Optimalisasi Produksi Jamur Tiram Putih di Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah, Bogor

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor pertanian yang menempati urutan kedua setelah industri pengolahan mulai dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Pada Tabel 1 terlihat bahwa tahun 2008 kontribusi sektor pertanian mencapai 14,5 persen, kemudian kontribusinya meningkat pada tahun 2009 hingga 2010 menjadi 15,3 persen.

Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008 – 2010 dalam Persen

No. Lapangan Usaha Tahun

2008 2009 2010

1 Pertanian, Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan

14,5 15,3 15,3

2 Pertambangan dan Penggalian 10,9 10,6 11,2

3 Industri Pengolahan 27,8 26,4 24,8

4 Listrik ,Gas, dan Air Bersih 0,8 0,8 0,8

5 Konstruksi 8,5 9,9 10,3

6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 14,0 13,3 13,7

7 Pengangkutan dan Komunikasi 6,3 6,3 6,5

8 Keuangan, Real estate dan Jasa Keuangan

7,5 7,2 7,2

9 Jasa-jasa 9,7 10,2 10,2

Total PDB 100 100 100

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Salah satu subsektor pertanian adalah hortikultura. Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan adalah jamur. Tidak sejalannya laju produksi jamur tiram putih dengan tingkat konsumsinya menjadikan alasan bahwa usaha jamur memiliki peluang yang cerah. Berdasarkan


(2)

2 data Badan Pusat Statistik 2007, pada tahun 2006 ketersediaan jamur per kapita 0,10 kg per tahun, sedangkan konsumsi jamur per kapita adalah 0,42 kg per tahun. Produksi jamur di Indonesia masih berfluktuasi meskipun kecenderungannya meningkat. Fluktuasi ini dapat dilihat pada Tabel 2 produksi dan pertumbuhan jamur di Indonesia tahun 2003-2008. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 dengan produksi sebesar 49.247 ton. Produksi ini turun sebesar 12,59 persen pada tahun 2008. Produksi jamur pada tahun 2008 sebesar 43.047 ton. Fluktuasi produksi jamur disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor alam dan keterampilan serta pengetahuan para pembudidaya (Maji, 2007)1.

Tabel 2. Produksi Jamur dan Pertumbuhannya Tahun 2003 – 2008 di Indonesia

Tahun Produksi (ton) Pertumbuhan (%)

2003 31.233 -66,24

2004 10.544 192,62

2005 30.854 -23,64

2006 23.559 109,04

2007 49.247 -12,59

2008 43.047 -

Sumber : Departemen Pertanian, 2010

Berdasarkan hukum penawaran dan permintaan dalam ilmu ekonomi, yakni pada saat permintaan meningkat dalam kondisi penawaran yang relatif sama akan mengakibatkan terjadinya peningkatan harga (Lipsey, 1984). Peningkatan harga ini mendorong para petani atau masyarakat untuk membudidayakan jamur. Hal ini menyebabkan penawaran meningkat. Namun tidak semua petani mampu bertahan dalam usaha ini meskipun cara budidaya jamur relatif sederhana.

Sentra produksi jamur di Indonesia adalah propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Jawa Barat merupakan penghasil utama jamur, kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 luas panen jamur pada daerah sentra penghasil jamur di Indonesia 2004-2008. Luas panen jamur di Jawa Barat adalah sebesar 218,75 hektar pada tahun 2004. Luas panennya menurun menjadi 190 hektar pada tahun 2005, namun kembali meningkat menjadi 195 hektar. Luas panen tahun 2007

1


(3)

3 meningkat tajam menjadi 1.885,23 hektar, tetapi luas panen ini hanya bertahan satu tahun saja, bahkan menurun pada tahun 2008 menjadi 234,49 hektar.

Tabel 3.Luas Panen Jamur pada Daerah Sentra Penghasil Jamur di Indonesia Tahun 2004-2008 dalam Hektar

No. Lokasi 2004 2005 2006 2007 2008

1. Jawa Barat 218,75 190,00 195,00 1.885,23 234,49

2. Jawa Tengah 2,54 5,00 16,00 62,59 8,99

3. Jawa Timur 0,09 3,00 6,00 77,69 6,05

4. Yogyakarta 0,03 56,00 80,00 1.741,47 385,94 Sumber : Departemen Pertanian, 2010

Jamur yang banyak dibudidayakan secara komersial adalah jamur kuping, shiitake, tiram, dan champignon. Jamur shiitake dan champignon hanya dapat dibudidayakan di tempat-tempat tertentu, yaitu dataran tinggi yang bersuhu dingin. Namun berdasarkan lingkungan tumbuh, jamur tiram, merang dan kuping sangat sesuai untuk dibudidayakan di wilayah Indonesia.

Jamur merang mendominasi sebanyak 55-60 persen dari produksi jamur nasional. Peringkat kedua ditempati oleh produksi jamur tiram putih sebanyak 30 persen dari produksi nasional. Untuk Jawa Barat menurut MAJI 2007, produksi jamur merang per harinya sebanyak 15-20 ton, sedangkan jamur tiram putih sebanyak 10 ton. Sementara jamur kuping, dengan sentra utama Jawa Tengah, setiap hari memproduksi satu ton, kemudian jamur shiitake dengan produksi 500 kg/hari. Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar.

Jamur tiram putih ini merupakan pangan yang bernutrisi tinggi. Berdasarkan Tabel 4, jamur tiram ini memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang lebih tinggi daripada daging sapi, jamur merang dan sayuran bayam, kentang, kubis, seledri dan buncis.

Berdasarkan Tabel 4, kandungan lemak pada jamur tiram ini lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada daging sapi. Jamur tiram hanya mengandung lemak sebanyak 1,6 persen sedangkan daging sapi sebanyak 5,5 persen. Namun protein yang dikandung oleh jamur tiram lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Jika daging sapi hanya mengandung 21 persen protein, jamur tiram mengandung 27 persen. Begitu juga dengan jamur lain,


(4)

4 kandungan proteinnya lebih rendah. Kandungan protein pada jamur merang dan kuping sebesar 1,8 dan 8,4 persen.

Kandungan karbohidrat pada jamur tiram putih lebih rendah dari jamur kuping, yaitu hanya 58 persen. Kandungan karbohidrat pada jamur kuping sebesar 82 persen. Namun dibandingkan dengan sayuran kandungan karbohidrat jamur tiram ini jauh lebih besar. Kubis hanya mengandung 4,2 persen karbohidrat, seledri dan buncis 0,4 persen, bayam 1,7 persen, kentang 20 persen dan daging sapi 0,5 persen (Tabel 4).

Tabel 4. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dan Bahan Makanan Lain No. Bahan Makanan Jumlah Kandungan Gizi (%)

Protein Lemak Karbohidrat

1. Jamur Merang 1,8 0,3 4,0

2. Jamur Tiram 27,0 1,6 58,0

3. Jamur Kuping 8,4 0,5 82,8

4. Daging Sapi 21,0 5,5 0,5

5. Bayam - 2,2 1,7

6. Kentang 2,0 - 20,9

7. Kubis 1,5 0,1 4,2

8. Seledri - 1,3 0,2

9. Buncis - 2,4 0,2

Sumber : Diolah dari berbagai sumber (Dalam Parjimo, Andoko A, 2007)

Jamur tiram juga mengandung asam amino esensial, yaitu asam amino yang tidak mampu dihasilkan oleh tubuh. Ditinjau dari kandungan asam aminonya, jamur tiram mengandung asam amino yang lengkap dibandingkan dengan jamur lainnya dan hampir setara dengan kandungan asam amino pada telur ayam. Tabel 5 menunjukkan kandungan asam amino esensial jamur konsumsi dan telur ayam.

Asam amino yang dikandung oleh jamur tiram sebanyak 46 gram per 100 gram protein. Kandungan asam amino ini hampir setara dengan kandungan asam amino pada telur ayam yaitu 47,1 gram per 100 gram protein. Kandungan asam amino ini terdiri dari leusin, isoleusin, valin, triptofan, lisin, treonin, fenilalanin, metionin, dan histidin. Kandungan asam amino jamur lainnya lebih rendah


(5)

5 dibandingkan dengan jamur tiram. Kandungan asam amino jamur kancing, shiitake dan merang berturut-turut 38,9, 36 dan 32, 9 gram per 100 gram protein. Tabel 5. Kandungan Asam Amino Esensial Jamur Konsumsi dan Telur

Ayam (gram / 100 gram protein) No. Jenis Asam

Amino Jamur Kancing Jamur Shiitake Jamur Tiram Jamur Merang Telur Ayam

1. Leusin 7,5 7,9 7,5 4,5 8,8

2. Isoleusin 4,5 4,9 5,2 3,4 6,6

3. Valin 2,5 3,7 6,9 5,4 7,3

4. Triptofan 2,0 Tt 1,1 1,5 1,6

5. Lisin 9,1 3,9 9,9 7,1 6,4

6. Treonin 5,5 5,9 6,1 3,5 5,1

7. Fenilalanin 4,2 5,9 3,5 2,6 5,8

8. Metionin 0,9 1,9 3,0 1,1 3,2

9. Histidin 2,7 1,9 2,8 3,8 2,4

10. Total 38,9 36,0 46,0 32,9 47,1

Sumber : Chang dan Miles, 1989 (dalam Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006)

Permintaan untuk jamur tiram putih di Jawa Barat mencapai 11,7 ton per hari dan baru terpenuhi 5,2 ton per hari. Peluang ini belum dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh para petani jamur. Hal ini disebabkan oleh tidak terkendalinya kontinuitas dalam mutu, jumlah, maupun pasokan. Teknik penanganan pasca panen yang selama ini dilakukan oleh para petani masih kurang tepat sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas hasil panen dan rendahnya efisiensi yang mengakibatkan tingginya biaya produksi (MAJI 2004, dalam Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006).

Jamur tiram ini juga memiliki beberapa manfaat sebagai obat, diantaranya lever, diabetes, anemia, sebagai antiviral, antikanker serta menurunkan kadar kolesterol. Selain itu jamur ini juga mampu menurunkan berat badan karena berserat tinggi dan membantu pencernaan2.

Jamur tiram putih memiliki prospek usaha yang sangat bagus. Pada tahun 2002 Permintaan untuk wilayah Bandung, Bogor, dan Sukabumi sebesar 3.000 kilogram per hari dan baru terpenuhi sebanyak 600 sampai 1.000 kilogram (Trubus, 2002, dalam Sitanggang, 2008). Permintaan jamur tiram putih ini cenderung meningkat setiap tahunnya. Berapapun jumlah jamur yang diproduksi

2


(6)

6 oleh para petani, selalu habis terserap pasar. Permintaan jamur ini cenderung meningkat 20 persen sampai 25 persen per tahun (MAJI, 2007)3.

