Pengertian Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli

71

BAB III PENERAPAN PRINSIP ITIKAD BAIK PEMEGANG KARTU KREDIT

DIKAITKAN DENGAN PERJANJIAN JUAL BELI.

A. Pengertian Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli

Itikikad baik merupakan suatu unsur yang harus dimiliki apabila seseorang melakukan perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian atau persetujuan. Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah perbuatan manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau orang mulai melaksanakan persetujuan itu, timbullah bermacam-macam persoalan yang pada waktu persetujuan terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak. 92 Masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari- hari. Kejujuran atau itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik haruslah dilindungi dan sebaliknya pihak yang tidak jujur atau tidak 92 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.102. 71 Universita Sumatera Utara 72 beritikad baik patut merasakan akibat dari ketidakjujurannya itu. Itikad baik adalah faktor yang paling penting dalam hukum karena tingkah dari anggota masyarakat itu tidak selamanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ada juga dalam peraturan yang berdasarkan persetujuan masing-masing pihak dan oleh karena peraturan-peraturan tersebut hanya dibuat oleh manusia biasa maka peraturan- peraturan itu tidak ada yang sempurna. Kejujuran atau itikad baik, dapat dilihat dalam dua macam, yaitu pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum atau pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perhubungan hukum itu. 93 Kejujuran pada waktu mulainya dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya perhubungan hukum itu sudah dipenuhi semua, sedang kemudian ternyata bahwa ada syarat yang tidak terpenuhi. Dalam hal yang demikian itu, bagi pihak yang jujur dianggap seolah-olah syarat-syarat tersebut dipenuhi semua, atau dengan kata lain yang jujur tidak boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat termaksud di dalam perjanjian itu. Sebaliknya satu pihak dikatakan tidak jujur pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, apabila ia pada waktu itu tahu betul tentang adanya keadaan yang menghalang-halangi pemenuhan suatu syarat untuk berlakunya perhubungan itu. Sedangkan pihak lain mungkin jujur tentang hal itu, artinya tidak 93 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur; Bandung, 1983, hlm.56. Universita Sumatera Utara 73 mengetahui adanya hal tersebut. Dalam hal ini pihak yang tidak jujur pada umumnya harus bertanggung jawab atas ketidakjujuran itu dan harus memikul risiko.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketentuan mengenai itikad baik, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 yang menetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti, bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut dibuat dengan disertai oleh itikad baik, dalam hal ini termasuk perjanjian jual-beli. Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata membahas mengenai pelaksanaan suatu perjanjian dan berbunyi :” Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu, tetapi juga oleh itikad baik. Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri, yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain, itikad baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral moral values. Dengan keadaan yang demikian itu Universita Sumatera Utara 74 menjadikan itikad baik sebagai norma terbuka open norm, yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada. 94 Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda, yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance berkaitan dengan kepatutan yang objektif, atau reasonableness pelaksanaan kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan a contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak. 95 Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam 94 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI, Jakarta, 2004, hlm.34-35. 95 Ibid. Universita Sumatera Utara 75 pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak lain dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. 96 Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat bindend advise. Dimana hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu. Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dapat 96 R.Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm.104-105 Universita Sumatera Utara 76 dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim memperhatikan hal kepatuhan billikheid di samping kejujuran goede trouw. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan. Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma- norma kepatuhan dan kesusilaan.

B. Perjanjian Jual Beli dan Perjanjian Kartu Kredit