Pengertian Perjanjian pada Umumnya

33

BAB II BENTUK PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN KARTU KREDIT DAN

KAITANNYA DENGAN SYARAT-SYARAT SAH PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya

Di dalam masyarakat perjanjian merupakan peristiwa yang paling sering terjadi di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata tentang Perikatan. Akan tetapi, dalam prektiknya perjanjian perikatan belum mendapat keseragaman bahwa perjanjian berasal dari istilah verbintenis, sebagian pakar hukum ada yang menterjemahkannya menjadi perjanjian,sedangkan kata oveerenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan. 45 Dari kata verbintenis dan oveerenkomst, adalah verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat, jadi kata verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan, hal ini sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut diatas kata verbintenis lebih banyak digunakan perikatan sedangkan oveerenkomst berasal dari kata kerja oveerenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi oveerenkomst 45 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1993, hlm. 7. 33 Universita Sumatera Utara 34 mengandung arti kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, perjanjian tersebut merupakan suatu perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan kontra prestasi atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan. Di dalam perjanjian pada umumnya janji-janji para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama. 46 Dengan demikian perjanjian merupakan suatu peristiwa yang kongkret dan dapat dinikmati, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak kongkrit, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. Pasal 1313 KUH Perdata mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan 46 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 3. Universita Sumatera Utara 35 dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang atau lebih”. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa “definisi tersebut menurut para ahli hukum pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian tersebut tidak lengkap dan terlalu luas’. 47 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup mengenai hal- hal mengenai perjanjian kawin yaitu perbuatan didalam lapangan perbuatan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga namun sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata tidak berlaku kepadanya. Berdasarkan pendapat di atas pengertian Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terdapat kelemahan antara lain sebagai berikut: a. Pasal tersebut hanya menyangkut sepihak saja artinya hanya satu pihak saja yang melakukan prestasi, dikatakan demikian karena dapat dilihat dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak, jadi seharusnya, saling mengikatkan diri, jadi ada persetujuan para pihak. b. Perkataan perbuatan juga menyangkut konsensus. Dalam hal pengertian perbuatan termasuk juga melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwarneming, 47 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 89. Universita Sumatera Utara 36 tindakan melawan hukum onrechtmatigedaad, seharusnya dipakai kata persetujuan; c. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena termasuk juga perkawinan, janji kawin, hal ini diatur dalam KUH Perdata Buku I, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan yang bersifat personal; d. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata tanpa menyebut tujuan. Dalam pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu tidak jelas mengetahui tujuannya mengikatkan diri dalam perjanjian. 48 Mengenai perjanjian ini beberapa pakar hukum juga memberikan rumusan yang berbeda, diantaranya R. Subekti yang merumuskaan sebagai “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. R. Subekti juga mengatakan “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”. Perkataan perjanjian dan persetujuan tersebut adalah sama artinya sedangkan perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis. 49 48 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 78. 49 R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1979, hlm.1. Universita Sumatera Utara 37 Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu yang dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ia bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. 50 Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Pada bentuk tertulis itu tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu, misalnya perjanjian untuk mendirikan PT harus dengan akta Notaris. Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan pendapatnya bahwa “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 51 Sedangkan M.Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum harta kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi. 52 Apabila dilihat dari bentuknya perjanjian dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu: a. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan 50 Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 65. 51 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 70. 52 M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6. Universita Sumatera Utara 38 b. Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak wujud lisan cukup kesepakatan para pihak. 