yang sangat rendah, ini mungkin dikarenakan perusahaan tersebut telah secara substansial mampu menekan biaya ratai nilainya atau sedang berusaha keras dan mati-matian untuk meraih penjualan atau pangsa pasar. Jadi analisis rantai nilai bisa jadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk memonitor apakah harga dan biayanya kompetitif.

Ketika suatu pesaing terbesar atau pelak baru di pasar menawarkan produk atau jasa dengan harga yang sangat rendah, ini mungkin dikarenakan perusahaan tersebut telah secara substansial mampu menekan biaya rantai nilainya atau sedang berusaha keras untuk meraih penjualan atau pangsa pasar. Gabungan biaya seluruh aktivitas di suatu rantai nilai perusahaan menentukan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menjalankan bisnisnya (David, 2009).


(28)

Adapun Donelan dan Kaplan (2000) mengungkapkan bahwa VCA merupakan tool yang digunakan untuk menjelaskan organisasi sebagai sebuah jaringan dari komponen-komponen utama dan saling keterkaitannya. Tujuan utama analisis adalah untuk menyajikan/menampilkan aktifitas-aktifitas utama dalam organisasi dan hubungan dari aktifitas-aktifitas tersebut. Selanjutnya dari proses analisis ini akan diperoleh bagaimana hal-hal tersebut menambah nilai sehingga dapat memuaskan pelanggan dan memperoleh sumberdaya dari suplier. Selain itu dalam analisis ini akan teridentifikasi tahap-tahap value chain sehingga organisasi dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya. Penurunan biaya operasional dan peningkatan nilai tambah (value added) dapat meningkatkan keunggulan kompetitif organisasi.

Selanjutnya Donelan dan Kaplan (2000) menyatakan bahwa VCA mampu untuk menjelaskan :

1. Aliran informasi pada industri dan bagaimana kritisnya informasi tersebut untuk mendayagunakan industri dan sukses dari perusahaan di dalamnya. Dengan menentukan dimana dan kapan informasi tersebut tersedia, siapa yang memilikinya dan bagaimana informasi tersebut dapat diperoleh dan diarahkan menjadi advantage atau digunakan dalam perusahaan.

2. Informasi yang atau dipertukarkan dengan pelanggan dan suplier melalui rantai untuk memperbaiki kinerja bisnis atau saling memandu perbaikan kinerja dengan pembagian keuntungan (informasi yang dibutuhkan untuk menjual produk kepada pelanggan atau suplier untuk memperoleh input sumber daya).

3. Bagaimana efektifitas aliran informasi melalui proses utama dan penggunaannya oleh mereka : (a) di dalam masing-masing aktifitas untuk mengoptimalkan kinerja, (b) untuk menghubungkan aktifitas-aktifitas secara bersama-sama dan menghindari biaya yang tidak perlu serta menghindari peluang, (3) memungkinkan support activities untuk berkontirbusi pada value adding process.


(29)

14

2.3. Manajemen Rantai Pasok

Menurut Ma’arif dalam Marimin dan Nurul (2011) Supply Chain

Management (SCM) merupakan suatu perluasan dari logistic management

di perusahaan. Dalam manajemen logistik diketahui bahwa yang dibahas adalah perusahaan, pemasok dan pelanggan.

Gambar 2. Simplifikasi model Supply Chain dan 3 macam aliran yang dikelola (Pujawan, 2005)

Dalam SCM, kesemua rantai ini, dimulai dari perusahaan, pemasok, pelanggan, grosir, pengecer, diintegrasikan menjadi satu. Tujuannya adalah supaya lebih efisien. Pada suatu rantai pasok biasanya ada 3 macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Yang ketiga adalah aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya (Pujawan, 2005).

Istilah supply chain management (SCM) pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber dalam Marimin dan Nurul (2011) Kalau supply chain adalah jaringan fisiknya, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, SCM adalah metode, alat atau

Supplier Tier 2

Supplier Tier 1

Manufac turer

Distribut or

Ritel atau Toko Finansial : invoice, term pembayaran

Material : bahan baku, komponen, produk

Informasi : kapasitas, status pengiriman, quotation

Finansial : pembayaran Material : retur, recycle, repair Informasi : order, ramalan


(30)

pendekatan pengelolaannya. Namun perlu ditekankan bahwa SCM menghendaki pendekatan atau metode yang terintegrasi dengan dasar semangat kolaborasi.

Idealnya, hubungan antar pihak pada suatu supply chain berlangsung jangka panjang. Hubungan jangka panjang memungkinkan semua pihak untuk menciptakan kepercayaan yang lebih baik serta menciptakan efisiensi. Efisiensi bisa tercipta karena hubungan jangka panjang berarti mengurangi ongkos-ongkos untuk mendapatkan perusahaan partner baru. Namun perlu dicatat bahwa orientasi jangka panjang dalam konteks supply chain di lapangan harus tetap diinterpretasikan secara fleksibel. Dalam konteks lingkungan bisnis yang

semakin dinamis dewasa ini, ukuran ‘jangka panjang’ berlaku sangat relatif.

Dalam Marimin dan Nurul (2011) disebutkan manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena : (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditangani Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam desain manajemen rantai pasok produk pertanian karena kondisi rantai pasok produk pertanian lebih kompleks, manajemen rantai pasok produk pertanian juga bersifat probabilistik dan dinamis.

