Hukum Takhlifi Hukum Wadh’i

BAB II HUKUM SYARAT: HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I

A. Hukum Takhlifi

Hukum takhlifi mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perbuatan atau memberikan kebebasan untuk memilih antara perbuatan atau tidak memperbuat. Hukum takhlifi diisyaratkan dapat dikerjakan dan mungkin dikerjakan oleh mukallaf. Karena itu hukum takhlifi tidak ada yang bertentangan dengan manusia. Hukum ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu: 1. Wajib Menurut syara yaitu apa yang dituntuti oleh syara kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras, atau suatu perbuatan kalau dikerjakan akan mendapat pahala kalau ditinggalkan akan mendapatkan dosa. 2. Sunnah Mandub Sunnah adalah sesuatu yang dituntut oleh syara memperbuatnya dari mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras, atau dengan kata lain diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. 3. Haram Haram adalah apa yang dituntut oleh syara untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras, atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan jika diperbuat akan mendapatkan siksa dan jika ditinggalkan mendapatkan pahala. 20 4. Makruh Makruh yaitu apa yang dituntut syara untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras, atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa bila dikerjakan. 5. Mubah Mubah yaitu apa yang diberikan kebebasan pada mukallaf untuk memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.

B. Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang mani’ terhadap sesuatu. 1. Sebab Seab yaitu apa yang dijadikan syara sebagai tanda atas musabab dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab. Karena itu sebab tidak ada musabab pun tidak ada, dan kalau sebab tidak ada musabab pun tidak ada. مكحلا دري عم ةلعلا دُوجو وا َامادع 2. Syarat Yang dimaksud dengan syarat adalah apa yang tergantung adnaya hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak ada syarat maka hukum tidak ada. Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara yang dinamakan syara dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri dinamakan syarat ja’li. 3. Mani’ Mani’ adalah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut syara telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ mencegah berlakunya hukum atasnya, atau 21 dengan kata lain apabila terdapat hukum tidak akan ada atau sebab menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya. Mani’ kadang-kadang menjadi penghalang berlaku hukum syara, seperti adanya hutang menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, karena yang ada pada tangan pemilik bukan muliknya tetapi milik orang lain, sedang memenuhi hak orang lain lebih utama dari membantu fakir miskin agar orang yang berhutang bebas dari tanggung jawabnya. Hutang inilah yang menghapuskan syarat yang menjadi pelengkap sebab hukum syara sehingga dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat bukan karena adnaya mani’. 4. Rukhshah dan ‘Azimah Rukhshah adalah hukum syara yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan. ‘Azimah adalah hukum yang disyariatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu. Sebab-sebab adanya rukhshah: a. Adanya sakit b. Bepergian c. Masaqqah d. Dharurat e. Al-hajat f. Mukrih 5. Sah dan batal Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak mendapat pahala. 22 Menurut ulama bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun mu’amalah tujuannya adalah untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian mengandung dua tujuan pokok yaitu memenuhi tuntutan syara dan untuk mencapai dan mewujudkan kemaslahatan hidup. 6. Asas Hukum a. Hifdzud Nasel b. Hifdzu Aqli c. Hifdzu Maal d. Hifdzu Nafsi 23

BAB III SUMBER-SUMBER FIQHHUKUM ISLAM