31
iunforman sebagai narasumber untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan informasi lebih lanjut dalam memastikan validitas data-data sekunder yang telah
diperoleh.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan library research. Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumen- dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan
ilmiah yang ada hubungannya dengan pelaksanaan itikad baik pemegang kartu kredit dalam perjanjian jual beli. Selain itu, guna mendukung data primer yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan beberapa informan sebagai narasumber yaitu dengan pemegang atau pengguna kartu kredit.
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode
deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam
hal penggunaan kartu kredit sebagai alat perjanjian jual beli dikaitkan dengan prinsip itikad baik. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara
Universita Sumatera Utara
32
”kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.”
44
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang
berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer
maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian
diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini.
44
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, tt, hlm 2.
Universita Sumatera Utara
33
BAB II BENTUK PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN KARTU KREDIT DAN
KAITANNYA DENGAN SYARAT-SYARAT SAH PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya
Di dalam masyarakat perjanjian merupakan peristiwa yang paling sering terjadi di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak
yang membuat perjanjian. Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian diatur dalam Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata tentang Perikatan. Akan tetapi, dalam prektiknya perjanjian perikatan belum mendapat keseragaman bahwa
perjanjian berasal dari istilah verbintenis, sebagian pakar hukum ada yang menterjemahkannya menjadi perjanjian,sedangkan kata oveerenkomst diterjemahkan
sebagai persetujuan.
45
Dari kata verbintenis dan oveerenkomst, adalah verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat, jadi kata verbintenis
menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan, hal ini sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut diatas kata
verbintenis lebih banyak digunakan perikatan sedangkan oveerenkomst berasal dari kata kerja oveerenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi oveerenkomst
45
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1993, hlm. 7.
33
Universita Sumatera Utara
34
mengandung arti kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata.
Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, perjanjian tersebut merupakan suatu perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya
seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan kontra
prestasi atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa yang
diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.
Di dalam perjanjian pada umumnya janji-janji para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak
menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.
46
Dengan demikian perjanjian merupakan suatu peristiwa yang kongkret dan dapat dinikmati, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda
dari kegiatan yang tidak kongkrit, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang
menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan. Pasal 1313 KUH Perdata mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan
46
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 3.
Universita Sumatera Utara
35
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang atau lebih”. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa “definisi tersebut menurut para ahli
hukum pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian tersebut tidak lengkap dan terlalu luas’.
47
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup mengenai hal-
hal mengenai perjanjian kawin yaitu perbuatan didalam lapangan perbuatan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga namun sifatnya karena dikuasai oleh
ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata tidak berlaku kepadanya.
Berdasarkan pendapat di atas pengertian Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terdapat kelemahan antara lain sebagai berikut:
a. Pasal tersebut hanya menyangkut sepihak saja artinya hanya satu pihak saja yang melakukan prestasi, dikatakan demikian karena dapat dilihat dari
rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari
kedua belah pihak, jadi seharusnya, saling mengikatkan diri, jadi ada persetujuan para pihak.
b. Perkataan perbuatan juga menyangkut konsensus. Dalam hal pengertian perbuatan termasuk juga melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwarneming,
47
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 89.
Universita Sumatera Utara
36
tindakan melawan hukum onrechtmatigedaad, seharusnya dipakai kata persetujuan;
c. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena termasuk juga perkawinan, janji kawin, hal ini diatur dalam KUH Perdata Buku I, padahal yang
dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUH Perdata
sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan yang bersifat personal;
d. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata tanpa menyebut tujuan. Dalam pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian itu tidak jelas mengetahui tujuannya mengikatkan diri dalam perjanjian.
48
Mengenai perjanjian ini beberapa pakar hukum juga memberikan rumusan yang berbeda, diantaranya R. Subekti yang merumuskaan sebagai “suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. R. Subekti juga mengatakan
“Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”. Perkataan perjanjian dan persetujuan tersebut adalah sama
artinya sedangkan perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.
49
48
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 78.
49
R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1979, hlm.1.
Universita Sumatera Utara
37
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu yang dibuat secara lisan dan andaikata
dibuat secara tertulis maka ia bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.
50
Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak
sah. Pada bentuk tertulis itu tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu, misalnya perjanjian untuk
mendirikan PT harus dengan akta Notaris. Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan pendapatnya bahwa “perjanjian
adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
51
Sedangkan M.Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum harta
kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan para
pihak lain untuk menunaikan prestasi.
52
Apabila dilihat dari bentuknya perjanjian dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu:
a. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan
50
Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 65.
51
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 70.
52
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6.
Universita Sumatera Utara
38
b. Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak wujud lisan cukup kesepakatan para pihak.