2.4. Supply Chain Management untuk Agroindustri

Menurut Boehlje dkk dalam Widodo dkk (2011), agroindustri adalah industri berbasis fresh material dari pertanian yang dapat dikarakteristikan sebagai berikut : 1) menggunakan pendekatan supply chain dalam proses produksi dan distribusi, 2) semakin membutuhkan peranan penting dari teknologi informasi, pengetahuan dan aset soft lainnya dalam upaya mengurangi biaya dan meningkatkan respon, 3) meningkatnya konsolidasi pada semua level bisnisnya.


(31)

16

Gambar 3. Proses loss produk segar pertanian sepanjang SCM ( Widodo dkk, 2011).

Produk segar pertanian (fresh-material) mempunyai sifat antara lain : musiman, perishable dan adanya variasi dalam produksi. Sifat-sifat tersebut akan berpengaruh dalam supply chain-nya. SCM untuk produk segar pertanian ditunjukkan dengan beberapa ciri sebagai berikut : 1)

proses “plant flowering” dan “plant growing: tergantung dari iklim di lahan pertanian, 2) jumlah produk segar yang bisa dipanen dipengaruhi

oleh “plant growing” yang sulit dikendalikan, 3) proses “loss” (kehilangan) sebuah produk segar dimulai begitu dipanen dan tergantung pada proses penanganannya, 4) semua produk segar harus dikonsumsi langsung oleh konsumen atau digunakan sebagai bahan di industri makanan atau minuman sebelum mengalami “pilferage”. Sangat disayangkan total loss dari produk segar pertanian berkisar antara 20-60% dari total jumlah produk yang dipanen di suatu negara (Widodo dkk, 2011). Jumlah loss yang besar ini terutama disebabkan karena ketidaksesuaian waktu dan kuantitas antara proses pemanenan dan pengiriman.

Jumlah yang bisa

dikonsumsi (%) Produk segar pertanian

yang dipanen, secara alamiah akan mengalami proses loss sehingga jumlah

yang bisa dikonsumsi semakin menurun

waktu

pengadaan Pengubahan Distribusi


(32)

2.5. Konsep Nilai Tambah

Menurut Marimin dan Nurul (2011) konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang terjadi karena adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu proses produksi. Arus peningkatan nilai tambah komoditas pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok dari hlu ke hilir yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Nilai tambah pada setiap anggota rantai pasok berbeda-beda tergantung dari input dan perlakuan oleh setiap anggota rantai pasok tersebut.

Nilai tambah komoditas pertanian di sektor hulu dapat dilakukan dengan penyediaan bahan baku berkualitas dan berkesinambungan yang melibatkan para pelaku pada mata rantai pertama, antara lain petani, penyedia saran prasarana pertanian dan penyedia teknologi. Nilai tambah secara kuantitatif dihitung dari peningkatan produktivitas, sedangkan nilai tambah secara kualitatif adalah nilai tambah dari meningkatnya kesempatan kerja, pengetahuan dan keterampilan SDM.

Nilai tambah selanjutnya terjadi pada sektor hilir yang melibatkan industri pengolahan. Komoditas pertanian yang bersifat perishable (mudah rusak) dan bulky (memerlukan penanganan atau perlakuan yang tepat), sehingga produk pertanian siap dikonsumsi oleh konsumen. Perlakuan tersebut, antara lain pengolahan, pengemasan, pengawetan dan manajemen mutu untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah sehingga harga produk komoditas pertanian menjadi tinggi. Beberapa nilai tambah yang tidak dapat dihitung secara numerik meliputi peluang kerja yang terbuka dengan adanya industri pengolahan dan peningkatan keterampilan pekerja.

Nilai tambah pada sektor retail adalah keuntungan yang didapat oleh retailer dalam menjual produk hasil pertanian yang sudah mengalami pengolahan. Nilai tambah tersebut didapatkan dari beberapa hal antara lain : produk yang dijual dalam bentuk eceran, kontinuitas persediaan barang jaminan mutu barang dan pelayanan terhadap konsumen.

Menurut Hayami et al., dalam Marimin dan Nurul (2011), ada dua cara untuk menghitung nilai tambah, yaitu nilai tambah untuk pengolahan


(33)

18

dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku dan nilai input lain. Menurut Sudiyono dalam Marimin dan Nurul (2011), besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata lain, nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen yang dapat diyanyatakan secara matematik sebagai berikut :

Nilai Tambah = f { K, B, T, U, H, h, L } dimana, K = Kapasitas Produksi

B = Bahan baku yang digunakan T = Tenaga kerja yang digunakan U = Upah tenaga kerja

H = Harga output h = Harga bahan baku

L = Nilai input lain ( nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses perlakuan untuk menambah nilai )

kelebihan dari analisis nilai tambah oleh Hayami adalah : 1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah.

2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor produksi. 3. Dapat diterapkan diluar subsistem pengolahan, misalnya kegiatan

pemasaran (Sudiyono dalam Marimin dan Nurul, 2011). Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

a. Membuat arus komoditas yang menunjukkan bentuk-bentuk komoditas, lokasi, lamanya penyimpanan dan berbagai perlakuan yang diberikan.

b. Mengidentifikasi setiap transaksi yang terjadi menurut perhitungan parsial


(34)

c. Memilih dasar perhitungan, yaitu satuan input bahan baku bukan satuan ouptput (Sudiyono dalam Marimin dan Nurul, 2011).

Konsep pendukung dalam analisis nilai tambah menurut hayami untuk subsistem pengolahan adalah sebagai berikut :

a. Faktor konversi, merupakan jumlah output yang dihasilkan satu satuan input.

b. Koefisien tenaga kerja langsung, menunjukkan jumlah tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input.

c. Nilai output, menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input (Sudiyono dalam Marimin dan Nurul, 2011).

