102
seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada
seorang lain memuat janji yang seperti itu. Dalam janji untuk pihak ketiga itu, seorang membuat suatu perjanjian, dalam
perjanjian mana ia memperjanjikan hak-hak bagi seorang lain. Misalnya A mengadakan perjanjian dengan B. Dalam perjanjian itu ia meminta diperjanjikan hak-
hak bagi C, tanpa adanya kuasa dari si C ini. 3.
Hubungan Hukum Antara Pemegang kartu Kredit dengan Merchant Hubungan hukum antara pemegang kartu kredit dengan merchant, sifatnya
adalah insidentiil dan sementara. Hubungan tersebut terjadi dan timbul pada saat terjadi transaksi jual-beli ataupun pelayanan jasa. Perjanjian yang timbul antara
pemegang kartu kredit dengan merchant merupakan perjanjian timbal balik. Di dalam transaksi dengan menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran, terjadi suatu
keadaan dimana meskipun pemegang kartu kredit sudah menikmati barang atau jasa yang sudah ditransaksikan secara riil, pihak merchant baru menerima pembayaran
secara riil setelah prosedur atau syarat dipenuhi untuk menagih kepada penerbit.
B. Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian Kartu Kredit
Perjanjian kartu kredit kredit melalui bank maupun lembaga pembiayaan konsumen dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemungkinan terjadi perselsisihan
antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian kartu kredit tersebut. Pada umumnya timbulnya sengketa pada perjanjian kartu kredit pada bank maupun pembiayaan pada
Universita Sumatera Utara
103
lembaga pembiayaan disebabkan karena terjadinya tunggakan atas pelunasan atau atas penggunaan kartu kredit dimaksud.
Tunggakan pelunasan atau atas penggunaan kartu kredit pada bank dan lembaga
pembiayaan biasanya
terjadi akibat
tindakan debitur
yang tidak
melaksanakan kewajibannya atau telah melakukan wanprestasi atas pelunasan atau atas penggunaan kartu kredit yang disepakatinya. Dengan kata lain, terjadinya
perselisihan dalam perjanjian kartu kredit disebabkan oleh tidak terpenuhinya prestasi para pihak dalam perjanjian.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa prestasi adalah objek atau voorweb dari verbintennis, tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan
tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai kedudukan sebagai chudeisert atau kreditur, pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar
atau debitur.
108
Jika undang-undang telah menetapkan subjek perjanjian yaitu pihak kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka
intisari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri. Wujud prestasi ini dalam Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari 3 macam, yaitu 1 Perikatan untuk memberikan
sesuatu atau menyerahkan sesuatu, 2 Perikatan untuk berbuat sesuatu, 3 Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
108
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumi, Bandung, 1992, hlm. 17.
Universita Sumatera Utara
104
Dalam membuat perjanjian seperti halnya perjanjian kartu kredit kredit pada bank dan perusahaan pembiayaan sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu bahwa
dalam suatu perjanjian terdapat para pihak dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.
Hak dan kewajiban itu harus dilaksanakan secara sukarela. Apabila hak dan kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau dengan kata lain tidak memenuhi apa
yang diperjanjikan maka ia dikatakan wanprestasi ingkar janji yang berpotensi menimbulkan sengketa.
Pada setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak pada prinsipnya adalah menghendaki agar para pihak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.
Apabila para pihak tidak melaksanakan sesuai dengan yang disepakati maka dikatakan ia telah melakukan wanprestasi atau prestasi yang
dilakukan tidak selayaknya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang
tidak tepat
pada waktunya
atau dilakukan
tidak menurut
selayaknyasepatutnya.
109
Wanprestasi menurut
Wiryono Projodikoro
adalah ketiadaan suatu prestasi dan prestasi dalam hukum perjanjian berarti suatu hal yang
harus dilaksanakan sebagai suatu perjanjian.
110
109
Abdul Kadir Muhammad, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1996. hlm. 21.
110
Wiryono Prodjokoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1993, hlm. 44.
Universita Sumatera Utara
105
M. Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seorang debitur disebut berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam
melaksanakan perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya.
111
Sekalipun wanprestasi itu merupakan kelalaian debitur, tetapi dalam prakteknya sangat sulit menentukan wanprestasi tersebut. Sehubungan dengan hal
tersebut Ahmad Ichsan mengolongkan tiga golongan yang dapat dikatakan melakukan wanprestasi 1 Tidak memberikan prestasi sama sekali, 2 Terlambat
melakukan wanprestasi dan 3 Melakukan prestasi itu tidak menurut ketentuan yang diperjanjikan.
112
Sedangkan Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah
akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ia menetapkan bahwa si
berhutang akan
harus dianggap
lalai dengan
lewatnya waktu
yang ditentukan”.Subekti
merumuskan empat
golongan debitur
yang melakukan
wanprestasi, yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya dalam perjanjian.
2. Melaksanakan perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
111
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 60.
112
Achmad Ichsan, Hukum Perdata IB, Pembimbing Masa, Jakarta, 1999. hlm. 38.
