Era Pasca Deregulasi Pembentukan Bursa Efek Indonesia BEI

Bursa efek Jakarta BEJ. Paket ini memungkinkan pula perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa company listing Dengan demikian, diharapkan bahwa saham perusahaan akan lebih marketable. 4 Dibukanya izin bagi investor asing untuk membeli saham di bursa Indonesia. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1055KMK 0131989 tentang Pembelian Saham oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal. Melalui keputusan ini, pemerintah membuka kesempatan kepada investor asing untuk berpartisipasi di pasar modal Indonesia dalam pemilikan saham-saham perusahaan sampai dengan makimum 49 di pasar perdana, maupun 49 saham yang tercatat di bursa efek dan bursa paralel. 5 Kebijakan ini disusul dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548KMK0131990. Lantas diubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199KMK0101991. Dalam keputusan terakhir ini, dijelaskan bahwa tugas Bapepam yang mulanya juga penyelenggara bursa, kini menjadi Badan Pengawas Pasar Modal Bapepam. Selain itu pemerintah pun membentuk lembaga-lembaga baru seperti lembaga kliring penyelesaian dan penyimpangan LKPP, reksadana dan manajer investasi.

5. Era Pasca Deregulasi

Lahirnya berbagai kebijakan ini telah menebalkan kepercayaan investor tehadap pasar modal Indonesia. Puncak kepercayaan itu terjadi sesudah pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berlaku secara efektif 1 Januari 1996. UU ini lantas disusul pula dengan meluncurnya dua Peraturan Pemerintah PP. Pertama, PP Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Kedua, PP Nomor 46 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal. Di tingkat menteri pun terlahir pula tiga keputusan pendukung UU itu. Keputusan itu masing- masing Nomor 646KMK.0101995 tentang Pemilikan Saham atau Unit Penyertaan Reksadana oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal, dan Nomor 467KMK.0101997 tentang Pemilikan Saham Perusahaan Efek oleh Pemodal Asing. Pemberlakuan kebijakan ini bisa dikatakan sebagai momentum penting dalam perjalanan pasar modal Indonesia untuk menuju pasar modal yang bisa bersaing di dunia. Sampai dengan tahun 1996 Bapepam telah mengeluarkan 102 peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari undang-undang itu. Mulai dari tahun 1991 sampai akhir 1996, pasar modal Indonesia terus bergerak maju. Dari segi hukum, UU No.8 Tahun 1995 dan aturan pendukung lainnya telah memberdayakan Bapepam dalam penegakan hukum. Selain itu Bapepam pun seperti diamanatkan dalam UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sudah membentuk Lembaga Kliring dan Penjaminan LKP dengan nama PT. Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia KPEI dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian LPP yang berwujud PT Kustodian Sentral Efek Indonesia KSEI. Lembaga- lembaga ini menggantikan peran PT. Kliring Deposit Efek Indonesia KDEI yang sudah berdiri sejak 1992.

6. Pembentukan Bursa Efek Indonesia BEI

Pada tahun 2007 BEJ melakukan merger dengan Bursa Efek Surabaya dan berganti nama menjadi Bursa Efek Indonesia. Penggabungan ini menjadikan Indonesia hanya memiliki satu pasar modal. Perusahaan hasil penggabungan usaha ini memulai operasinya pada 1 Desember 2007. Bursa Efek Indonesia dipimpin oleh Direktur Utama Erry Firmansyah, mantan direktur utama BEJ. Mantan Direktur Utama BES Guntur Pasaribu menjabat sebagai Direktur Perdagangan Fixed Income dan Derivatif, Keanggotaan dan Partisipan. BEI menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System JATS sejak 22 Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya. Sistem JATS ini sendiri direncanakan akan digantikan sistem baru yang akan disediakan OMX. Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:  14 Desember 1912 : Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.  1914 - 1918 : Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I  1925 - 1942 : Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya  Awal tahun 1939 : Karena isu politik Perang Dunia II Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.  1942 - 1952 : Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II  1952 : Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman Lukman Wiradinata dan Menteri keuangan Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo. Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI 1950  1956 : Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif.  1956 - 1977 : Perdagangan di Bursa Efek vakum.  10 Agustus 1977 : Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM Badan Pelaksana Pasar Modal. Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama.  1977 - 1987 : Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.  1987 : Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 PAKDES 87 yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.  1988 - 1990 : Paket deregulasi di bidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat.  2 Juni 1988 : Bursa Paralel Indonesia BPI mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek PPUE, sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.  Desember 1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 PAKDES 88 yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.  16 Juni 1989 : Bursa Efek Surabaya BES mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.  13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ.  22 Mei 1995 : Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS Jakarta Automated Trading Systems.  10 November 1995 : Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.  1995 : Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.  2000 : Sistem Perdagangan Tanpa Warkat scripless trading mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia.  2002 : BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh remote trading.  2007 : Penggabungan Bursa Efek Surabaya BES ke Bursa Efek Jakarta BEJ dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia BEI.