Tabel 5. Contoh aplikasi nilai tambah prosedur perhitungan nilai tambah Metode Hayami

Sumber : Marimin dan Nurul, 2011

No Variabel Nilai

Output, Input dan Harga

1 Output (Kg) (1)

2 Bahan Baku (Kg) (2)

3 Tenaga Kerja Langsung (HOK) (3)

4 Faktor Konversi (4) = (1)/(2)

5 Koefisien Tenaga Kerja Langsung (HOK/Kg) (5) = (3)/(2)

6 Harga Output (Rp/Kg) (6)

7 Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7)

Penerimaan dan Keuntungan

8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) (8)

9 Harga Input lain (Rp/Kg) (9)

10 Nilai Output (Rp/Kg) (10) = (4)x(6)

11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) (11a) = (10)-(8)-(9)

b. Rasio Nilai Tambah (%) (11b) = (11a)/(10)x100 12 a. Pendapatan tenaga kerja langsung

(Rp/Kg)

(12a) = (5) * (7) b. Pangsa tenaga kerja langsung (%) (12b) = (12a)/(11a)x100 13 a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = (11a)-(12a)

b. Tingkat Keuntungan (%) (13b) = (13a)/(10)x100

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

14 Marjin (Rp/Kg) (14) = (10)-(8)

a. Pendapatan tenaga kerja langsung (%) (14a) = (12a)/(14)x100 b. Sumbangan input lain (%) (14b) = (9)/(14)x100 c. Keuntungan perusahaan (%) (14c) = (13a)/(14)x100


(35)

20

2.6. Tataniaga Pertanian

Limbong dan Sitorus (1985) menuturkan definisi tataniaga

pertanian sebagai berikut : “Tataniaga pertanian mencakup kegiatan dan

usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya memberikan

kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya.”

Rifai dalam Limbong dan Sitorus (1985) memberikan definisi

tataniaga pertanian yang lebih tegas, yaitu : “Tataniaga pertanian adalah

serangkaian jasa-jasa untuk mengusahakan benda-benda mengalir mulai

dari titik produksi hingga titik konsumsi”. Pengertian jasa-jasa dalam hal ini termasuk atau mencakup semua fungsi yang merubah sesuatu benda dalam hal bentuk, waktu, tempat atau hak milik.

Mubyarto dalam Limbong dan Sitorus (1985) membuat ukuran

efisiensi tataniaga yaitu : “Sistem tataniaga dianggap efisien apabila

memenuhi dua syarat : (1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (2) mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada pihak yang ikut serta didalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu (Limbong dan Sitorus 1985).

2.7. Marjin Tataniaga

Limbong dan Sitorus (1985), mendefinisikan marjin tataniaga merupaka perbedaan harga pada tingkat yang berbeda dari sistem pemasaran/tataniaga. Marjin tataniaga adalah juga perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dan harga ditingkat pengecer (Pr). Atau marjin tataniaga tersebut juga dapat ditunjukkan oleh perbedaan atau jarak vertikal antara kurva permintaan (atau kurva penawaran) seperti yang disajikan pada Gambar 4. Marjin tataniaga hanya berhubungan dengan perbedaan harga dan tidak membuat pernyataan tentang jumlah produk.


(36)

Gambar 4. Definisi marjin tataniaga, nilai marjin tataniaga, dan ongkos atau biaya tataniaga ( Limbong dan Sitorus, 1985).

Nilai marjin tataniaga adalah perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Nilai marjin tataniaga akan sama dengan (Pr-Pf)Qr,f. Marjin tataniaga terdiri dari ongkos tataniaga dan keuntungan tataniaga.

2.8. Analisis R/C

R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematik hal ini dapat dituliskan sebagai berikut :

a = R/C ... (1) R = Py.Y

C = FC+VC

a = {(Py.y)/(FC+VC}) dimana :

Dr

Df Sr

Sf

Biaya Tataniaga Nilai Marjin Tataniaga (Pr-Pf) Qr,f Harga

Jumlah Marjin

Tataniaga (Pr-Pf)

Pr

Pf


(37)

22

R = penerimaan

C = biaya

Py = harga output Y = output

FC = biaya tetap (fixed cost) VC = biaya variabel (variable cost)

Secara teoritis dengan rasio R/C = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi. Namun karena adanya biaya usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah menurut keyakinan si Peneliti ; misalnyaR/C yang lebih dari satu, bila suatu usahatani itu dikatakan menguntungkan (Soekartawi, 2006).

2.9. Struktur Penerimaan dan Pendapatan Usahatani

Menurut Soekartawi (2006), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut :

TRi = Yi . Pyi ... (2)

Dimana : TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani

Py = Harga Y

Adapun pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut :

Pd = TR – TC ... (3) Dimana : Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total Penerimaan

TC = Total Biaya

Dalam banyak hal jumlah TC ini selalu lebih besar bila analisis ekonomi yang dipakai, dan selalu lebih kecil bila analisis finansial yang dipakai. Oleh karena itu dalam analisis yang dilakukan perlu disebutkan analisis apa yang digunakan.


(38)

2.10. Kemitraan Usaha

Secara harfiah kemitraan diartikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. kemitraan merupakan sebuah solusi untuk mengurangi masalah ketimpangan yang dihadapi sebagian lapisan masyarakat dewasa ini dan sebagai antisipasi munculnya masalah yang sama di masa mendatang. Kemitraan dijadikan solusi karena keberadaannya maupun fungsi dan peranannya diperlukan untuk memberdayakan semua lapisan masyarakat (Hafsah, 2000).