Budidaya jamur tiram putih untuk wilayah Bogor tersebar di beberapa kecamatan. Salah satu kecamatan yang menghasilkan produksi jamur tiram putih tertinggi pada tahun 2007 adalah Cisarua yakni 173.250 kg jamur tiram putih segar. Namun Tamansari merupakan salah satu kecamatan yang menghasilkan jamur tiram putih dengan tingkat produktivitas tertinggi yakni 0,20 kg per log. Jumlah produksi jamur tiram di Bogor sebanyak 38.300 kg. Hal ini terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Produksi dan Produktivitas Jamur Tiram Putih per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2007

No. Kecamatan Produksi (Kg) Produktivitas (Kg/ Log)

1. Pamijahan 8.638 0,18

2. Leuwi Sadeng 3.000 0,15

3. Rancabungur 4.420 0,13

4. Tamansari 38.300 0,20

5. Cijeruk 2.040 0,12

6. Cisarua 173.250 0,17

7. Sukaraja 1.200 0,12

Rata-rata 32.978 0,15

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2007 (Dalam Sari, 2008)

Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Nusa Indah merupakan salah satu tempat pelatihan budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. P4S Nusa Indah melakukan usaha budidaya jamur tiram putih. Seiring berjalannya waktu P4S Nusa Indah melakukan usaha pembibitan jamur tiram putih, dan bahkan saat ini usaha lebih mengutamakan usaha pembibitan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tingginya permintaan terhadap bibit jamur tiram putih.

1.2. Perumusan Masalah

P4S Nusa Indah merupakan pusat pelatihan budidaya jamur tiram putih, yang juga melakukan usaha pembibitan dan budidaya sendiri. Pada awalnya P4S

3


(7)

7 Nusa Indah ini hanya membudidayakan jamur tiram putih. Namun seiring berjalannya waktu P4S Nusa Indah hanya mengusahakan pembibitan jamur tiram putih yang siap panen.

Produksi bibit ini diusahakan karena banyak petani jamur yang gagal pada pembibitan. Hal ini disebabkan oleh tingginya resiko kegagalan pada tahap pembibitan. P4S Nusa Indah melihat peluang usaha ini dan memanfaatkannya dengan memproduksi bibit siap panen. Bibit siap panen yang diproduksi terdiri dari tiga jenis, yaitu bibit siap panen yang dikemas dengan ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, dan 20 x 30 cm. Saat ini permintaan bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm terhadap P4S Nusa Indah adalah sebanyak 11.500 log. Untuk bibit siap panen 18 x 35 cm langsung dibudidayakan menjadi jamur tiram putih. Permintaan bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm berasal dari daerah Lampung. Permintaan ini setiap dua bulan sekali, dengan rata-rata permintaan sebesar 5.500 log.

Kegiatan memproduksi jamur tiram putih segar dinilai menguntungkan, karena permintaannya yang tinggi dan produksinya yang belum mencukupi. Pemasaran jamur tiram putih segar ini dilakukan ke Pasar Bogor. Berapapun jamur tiram putih segar yang dijual selalu terserap habis oleh pasar. Permintaan jamur tiram putih terhadap P4S Nusa Indah per harinya sebanyak 400 kg. Usaha ini dapat dilakukan karena adanya pengetahuan dan sarana serta prasarana yang dimiliki. Namun untuk sementara usaha ini tidak dilakukan, karena P4S Nusa Indah lebih mengutamakan pembibitan.

Bibit siap panen menggunakan bahan baku serbuk gergaji, dedak, kapur, serta bibit F2. Bibit siap panen hanya dibudidayakan hingga berusia 30 hari saat miselium tumbuh secara merata. Jika bibit ini tidak dijual dan terus dipelihara, maka tujuh hingga 15 hari kemudian jamur tiram putih segar dihasilkan. Usia produktif jamur ini adalah empat bulan.

Perbedaan ukuran bibit siap panen mengakibatkan biaya yang dikeluarkan pun menjadi berbeda. semakin besar ukuran bibit siap panen yang diproduksi, maka semakin besar biaya per lognya. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi satu log bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm adalah sebesar Rp 1056. Bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm biaya per lognya sebesar Rp 1.249,


(8)

8 sedangkan bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm membutuhkan biaya sebesar Rp 1.274 (Lampiran 3).

Biaya untuk menghasilkan jamur tiram putih lebih besar dibandingkan dengan produksi bibit siap panen. Hal ini disebabkan oleh proses budidaya jamur tiram putih itu sendiri yang merupakan lanjutan dari pembibitan ditambah dengan biaya yang dikeluarkan selama proses budidaya hingga panen. Biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan jamur tiram putih per lognya pun berbeda. untuk jamur tiram putih yang berasal dari bibit ukuran 17 x 35 cm biaya per log nya sebesar Rp 1.328, sedangkan jamur tiram putih yang berasal dari bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm dan 20 x 30 cm adalah Rp 1.556 dan Rp 1.597 (Lampiran 3).

Harga jual untuk bibit siap panen yang diterapkan oleh P4S Nusa Indah juga berbeda untuk setiap ukurannya. Hal ini disesuaikan dengan biaya yang juga berbeda tiap lognya. Untuk harga jual bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm adalah sebesar Rp 1.800 per log, sedangkan harga jual untuk bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm dan 20 x 30 cm sama yaitu Rp 2.000. Harga jual jamur tiram putih rata – rata sebesar Rp 8.500 per kilogramnya (Lampiran 3).

Perbedaan cara antara pembibitan serta budidaya ini menyebabkan biaya yang dihasilkan berbeda, meskipun berasal dari bahan baku yang sama. Begitu juga dengan harga jual dari masing-masing produk. Hal inilah yang membuat keuntungan yang diperoleh dari setiap jenis produk berbeda – beda. Keuntungan untuk bibit ukuran 17 x 35, 18 x 35, dan 20 x 30 cm masing-masing adalah Rp 744, Rp 751, dan Rp 726. Keuntungan jamur tiram putih yang berasal dari bibit ukuran 17 x 35, 18 x 35, dan 20 x 30 masing-masing adalah Rp 1.647, Rp 1.844, dan Rp 1.803 (Lampiran 3).

Pada dasarnya semua usaha dilakukan berdasarkan kepada prinsip komersial, yakni untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin (Lipsey, 1984). Namun untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat kendala yang menjadi hambatan. Kendala tersebut adalah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, sehingga sumberdaya yang dimiliki harus digunakan secara efisien.

Pembibitan dan budidaya jamur menggunakan sumberdaya yang sama, sehingga terjadi persaingan produksi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki ini meliputi lahan, bibit, serbuk


(9)

9 kayu, dedak, dan tenaga kerja. Permintaan juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan menjadi kendala. Hal ini berkaitan dengan penjualan hasil produksinya nanti. Pembibitan membutuhkan waktu panen yang lebih singkat daripada budidaya yakni satu bulan, sedangkan budidaya membutuhkan waktu panen 37 hari hingga 120 hari. Namun dari segi keuntungan, keuntungan bibit lebih rendah daripada keuntungan jamur tiram putih segar.

Dengan demikian perlu pengalokasian sumberdaya secara efisien untuk mencapai keuntungan maksimum. Alokasi sumberdaya ini digunakan untuk menghasilkan produk yang keuntungannya kecil tapi jangka waktu produksinya singkat atau produk yang keuntungannya besar tetapi jangka waktunya lama yang disesuaikan dengan permintaannya. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimana kombinasi produksi jamur tiram putih dan bibit yang optimal pada P4S Nusa Indah, Bogor?

2) Bagaimana penggunaan sumberdaya produksi yang optimal?

3) Bagaimana pengaruh perubahan ketersediaan sumberdaya dan tingkat keuntungan terhadap kombinasi produksi optimal?

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka penelitian mengenai Optimalisasi Produksi Jamur Tiram Putih pada KWT P4S Nusa Indah bertujuan untuk:

1) Menganalisis kombinasi produksi jamur tiram putih dan bibit yang optimal sehingga memberikan keuntungan maksimum bagi KWT P4S Nusa Indah.

2) Menganalisis penggunaan sumberdaya produksi optimal.

3) Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya dan tingkat keuntungan terhadap kombinasi produksi optimal.


(10)

10 1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Nusa Indah yaitu sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan guna mencapai produksi yang optimal untuk mencapai keuntungan yang maksimum. Selain itu juga penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan referensi dan literatur bagi penelitian selanjutnya.


(11)

11

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur Tiram Putih

Jamur merupakan tanaman heterotrofik, yaitu tanaman yang kehidupannya tergantung pada organisme lain. Jamur ini tidak mengandung klorofil sehingga tidak dapat menghasilkan makanan sendiri. Jamur ini mengambil zat-zat makanan, seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati dari organisme lain (Parjimo, 2007).

Jamur sudah dikenal sejak dulu oleh masyarakat baik sebagai makanan maupun sebagai obat. Pada awalnya jamur tumbuh secara liar di hutan-hutan pada musim hujan dimana kelembaban cukup tinggi. Namun kini dengan adanya perkembangan teknologi dan pengetahuan budidaya, jamur dapat dibudidayakan dengan membuat rumah produksi (kumbung) sedemikian rupa sehingga agroklimat dapat diatur sesuai dengan syarat tumbuh jamur. Oleh karena itu jamur memiliki peluang yang sangat besar untuk dibudidayakan sepanjang tahun (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006).

Teknologi budidaya jamur relatif sederhana dan ramah lingkungan. Jamur hidup dari sisa tanaman yang mengalami pelapukan dan tidak memerlukan bahan penyubur seperti pupuk. Jamur juga tidak memerlukan pestisida untuk melindungi dari hama dan penyakit. Pemanasan (sterilisasi) yang baik adalah salah satu tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah tumbuhnya jamur lain yang tidak diharapkan. Bahan-bahan yang digunakan dalam budidaya jamur mudah diperoleh, karena berada di sekitar masyarakat. Selain itu limbah dari budidaya jamur masih dapat digunakan campuran pupuk organik sehingga memberikan nilai tambah ekonomi (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006).

Jamur tiram merupakan jenis jamur kayu yang paling mudah dibudidayakan. Jamur ini tumbuh pada berbagai macam jenis substrat dan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Kemampuan produksi jamur tiram pun relatif tinggi, dari 1000 gram substrat kering, 50 – 70 persen jamur segar dapat dihasilkan. Bahkan saat ini produktivitas panen sudah dapat ditingkatkan hingga 120 – 150 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006).


(12)

12 Jamur tiram ini memiliki tudung yang agak bulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang tiram. Permukaan tudung licin, agak berminyak jika lembab dan tepiannya bergelombang. Diameternya mencapai 3-15 sentimeter. Batang jamur tiram tidak tepat berada di tengah tudung, tetapi agak ke samping. Tubuh buahnya membentuk rumpun yang memiliki banyak percabangan dan menyatu dalam satu media. Terdapat bermacam-macam warna jamur tiram, namun jamur tiram putih merupakan jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan di Indonesia (Parjimo, 2007).

Jamur tiram dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 600 meter dari permukaan laut di lokasi yang memiliki kadar air sekitar 60 persen. Derajat keasaman atau pH 6 – 7. Jika tempat tumbuhnya terlalu kering atau kadar airnya kurang dari 60 persen, miselium jamur ini tidak bisa menyerap sari makanan dengan baik sehingga tumbuh kurus. Sebaliknya, jika kadar air di lokasi tumbuhnya terlalu tinggi, jamur ini akan terserang penyakit busuk akar.

Jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batang-batang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar, kapuk, atau sengon yang terletak di lokasi yang sangat lembap dan terlindung dari cahaya matahari. Pada fase pembentukan miselium, jamur tiram memerlukan suhu 22 – 28 ºC dan kelembapan 60 – 80 persen. Pada fase pembentukan tubuh buah memerlukan suhu 16 – 22 ºC dan kelembapan 80 – 90 persen dengan kadar oksigen cukup dan cahaya matahari sekitar 10 persen.

