5.2. Hubungan Karakteristik Pekerja dengan Gangguan Faal Paru
Hasil penelitian uji chi square menunjukkan terdapat hubungan signifikan masa kerja dengan gangguan faal paru dengan nilai p=0,011 p0,05. Artinya bahwa
frekuensi masa kerja di industri pakan ternak berdampak terhadap terjadinya gangguan faal paru.
Hasil penelitian menunjukkan dari 34 pekerja yang diteliti 12 52,2 pekerja yang telah bekerja selama 5-10 tahun positif mengalami gangguan faal paru.
Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat Tulus, 1992. Menurut Suma’mur 1994 semakin lama seseorang
dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Pada tenaga kerja di industri pakan ternak semakin lama
terpapar debu dan terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernafasan.
Dalam penelitian Asep Irfan 2003 menunjukan bahwa responden dengan masa kerja
≥ 5 tahun mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 34,2 dan 65,8 tidak mengalami gangguan fungsi paru. Tenaga kerja yang masa kerja 5 tahun
mengalami gangguan fungsi paru 6,3 dan 93,8 tidak mengalami gangguan fungsi paru.
Hasil penelitian uji chi square menunjukkan terdapat hubungan signifikan lama kerja dengan gangguan faal paru dengan nilai p=0,022 p0,05. Artinya bahwa
frekuensi lama kerja di industri pakan ternak berdampak terhadap terjadinya gangguan faal paru.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan dari 34 pekerja yang diteliti 15 65,2 pekerja yang telah bekerja selama 8 jam perhari positif mengalami gangguan faal paru.
Lama kerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatanpekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam. Horrington, 2005. Budiono
2003 menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya time exposure. Bekerja
dalam kondisi tingkat paparan kosentrasi debu yang tinggi akan mengganggu kesehatan khususnya kesehatan sistem pernafasan yang imbasnya akan ditampilkan
dalam penurunan fungsi faal paru. Penelitian Suryani, dkk 2005 menunjukan bahwa lama kerja memiliki hubungan yang signifikan terhadap gangguan fungsi paru.
Hasil penelitian uji chi square menunjukkan terdapat hubungan signifikan kebiasaan merokok pekerja dengan gangguan-gangguan fungsi saluran nafas dengan
nilai p=0,049 p0,05. Artinya bahwa frekuensi dan jumlah batang rokok serta jenis rokok sangat berdampak terhadap terjadinya perubahan dan gangguan faal paru baik
kapasitas paru maupun jenis penyakit paru. Hasil penelitian menunjukkan dari 34 pekerja yang diteliti 23 67,6 pekerja
mempunyai kebiasaan merokok, keadaan ini secara langsung berimplikasi terhadap faal paru.
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar
hipertrofi dan kelenjar mucus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan
Universitas Sumatera Utara
lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul
perubahan fungsi paru-paru dan segala macam perubahan klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit gangguan fungsi saluran nafas menahun Depkes RI,
2003. Penelitian Simonson dan Dasilva 2007 menunjukkan bahwa kapasitas vital
paksa tidak mengalami perubahan yang berarti karena merokok, namun demikian pemaparan debu organik bersifat sinergis dengan kebiasaan merokok. Hal ini
dibuktikan dari penelitian di Amerika menunjukkan bahwa dari 50 pekerja yang menghasilkan debu organik yang merokok menunjukkan gejala gangguan fungsi dan
25 dari buruh yang tidak merokok akan meningkatkan kerentanan terhadap efek debu organik. Sukaman, 1979.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 15 65,2 pekerja yang merokok positif mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja yang tidak
merokok 6 34,8, Hal ini mengindikasikan bahwa kebiasaan merokok sambil bekerja di lingkungan penuh dengan debu akan mempercepat terjadi gangguan faal
paru secara perlahan maupun permanen. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernapasan dan jaringan paru. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok,
38,4mL untuk bekas perokok dan 41,7mL untuk perokok aktif. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh
Universitas Sumatera Utara
buruk rokok Depkes RI, 2003. Inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan pada orang dewasa. Asap
rokok mengitari paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat
kerja Suyono, 2001. Penggunaan APD dalam penelitian ini adalah kebiasaan pekerja untuk
menggunakan alat pelindung ketika bekerja yang berhubungan dengan perlindungan paru-paru penutup mulut. Hasil penelitian menunjukkan 64,7 menggunakan APD.
Sedangkan pekerja yang tidak menggunakan APD hanya 32,4. APD yang digunakan 55,0 adalah masker dan 45,0 sisanya menggunakan kain penutup. Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan APD pada pekerja industri pakan ternak masih rendah sehingga secara langsung berdampak terhadap jumlah debu yang dihirup oleh
pekerja dan penimbunan debu dalam paru-paru pekerja. Hasil penelitian dengan uji square menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan penggunaan APD dengan terjadinya gangguan-gangguan fungsi saluran nafas dengan nilai p=0,042 p0,05, artinya bahwa semakin sering pekerja tidak
menggunakan APD maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi gangguan paru, karena tanpa pelindung mulut atau hidung akan memudahkan debu untuk masuk dan
mengendap di paru-paru. Pekerja yang menggunakan APD hanya menggunakan masker dan kain
penutup sehingga tidak mampu secara sempurna menghambat debu masuk ke dalam mulut, hidung dan paru-paru. Sementara seyogyanya pekerja menggunakan APD
Universitas Sumatera Utara
pernapasan jenis respiratory, baik respiratory sekali pakai, separuh masker, separuh muka maupun respiratory berdaya. Hasil telaah dokumen pabrik, pihak manajemen
pabrik tidak menyediakan respiratory jenis apapun yang ada hanya masker. Penggunaan respiratory ini jauh lebih baik dibandingkan masker dan kain penutup
mulut. Secara proporsi menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami gangguan faal
paru ringan 20,0 terjadi pada pekerja yang tidak menggunakan APD dibandingkan pekerja yang menggunakan APD.
Menurut Boediono 2003, bahwa pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90 kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan
kimia beracun atau korosi lewat saluran pernafasan. Alat perlindungan saluran pernafasan memberikan perlindungan terhadap sumber bahaya di udara tempat kerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mila 2006 pada tenaga kerja bagian pengamplasan dengan kapasitas fungsi paru PT. Accent House Pecangan
Jepara menunjukkan bahwa persentase kapasitas vital. Normal lebih banyak pada responden yang memakai masker 94,1 dibanding yang tidak memakai masker
5,9, sedangkan kapasitas paru tidak normal didominasi responden yang tidak memakai masker 100. Berdasarkan perhitungan chi-square didapat hubungan
antara pemakaian alat pelindung pernafasan masker dengan kapasitas vital, diperoleh keeratan hubungan sebesar 0,679 yang artinya ada hubungan yang cukup
yang cukup kuat antara masa kerja dengan kapasitas vital.
Universitas Sumatera Utara
5.3. Hubungan Konsentrasi Debu dengan Gangguan Faal Paru