Kemitraan usaha adalah adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (perusahaan mitra) disertai dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling memerlukan, menguntungkan dan memperkuat (SK. Mentan No. 940/Kpts/O1210/1097, Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian).

Masih dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/O1210/1097 tujuan dari diadakannya kemitraan usaha adalah (1) meningkatkan pendapatan, (2) keseimbangan usaha, (3) meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok, (4) meningkatkan skala usaha, (5) meningkatkan kemampuan usaha, sehingga kelompok tani/ petani menjadi kelompok tani/petani yang tangguh dan mandiri.

Adapun pola-pola kemitraan yang banyak dilaksanakan oleh beberapa kemitraan usaha pertanian di Indonesia adalah :

1. Inti-Plasma

Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan


(39)

24

kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini perusahaan mitra mempunyai kewajiban : (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5) memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi dan teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan.

Adapun kewajiban kelompok mitra : (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Keunggulan dari pola ini adalah : (1) kedua belah pihak saling mempunyai ketergantungan dan sama-sama memperoleh keuntungan, (2) terciptanya peningkatan usaha, dan (3) dapat mendorong perkembangan ekonomi. Namun, dikarenakan belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma, kelemahan pola ini menyebabkan perusahaan inti mempermainkan harga komoditi plasma.

2. Subkontrak

Subkontrak merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak meliputi : (1) menampung dan membeli komponen produksi perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra, (2) menyediakan bahan baku/modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi.

Adapun tugas kelompok mitra adalah : (1) memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, (2) menyediakan tenaga kerja, (3) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu. Pola


(40)

subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya tampak dari hubungan yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah pada monopoli atau monopsoni.

3. Dagang umum

Salah satu pola kemitraan dimana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah payah dalam memasarkan hasil produksinya sampai kepada konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra.

4. Keagenan

Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan dimana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun disisi lain pola ini memiliki kelemahan dikarenakan kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra saja.

5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Dalam pola ini perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. Sedangkan kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Keunggulan pola ini hampir sama dengan pola inti-plasma, namun dalam pola ini lebih menekankan pada bentuk bagi hasil.


(41)

26

6. Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham

Dalam pola kemitraan ini, terdapat penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar. Penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20% dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

7. Waralaba

Merupakan pola hubungan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memberikan hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba. Kelebihan pola ini, kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keuntungan tersebut dapat berupa adanya alternatif sumber dana, penghematan modal dan efisiensi. Selain itu pola ini membuka kesempatan kerja yang luas.

Kelemahannya adalah bila terdapat pihak yang ingkar dalam menepati kesepakatan sehingga terjadi perselisihan. Selain itu, pola ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar dari perusahaan terwaralaba terhadap perusahaan pewaralaba dalam hal teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat. Sebaliknya perusahaan pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal penjualan.

2.11. Penelitian Terdahulu

Dani (2011) melakukan penelitian dengan judul Strategi Pengembangan Organisasi Rantai Nilai Pada Komoditas Sapi Di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang Jawa Timur. Masalah yang dibahas pada penelitian tersebut adalah bagaimana membangun kembali sistem organisasi rantai nilai yang belum terintegrasi dengan baik. Adapun upaya-upaya tersebut dilakukan dengan : 1) Mengidentifikasi permasalahan rantai nilai yag dihadapi semua pelaku usaha pada ranta tata niaga komoditas susu sapi, 2) Menetapkan strategi pengembangan


(42)

organisasi rantai nilai utuk pelaku usaha rantai pasok susu sapi tersebut. Hasil perhitungan dengan Analytical Hierarcy Process (AHP) menunjukkan bahwa membentuk kelompok kerja menjadi strategi prioritas dibanding strategi lainnya.

Yusri (2010) melakukan penelitian dengan judul Analisis Strategi Pengembangan Rantai Nilai Ekowisata Kebun Raya Bogor (KRB). Permasalahan yang dibahas pada penelitian tersebut adalah bagaimana membangun sistem rantai nilai KRB yang terintegrasi serta strategi apa saja yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan model sistem rantai nilai tersebut. Berdasarkan perhitungan menggunakan metode Analytical Hierarcy Process (AHP) diperoleh faktor yang paling penting adalah keberadaan KRB dengan aktor pengelola KRB menjadi aktor paling penting dibanding aktor lainnya. Tujuan yang lebih penting dari pengembangan rantai nilai ini adalah keberlanjutan rantai nilai dengan prioritas strategi yakni peningkatan pemasaran bersama KRB sebagai tempat ekoeduwisata plus (MICE).

Asril (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Kondisi Dan Desain Indikator Kinerja Rantai Pasokan Brokoli (Brassica Olerecea) Di Sentra Holtikultura Cipanas-Cianjur, Jawa Barat. Permasalahan yang dibahas pada penelitian tersebut adalah bagaimana kondisi rantai pasok brokoli, seberapa besar nilai tambah yang diperoleh pada setiap pihak pada rantai pasok brokoli dan bagaimana desain indikator kinerja rantai pasokan brokoli tersebut. Anggota rantai pasokan terdiri dari anggota primer dan sekunder. Anggota primer terdiri dari petani, bandar, sub terminal agribisnis (STA), usaha dagang (UD), pedagang pengumpul dan ritel sebagai konsumen. Petani memperoleh rasio nilai tambah sebesar 16,67%, bagi bandar sebesar 20,49 % dan sebesar 65,03% rasio nilai tambah yang diperoleh ritel. Desain indikator kinerja dibangun dengan Model SCOR, terdiri dari tingkat 1 yaitu proses bisnis, tingkat 2 yaitu parameter kinerja industri sayuran, tingkat 3 terdiri dari atribut kinerja dan tingkat 4 terdiri dari indikator kinerja. Proses bisnis terdiri dari perencanaan, pengadaan, budidaya, pengolahan, pengiriman. Faktor kinerja terdiri dari nilai