2.2. Budidaya Jamur Tiram Putih

Budidaya jamur tiram putih terdiri dari dua tahap, yaitu pembibitan jamur tiram putih dan budidaya jamur tiram putih segar. Pembibitan jamur tiram merupakan tahapan dengan tingkat resiko kegagalan yang tinggi. Tahap ini harus dilakukan dalam kondisi yang benar-benar steril. Pembibitan terdiri dari tiga tahap pembiakan, yakni pembiakan tahap pertama (bibit F1), tahap kedua (bibit F2), dan tahap ketiga (bibit F3).


(13)

13 1) Pembiakan Tahap Pertama (Bibit F1)

Pembiakan tahap pertama menghasilkan kultur murni, yaitu sebuah media khusus berisi miselium jamur yang memiliki sifat unggul seperti berukuran besar dan produktivitas tinggi. Dalam tahap ini terdapat empat langkah yang dilakukan, yaitu pembuatan media, pemilihan induk, isolasi, dan inkubasi.

Media untuk menghasilkan kultur murni jamur tiram dapat dibeli dalam bentuk siap pakai di toko bahan kimia, yaitu potatoes dextrose agar (PDA). Karena harganya yang cukup mahal, PDA dapat dibuat sendiri dengan cara kentang dikupas dan dipotong setebal satu sentimeter. Potongan kentang direbus dalam air suling hingga lunak, kemudian disaring dengan kain tipis. Tambahkan air suling hingga volume tertentu.

Filtrat yang dihasilkan ditambahkan dektrosa dan agar-agar, lalu dipanaskan hingga mendidih. Inilah yang disebut PDA. Larutan PDA dituangkan ke dalam tabung reaksi atau botol, kemudian disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121 derajat selsius dan tekanan 1,1 atmosfer selama 15 – 20 menit dengan posisi tabung reaksi miring. Hal ini dilakukan agar permukaan media PDA lebih luas.

Pemilihan induk dilakukan dengan memilih induk yang berukuran besar, daging tebal, dan batang buahnya kokoh. Induk terbebas dari hama dan penyakit serta bentuknya normal. Indukan yang digunakan berumur empat sampai dengan lima hari sejak pembentukan pin head. Indukan yang telah dipilih disterilkan dengan air bersih dan alcohol 70 persen.

Isolasi adalah proses pengambilan bagian tertentu dari tubuh indukan untuk ditanamkan ke media PDA. Isolasi dilakukan di ruang atau kotak yang steril, yakni telah diberi larutan alcohol atau kloroks. Isolasi terdiri dari dua jenis, yaitu isolasi kultur jaringan dan isolasi spora. Isolasi kultur jaringan dengan mengambil jaringan jamur (eksplan), sedangkan isolasi spora dengan mengambil spora untuk ditanam pada media PDA.

Inkubasi adalah tahap menumbuhkan miselia setelah proses isolasi. Inkubasi dilakukan pada inkubator. Inkubasi dilakukan selama dua sampai dengan tiga hari dengan suhu 24 – 28 derajat celsius dan dianggap berhasil jika tumbuh miselium yang berwarna putih merata di sekitar eksplan atau spora.


(14)

14 2) Pembiakan Tahap Kedua (Bibit F2)

Pembiakan tahap kedua bertujuan memperbanyak miselium jamur yang berasal dari biakan murni. Langkah-langkah yang dilakukan di pembiakan F2 sama dengan pembiakan F1, meliputi pembuatan media, pemilihan induk, isolasi, dan inkubasi, hanya saja bahan yang digunakan berbeda.

Media untuk pertumbuhan jamur terdiri dari serbuk gergaji, bekatul, kapur, dan gips. Namun bekatul dapat digantikan oleh biji-bijian, misalnya jagung. Bekatul merupakan sumber karbohidrat, lemak, dan protein. kapur sebagai sumber mineral, dan pengatur pH media, sedangkan Gips sebagai bahan penambah mineral dan untuk mengokohkan media.

Semua bahan untuk pembuatan media dicampurkan dan ditambahkan air hingga kadar airnya menjadi 45 – 65 persen. Jika menggunakan biji-bijian, maka biji harus direbus terlebih dahulu selama 15 menit sampai mekar. Pengomposan dilakukan untuk menguraikan senyawa-senyawa yang terdapat dalam campuran sehingga mudah diserap dan dicerna oleh jamur. Media F2 dimasukkan ke dalam wadah berupa botol atau kantong plastik sebanyak 2/3 bagian wadah tanpa dipadatkan. Wadah ditutup dengan kapas dilapisi kertas atau aluminium foil, kemudian disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 derajat celsius dan tekanan 1,1 atmosfer selama satu jam. Namun ada juga yang melakukan sterilisasi dengan menggunakan drum minyak tanah yang dimodifikasi dengan menggunakan kawat sehingga seperti dandang untuk mengukus masakan. Biasanya sterilisasi dengan menggunakan drum dilakukan selama delapan jam.

Inokulasi F2 yaitu miselium dari biakan murni (F1) di tanam pada media biakan (F2) dalam keadaan steril dengan menggunakan pinset dan lampu spirtus serta alkohol 70 persen. Biakan murni diinokulasikan ke media F2 dekat nyala api agar tetap steril. Inokulasi dilakukan setelah media didinginkan selama 12 jam sampai suhunya 35 – 40 derajat celsius.

Inkubasi F2 dilakukan pada suhu 26 – 28 derajat celsius selama dua hingga empat minggu sampai media dipenuhi miselium jamur yang berwarna putih secara merata. Jika yang tumbuh tidak berwarna putih berarti terjadi kegagalan, dan media harus dibuang.


(15)

15 3) Pembiakan Tahap Ketiga (Bibit F3)

Pembiakan tahap ketiga (F3) bertujuan memperbanyak miselium jamur yang berasal dari pembiakan tahap kedua (F2). Media yang digunakan pada pembiakan tahap ini sama dengan yang digunakan pada tahap pembiakan kedua (F2), baik alat, bahan, maupun langkah-langkah yang dilakukan.

4) Budidaya Jamur Tiram Putih Segar

Bibit F3 yang miseliumnya berwarna putih merata dimasukkan ke dalam kubung untuk dibudidayakan. Bibit ini dipelihara dan mulai dapat dipanen sejak usia tujuh hari hingga empat bulan. Jamur tiram memerlukan suhu 16 – 22 derajat selsius dan kelembaban 80 -90 persen untuk pertumbuhan tubuh buahnya. Salah satu cara untuk menjaga suhu dan kelembaban kubung dengan melakukan pengabutan air. Hal ini disesuaikan dengan cuaca. Pada musim hujan yang suhu udara dan kelembabannya normal, pengabutan cukup sekali pada pagi hari. Pada musim kemarau yang suhu udaranya panas dan kelembabannya rendah pengabutan dilakukan minimal dua kali sehari pada pagi dan sore hari.

Panen jamur tiram dilakukan secara manual dengan tangan atau pisau tajam. Jamur yang dipanen harus dipotong dengan akarnya

2.3. Optimalisasi Produksi

Optimalisasi produksi merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap produksi untuk mencapai keuntungan yang maksimum dengan sumber daya yang terbatas. Optimalisasi pada dasarnya terdiri dari dua tujuan, yaitu maksimisasi keuntungan atau penerimaan dan minimisasi biaya. Purba (2007), Fauzi (2006), Sekarsari (2004), dan Siahaan (2003) melakukan analisis optimalisasi produksi pada komoditas sayuran yang berbeda-beda, sedangkan Wicaksono (2006) melakukan analisis optimalisasi pola tanam. Semua penelitian tersebut memiliki tujuan maksimisasi keuntungan. Analisis optimalisasi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program LINDO.

Berbeda dengan yang lainnya, Putra (2005) melakukan analisis optimalisasi produksi dengan menggunakan Goal programming. Goal programming ini dilakukan untuk memecahkan masalah dengan tujuan ganda.


(16)

16 Fungsi tujuan yang digunakan adalah minimisasi biaya jam tenaga kerja, listrik, dan air.

Fungsi tujuan maksimisasi keuntungan dalam linear programming dapat diperoleh dengan cara yang berbeda-beda. Purba (2007) menggunakan pendekatan analisis biaya dan pendapatan dengan present value untuk memperoleh keuntungan yang akan digunakan sebagai koefisien fungsi tujuan dalam linear programming. Analisis biaya dan pendapatan dengan present value yakni memperhitungkan semua pengeluaran dan penerimaan dalam proses produksi ke saat awal atau sekarang saat dimulainya proses produksi (Suratiyah, 2006). Hal ini mengingat bahwa komoditas pepaya memiliki umur produktif selama empat tahun.

Wicaksono dan Fauzi (2006) menggunakan pendekatan analisis pendapatan usahatani untuk mendapatkan koefisien fungsi tujuan. Dalam analisis ini pendapatan total diperoleh dari selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Selain menganalisis pendapatan usahatani, tingkat efisiensinya juga dianalisis. Dalam Wicaksono (2006) hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pengalihan lahan pertanian produktif menjadi tempat sarana pariwisata dan peningkatan harga input serta ketidakstabilan harga jual output yang menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan usahatani. Ketidakpastian ini menimbulkan risiko tinggi yang dapat merugikan petani. Pengukuran tingkat efisiensi dilakukan, karena ada kemungkinan pendapatan yang besar itu diperoleh dari investasi yang berlebihan.

Berbeda dengan sebelumnya, Sekarsari (2004) menggunakan analisis biaya dan pendapatan dengan pendekatan nominal untuk memperoleh koefisien fungsi tujuan. Pendapatan diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya tetap dan variabel. Sekarsari (2004) hanya memperhitungkan biaya variabel. Hal ini karena optimalisasi produksi dilakukan tanpa penambahan sumberdaya. Dalam konsep biaya jangka pendek, bahwa biaya marjinal jangka pendek menunjukkan hubungan antara perubahan biaya variabel dengan perubahan jumlah output yang dihasilkan. Hal ini karena dalam jangka pendek biaya tetap tidak tidak tergantung terhadap jumlah output yang dihasilkan (Gaspersz, 2003).


(17)

17 Fauzi (2006), Wicaksono (2006), Sekarsari (2004), dan Siahaan (2003) menggunakan lahan, tenaga kerja dan modal sebagai variabel yang menjadi kendala. Begitu juga dengan Purba (2007), hanya saja modal tidak menjadi kendala yang diperhitungkan. Sekarsari (2006) memisahkan modal menjadi beberapa kendala yaitu modal untuk pembelian benih, modal untuk pembelian pupuk, modal untuk upah tenaga kerja, dan modal untuk pembelian sayuran. untuk kendala tenaga kerja, Sekarsari (2004) dan Siahaan (2003) menggunakan satuan jam, sedangkan Purba (2007), Fauzi (2006) dan Wicaksono (2006) menggunakan satuan hari orang kerja.

Merujuk kepada semua penelitian sebelumnya Purba (2007), Fauzi (2006), Sekarsari (2004), dan Siahaan (2003) menyatakan bahwa permintaan merupakan salah satu kendala yang menjadi acuan produksi minimum yang harus dilakukan. Namun Wicaksono (2006) dan Sekarsari (2004) menggunakan kendala penjualan atau penawaran yaitu bahwa penjualan harus lebih kecil atau sama dengan produksi.