53 Ketentuan perundang-undangan menentukan bahwa tidak semua perjanjian diharuskan tertulis, kecuali yang secara tegas dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis, seperti perjanjian perdamaian. Bahkan ada yang harus dengan akta otentik, yang dibuat di hadapan Notaris seperti perjanjian penghibahan atas benda tetap atau pengalihan hak atas tanah. Mengenai cara terbentuknya perjanjian Sri Soedewi Masjchun Sofwan, mengemukakan bahwa perjanjian apabila dilihat secara formal mempunyai 3 tiga tipe, yaitu: 1. Contracts underseal, adalah perjanjian ini tertulis dan bercap seal yang dibutuhkan yang dibubuhkan di atas kertas, sekarang ini di beberapa negara sebagai akibat hukum dari seal tersebut telah dimodifikasi atau ditidakan oleh perundang-undangan. 2. Recognizance, yaitu perjanjian ini mencakup suatu janji di hadapan pengadilan oleh pemberi janji promisor untuk pemenuhan suatu pembayaran tertentu tanpa diperlukan ada tindakan khusus. 3. Negotiabe contracts, yaitu perjanjian yang menembus dan fundamental bagi bisnis. 54 Pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu karena dalam suatu perjanjian, menurut Ridwan Khairandy “Terdapat tiga asas yang saling berkaitan, yaitu asas konsensualisme the principles of the consensualism, asas kekuatan mengikat kontrak the principles of the binding force of contract dan asas 53 Salim HS, Op.Cit., hlm 61. 54 Sri Soedewi Mosjchoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, hlm 59 Universita Sumatera Utara 39 kebebasan berkontrak the principles of the freedom of contract. 55 Oleh karena itu, suatu perjanjian harus memenuhi asas utama dari suatu perikatan dan ketentuan syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata. Dengan dipenuhinya ketentuan tersebut, maka perjanjian tersebut akan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya. Azas kebebasan berkontrak terjelma dalam ayat 1 dari Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang yang dibuatnya”. 56 Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-Undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Dari Pasal 1338 ayat 1 dapat dikatakan bahwa, Pasal itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Dari prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. 55 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta 2004, hlm 38. 56 R. Subekti, Op.Cit., hlm.25. Universita Sumatera Utara 40 Hukum perjanjian pada dasarnya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Oleh karena itu, R. Subekti mengatakan bahwa : Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa Pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak- pihak yang membuat suatu perjanjian, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian. 57 Ketentuan mengenai hukum dikatakan sebagai hukum pelengkap itu, sebab ketentuan dari hukum perjanjian sungguh dapat dikatakan melengkapi perjanjian yang dilahirkan secara tidak lengkap dan memang sering dijumpai bahwa orang- orang membuat suatu perjanjian tidak mengatur keseluruhan semua persoalan yang bersangkut paut dengan perjanjian itu. 58 Apabila di sekitar para pihak tidak mengatur sendiri tentang suatu soal, maka dapat diartikan bahwa pihak-pihak mengenai soal tersebut secara otomatis atau dengan sendirinya akan tunduk kepada KUH Perdata. Hal-hal demikian adalah sering dijumpai dalam pergaulan hukum, sebab para pihak biasanya hanya menyetujui hal- hal yang pokok saja tidak sampai kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya. 59 Namun demikian, dalam praktek pelaksanaan suatu perjanjian juga tidak menutup 57 Ibid. 58 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 18. 59 Utinaita Sitepu, Analisis Yuridis Perimbangan Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Pendirian Tower Pemancar Indosat Dengan Pemda Subulussalam, MKn, SPS USU, Medan, 2009, hlm 36. Universita Sumatera Utara 41 kemungkinan para pihak dalam perjanjian menetapkan bahwa hal-hal yang belum diatur atau belum disepakati dalam perjanjian akan ditetapkan kemudian secara musyawarah. Perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam buku III KUHPerdata, dapat digolongkan menurut tujuan masing-masing namun penggolongannya tidak mungkin sempurna, sebab masih ada dijumpai beberapa perjanjian dengan berbagai tujuan yang sulit dimasukkan dalam salah satu golongan. Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenisnya yang telah diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam undang-undang maupun hanya merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sehari-hari. R. Subekti, menggolongkan jenis-jenis perjanjian, antara lain : 1. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak satu atau si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 2. Perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain. Demikian Pasal 1541 KUHPerdata menentukan. 3. Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikian Pasal 1548 KUHPerdata menentukan. 4. Perjanjian sewa-beli adalah suatu perjanjian jual-beli dimana penjual menyerahkan barang yang dijual secara nyata feitelijk kepada pembeli, akan tetapi penerahan tadi tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik, hak milik baru berpindah atau diserahkan yakni pada saat ‘pembayaran termein terakhir’ dilakukan pembeli tetapi sekalipun pembayaran dilakukan secara berkala, Universita Sumatera Utara 42 namun barang yang dibelikan harus diserahkan kepada penguasaan pembeli secara nyata. 5. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu Dalam perjanjian ini dimana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan. 2. Perjanjian kerja atau perburuhan. Yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan dimana pihak majikan berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain. 3. Perjanjian pemborong pekerjaan Adalah suatu perjanjian antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan pihak yang memborong pekerjaan. 6. Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 7. Perjanjian persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha atau bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama. 8. Perjanjian penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana dipenghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian dengan Cuma-Cuma dimana perkataan ‘dengan Cuma- Cuma’ itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lain tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan, perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian sepihak. 9. Perjanjian penitipan barang adalah suatu perjanjian riil, yang berarti bahwa perjanjian ini baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan. 10. Perjanjian pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai secara Cuma- Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu, setelah memakainya atau setelah lewat waktu tertentu, akan mengembalikannya. Universita Sumatera Utara 43 11. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. 12. Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. 13. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 14. Perjanjian penanggungan utang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. 15. Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. 60 Selain jenis perjanjian sebagaimanayang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi dijumpai beberapa jenis perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, ada menyebutkan beberapa jenis perjanjian antara lain : 1. Perjanjian Timbal-Balik Dan Perjanjian Sepihak. a. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar. b. Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah, dimana pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda objek perjanjian, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. 2. Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Alas Hak Yang Membebani. a. Perjanjian Percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam-pakai, perjanjian hibah 60 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 35 Universita Sumatera Utara 44 b. Perjanjian dengan Alas Hak Yang Membebani adalah perjanjian dalam mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra-prestasi dari pihak lainnya sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian Bernama Dan Tidak Bernama. a. Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar – menukar, pertanggungan. b. Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir. a. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual-beli sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. b. Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, dimana pembeli berhak menuntut penyerahan barang, dan penjual berhak atas pembayaran harga selain itu pembeli juga berkewajiban membayar harga dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. 5. Perjanjian Konsensual Dan Perjanjian Real. a. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. b. Perjanjian Real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya perjanjian jual-beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam-pakai. 61 Berdasarkan jenis perjanjian yang dikemukakan di atas perjanjian atau perjanjian jual beli yang menggunakan alat pembayaran berupa kartu kredit menurut penulis apabila dilihat dari pembagian perjanjian yang diutarakan oleh R. Subekti dapat dimasukkan dalam perjanjian jual beli karena dibuat secara timbal balik antara penjual dan pembeli untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas 61 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 50. Universita Sumatera Utara 45 sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Hanya saja dalam perjanjian jual beli dengan kartu kredit alat pembayarannya dilakukan dengan kartu kartu plastik yang diterbitkan oleh bank ataupun lembaga pembiayaan. Namun apabila dikaitkan dengan pembagian jenis perjanjian yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, maka perjanjian atau perjanjian jual beli yang menggunakan alat pembayaran berupa kartu kredit dapat dikelompokkan dalam perjanjian konsensual dan perjanjian real, dimana dalam perjanjian jual beli tersebut dilakukan secara konsensual atau kesepakatan para pihak atas suatu objek yang nyata dan saling melakukan penyerahan. Hanya saja dalam perjanjian jual beli dengan kartu kredit pembayaran tidak dilakukan tunai tetapi hanya melalui kartu kredit sesuai dengan ketentuan pemerintah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 142PBI2012 Tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1111PBI2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

B. Syarat-Syarat Untuk Sahnya Suatu Perjanjian