(43)

28

tambah, kualitas dan resiko. Atribut kinerja terdiri dari reliability, responsibility, flexibility/quality, biaya dan asset. Indikator kinerja terdiri dari kinerja pengiriman, pemenuhan pesanan sempurna, siklus pemenuhan pesanan, lead time pemenuhan pesanan, fleksibilitas pemenuhan pesanan, kesesuaian standar mutu, biaya transportasi optimal, cash to cash cycle dan

inventory days of supply. Adapun berdasarkan perhitungan AHP diketahui

bahwa indikator yang menjadi pilihan berdasarkan atribit kinerja adalah kesesuaian standar mutu, kinerja pengiriman, biaya transportasi optimal, cash to cash sycle timedan lead time pemenuhan pesanan.

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memiliki persamaan juga perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah pada penelitan Asril dilakukan perhitungan nilai tambah. Selain itu pelaku dalam rantai yang terdiri anggota primer dan anggota sekunder.

Adapun perbedaannya adalah pada penelitian Dani dan Yusri yaitu digunakannya Analytical Hierarcy Process (AHP). Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan Asril adalah digunakannya model Supply Chain Operations Reference (SCOR) yang terdiri dari 4 tingkat. Perbedaan lainnya yaitu penelitian yang dilakukan Asril menggunakan AHP.


(44)

 Tingginya intensitas persaingan pada komoditi jamur tiram putih  Aliran produk jamur tiram yang ditangani oleh pelaku yang

berbeda-beda

 Rendahnya pendapatan akibat fluktuasi harga jamur tiram putih  Seberapa besar marjin, R/C dan nilai tambah yang diperoleh oleh

para pelaku di dalam rantai pasokan?

 Bagaimana aktivitas para pelaku dalam rantai nilai?

Analisis Deskriptif

 Analisis rantai pasok  Rantai nilai

 Kemitraan  Nilai Tambah

Return Cost Ratio (R/C Ratio)

Kinerja Rantai Nilai yang sesuai bagi setiap pelaku dalam rantai nilai komoditas jamur tiram putih

3.1. Kerangka Pemikiran

Sebagai produk konsumsi, permintaan akan jamur tiram putih akan terus meningkat seiring terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan permintaan atas komoditi ini dapat meningkatkan pendapatan bagi para pelaku usaha pada rantai tersebut. Namun belum efektif dan efisiennya rantai pasok pada produk holtikultura menyebabkan belum maksimalnya pendapatan yang didapat. Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus agar permintaan yang ada sesuai dengan pendapatan yang didapat oleh para pelaku didalam rantai komoditi holtikultura ini.


(45)

30

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada di unit usaha jamur tiram putih P4S Nusa Indah, Kampung Sukamanah, Desa Tamansari, kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada periode September – November 2012. Lokasi penelitian dipilih secara

purposive (sengaja), berdasarkan pertimbangan bahwa P4S Nusa

Indah merupakan suatu lembaga pelatihan dan pendidikan pada bidang pertanian yang menjalankan usaha jamur tiram putih dan berada di bawah binaan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.

3.3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer didapat dari observasi atau pengamatan langsung di obyek penelitian, serta wawancara mendalam (indepth interview) dengan beberapa narasumber yang terkait. Data tersebut antara lain data mengenai distribusi nilai tambah yang terdapat pada rantai nilai jamur tiram putih, serta data-data terkait lainnya.

Diskusi dengan narasumber dilakukan untuk

mengembangkan strategi rantai nilai pada komoditas jamur tiram putih tersebut. Setelah mendapatkan hasil tersebut, penelitii melakukan diskusi dengan beberapa pakar terkait untuk menentukan alternatif strategi terbaik dalam pengembangan rantai nilai komoditas jamur tiram pada P4S Nusa Indah.

Data sekunder diperoleh dari studi pustaka serta dokumen-dokumen pendukung lainnya. Data tersebut antara lain pustaka mengenai konsep rantai pasok, rantai nilai, jamur tiram putih, nilai tambah, serta hal-hal terkait marjin tataniaga pertanian.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini adalah ketua P4S Nusa Indah, bagian pemasaran dan bagian penanganan pasca panen (jamur krispy). Wawancara juga dilakukan terhadap pihak-pihak lain yang terkait


(46)

dalam rantai pasok jamur tiram putih tersebut. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner terbuka. Wawancara dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang dibutuhkan dalam perhitungan nilai tambah, R/C serta marjin tataniaga pertanian.


(47)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum P4S Nusa Indah

Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah awalnya adalah kelompok tani yang berkumpul dan mendirikan wadah Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa Indah. KWT Nusa Indah berdiri pada 17 Juli 1996 dan kemudian pada tahun 1998 berubah menjadi P4S Nusa Indah yang diresmikan oleh Penyuluh Pertanian Kabupaten Bogor.

Pada tahun 2003 P4S Nusa Indah dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Bogor pada tanggal 17 Juli 2003 dengan nomor 520.13 / 242 / KIPP / VII /2003 yang diketuai oleh Ibu Cucu Komalasari. Dibentuknya P4S Nusa Indah dalam rangka menyebarluaskan teknologi dan keterampilan yang dimilikinya dan sebagai mitra pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang usahatani yang berorientasi agribisnis. Pengelola P4S adalah petani atau kelompok tani yang memenuhi syarat, yaitu mempunyai jiwa kepemimpinan, mampu menjalin kerjasama, mempunyai jiwa sosial yang tinggi, memiliki sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pemagangan dan mampu menularkan kemampuannya kepada orang lain.