Siahaan (2003), Wicaksono (2006) dan Purba (2007) mempertimbangkan kendala pupuk. Hanya Purba (2007) yang memasukkan variabel obat-obatan sebagai kendala. Namun Purba (2007), Sekarsari (2004), dan Siahaan (2003) memasukkan bibit sebagai kendala.

Fauzi (2006) mengunakan tiga siklus tanam dalam satu periode dan pergiliran tanaman sebagai kendala pembatas. Namun tidak hanya Fauzi yang menganalisis optimalisasi berdasarkan musim tanam dari masing-masing komoditas, tetapi juga Wicaksono (2006).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kondisi optimal belum tercapai. Hal ini terlihat dari perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi optimal. Berdasarkan tinjauan pustaka ini dapat diketahui bahwa sebagian besar sumberdaya yang dimiliki masih berlebih, dan untuk mencapai kondisi optimal ini masih mencukupi dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.

Secara umum hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi yang optimal dengan sumberdaya yang terbatas dilakukan analisis optimalisasi produksi dengan tujuan maksimisasi keuntungan. Analisis optimalisasi ini dilakukan dengan program LINDO. Selain itu dilakukan


(18)

18 perbandingan antara kondisi aktual dan kondisi optimal. Koefisien fungsi tujuan yaitu keuntungan diperoleh dengan tiga cara, yaitu analisis biaya dan pendapatan dengan pendekatan present value, pendekatan nominal serta analisis pendapatan usahatani. R/C rasio pun dilakukan untuk melihat tingkat efisiensi dari perubahan pendapatan.

Variabel yang digunakan sebagai kendala adalah lahan, modal, tenaga kerja, pupuk, bibit, obat, permintaan dan penawaran. Perbedaan terlihat pada periode produksi, pergiliran tanaman, modal, dan satuan tenaga kerja. Dalam penelitian Fauzi (2006), satu periode terdiri dari tiga musim tanam dan pergiliran tanaman menjadi kendala, sedangkan dalam Wicaksono (2006) dan Sekarsari (2004) menggunakan penjualan sebagai salah satu kendala.


(19)

19

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kelangkaan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini menjadi masalah utama ketika keinginan manusia yang tidak terbatas berhadapan dengan penggunaan sumberdaya yang langka. Untuk menghadapi persoalan ini, suatu pilihan harus diambil. Saat suatu pilihan diambil menimbulkan biaya imbangan. Biaya imbangan adalah biaya dalam bentuk alternatif yang harus dikorbankan.

Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang juga mengalami masalah kelangkaan. Untuk mencapai tujuan keuntungan yang maksimum, perusahaan harus dapat mengalokasikan sumberdaya secara efektif dan efisien. Sumberdaya merupakan faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi barang atau jasa. Menurut Lipsey (1984) fungsi produksi adalah hubungan antara faktor produksi yang digunakan sebagai input dalam proses produksi dengan jumlah output yang dihasilkan (pada suatu waktu dan tingkat teknologi tertentu).

“Faktor produksi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu lahan, tenaga kerja, dan sumberdaya modal. Lahan dapat diartikan sebagai sumberdaya alam, baik lahan untuk bertani atau bangunan, sumberdaya energi, dan sumberdaya nonenergi. Tenaga kerja merupakan waktu yang digunakan orang dalam produksi atau bekerja. Sumberdaya modal membentuk barang tahan lama dari suatu perekonomian, dihasilkan dengan tujuan untuk memproduksi barang lain” (Nordhaus, 2001).

Efektivitas merupakan karakteristik lain dari proses yang mengukur derajat pencapaian output dari sistem produksi. Efisiensi adalah ukuran yang menunjukkan bagaimana baiknya sumber daya-sumber daya ekonomi digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output (Gaspersz, 2003).

Efisiensi dalam teori produksi adalah cara untuk memaksimumkan keuntungan. Hal ini terlihat dari konsep keuntungan yang merupakan selisih dari penerimaan dengan biaya. Untuk memaksimumkan keuntungan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu memaksimumkan penerimaan atau meminimumkan biaya. Maksimum penerimaan ini, dalam efisiensi berarti memproduksi output semaksimum mungkin dengan tingkat penggunaan input yang tetap. Minimum


(20)

20 biaya adalah memproduksi output pada tingkat tertentu dengan biaya produksi seminimum mungkin (Gaspersz, 2003).

Biaya minimum terlihat pada kurva keseimbangan produsen (Gambar 1). Kurva keseimbangan produsen menggambarkan pencapaian kombinasi penggunaan input pada kondisi biaya terkecil, untuk memproduksi output dalam jumlah tertentu. Keseimbangan ini diperoleh saat kurva isoquant bersinggungan dengan kurva isocost. Kurva isoquant adalah suatu kurva yang menunjukkan tempat kedudukan titik-titik kombinasi yang menunjukkan semua kombinasi input yang secara fisik mampu menghasilkan output yang sama. Kurva isocost adalah garis yang menunjukkan berbagai kombinasi input yang dapat dibeli untuk suatu tingkat pengeluaran biaya yang sama pada harga-harga input yang tetap.

X2

C

w B

A

Kurva Isoquant TC1 TC2

O v X1

Gambar 1. Kurva Keseimbangan Produsen Sumber: Gaspersz (2003)

Keseimbangan dicapai pada titik B, yaitu saat perusahaan berproduksi dengan kombinasi input X1 sebesar v dan X2 sebesar w. jika perusahaan

berproduksi pada titik A atau C maka tidak efisien, karena total biaya yang dikeluarkan lebih besar dari TC1.

Penerimaan maksimum terlihat pada kurva kemungkinan produksi dan garis isorevenue. Kurva kemungkinan produksi menggambarkan alternatif produksi yang dapat dijalankan oleh perusahaan dengan sumber daya tertentu. Dalam kurva ini terdapat tiga konsep, yaitu kelangkaan, pilihan, dan biaya


(21)

21 imbangan. Kelangkaan adalah kombinasi produksi yang tidak mungkin dicapai karena keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Konsep ini berada pada luar kurva kemungkinan produksi. Pilihan adalah keharusan untuk memilih di antara kombinasi yang mungkin dicapai dengan menghabiskan seluruh sumberdaya yang dimiliki. Konsep ini berada pada sepanjang garis kurva kemungkinan produksi. Untuk wilayah di bawah kurva produksi dicapai tanpa harus menghabiskan seluruh sumberdaya yang dimiliki. Biaya imbangan yaitu pada saat semua sumberdaya digunakan, untuk memperoleh barang satu lebih banyak, maka barang lain harus dikorbankan. Konsep ini ditunjukkan oleh batas kurva yang miring ke kanan bawah (Lipsey, 1984).

Keuntungan maksimum diperoleh pada saat kurva kemungkinan produksi bersinggungan dengan garis isorevenue. Garis isorevenue adalah garis yang menggambarkan kombinasi output yang memberikan penerimaan tertentu kepada perusahaan (Sudarsono, 1995). Pada Gambar 2 garis isorevenue digambarkan dengan TR (total revenue). Perusahaan diasumsikan memproduksi dua jenis barang Y1 dan Y2. keuntungan maksimum diperoleh saat perusahaan

memproduksi Y1 sebesar v dan Y2 sebesar w, yakni berada pada titik B. Jika

perusahaan memproduksi pada titik A dan C, maka keuntungan yang diperoleh belum maksimum, karena total penerimaan yang dihasilkan lebih rendah dari TR2.

Y2

C

w B

A

TR1 TR2

V Y1

Gambar 2. Kurva KemungkinanProduksi dan Garis Isorevenue


(22)

22 Keuntungan maksimum dicapai dengan optimalisasi produksi. Optimalisasi produksi memiliki arti kegiatan yang bertujuan menghasilkan output optimum dengan memperhatikan input yang terbatas ketersediaannya. Optimalisasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode linear programming. Linear programming merupakan metode perhitungan untuk perencanaan terbaik di antara kemungkinan-kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan.

Linear programming dapat digunakan dalam dua cara, yaitu minimisasi atau maksimisasi. Minimisasi adalah meminimumkan biaya dalam rangka mendapatkan total penerimaan atau total keuntungan sebesar mungkin. Maksimisasi adalah memaksimumkan total penerimaan atau total keuntungan pada kendala sumberdaya yang terbatas.

Soekartawi (1992) menyatakan bahwa dalam linear programming terdapat beberapa persyaratan, yaitu :

a. LP harus memiliki fungsi tujuan memaksimumkan atau meminimumkan sesuatu. Fungsi ini dinyatakan dengan garis lurus fungsi Z.

b. LP harus memiliki kendala yang dinyatakan dengan persamaan garis lurus antara koefisien input-output dengan jumlah sumberdaya yang tersedia. c. Semua nilai aktivitas dan koefisien input-output harus bernilai positif atau

sama dengan nol.

Agar persoalan LP dapat diselesaikan, maka terdapat beberapa syarat: a. Fungsi objektif harus didefinisikan secara jelas dan dinyatakan sebagai

fungsi objektif yang linear.

b. Harus ada alternatif pemecahan untuk dipilih salah satu yang terbaik. c. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai sifat dapat ditambahkan

(additivity).

d. Fungsi objektif dan ketidaksamaan untuk menunjukkan adanya pembatasan harus linear (linearity).

e. Variabel keputusan harus positif, tidak boleh negatif

f. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai sifat dapat dibagi (divisibility). g. Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai jumlah yang terbatas


(23)

23 h. Aktivitas harus proporsional terhadap sumber-sumber. Hal ini berarti ada hubungan yang linear antara aktivitas dengan sumber-sumber (proportionality).

i. Model programming deterministik, artinya sumber dan aktivitas diketahui secara pasti.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

P4S Nusa Indah merupakan pusat pelatihan budidaya jamur tiram putih, yang juga melakukan usaha pembibitan dan budidaya sendiri. Dalam usahanya ini P4S Nusa Indah memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan.

Produk yang dihasilkan terdiri dari berbagai jenis, yaitu bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, dan 20 x 30 cm, dan jamur tiram putih yang berasal dari bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, dan 20 x 30 cm. Permintaan minimum untuk bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm per bulannya sebesar 5.000 log, untuk bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm sebesar 4.000 log hingga 7.000 log setiap dua bulan sekali. Permintaan maksimum jamur tiram per bulannya sebesar 12.000 kg. Namun permintaan ini masih belum terpenuhi seluruhnya oleh P4S Nusa Indah.

Untuk memenuhi permintaan yang ada, P4S Nusa Indah harus meningkatkan produksinya. Namun peningkatan produksi ini dibatasi oleh sumberdaya yang dimiliki, sehingga P4S Nusa Indah harus menentukan kombinasi produksi yang tepat. Produk-produk tersebut menggunakan sumberdaya yang sama yaitu bibit, serbuk, tenaga kerja, dedak, dan lahan. Meskipun sumberdaya yang digunakan sama, tetapi biaya yang dikeluarkannya berbeda sehingga terjadi persaingan penggunaan sumberdaya.

Untuk mencapai keuntungan yang maksimum, P4S Nusa Indah dituntut untuk dapat berproduksi secara efisien dengan segala keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Selain itu P4S Nusa Indah harus memilih kombinasi produksi yang tepat, karena keuntungan setiap produk berbeda. Untuk produksi bibit keuntungannya kecil tetapi jangka waktu yang dibutuhkan relatif singkat yaitu hanya satu bulan. Produksi jamur tiram keuntungannya lebih besar, tetapi waktu yang dibutuhkannya juga relatif lebih lama yaitu empat bulan.