53
Ketentuan perundang-undangan menentukan bahwa tidak semua perjanjian diharuskan tertulis, kecuali yang secara tegas dipersyaratkan harus dalam bentuk
tertulis, seperti perjanjian perdamaian. Bahkan ada yang harus dengan akta otentik, yang dibuat di hadapan Notaris seperti perjanjian penghibahan atas benda tetap atau
pengalihan hak atas tanah. Mengenai cara terbentuknya perjanjian Sri Soedewi Masjchun Sofwan,
mengemukakan bahwa perjanjian apabila dilihat secara formal mempunyai 3 tiga tipe, yaitu:
1. Contracts underseal, adalah perjanjian ini tertulis dan bercap seal yang dibutuhkan yang dibubuhkan di atas kertas, sekarang ini di beberapa negara
sebagai akibat hukum dari seal tersebut telah dimodifikasi atau ditidakan oleh perundang-undangan.
2. Recognizance, yaitu perjanjian ini mencakup suatu janji di hadapan pengadilan oleh pemberi janji promisor untuk pemenuhan suatu pembayaran
tertentu tanpa diperlukan ada tindakan khusus. 3. Negotiabe contracts, yaitu perjanjian yang menembus dan fundamental bagi
bisnis.
54
Pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu karena dalam suatu perjanjian, menurut Ridwan Khairandy “Terdapat tiga asas yang saling
berkaitan, yaitu asas konsensualisme the principles of the consensualism, asas kekuatan mengikat kontrak the principles of the binding force of contract dan asas
53
Salim HS, Op.Cit., hlm 61.
54
Sri Soedewi Mosjchoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, hlm 59
Universita Sumatera Utara
39
kebebasan berkontrak the principles of the freedom of contract.
55
Oleh karena itu, suatu perjanjian harus memenuhi asas utama dari suatu perikatan dan ketentuan syarat
sahnya perjanjian yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata. Dengan dipenuhinya ketentuan
tersebut, maka perjanjian tersebut akan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya.
Azas kebebasan berkontrak terjelma dalam ayat 1 dari Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-Undang yang dibuatnya”.
56
Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
Undang-Undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Dari Pasal 1338 ayat 1 dapat dikatakan bahwa, Pasal itu seolah-olah
membuat suatu pernyataan bahwa diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Dari prinsip yang
terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini
bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.
55
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta 2004, hlm 38.
56
R. Subekti, Op.Cit., hlm.25.
Universita Sumatera Utara
40
Hukum perjanjian pada dasarnya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat
apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Oleh karena itu, R. Subekti mengatakan bahwa :
Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa Pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-
pihak yang membuat suatu perjanjian, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum
perjanjian.
57
Ketentuan mengenai hukum dikatakan sebagai hukum pelengkap itu, sebab ketentuan dari hukum perjanjian sungguh dapat dikatakan melengkapi perjanjian
yang dilahirkan secara tidak lengkap dan memang sering dijumpai bahwa orang- orang membuat suatu perjanjian tidak mengatur keseluruhan semua persoalan yang
bersangkut paut dengan perjanjian itu.
58
Apabila di sekitar para pihak tidak mengatur sendiri tentang suatu soal, maka dapat diartikan bahwa pihak-pihak mengenai soal tersebut secara otomatis atau
dengan sendirinya akan tunduk kepada KUH Perdata. Hal-hal demikian adalah sering dijumpai dalam pergaulan hukum, sebab para pihak biasanya hanya menyetujui hal-
hal yang pokok saja tidak sampai kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya.
59
Namun demikian, dalam praktek pelaksanaan suatu perjanjian juga tidak menutup
57
Ibid.
58
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 18.
59
Utinaita Sitepu, Analisis Yuridis Perimbangan Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Pendirian Tower Pemancar Indosat Dengan Pemda Subulussalam,
MKn, SPS USU, Medan, 2009, hlm 36.
Universita Sumatera Utara
41
kemungkinan para pihak dalam perjanjian menetapkan bahwa hal-hal yang belum diatur atau belum disepakati dalam perjanjian akan ditetapkan kemudian secara
musyawarah. Perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam buku III KUHPerdata, dapat
digolongkan menurut tujuan masing-masing namun penggolongannya tidak mungkin sempurna, sebab masih ada dijumpai beberapa perjanjian dengan berbagai tujuan
yang sulit dimasukkan dalam salah satu golongan. Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenisnya yang telah
diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam undang-undang maupun hanya merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sehari-hari. R. Subekti,
menggolongkan jenis-jenis perjanjian, antara lain : 1.
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak satu atau si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang
sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.
2. Perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain. Demikian Pasal 1541
KUHPerdata menentukan.
3. Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikian Pasal 1548 KUHPerdata menentukan.
4. Perjanjian sewa-beli adalah suatu perjanjian jual-beli dimana penjual
menyerahkan barang yang dijual secara nyata feitelijk kepada pembeli, akan tetapi penerahan tadi tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik, hak milik
baru berpindah atau diserahkan yakni pada saat ‘pembayaran termein terakhir’ dilakukan pembeli tetapi sekalipun pembayaran dilakukan secara berkala,
Universita Sumatera Utara
42
namun barang yang dibelikan harus diserahkan kepada penguasaan pembeli secara nyata.
5. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-Undang membagi perjanjian
untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : 1.
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu Dalam perjanjian ini dimana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya
dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan.
2. Perjanjian kerja atau perburuhan.
Yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang
diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan dimana pihak majikan berhak memberikan perintah-perintah
yang harus ditaati oleh yang lain.
3. Perjanjian pemborong pekerjaan
Adalah suatu perjanjian antara pihak yang memborongkan pekerjaan
dengan pihak yang memborong pekerjaan. 6.
Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu
tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.
7. Perjanjian persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih
untuk berusaha atau bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan
bersama.
8. Perjanjian penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana dipenghibah,
diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu. Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian dengan Cuma-Cuma dimana perkataan ‘dengan Cuma-
Cuma’ itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lain tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan,
perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian sepihak.
9. Perjanjian penitipan barang adalah suatu perjanjian riil, yang berarti bahwa
perjanjian ini baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan.
10. Perjanjian pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai secara Cuma-
Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu, setelah memakainya atau setelah lewat waktu tertentu, akan mengembalikannya.
Universita Sumatera Utara
43
11. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama
pula.
12. Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak
bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. 13. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang
memberikan kekuasaan
atau wewenang
kepada orang
lain, yang
menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 14. Perjanjian penanggungan utang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang
pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya.
15. Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.
60
Selain jenis perjanjian sebagaimanayang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi dijumpai beberapa jenis perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abdulkadir Muhammad, ada menyebutkan beberapa jenis perjanjian antara lain : 1.
Perjanjian Timbal-Balik Dan Perjanjian Sepihak. a.
Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah
pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar.
b. Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada
satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah, dimana pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda objek
perjanjian, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
2. Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Alas Hak Yang Membebani.
a. Perjanjian
Percuma adalah
perjanjian yang
hanya memberikan
keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam-pakai, perjanjian hibah
60
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 35
Universita Sumatera Utara
44
b. Perjanjian dengan Alas Hak Yang Membebani adalah perjanjian dalam
mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra-prestasi dari pihak lainnya sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
3. Perjanjian Bernama Dan Tidak Bernama.
a. Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,
yang dikelompokkan
sebagai perjanjian-perjanjian
khusus, karena
jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar – menukar, pertanggungan.
b. Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama
tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 4.
Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir. a.
Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual-beli sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.
b. Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan,
artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, dimana pembeli berhak menuntut
penyerahan barang, dan penjual berhak atas pembayaran harga selain itu pembeli juga berkewajiban membayar harga dan penjual berkewajiban
menyerahkan barang.
5. Perjanjian Konsensual Dan Perjanjian Real.
a. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada
persetujuan kehendak antara pihak-pihak. b.
Perjanjian Real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga
sekaligus harus
ada penyerahan
nyata atas
barangnya, misalnya perjanjian jual-beli barang bergerak, perjanjian penitipan,
pinjam-pakai.
61
Berdasarkan jenis perjanjian yang dikemukakan di atas perjanjian atau perjanjian jual beli yang menggunakan alat pembayaran berupa kartu kredit menurut
penulis apabila dilihat dari pembagian perjanjian yang diutarakan oleh R. Subekti dapat dimasukkan dalam perjanjian jual beli karena dibuat secara timbal balik antara
penjual dan pembeli untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas
61
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 50.
Universita Sumatera Utara
45
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Hanya saja dalam perjanjian jual beli dengan kartu kredit alat pembayarannya dilakukan dengan kartu
kartu plastik yang diterbitkan oleh bank ataupun lembaga pembiayaan. Namun
apabila dikaitkan
dengan pembagian
jenis perjanjian
yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, maka perjanjian atau perjanjian jual beli
yang menggunakan alat pembayaran berupa kartu kredit dapat dikelompokkan dalam perjanjian konsensual dan perjanjian real, dimana dalam perjanjian jual beli tersebut
dilakukan secara konsensual atau kesepakatan para pihak atas suatu objek yang nyata dan saling melakukan penyerahan. Hanya saja dalam perjanjian jual beli dengan kartu
kredit pembayaran tidak dilakukan tunai tetapi hanya melalui kartu kredit sesuai dengan
ketentuan pemerintah
dalam Peraturan
Bank Indonesia
Nomor 142PBI2012 Tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1111PBI2009
Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
B. Syarat-Syarat Untuk Sahnya Suatu Perjanjian
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka open system, artinya bagi bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah
diatur maupun yang belum diatur di dalam Undang-Undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata,
yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.”
Universita Sumatera Utara
46
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak khususnya subjek hukum untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan, 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
62
Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukum.
Syarat-syarat sahnya suatu
persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
adalah : 1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
Consensus. 2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian Capacity.
3. Ada suatu hal yang tertentu A certain subject matter. 4. Ada suatu sebab yang halal Legal cause.
63
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut selanjutnya dapat dirinci sebagaimana, dikemukakan berikut ini:
1. Kesepakatan