Pendidikan pelatihan yang terdapat di P4S Nusa Indah adalah program pembelajaran atau pelatihan yang dibutuhkan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Program-program tersebut yaitu ; 1) Teknologi pembibitan dan budidaya, 2) penanganan panen, 3) pengolahan pasca panen, 4) pemasaran dan 5) pembangunan usaha.

P4S Nusa Indah merupakan lembaga swadaya yang permodalannya berjalan secara mandiri. Pada beberapa kesempatan ada bantuan atau hibah dari instansi pemerintah, namun secara keseluruhan lembaga ini bergerak dari usaha sendiri. P4S merupakan suatu lembaga, namun bagaimanapun uga agar lembaga tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuannya maka pasti dibutuhkan dana. Dalam hal ini, P4S


(48)

mendapatkan dana dari usaha yang dijalankan, salah satu usaha unggulan adalah unit usaha jamur tiram putih.

4.1.1. Kondisi umum lokasi penelitian

Kabupaten Bogor terletak di Jawa Barat pada koordinat 106043’30”BT - 106051’00” BT dan 30’30”LS -6041’00” LS. Kabupaten Bogor termasuk wilayah berdataran tinggi dengan ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter dari permukaan laut (dpl). Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26oC dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu terendah Bogor adalah 21,8oC.

Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah 2.071,21 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi di utara ; Kabupaten Karawang di timur. Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan, serta Kabupaten Lebak (Banten) di barat.

Kabupaten Bogor secara garis besar terdiri atas tiga wilayah dan 40 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut dibagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Cibinong, yang terletak di sebelah utara Kota Bogor.

Penelitian di Kabupaten Bogor dilakukan di Kecamatan Tamansari yang merupakan salah satu sentra penghasil jamur tiram putih di Kabupaten Bogor. Di Kecamatan Tamansari terletak Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah dengan produk unggulan jamur tiram putih dimana studi dilangsungkan.

Lokasi P4S Nusa Indah berada di Jl. Ciapus Raya, Gg. Pala No. 51 RT/RW 02/01, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini terletak di kaki Gunung Salak yang secara geografis memiliki ketinggian 600-700 m dpl. Adapun suhu udara di kecamatan ini berkisar pada 270-280 C dengan curah hujan berkisar antara 250-300 mm/th. Berdasarkan ciri-ciri topografi tersebut maka Kecamatan Tamansari termasuk kategori


(49)

34

wilayah dataran tinggi sehingga cukup baik untuk budidaya komoditas jamur tiram putih.

4.2. Kegiatan Budidaya Jamur Tiram Putih di P4S Nusa Indah

4.2.1 Pembuatan Media Tanam

P4S Nusa Indah selaku petani dapat membuat media tanam jamur (baglog) dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Persiapan

Dalam melakukan budidaya jamur tiram putih dengan menggunakan serbuk kayu sebagai komposisi utama untuk media tumbuh. Serbuk kayu yng biasa digunakan dalam kegiatan budidaya jamur tiram putih adalah berasal dari serbuk gergaji kayu sengon (Parasientes falcataria). Selain serbuk kayu, bahan-bahan lain seperti dedak, gips, kapur (CaCO3) juga digunakan dalam mempersiapkan media tanam jamur tiram putih. Semua bahan-bahan pembuat media tanam disiapkan sesuai dengan kebutuhan dan komposisi yang sesuai. b. Pengayakan

Serbuk gergaji yang diperoleh dari pengrajin memiliki tingkat keseragaman yang kurng baik karena didalamnya terdapat potongan-potongan yang cukup besar dan tajam yang dapat merusak plastik sebagai pembungkus media tanam jamur tiram putih yang menyebabkan pertumbuhan miselia jamur tidak merata. Serbuk kayu yang diperoleh dari penggergajian disortir (pengayakan) terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil serbuk gergaji yang baik. Pengayakan dilakukan secara manual.

c. Pencampuran

Pencampuran disini adalah pencampuran semua bahan baku sebagai komposisi untuk membuat baglog. Bahan-bahan tersebut adalah serbuk kayu, dedak, gipsum, kapur dan air. Pencampuran dilakukan secara manual. Bahan-bahan seperti dedak, gipsum dan kapur diratakan diatas permukaan serbuk kayu. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur hingga merata dan diberikan air sebanyak +/- 40% dari jumlah adonan.


(50)

Tidak ada standard khusus mengenai jumlah air yang digunakan. Untuk mengukur kadar air yang sesuai dapat dilakukan dengan mengepal adonan yang telah dicampur air. Jika kepalan adonan yang ada tidak mudah hancur dan tidak meneteskan air maka air yang digunakan sebagai campuran dirasa sudah cukup. Pencampuran dilakukan merata agar tidak terdapat gumpalan serbuk gaji dan kapur. Adanya gumpalan tersebut mengakibatkan komposisi media yang diperoleh tidak merata dan berpegaruh terhadap produksi jamur tiram nantinya.

d. Pengomposan

Bahan-bahan yang telah dicampur untuk membuat baglog selanjutnya dikomposkan selama 1 hari. Pengomposan dilakukan dengan cara menimbun campuran tersebut dan menutupnya dengan terpal. Kadar air pada saat pengomposan harus diatur agar tidak terjadi pertumbuhan mikroba yang dapat merusak baglog.

e. Pewadahan dan Pembuatan Media Tanam

Setelah dilakukan pengomposan maka media tanam tersebut dimasukkn ke dalam plastik. Adapun ukuran plastik yang digunakan untuk pembuatan baglog ini adalah sebesar 17 cm x 35 cm dengan ketebalan 0,3 mm.