(24)

24 Keputusan kombinasi produksi yang tepat dapat diperoleh dengan menggunakan program linier. Program linier akan memberikan perencanaan terbaik diantara kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Program linier digunakan sebagai metode perhitungan untuk menghasilkan keuntungan yang maksimum dengan mengalokasikan sumberdaya secara efisien.

Adanya ketidakpastian dalam dunia usaha, seperti perubahan harga jual produk atau ketersediaan sumberdaya, maka diperlukan analisis post optimal. Analisis ini digunakan untuk mengetahui bagaimana solusi optimal yang diperoleh P4S Nusa Indah jika terjadi perubahan dari kondisi awal. Perubahan ini akan mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh P4S Nusa Indah.

Dengan melakukan evaluasi antara kondisi aktual dan optimal, maka dapat diketahui apakah P4S Nusa Indah sudah mendapatkan keuntungan yang maksimum atau belum. Jika belum, maka dicari alternatif pemecahan masalah terbaik, sehingga P4S Nusa Indah dapat mencapai kegiatan produksi yang dapat menghasilkan keuntungan maksimal. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.


(25)

25 Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional

Produksi :  Bibit 17 x 35 cm  Bibit 18 x 35 cm  Bibit 20 x 30 cm  Jamur Tiram Putih

Sumberdaya terbatas :  Bibit

 tenaga kerja  lahan

 serbuk gergaji  dedak dan plastik

Analisis Optimalisasi produksi

Kombinasi Produksi

Alokasi Sumberdaya

Maksimum Keuntungan

Kondisi Aktual

Evaluasi

Analisis Post Optimal Analisis

Sensitivitas Permintaan :

 Bibit 17 x 35 cm  Bibit 18 x 35 cm  Bibit 20 x 30 cm  Jamur Tiram Putih


(26)

26

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada P4S Nusa Indah di Gang Pala, Kampung Sukamanah RT 02 RW 01, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Bogor. P4S Nusa Indah dipilih dengan alasan merupakan salah satu perusahaan agribisnis jamur tiram yang menghasilkan bibit dengan produktivitas yang tinggi serta mampu menghasilkan jamur tiram putih segar, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai optimalisasi produksi. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli hingga Desember 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pengelola serta pegawai P4S Nusa Indah, Tamansari, Bogor. Data sekunder diperoleh melalui berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, hasil penelitian terdahulu, buku-buku serta instansi terkait seperti Departemen pertanian, dan BPS.

4.3. Pengolahan Data dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dijabarkan secara deskriptif, mengenai gambaran dan kondisi perusahaan. Pengolahan data secara kuantitatif yaitu mengolah data yang diperoleh secara manual ke dalam bentuk pertidaksamaan program linear. Data kuantitatif yang digunakan adalah data produksi berupa jumlah produksi, penggunaan input, biaya, dan penerimaan.

Data kuantitatif diolah dan dijadikan dasar untuk membentuk fungsi tujuan dan kendala dalam upaya menghasilkan kombinasi produksi yang optimal. Langkah selanjutnya mengolah data dengan bantuan program LINDO (Linier Interactive and Discrete Optimizer). Hasil pengolahan tersebut dijelaskan dalam


(27)

27 tiga buah analisis yaitu analisis primal, analisis dual, analisis sensitivitas, dan analisis post optimal.

4.3.1. Variabel Keputusan

Variabel keputusan merupakan simbol matematik yang menggambarkan segala aktivitas produksi perusahaan. Aktivitas produksi yang dilakukan terdiri dari enam jenis aktivitas, yaitu aktivitas produksi bibit serta jamur tiram putih. Produksi bibit dibagi menjadi 3 jenis, yaitu bibit yang dikemas dengan ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, dan 20 x 30 cm. Begitu juga dengan produksi jamur tiram putih yaitu jamur tiram putih yang berasal dari ketiga bibit tersebut.

Aktivitas produksi jamur tiram putih di P4S Nusa Indah dilakukan selama empat bulan, sedangkan untuk bibit hanya memerlukan waktu satu bulan. Waktu yang digunakan dalam perumusan model ini adalah satu kali proses produksi, baik untuk bibit maupun untuk jamur tiram putih. Kegiatan produksi terus-menerus dilakukan tanpa adanya masa peristirahatan lahan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan media tanam khusus yang merupakan campuran dari beberapa bahan tertentu (serbuk kayu, dedak, dan gips) untuk mendukung pertumbuhan jamur tiram putih.

Bibit jamur tiram putih dipanen setelah berusia 30 hari atau satu bulan. Jika bibit ini tidak dijual, maka bibit ini akan digunakan sebagai bahan baku untuk kegiatan budidaya jamur tiram putih. Kegiatan budidaya dilakukan setelah bibit dibuat dan diinkubasikan selama satu bulan, tujuh hingga 15 hari kemudian panen jamur tiram putih dilakukan selama empat bulan.

Dengan demikian, jenis produk yang dirumuskan dalam linear programming ini ada enam jenis, yaitu bibit yang dikemas dalam ukuran 17 x 35 cm, ukuran 18 x 35 cm, dan ukuran 20 x 30 cm. Begitu juga dengan jamur tiram putih, yaitu jamur tiram putih yang dihasilkan dari bibit ukuran 17 x 35 cm, ukuran 18 x 35 cm, dan ukuran 20 x 30 cm. Satuan yang digunakan yaitu log. Berikut tabel 7 menunjukkan variabel keputusan yang akan digunakan dalam perumusan program liniear di P4S Nusa Indah.


(28)

28 Tabel 7. Variabel Keputusan Produksi Bibit dan Jamur Tiram Putih dalam Log

No Aktivitas Jenis Produk Variabel

1 Bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm X11

2 Bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm X12

3 Bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm X13

4

Jamur tiram putih yang berasal dari bibit siap panen

ukuran 17 x 35 cm X21

5

Jamur tiram putih yang berasal dari bibit siap panen

ukuran 18 x 35 cm X22

6

Jamur tiram putih yang berasal dari bibit siap panen

ukuran 20 x 30 cm X23

4.3.2. Fungsi Tujuan

Fungsi tujuan dalam penelitian ini adalah maksimisasi keuntungan. Keuntungan diperoleh dari selisih antara nilai jual dan biaya produksi per log dalam satu kali proses produksi. Fungsi tujuan secara matematis ditulis sebagai berikut :

Maksimumkan Z = ∑ ∑ AijXij

Z : Nilai fungsi tujuan (Rp) A : Nilai keuntungan per log (Rp) X : Jumlah produksi (Log)

i : Jenis produksi (1 = bibit, 2 = jamur tiram)

j : Ukuran produk (1 = 17 x 35 cm, 2 = 18 x 35 cm, 3 = 20 x 30 cm)

Dengan demikian fungsi tujuan ini dapat dituliskan sebagai berikut : Maksimumkan

Z = A11X11 + A12X12 + A13X13 + A21X21 + A22X22 + A23X23

4.3.3. Fungsi Kendala

Kelangkaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Begitu juga P4S Nusa Indah, dalam menjalankan usahanya dibatasi oleh kendala keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Kendala tersebut berupa lahan, bibit, tenaga kerja, modal, serbuk gergaji, kapur, dedak, gypsum, cincin, kantong plastik, karet,


(29)

29 kertas, penjualan bibit siap panen minimum serta permintaan maksimum jamur tiram putih.

a. Kendala Lahan

Luas lahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan masing-masing produk tergantung dari luas lognya dan tidak boleh lebih besar dari luas lahan yang tersedia. Sisi sebelah kanan merupakan luas lahan yang tersedia untuk pembibitan atau pun untuk budidaya jamur. Secara matematis kendala ini dituliskan sebagai berikut :

B11X11 + B12X12 + B13X13 + B21X21 + B22X22 + B23X23 ≤ b

Keterangan :

B : Luasan lahan yang diperlukan per log (m2/log) X : Jumlah produksi (Log)

b : Luas lahan tersedia (m2)

b. Kendala Bibit

Produksi yang dihasilkan dipengaruhi oleh banyaknya bibit yang digunakan. Koefisien bibit siap panen dihitung berdasarkan jumlah bibit yang dibutuhkan per log bibit siap panen. Nilai ruas kendala adalah ketersediaan bibit setiap bulan di P4S Nusa Indah. Secara matematis kendala ini ditulis sebagai berikut :

D11X11 + D12X12 + D13X13 + D21X21 + D22X22 + D23X23 ≤ d

Keterangan :

D : Bibit yang diperlukan per log (log) X : Jumlah produksi (log)

d : Ketersediaan bibit (Paket)

c. Kendala Tenaga Kerja

Jam kerja yang dibutuhkan antara aktivitas produksi bibit siap panen dengan jamur tiram putih berbeda. Ruas sebelah kiri menunjukan waktu yang


(30)

30 dibutuhkan untuk melakukan produksi bibit atau jamur tiram. Ruas sebelah kanan menunjukan ketersediaan jam kerja. Secara matematis dituliskan sebagai berikut :

E11X11 + E12X12 + E13X13 + E21X21 + E22X22 + E23X23 ≤ e

Keterangan :

E : Jumlah jam kerja yang diperlukan per log (jam/log) X : Jumlah produksi (log)

e : Ketersediaan jam kerja (jam)

Untuk produksi jamur tiram putih, terdapat kendala tenaga kerja lainnya. Kendala ini adalah saat kegiatan budidaya selama empat bulan. Dalam kegiatan budidaya ini terdiri dari pemeliharaan dan panen. Secara matematis dituliskan sebagai berikut :

F21X21 + F22X22 + F23X23 ≤ f

Keterangan :

F : Jumlah jam kerja yang diperlukan per log (jam/log) X : Jumlah produksi (log)

f : Ketersediaan jam kerja (jam)

d. Kendala Serbuk Kayu

Serbuk kayu merupakan salah satu faktor yang penting. Faktor produksi ini selain digunakan sebagai media tanam, juga digunakan sebagai bahan bakar untuk proses sterilisasi. Ruas sebelah kiri menunjukkan jumlah serbuk kayu yang dibutuhkan untuk menghasilkan bibit atau jamur tiram. Ruas sebelah kanan menunjukkan ketersediaan serbuk kayu di P4S Nusa Indah dalam satu bulan. Secara matematis kendala ini dituliskan sebagai berikut :

G11X11 + G12X12 + G13X13 + G21X21 + G22X22 + G23X23 ≤ g

Keterangan :

G : Serbuk kayu yang diperlukan per log (kg/log) X : Jumlah produksi (log)


(31)

31 e. Kendala Dedak dan Plastik

Kebutuhan dedak dihitung berdasarkan jumlah yang digunakan per log. Kebutuhan plastik disesuaikan dengan produksi yang akan dihasilkan. Kebutuhan ini dikalikan dengan harga beli dedak dan plastik. Nilai ruas kanan adalah ketersediaan modal dalam satu kali proses produksi untuk pembelian dedak dan plastik kemasan. Secara matematis dituliskan sebagai berikut:

H11X11 + H12X12 + H13X13 + H21X21 + H22X22 + H23X23 ≤ h

Keterangan :

H : Dedak dan plastik yang diperlukan per log (Rp/log) X : Jumlah produksi (log)

h : Ketersediaan modal (Rp)

f. Kendala Penjualan

Kendala penjualan muncul karena kemampuan perusahaan yang terbatas. Dengan demikian produksi yang dihasilkan hendaknya tidak melebihi dari permintaan yang ada sekarang ini terhadap P4S Nusa Indah.