Universita Sumatera Utara
106
4. Melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.
113
Dengan demikian, jelaslah bahwa apabila salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian pinjam meminjam sebagaimana perjanjian pada umumnya
tidak boleh dilakukan, maka pihak yang bersangkutan bertanggung jawab membayar kerugian yang diderita oleh pihak-pihak lainnya, disertai biaya dan bunga yang
timbul. Dari pengertian wanprestasi di atas dapat diketahui bahwa pengertian wanprestasi adalah debitur tidak melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya atau
melakukan kewajiban tetapi tidak sepenuhnya. Sehubungan dengan pengertian wanprestasi di atas maka wujud wanprestasi
dapat berupa : a. Debitur sama sekali tidak berprestasi
Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi.
b. Debitur keliru berprestasi Disini
debitur memang
pikirannya telah
memberikan prestasinya,
tetapi dalam
kenyataanyang diterima
kreditur lain
dari pada
yang diperjanjikan. Dalam hal demikian tanpa beranggapan bahwa debitur tetap
berprestasi. Jadi dalam kelompok ini tidak berprestasi termasuk penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya, dalam arti tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan.
113
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Inter Masa, Jakarta, 1996., hlm. 45
Universita Sumatera Utara
107
c. Debitur terlambat berprestasi Disini debitur berprestasi, objek perjanjiannya betul tetapi tidak sebagaimana
yang diperjanjikan. Untuk
menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi harus ada unsur kesalahan pada debitur. Salah satu cara adanya unsur kesalahan itu dengan
memberikan somasi teguran. Seseorang dapat dikatakan berada dalam keadaan melakukan wanprestasi
apabila ia telah dinyatakan lalai, yaitu melalui surat perintah atau akta lain yang sejenis berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri dan setelah dilakukan teguran
syarat formil. Hal ini diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menentukan “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dengan demikian, dalam perjanjian pinjam meminjam antara para pihak, tidak hanya terbatas pada tidak melakukan suatu yang telah disanggupi akan dilakukannya,
tetapi juga melakukan sesuatu yang menurut akad tidak boleh dilakukan oleh salah satu pihak atau melakukan sesuatu tetapi terlambat. Konsekuensi dari wanprestasi
tersebut oleh hukum akan diberikan sanksi kepada pihak yang mengingkari janjinya, karena tanpa adanya sanksi maka dalam penyelesaiannya mengakibatkan kerugian
kepada salah satu pihak. Adapun akibat dari wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
Universita Sumatera Utara
108
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetapi melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya.
Namun perlu diingat bahwa ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata tersebut di atas hanyalah bersifat hukum yang menambah, sehingga para pihak dalam perjanjian
dapat menetapkan bahwa tanpa pernyataan lalai, dengan lewatnya waktu tertentu saja debitur sudah dianggap lalai. Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya atau
memenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya dan hal itu karena ada unsur salah padanya, maka ada akibat hukum yang dapat menimpa dirinya atas tuntutan dari
kreditur. Selanjutnya Pasal 1237 KUH Perdata mengatakan bahwa “sejak debitur lalai,
maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur”. Kemudian jika perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka dalam upaya penyelesian
wanprestasi debitur tersebut berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata seorang kreditur berhak menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi. Tetapi kesemuanya itu tidak mengurangi hak dari kreditur untuk tetap menuntut pemenuhan kewajiban dari debitur.
Apabila tidak terlaksananya perjanjian karena disebabkan suatu keadaan di luar kesalahan satu pihak, maka hal itu merupakan ruang lingkup resiko dalam suatu
perjanjian. Dengan demikian pihak debitur dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya perjanjian akibat di luar kesalahannya sehingga ia dapat dihindarkan
dari kewajiban menanggung akibat wanprestasi. Dalam hal ini Subekti memberikan
Universita Sumatera Utara
109
tiga alasan yang dapat membebaskan debitur dari hukuman yang dituduhkan melakukan wanprestasi, yaitu :
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa; 2. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai;
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
114
Berdasarkan pendapat
tersebut dapat diketahui bahwa keadaan memaksa merupakan salah satu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Pembelaan debitur dilakukan dengan menyebutkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan
ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaannya atau Force Majeur.
Apabila ketiga alasan tersebut tidak mampu dibuktikannya, maka hukum memberikan sanksi pada pihak yang melakukan wanprestasi. Sanksi tersebut dapat
berupa biaya, rugi dan bunga Pasal 1239 KUH Perdata. Sehubungan dengan hal ini Subekti menyebutkan ada empat akibat hukum wanprestasi yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan kata lain ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian; 3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan pengadilan.
115
114
Ibid.
115
Ibid.
Universita Sumatera Utara
110
Menurut ketentuan tersebut, pihak kreditur dapat menuntut pihak debitur yang lalai agar melakukan pemenuhan perjanjian atau pembatalan yang disertai
penggantian biaya, rugi dan bunga. Dengan demikian ia dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi. Misalnya penggantian kerugian karena pemenuhan
prestasi terlambat. Bilamana ia dituntut ganti rugi saja, maka dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan atau pembatalan perjanjian.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pihak yang tidak mendapat kontra prestasi akibat
wanprestasi dapat
memilih tuntutan
guna penyelesaian
wanprestasi, pemenuhan perjanjian, pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, ganti rugi saja,
pembatalan perjanjian dan pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. Berdasarkan
uraian di
atas, jelaslah
bahwa perselisihan
akibat tunggakan kartu kredit dan konsumen pada bank dan lembaga keuangan
lainnya dalam
pelaksanaannya disebabkan
karena tidak
terlaksananya prestasi yang menjadi kewajiban para pihak sehingga berpotensi menimbulkan
sengketa.
C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Penggunaan Kartu Kredit Oleh Pemegang Kartu Kredit