Pewadahan dilakukan dengan cara memasukkan adonan media hasil pengomposan kedalam plastik media. Kemudian adonan tersebut dipadatkan. Proses pemadatan diperlukan untuk mencegah terciptanya ruang bagi udara untuk masuk kedalam media. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya mikroba yang dapat mengganggu berkembangnya miselium jamur sehingga dapat menurunkan hasil panen. Setelah media padat, baglog yang sudah terisi diikat dengan karet.

f. Sterilisasi

Media-media yang telah terisi dengan adonan kemudian disterilisasi. Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan tidak terdapat mikroba-mikroba yang dapat tumbuh di dalam baglog. Hal ini untuk


(51)

36

mensterilkan media dari mikroba maupun kapang yang dapat tumbuh dan mengganggu pertumbuhan miselium jamur.

Pada tahap ini, sterilisasi baglog dilakukan dengan menggunakan drum berkapasitas 700 baglog. Proses sterilisasi dilakukan selama 8 jam dengan suhu mencapai 900-1200 C. Setelah itu, baglog kemudia didinginkan selama 7 jam dengan temperatur baglog pada suhu 300-400 C sebelum diinokulasi.

4.2.2. Inokulasi (Pembibitan)

Inokulasi berarti proses pemindahan sejumlah kecil miselia jamur dari biakan induk ke dalam media tanam yang telah disediakan. Tujuannya untuk menumbuhkan miseli jamur pada media tanam sehingga menghasilkan jamur siap panen. Inokulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Diantaranya tebaran dan tusukan. Inokulasi secara taburan yaitu menaburkan bibit sekitar 3 sendok makan ke dalam media tanam secara langsung. Sementara itu, inokulasi secara tusukan dilakukan dengan cara membuat lubang dibagian tengah media melalui cincin sedalam ¾ dari tinggi media. Selanjutnya dalam lubang tersebut diisi bibit yang telah dihancurkan. Dalam melakukan inokulasi harus dilakukan dengan hati-hati. Berikut merupakan hal-hal yang harus diperhatikan saat inokulasi.

a. Kebersihan

Kebersihan meliputi alat, tempat dan sumber daya atau pelaksananya. Dalam hal ini, kebersihan diukur dari tingkat sterilitasya. Oleh karena itu, alat dan tempat inokulasi disterilisasi terlebih dulu sebelum digunakan. Sterilisasi alat dilakukan dengan menggunakan alkohol 70% dan lampu spirtus. Peralatan yang digunakan dalam inokulasi dicelupkan ke dalam larutan alkohol 70% kemudian dinyalakan beberapa saat jangan sampai peralatan yang terbuat dari kayu hangus.

Sedangkan tempat inokulasi di sterilisasi terlebih dahulu menggunakan alkohol 70% selama 15 menit. Ruang yang


(1)

67

putih. Sedangkan margin yang didapat pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.196 per kg. Perbedaan yang cukup signifikan adalah margin sebesar Rp. 3.550 per kg untuk pedagang pengecer. Sama seperti distribusi nilai tambah, besarnya margin yang didapat oleh pedagang pengecer karena besarnya harga jual jamur tiram putih di tingkat pedagang pengecer. Namun untuk R/C Ratio (Revenue cost) yang diperoleh oleh setiap pihak relatif berimbang, yaitu : (1) sebesar 1,23 untuk P4S Nusa Indah, (2) 1,14 untuk pedagang pengumpul, dan (3) 1,3 untuk pedagang pengecer.

2. Saran

a.

Besarnya margin yang diterima oleh P4S Nusa Indah selaku petani relatif sudah sesuai dengan apa yang selama ini dilakukan. Namun, melihat besarnya margin yang diperoleh oleh pedagang pengecer tentu membuat peluang untuk mendapatkan margin yang lebih besar menjadi terbuka. Oleh karena itu disarankan bagi P4S Nusa Indah untuk memangkas rantai pasok jamur tiram putih yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan menjual jamur tiram putih langsung kepada pedagang pengecer atau menjual jamur tiram putih langsung ke konsumen akhir seperti warung makan atau restoran.

b.

Perlu ada upaya lebih bagi P4S Nusa Indah untuk menjual jamur tiram putih olahan (keripik jamur) melihat besarnya nilai tambah yang didapat. Oleh karena itu disarankan bagi P4S Nusa Indah tidak hanya menjual jamur tiram putih langsung ke pasar tetapi juga memperluas pasar keripik jamur yang sudah ada sekarang. Hal ini diharapkan mampu memberikan pendapatan yang lebih besar bagi P4S Nusa Indah.


(2)

Atkinson A A, Kaplan R S, Matsumura M, Young S M. Management Accounting. 2007. Upper Saddle River, New Jersey (US) : Prentice Hall. Asril Z. 2009. Analisis Kondisi Dan Desain Indikator Kinerja Rantai Pasokan

Brokoli (Brassica Olerecea) Di Sentra Holtikultura Cipanas-Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Dani F D P. 2011. Strategi Pengembangan Organisasi Rantai Nilai Pada Komoditas Susu Sapi di Kecamatan Pujon [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

David F R. 2009. Manajemen Srategis. Jakarta (ID) : Penerbit Salemba Empat. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat. 2012. Produksi Sayuran Tahun 2007 – 2011

Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat.

http://diperta.jabarprov.go.ig/index.php/submenu/924 diunduh pada 16

Oktober 2012

Direktorat Hortikultura. 2009. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayur Tahun 2008-2009: Tanaman: Jamur. Database Statistik Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian.