Penjualan untuk setiap jenis produk berbeda. Ruas sebelah kiri menunjukkan produksi yang dihasilkan, sedangkan ruas sebelah kanan menunjukkan besarnya penjualan yang ada. Secara matematis kendala ini dituliskan sebagai berikut :

IX11 ≥ i j ≤ JX13 ≤ k

K X21 + K X22 + KX23 ≤ k Keterangan :

X : Jenis produk

I, J, K : Jumlah produksi (log) I,j,k : Penjualan (log)

4.3.4. Analisis Primal

Analisis primal berguna untuk mengetahui tingkat kombinasi produksi yang menghasilkan keuntungan maksimum dengan mempertimbangkan


(32)

32 keterbatasan sumberdaya. Hasil analisis ini dibandingkan dengan kondisi aktual, agar dapat diketahui apakah kegiatan produksi yang selama ini dijalankan oleh perusahaan sudah berjalan optimal.

4.3.5. Analisis Dual

Analisis dual dilakukan untuk mengetahui sumber daya yang membatasi nilai fungsi tujuan dan sumberdaya yang berlebih. Hal ini terlihat dari nilai slack atau surplus dan nilai dualnya. Nilai dual menunjukkan perubahan yang akan terjadi pada fungsi tujuan, apabila sumber daya berubah sebesar satu satuan. Jika nilai slack atau surplus nya lebih besar daripada nol dan nilai dualnya nol, maka sumberdaya tersebut berlebih. Sebaliknya jika nilai slack atau surplusnya sama dengan nol dan nilai dualnya lebih besar dari nol, maka sumberdaya tersebut merupakan sumberdaya yang terbatas.

4.3.6. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengukur sejauh mana solusi optimal dapat diterapkan jika terjadi perubahan. Perubahan tersebut yaitu perubahan koefisien fungsi tujuan dan perubahan ketersediaan sumberdaya. Batas minimum adalah batas penurunan nilai parameter yang diperbolehkan agar tidak mengubah kondisi optimal. Batas maksimum adalah batas peningkatan nilai parameter yang diperbolehkan agar kondisi optimal tidak berubah. Semakin kecil batas perubahan yang diperbolehkan, maka semakin peka parameter tersebut mengubah solusi optimal yang telah diperoleh.

4.3.7. Analisis Post Optimalitas

Analisis post optimalitas dilakukan jika solusi optimal yang sudah didapat tidak dapat menjawab perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya beberapa perubahan yang berada diluar selang sensitivitas solusi optimal awal. Analisis post optimalitas juga dilakukan jika terdapat perubahan variabel keputusan, penambahan atau pengurangan fungsi kendala dan terjadinya perubahan koefisien pada setiap fungsi.


(33)

33

V. GAMBARAN UMUM P4S NUSA INDAH

5.1. Sejarah dan Perkembangan P4S Nusa Indah

Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Nusa Indah adalah sebuah pusat pelatihan usaha jamur tiram dan tanaman hias yang didirikan pada tanggal 17 Juli 1998. Pusat pelatihan ini terletak di Gang Pala, Kampung Sukamanah RT 02 RW 01, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Bogor.

P4S Nusa Indah terbentuk sebagai wujud kepedulian petani dalam meningkatkan jiwa kewirausahaan agribisnis melalui penyebaran informasi dan teknologi pertanian. Selain sebagai pusat pelatihan, P4S Nusa Indah ini juga melakukan usaha jamur tiram putih.

Usaha jamur tiram putih yang dilakukan meliputi usaha pembibitan dan budidaya jamur tiram putih. Usaha pembibitan berupa usaha yang menghasilkan bibit jamur siap panen. Usaha ini dilatarbelakangi tingginya permintaan jamur tiram yang belum terpenuhi. Namun banyak petani yang belum mampu menghasilkan bibit dikarenakan tingginya resiko kegagalan.

Awalnya usaha yang dilakukan hanyalah budidaya jamur tiram putih pada tahun 1998. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya permintaan bibit siap panen dari para petani, maka pembibitan mulai dilakukan. Rata-rata bibit yang dihasilkan per bulan sebanyak 1.300 log dan jamur tiram putih yang dihasilkan sebanyak 30 kg per bulan. Pada tahun 2010 P4S akhirnya hanya melakukan pembibitan jamur tiram putih siap panen.

5.2.Organisasi dan Tenaga Kerja

P4S Nusa Indah merupakan gabungan para petani dalam satu wilayah kerja. Dalam kegiatan pembinaan P4S Nusa Indah mendapat binaan dari dinas atau instansi lingkup Departemen Pertanian. P4S Nusa Indah ini diketuai oleh Ibu Cucu Komalasari dalam pengelolaannya dibantu oleh seorang wakil Bapak Heri Hermawan, sekretaris Ibu Yayat dan Bendahara Ida Yani. Dalam kegiatannya, P4S terdiri dari empat bagian yakni bagian sumberdaya manusia, produksi, pascapanen, dan pemasaran (Gambar 4).


(34)

34 Gambar 4. Struktur Organisasi P4S Nusa Indah

Bagian sumberdaya manusia bertugas dalam mengatur para petani dalam kegiatan pembinaan. Bagian produksi bertugas melakukan kegiatan produksi dan menjaga agar kegiatan produksi berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Bagian pasca panen bertugas menjalin kerjasama dengan para petani untuk pemenuhan kebutuhan permintaan pasar. Bagian pemasaran bertugas melakukan promosi, mencari tempat pameran, serta bertanggung jawab dalam proses penjualan kepada konsumen.

Untuk usaha jamur tiram dikelola oleh Ibu Cucu Komalasari mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga pengawasan. Dalam usaha ini terdapat lima orang tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan produksi. Tenaga kerja ini bekerja delapan jam per hari mulai dari pukul 08.00 hingga 17.00 dengan waktu istrirahat antara pukul 12.00 hingga 13.00. Upah yang diperoleh sebesar Rp 400.000 per bulan.

Bag. Pasca Panen

Bag. Pemasaran Bag.SDM

Bag. Produksi

Bendahara Sekretaris

Pembina Camat Distanhut Ciawi

Ketua


(35)

35 5.3. Sarana dan Sistem Produksi

Sarana adalah faktor utama yang harus dimiliki untuk menjalankan suatu usaha. Sarana yang dimiliki P4S Nusa Indah untuk berproduksi terdiri dari lahan seluas 200 m². Kemiringan lahan landai, bahkan cenderung datar. Status penggunaan lahan adalah milik sendiri. Dalam lahan ini terdapat bangunan tempat pencampuran dan pengomposan, ruang sterilisasi, ruang inokulasi, dan ruang inkubasi (kumbung).

Tempat pencampuran dan pengomposan seluas 50 m² berupa ruangan terbuka, berlantai semen dan beratap. Tempat ini berfungsi sebagai tempat pencampuran, pengomposan dan pembuatan media tanam yang dikemas dalam plastik polypropilen (baglog). Ruang sterilisasi seluas 13 m² semi tertutup yaitu terdapat celah untuk sirkulasi udara dan pembuangan asap. Tempat ini berfungsi sebagai tempat untuk sterilisasi media melalui pengukusan.

Ruang inokulasi merupakan ruangan yang benar-benar tertutup rapat sebagai ruang pembibitan. Ruang inkubasi atau kumbung merupakan tempat penyimpanan bibit. Pada kumbung ini terdapat rak-rak bertingkat.

Prasarana merupakan faktor pendukung kegiatan produksi. Prasarana yang digunakan terdiri dari rak penyimpan bibit, drum, ayakan serbuk, sekop, cangkul, timbangan, selang, ember, kursi, keranjang, spatula, handsprayer, pasak pemadat, botol, dan terpal. Ayakan serbuk digunakan untuk memisahkan serbuk kayu dari potongan-potongan kayu, serat-serat kasar kayu, dan dari sampah atau material lain yang dapat mengganggu pertumbuhan miselium jamur.

Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi bibit siap panen sama dengan bahan yang digunakan untuk memproduksi jamur tiram putih. Bahan-bahan ini terdiri dari serbuk kayu, bibit, dedak, kapur, gips, plastik, cincin bambu, karet, kertas, alkohol dan spirtus.

Serbuk kayu digunakan sebagai media tanam jamur. Serbuk ini berasal dari limbah usaha perkayuan di sekitar P4S Nusa Indah. Serbuk kayu yang digunakan albasia dan mahoni, yaitu jenis kayu yang tidak bergetah, karena zat ekstraktifnya (zat pengawet alami) dapat menghambat pertumbuhan jamur.


(36)

36 Serbuk kayu ini mengandung selulosa, glukosa, lignin, protein dan senyawa pati yang merupakan bahan makanan bagi jamur.

Bibit jamur yang digunakan untuk menghasilkan bibit siap panen dan jamur tiram putih ini berupa jenis bibit serbuk yang dikemas dalam plastik polypropilen. Dedak merupakan sumber karbohidrat, karbon, nitrogen, dan vitamin B komplek yang bisa mempercepat pertumbuhan miselium dan mendorong perkembangan tubuh buah jamur. Dedak yang diguanakan harus masih baru, tidak berbau apek dan strukturnya tidak rusak. Dedak ini diperoleh dari petani sekitar P4S Nusa Indah.

Kapur berfungsi untuk mengontrol pH media tanam dan sebagai sumber kalsium. Kapur yang digunakan yaitu kapur pertanian kalsium karbonat (CaCO3).

Gipsum atau gips berguna untuk memperkokoh struktur campuran serbuk kayu dengan bahan lainnya, sehingga tidak mudah pecah. Kapur dan gipsum ini diperoleh dari toko panca kimia Bogor.

5.4.Proses Produksi

Proses produksi mulai dari pembibitan hingga budidaya jamur tiram putih terdiri dari beberapa tahap. Untuk pembibitan prosesnya dimulai dari pembuatan media tanam, pembibitan (inokulasi), dan inkubasi. Budidaya jamur tiram putih adalah kelanjutan dari pembibitan. Budidaya jamur tiram ini adalah pemeliharaan setelah bibit diinkubasikan selama satu bulan.

5.4.1 Pembuatan Media Tanam

Untuk satu paket pembibitan terdiri dari tiga log bibit jamur, tujuh karung serbuk kayu (100 kg), 15 kg dedak, dua kg kapur, satu kg gipsum, dan air secukupnya. Satu paket pembibitan ini mampu menghasilkan 150 log bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm. Untuk bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm atau 20 x 30 cm hanya dihasilkan sebanyak 125 log.

Serbuk kayu diayak terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan dengan bahan sesuai komposisinya secara merata. Campuran media ini sesuai jika ketika digenggam tidak meneteskan air, tetapi juga tidak mudah hancur


(37)

37 kembali. Media tanam ini kemudian dikomposkan selama 24 jam dengan tujuan untuk menguraikan senyawa kompleks yang terdapat di dalam media dengan bantuan mikroba, sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah diserap oleh jamur.

Campuran media tanam dikemas dengan plastik polypropilen dan dipadatkan dengan menggunakan botol serta diberi lubang tanam di tengah dengan menggunakan pasak pemadat. Pengisian media ini harus padat agar media tanam tidak cepat rusak dan tidak mengganggu pertumbuhan miselium.

Sterilisasi media tanam dilakukan dengan mengukus bibit siap panen menggunakan drum yang disekat dibagian tengah bawahnya selama delapan jam. Bahan bakar yang digunakan pun berasal dari serbuk kayu dengan kompor yang terbuat dari drum. Pengukusan ini bertujuan untuk mensterilkan media tanam dari mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan jamur tiram putih. Media tanam ini sebelum ditanami bibit jamur, didinginkan terlebih dahulu selama 24 jam.

5.4.2 Pembibitan

Ruang tempat pembibitan, peralatan, dan tangan pekerja disemprotkan alkohol 70 persen untuk sterilisasi. Bibit jamur ditaburkan diatas media tanam, kemudian kemasan media tanam ditutup kembali dengan menggunakan cincin dan kertas yang diikat karet. Kertas yang digunakan dipanaskan diatas api terlebih dahulu untuk sterilisasi.

5.4.3 Inkubasi

Media tanam yang sudah ditanami bibit jamur dibawa ke kumbung pembibitan dan disimpan diatas rak. Media tanam ini menjadi bibit siap panen setelah miselium jamur tumbuh merata. Waktu yang dibutuhkan untuk proses inkubasi adalah 30 hari. Jika miselium sudah tumbuh merata, maka bibit siap panen ini dapat dijual, atau dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu budidaya jamur tiram putih.


(38)

38 5.4.4. Budidaya Jamur Tiram

Budidaya jamur tiram putih dilakukan setelah miselium bibit siap panen tumbuh merata. Bibit siap panen dipindahkan ke kumbung budidaya. Pemeliharaan dilakukan dengan cara menjaga suhu dan kelembapan kumbung. Hal ini dapat dilakukan dengan penyiraman maupun pengabutan. Pada musim hujan suhu udara dan kelembapan normal, sehingga pengabutan cukup satu kali pada pagi hari. Pada musim kemarau penyiraman dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali sehari.

Jamur tiram putih dapat dipanen setelah bibit siap panen berusia 45 hari dan terus dipanen satu minggu sekali hingga umurnya mencapai 120 hari. Panen dilakukan secara manual dengan memotong jamur dari media tanam dengan menggunakan pisau. Akar jamur dipotong agar jamur tiram putih ini tidak cepat busuk.

Pada saat ini P4S Nusa Indah hanya memproduksi dan menjual bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm sebanyak 5.000 log. Untuk bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm tidak diproduksi. Bibit ini diproduksi jika langsung dibudidayakan menjadi jamur tiram putih. P4S Nusa Indah tidak memproduksi jamur tiram putih karena dinilai lebih menguntungkan memproduksi bibit siap panen daripada memproduksi jamur tiram putih. Bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm diproduksi setiap dua bulan sekali hal ini sesuai dengan permintaan minimum yang ada yaitu 4.000 log. Permintaan maksimum bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm adalah 7.000 log.

5.5.Pemasaran

P4S Nusa Indah memasarkan jamur tiram putihnya ke Pasar Bogor. Permintaan untuk jamur tiram putih itu sendiri masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pasar yang mampu menerima berapa pun jamur yang dihasilkan oleh P4S Nusa Indah. Permintaan maksimum jamur tiram putih yang ada adalah 12.000 kg per bulan. Namun permintaan jamur tiram putih ini sama sekali tidak dipenuhi oleh P4S Nusa Indah.


(39)

39 Semakin tingginya permintaan jamur tiram putih, membuat usaha jamur tiram putih ini menjadi sebuah usaha yang memiliki prospek yang sangat baik. Hal ini mendorong para petani untuk mengusahakan jamur tiram putih. Namun tingginya risiko kegagalan yang dihadapi dalam tahap pembibitan membuat para petani hanya bergerak dalam budidaya jamur tiram putih, sehingga permintaan bibit jamur tiram putih P4S Nusa Indah semakin meningkat.

Penjualan bibit dengan kemasan 17 x 35 cm setiap bulannya 5.000 log. Untuk bibit ukuran 20 x 30 cm setiap dua bulan sekali permintaannya antara 4.000 hingga 7.000 log per bulannya. Bibit 17 x 35 cm dipasarkan ke petani di Sukaraja, SBJ, Kota Batu, dan Ciomas sebanyak 5.000 log per bulan dengan harga satuannya Rp 1.800 per log. Bibit ukuran 18 x 35 cm tidak dihasilkan, dan bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm dipasarkan ke daerah Lampung setiap dua bulan sekali dengan harga per log nya sebesar Rp 2.000 sebanyak 4.000 log.


(40)

40

VI. PERUMUSAN MODEL OPTIMALISASI

Perumusan model optimalisasi yang dilakukan sebanyak dua kali. Hal ini disesuaikan dengan pola produksi di P4S Nusa Indah, yaitu pada saat produksi bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm saja sebanyak 5.000 log dan pada saat produksi bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm saja sebanyak 4.000 log. Karena jangka waktu antara pembibitan hanya satu bulan, sedangkan budidaya jamur tiram putih empat bulan, maka untuk budidaya diambil jangka waktu satu bulan saja. Hasil budidaya jamur tiram putih dihitung rata-rata untuk satu kali proses produksi budidaya jamur tiram putih.

Kendala yang digunakan dalam perumusan model dalam penelitian ini antara pola produksi pertama dan kedua adalah sama, kecuali kendala penjualan. Pada pola pertama kendala penjualan minimum bibit siap panen saja sebanyak 5.000 log. untuk bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm dan 20 x 30 cm tidak ada permintaan sehingga kendala penjualan sama dengan nol. Pola kedua, kendala penjualan minimum bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm sebanyak 4.000 log dan untuk bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm dan 18 x 35 cm adalah nol.

6.1.Perumusan Fungsi Tujuan Optimalisasi Produksi Jamur Tiram Putih Fungsi tujuan menggambarkan tujuan yang ingin dicapai perusahaan yaitu memaksimumkan keuntungan dari kegiatan produksi bibit siap panen dan jamur tiram putih. Koefisien fungsi tujuan merupakan keuntungan dari masing-masing produksi bibit siap panen dan produksi jamur tiram putih segar per log yang diperoleh P4S Nusa Indah. Keuntungan ini diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan total biaya per paket yang kemudian dikonversikan ke dalam keuntungan per log dengan cara membagi keuntungan total dengan jumlah log dalam satu paket. Untuk satu paket bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm terdiri dari 150 log dan ukuran 18 x 35 cm serta 20 x 30 cm terdiri dari 125 log. Keuntungan secara matematis dituliskan sebagai berikut :

π = TR – TC Keterangan :


(41)

41

π = Keuntungan yang diperoleh dari setiap jenis produk (bibit atau jamur tiram putih) yang dikemas ( ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, atau 20 x 30 cm) (satuan rupiah).

TR = Total penerimaan yang diperoleh setiap jenis produk (bibit atau jamur tiram putih) yang dikemas ( ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, atau 20 x 30 cm) (satuan rupiah).

TC = Total biaya yang dikeluarkan untuk setiap jenis produk (bibit atau jamur tiram putih) yang dikemas ( ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, atau 20 x 30 cm) (satuan rupiah).

Total penerimaan diperoleh dari hasil kali antara harga jual bibit siap panen dengan jumlah produksi bibit dalam satu paket. Untuk penerimaan jamur tiram putih diperoleh dari hasil kali antara harga jual jamur dengan jumlah produksi jamur tiram putih dalam satu paket. Total biaya yang dikeluarkan baik untuk produksi bibit siap panen maupun jamur tiram putih meliputi biaya bibit, tenaga kerja, serbuk, dedak, kapur, gipsum, cincin, kertas, karet, alkohol dan spirtus, bahan bakar, dan plastik, lahan, listrik, dan biaya penyusutan.

Tabel 8 memperlihatkan perhitungan keuntungan bibit siap panen dan jamur tiram putih di P4S Nusa Indah. Harga jual untuk bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm sebesar Rp 1.800 per log, sedangkan untuk bibit siap panen ukuran 18 x 35 cm dan 20 x 30 cm adalah sebesar Rp 2.000 per log. Harga jual jamur tiram putih segar diperoleh dari harga rata-rata di Pasar Bogor pada tahun 2011 yaitu Rp 8.500 per kg.

Tabel 8. Perhitungan Keuntungan Bibit Siap Panen dan Jamur Tiram Putih di P4S Nusa Indah.

No. Jenis

Jumlah produksi

Harga (Rp/log)

Penerimaan (Rp)

Biaya (Rp)

Keuntungan (Rp) (Rp/Log)

1 17x35 cm 150 Log 1.800 270.000 158.380 111.620 744

2 18x35 cm 125 Log 2.000 250.000 156.173 93.827 751

3 20x30 cm 125 Log 2.000 250.000 159.226 90.774 726

4 Jmr 17x35 cm 52,5 Kg 8.500 446.250 199.153 247.097 1.647 5 Jmr 18x35 cm 50,0 Kg 8.500 425.000 194.460 230.540 1.844 6 Jmr 20x30 cm 50,0 Kg 8.500 425.000 199.584 225.416 1.803


(1)

77 NO. ITERATIONS= 1

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:

OBJ COEFFICIENT RANGES

VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE COEF INCREASE DECREASE X11 744.000000 INFINITY INFINITY X12 751.000000 INFINITY INFINITY X13 726.000000 464.135132 578.268921 X21 1647.000000 78.318306 INFINITY X22 1844.000000 7218.035156 40.999958 X23 1803.000000 41.000008 INFINITY

RIGHTHAND SIDE RANGES

ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE RHS INCREASE DECREASE 1 97.300003 INFINITY 19.553814 2 133.600006 INFINITY 130.554276 3 0.000000 948.549988 0.000000 4 0.000000 788.491394 0.000000 5 4000.000000 788.491394 INFINITY 6 7000.000000 INFINITY 2211.508545 7 12000.000000 INFINITY 11915.396484 8 0.000000 0.000000 INFINITY 9 0.000000 211.508560 INFINITY 10 4000.000000 788.491394 INFINITY 11 7000.000000 INFINITY 2211.508545 12 120.000000 27.692314 17.407724 13 400.000000 INFINITY 75.000015 14 2742.000000 INFINITY 866.230225 15 1040.000000 1267.499878 340.000000

3.Post Optimalitas Pola Produksi Pertama Max427x11+375x12+594x13+1249x21+1377.6x22+1324x23 st

1)0.0132X11+0.0144X12+0.0156X13+0.0132X21+0.0144X22+0.015 6X23<=97.3

2)0.0132X21+0.0144X22+0.0156X23<=133.6 3)x11>=5000

4)x12=0 5)x13=0

6)0.35x21+0.4x22+0.4x23<=12000 7)x11+x21>=5000


(2)

78 9)x23>=0

10)0.020X11+0.024X12+0.024X13+0.020X21+0.024X22+0.024X23 <=120

11)0.054X11+0.065X12+0.065X13+0.054X21+0.065X22+0.065X23 <=400

12)0.3X11+0.356X12+0.376X13+0.3X21+0.356X22+0.376X23<= 1844

13)0.12X11+0.14X12+0.14X13+1.7275X21+1.7475X22+1.7475X23 <=1040

End

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 4

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 2734662.