Donelan J G, Kaplan E A. 2000. Value Chain Analysis: A Stretegic Approach to Cost Management. New York (US) : Thomson Learning Publising.

Hafsah M J. 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Jakarta (ID) : Pustaka Sinar Harapan.

Kotler P. 2004. Manajemen Pemasaran, Edisi Millenium. Jakarta (ID) : PT Prenhallinda.

Kotler P, Keller K L. 2008. Manajemen Pemasaran. Jakarta (ID) : PT Indeks. Limbong W H, Sitorus P. 1985. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Bogor (ID) :

Institut Pertanian Bogor.

Marimin, Nurul M. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. Bogor (ID) : IPB Press.

Martawijaya E I, Nurjayadi M Y. 2010. Bisnis Jamur Tiram di Rumah Sendiri. Bogor (ID) : IPB Press.

Morgan W, S Iwantoro, AS Lestari. 2004. Improving Indonesian Vegetable Supply Chains. Didalam : GI Jhonson dan PJ Hofman, editor. Agri-Product Supply Chain Management in Developing Countries. Proceeding of a Workshop; Bali 19-22 August 2004. Denpasar (ID) : ACIAR.

Pujawan I N. 2005. Supply Chain Management. Bogor (ID) : PT Gunawidya. Porter M E. 1985. Competitive Advantage : Creating and Sustaining, Superior

Performance for Analyzing Industries and Competitor, The Free Pass. Porter M E. 1994. Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan


(3)

69

SK. Mentan No. 940/Kpts/O1210/1097, Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Soekartawi A. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : UI-Press

Rahmat S, Nurhidayat. 2011. Untung Besar dari Bisnis Jamur Tiram. Jakarta (ID) : PT. Agromedia Pustaka.

Widodo K H, Pramudya K, Abdullah A, Pujawan I N. 2011. Supply Chain Management Agroindustri yang Berkelanjutan. Bandung (ID) : CV Lubuk Agung

Yusri, D. 2010. Analisis Strategi Pengembangan Rantai Nilai Ekowisata Kebun Raya Bogor (KRB) [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.


(4)

(5)

71

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

KUISIONER

Kuisioner ini digunakan sebagai bahan penelitian Analisis Rantai Nilai Pada Komoditas Jamur Tiram Putih di Kabupaten (Studi Kasus Pada P4S Nusa Indah) oleh Muhammad Syibil (H24104020) mahasiswa Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada Program Sarjana Alih Jenis Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pertanyaan Untuk Petani (P4S Nusa Indah) 1. Barapa luas lahan yang Anda miliki ?

2. Bagaimana status kepemilikan lahan Anda tersebut? 3. Bagaimana sistem pemeliharaan produk Anda?

4. Berapa biaya yang digunakan untuk menproduksi bibit ? 5. Apa saja sarana produksi yang Anda gunakan?

6. Berapa biaya yang Anda keluarkan untuk pemenuhan sarana produksi pada setiap panen ?

7. Darimana Anda mendapatkan modal untuk pembelian bibit dan sarana produksi ?

8. Kendala yang dihadapi dalam pemenuhan bibit dan sarana produksi ?

Aktifitas P4S Nusa Indah

1.Berapa kali Anda melakukan panen dalam 1 hari? 2. Berapa hasil dari lahan Anda?

3. Apakah hasil tersebut cenderung berubah-ubah atau tetap? 4. Apa yang mempengaruhi hasil dari lahan Anda?

5. Bagaiman pengawasan pada produk jamur Anda?

6. Apakah anda melakukan proses sorting dan garading dari produk yang Anda hasilkan?

7. Apakah anda melakukan pengemasan pada produk yang Anda hasilkan ? 8. Dari segi mutu produk yang anda hasilkan apakah sudah memenuhi

permintaan pasar ?

9. Apakah ada pelatihan atau pembinaan dari pemerintah atau instansi lain untuk meningkatkan kualitas produksi Anda?


(6)

Lanjutan Lampiran 1.

Kinerja Keuangan

1. Berapa rata-rata pendapatan Anda ?

2. Berapa total produksi yang dapat Anda hasilkan dalam satu periode (Kg/ Periode) ?

3. Berapa input bahan baku (bibit dan sarana produksi) untuk sekali periode (Rp/ Periode) ?

4. Berapa Input tenaga kerja yang digunakan untuk sekali periode? 5. Berapa harga produk yang Anda jual (Rp/Kg) ?

7. Berapa upah tenaga kerja ?

8. Berapa harga input bahan baku (Bibit dan sarana produksi) ? 9. Biaya apa saja selain input bahan baku yang digunakan ?

Pertanyaan Untuk Pedagang

1. Dengan siapa saja Anda bermitra dalam melakukan usaha Anda ? 2. Dalam hal apa Anda bermitra?

3. Sudah berapa lama anda bermitra ?

4. Apakah Anda mengetahui kondisi mitra Anda ?

5. Apakah Anda mengetahui tempat pemasaran produk mitra Anda ? 6. Meliputi daerah mana saja pemasaran produk Anda ?

7. Sipakah pesaing usaha Anda ?

8. Biaya-biaya apa saja yang anda keluarkan dalam menjalankan usaha Anda? 9. Berapa rata-rata pendapatan harian Anda?