VARIABLE VALUE REDUCED COST X11 5760.523926 0.000000 X12 0.000000 135.241730 X13 0.000000 0.000000 X21 0.000000 45.358276 X22 199.563461 0.000000 X23 0.000000 53.599998

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 1) 18.387371 0.000000 2) 130.726288 0.000000 3) 760.523865 0.000000 4) 0.000000 0.000000 5) 0.000000 83.758278 6) 11920.174805 0.000000 7) 760.523865 0.000000 8) 199.563461 0.000000 9) 0.000000 0.000000 10) 0.000000 18112.582031 11) 75.960083 0.000000 12) 44.798252 0.000000 13) 0.000000 539.569702 NO. ITERATIONS= 4

4.Post Optimalitas Pola Produksi Kedua

Max427x11+375x12+594x13+1249x21+1377.6x22+1324x23 st

1)0.0132X11+0.0144X12+0.0156X13+0.0132X21+0.0144X22+0.015 6X23<=97.3


(3)

79 3)x11=0

4)x12=0 5)x13>=4000 6)x13<=7000

7)0.35x21+0.4x22+0.4x23<=12000 8)x11+x21>=0

9)x22>=0

10)x13+x23>=4000 11)x13+x23<=7000

12)0.020X11+0.024X12+0.024X13+0.020X21+0.024X22+0.024X23 <=120

13)0.054X11+0.065X12+0.065X13+0.054X21+0.065X22+0.065X23 <=400

14)0.3X11+0.356X12+0.376X13+0.3X21+0.356X22+0.376X23<= 2742

15)0.12X11+0.14X12+0.14X13+1.7275X21+1.7475X22+1.7475X23 <=1040

end

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 3135738.

VARIABLE VALUE REDUCED COST X11 0.000000 69.624870 X12 0.000000 219.000000 X13 4788.491211 0.000000 X21 0.000000 31.224878 X22 211.508560 0.000000 X23 0.000000 53.599998

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 1) 19.553814 0.000000 2) 130.554276 0.000000 3) 0.000000 0.000000 4) 0.000000 0.000000 5) 788.491394 0.000000 6) 2211.508545 0.000000 7) 11915.396484 0.000000 8) 0.000000 0.000000 9) 211.508560 0.000000 10) 788.491394 0.000000 11) 2211.508545 0.000000 12) 0.000000 21906.453125 13) 75.000015 0.000000 14) 866.230225 0.000000 15) 0.000000 487.465027


(4)

80 Lampiran 10. Keuntungan setelah Peningkatan Biaya 30 %

No. Jenis

Jumlah produksi

(Log)

Harga (Rp/log)

Penerimaan

(Rp) Biaya (Rp)

Biaya setelah Meningkat 30% (Rp)

Total Keuntungan

(Rp)

Keuntungan per log (Rp/log)

1 17x35 cm 150 1.800 270.000 158.380 205.894,6 64.105 427,3696

2 18x35 cm 125 2.000 250.000 156.173 203.025,3 46.975 375,7976

3 20x30 cm 125 2.250 281.250 159.226 206.993,9 74.256 594,0484

4 Jmr 17x35 cm 52,5 8.500 446.250 199.153 258.899,0 187.351 1249,007

5 Jmr 18x35 cm 50,0 8.500 425.000 194.460 252.797,5 172.203 1377,62

6 Jmr 20x30 cm 50,0 8.500 425.000 199.584 259.459,7 165.540 1324,323

Lampiran 11. Perubahan Keuntungan dalam Solusi Optimal Awal pada Pola Produksi Pertama No Produk Keuntungan sebelum

perubahan (Rp/log)

Batas penurunan diperbolehkan

(Rp/log)

Keuntungan minimum (Rp/log)

1. Bibit 17x35cm 744 115,90 628,1

2. Bibit 18x35cm 751 infinity infinity

3. Bibit 20x30cm 726 infinity infinity

4. Jamur 17x35cm 1.647 infinity infinity

5. Jamur 18x35cm 1.844 41 1.803

6. Jamur 20x30cm 1.803 infinity infinity

Lampiran 12. Perubahan Keuntungan dalam Solusi Optimal Awal pada Pola Produksi Kedua No Produk Keuntungan sebelum

perubahan (Rp/log)

Batas penurunan diperbolehkan

(Rp/log)

Keuntungan minimum (Rp/log)

1. Bibit 17x35cm 744 infinity infinity

2. Bibit 18x35cm 751 infinity infinity

3. Bibit 20x30cm 726 578,27 147,73

4. Jamur 17x35cm 1.647 infinity infinity

5. Jamur 18x35cm 1.844 41 1.803


(5)

RINGKASAN

ERIZA KUSUMADEWI. Optimalisasi Produksi Jamur Tiram Putih di Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan (P4S) Nusa Indah, Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (di bawah bimbingan HARMINI).

Jamur merupakan salah satu produk yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan, karena tingginya permintaan terhadap jamur yang masih belum terpenuhi. P4S Nusa Indah merupakan pusat pelatihan pertanian yang juga melakukan unit usaha bisnis pembibitan dan budidaya jamur tiram putih.

Perbedaan cara antara pembibitan serta budidaya ini menyebabkan biaya yang dihasilkan berbeda, meskipun berasal dari bahan baku yang sama. Begitu juga dengan harga jual dari masing-masing produk. Hal inilah yang membuat keuntungan yang diperoleh dari setiap jenis produk berbeda-beda. Keuntungan untuk bibit ukuran 17 x 35, 18 x 35, dan 20 x 30 cm adalah Rp 744, Rp 751, dan Rp 726. Keuntungan jamur tiram putih yang berasal dari bibit ukuran 17 x 35, 18 x 35, dan 20 x 35 adalah Rp 1.647, Rp 1.844, dan Rp 1.803.

Pembibitan dan budidaya jamur menggunakan sumberdaya yang sama, sehingga terjadi persaingan produksi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki ini meliputi lahan, bibit, serbuk kayu, dedak, dan tenaga kerja. Penjualan juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan menjadi kendala.

Untuk mencapai keuntungan yang maksimum, P4S Nusa Indah dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya sehingga perlu dilakukan analisis optimalisasi produksi dalam rangka mencapai keuntungan yang maksimum. Dengan analisis tersebut dapat diperoleh kombinasi produksi yang optimal, keuntungan maksimal, penggunaan sumberdaya, dan analisis perubahan keuntungan serta ketersediaan sumberdaya.

Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dijabarkan secara deskriptif, mengenai gambaran dan kondisi perusahaan. Pengolahan data secara kuantitatif yaitu mengolah data yang diperoleh secara manual ke dalam bentuk pertidaksamaan program linear dan kemudian diolah dengan bantuan program LINDO (Linier Interactive and

Discrete Optimizer). Hasil pengolahan tersebut dijelaskan dalam empat buah

analisis yaitu analisis primal, analisis dual, sensitivitas dan analisis post optimalitas.

Kondisi aktual P4S Nusa Indah pada pola produksi pertama menghasilkan bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm sebanyak 5.000 log dengan total keuntungan Rp 3.720.000. Pola produksi kedua dihasilkan bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm sebanyak 4.000 log dengan total keuntungan Rp 2.904.000.

Hasil penelitian menunjukkan kombinasi produksi yang optimal di P4S Nusa Indah pada pola produksi pertama adalah memproduksi jamur tiram putih dari bibit 18 x 35 cm sebanyak 199,5 log dan bibit 17 x 35 cm sebanyak 5.760,5 log. Total keuntungan Rp 4.653.825 meningkat sebesar 25,10 persen dari kondisi aktualnya. Pola produksi kedua memproduksi jamur tiram putih dari bibit 18 x 35 cm sebanyak 211,5 log dan bibit 20 x 30 cm sebanyak 4.788,5 log. Total keuntungan Rp 3.866.466 meningkat 33,14 persen dari kondisi aktualnya.


(6)

Sebagian besar sumberdaya masih berlebih, yaitu lahan, serbuk kayu, tenaga kerja. Pada pola produksi pertama lahan lahan untuk pembibitan terpakai sebesar 78,91 m² dan untuk budidaya sebesar 2,87 m². Serbuk kayu digunakan sebanyak 324 karung. Modal untuk pembelian dedak dan plastik sebanyak Rp 1.799.202. Pada pola produksi kedua, lahan untuk pembibitan terpakai sebesar 77,75 m² dan untuk budidaya sebesar 3,05 m². Serbuk kayu digunakan sebanyak 325 karung. Modal untuk pembelian dedak dan plastik sebanyak Rp 1.875.770. Bibit dan tenaga kerja untuk budidaya habis terpakai. Pada pola produksi pertama setiap penambahan satu paket bibit maka akan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 33.640,79, sedangkan pada pola produksi kedua akan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 26.192,97. Penambahan jam kerja selama satu jam maka akan meningkatkan keuntungan sebesar dual pricenya yakni Rp 593,20 pada pola produksi pertama, sedangkan pada pola produksi kedua akan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 695,49.

Hasil olahan optimalisasi produksi menunjukkan perubahan keuntungan dalam selang yang diperbolehkan tidak akan mengubah kombinasi produksi optimal. Untuk produk yang tidak diproduksi maka penurunan keuntungannya tidak terbatas, namun peningkatannya memiliki nilai tertentu. Agar kombinasi produksi optimal tetap, maka pada pola produksi pertama harga jual bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm boleh ditingkatkan sebanyak Rp 249,13 per log, dan jamur tiram putih yang berasal dari bibit 18 x 35 cm hanya boleh turun harga jualnya sebanyak Rp 41. Pada pola produksi kedua harga jual bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm boleh ditingkatkan sebanyak Rp 464,14 per log, dan jamur tiram putih yang berasal dari bibit 18 x 35 cm hanya boleh turun harga jualnya sebanyak Rp 41.

Analisis perubahan ketersediaan sumberdaya ditunjukkan dalam selang yang diperbolehkan maka akan mengubah nilai kombinasi produksi optimal. Jika sumberdaya merupakan kendala pembatas, maka sumberdaya tersebut memiliki peningkatan dan penurunan yang terbatas. Sebaliknya jika sumberdaya tersebut bukan merupakan kendala pembatas, maka akan memiliki peningkatan yang tidak terbatas dan penurunan sebesar nilai slack/surplus. Hanya sumber daya bibit dan tenaga kerja untuk budidaya yang memiliki nilai peningkatan dan penurunan. Batas peningkatan ketersediaan bibit pada pola produksi pertama sebanyak 3 paket dan penurunannya sebanyak 14 paket. Untuk tenaga kerja peningkatan ketersediaan jamnya sebanyak 1.016,25 jam dan penurunannya sebanyak 320 jam. Batas peningkatan ketersediaan bibit pada pola produksi kedua sebanyak 28 paket dan penurunannya sebanyak 17 paket. Untuk tenaga kerja peningkatan ketersediaan jamnya sebanyak 1.267,50 jam dan penurunannya sebanyak 340 jam. Sebaiknya perusahaan meningkatkan ketersediaan bibit dan menambah tenaga kerja dengan cara meningkatkan modal melalui kerja sama serta mempertimbangkan ketersediaan sumber daya lain yang berlebih. Selain itu harga jual bibit siap panen ditingkatkan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan biaya input mengingat harga jual bibit siap panen tidak berubah sejak tahun 2008. Agar kombinasi produksi tetap sama, maka pada pola produksi pertama harga jual bibit siap panen ukuran 17 x 35 cm, 18 x 35 cm, dan 20 x 30 cm masing-masing boleh ditingkatkan sebesar Rp 249,13, Rp 139,43, dan Rp 164,43. Pada pola produksi kedua harga jual bibit siap panen ukuran 20 x 30 cm hanya boleh meningkat sebesar Rp 464,14.