G. Analisis Deskriptif

Penelitian ini menggunakan sample 84 perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007. Hasil dari statistik deskriptif dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Keterangan: NP : Nilai Perusahaan OWN : Ownership Retention Tabel 4.1. Statistik Deskriptif Variabel Mean Min Max Std. Deviasi NP 1,317,867,912,869 28,807,930,200 20,207,212,500,000 3,207,415,276,581 OWN 0,75 0,50 0,93 0,10 UP 0,29 -0,39 1,31 0,33 Adj. UP 0,29 -0,39 1,30 0,33 INV 261,332,773,306 7,800,000,000 4,169,116,875,000 651,524,794,165 Sumber: Data diolah UP : Underpricing Adj UP : Adjusted Underpricing INV : Investment Tabel 4.1 menyajikan gambaran statistik dari variabel Nilai perusahaan, Ownership retention, Underpricing, dan Investment. Secara statistik dapat diketahui bahwa dari 84 perusahaan yang dijadikan sampel, variabel nilai perusahaan memiliki nilai minimum Rp. 28.807.930.200,- yang terdapat pada perusahaan Daeyu Orchid Indonesia Tbk dan nilai terbesar Rp. 20.207.212.500.000,- pada perusahaan Excelcomindo Pratama Tbk, dengan nilai mean Rp. 1.317.867.912.869,- dan standar deviasi Rp. 3.207.415.276.581,- Variabel Ownership Retention memiliki nilai minimum 0,50 atau 50 yang terdapat pada perusahaan Abdi Bangsa Tbk dan nilai maximum 0,93 atau 93 pada perusahaan Lamicitra Nusantara Tbk, dengan nilai rata-rata 0,75 atau 75 dan standar deviasi 0,10 atau 10 . Variabel Underpricing memiliki nilai minimum -0,39 atau 39 yang terdapat pada perusahaan Kresna Graha Sekurindo Tbk dan nilai maximum 1,31 atau 131 pada perusahaan Roda Panggon Harapan Tbk, dengan nilai rata-rata 0,29 atau 29 dan standar deviasi 0,33 atau 33. R ata-rata initial return pada hari pertama perdagangan di pasar modal 0,29 atau 29 adalah positif , baik pada model 1 menggunkan raw undepricing maupun pada model 2 adjusted underpricing, menunjukkan bahwa saham perusahaan mengalami underpricing pada hari pertama diperdagangkan di pasar sekunder. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian Aminul Amin 2007 dan Husnan 1996 dalam Prihartanto 2002 yang menyatakan bahwa perusahaan yang melaksanakan IPO mengalami underpricing pada hari pertama ketika saham diperdagangkan di pasar sekunder pasar modal. Variabel Adj.Underpricing memiliki nilai minimum -0,39 atau 39 yang terdapat pada perusahaan Kresna Graha Sekurindo Tbk dan nilai maximum 1,30 atau 130 pada perusahaan Roda Panggon Harapan Tbk, dengan nilai rata-rata 0,29 atau 29 dan standar deviasi 0,33 atau 33. Variabel Investment memiliki nilai minimum Rp. 7.800.000.000,- yang terdapat pada perusahaan Betonjaya Manunggal Tbk dan nilai maximum Rp. 4.169.116.875.000 pada perusahaan Bank Rakyat Indonesia Tbk, dengan nilai rata-rata Rp.261.332.773.306 dan standar deviasi Rp. 651.524.794.165 . Oleh karena variabel firm size merupakan variabel dummy kategori, maka tidak perlu dilakukan deskripsi statistik hanya perlu dibuat tabel frekuensi. Frekuensi variabel firm size dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Frekuensi variabel firm size Tabel 2 menggambarkan bahwa perusahaan kecil tercatat sebanyak 59 perusahaan atau 70,2 dari total perusahaan yang dijadikan sampel, 59 70.2 70.2 70.2 25 29.8 29.8 100.0 84 100.0 100.0 Perusahaan Kecil Perusahaan Besar Total Valid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Sumber : Output SPSS sedangkan perusahaan besar tercatat sebanyak 25 perusahaan atau 29,8 dari total perusahaan yang dijadikan sampel.

H. Analisis Statistik

1. Hasil Pengujian Hipotesis 1

Dokumen yang terkait

Analisis Perusahaan yang Mengalami Underpricing di Bursa Efek Indonesia

24 157 108

Pengaruh Financial Leverage, Return on Equity (ROE), Ukuran Dan Umur Perusahaan Terhadap Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

1 30 95

Pengaruh variabel keuangan dan non keuangan Terhadap underpricing pada perusahaan yang melakukan initial public offering (ipo) Di bursa efek indonesia

0 5 120

PENGARUH MANAGERIAL OWNERSHIP, FAMILY OWNERSHIP, FIRM SIZE DAN FIRM RISK TERHADAP FIRM VALUE (Studi pada perusahaan terdaftar di BEI)

0 4 71

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, AUDITOR TYPE, UNDERWRITER REPUTATION DAN LEVERAGE TERHADAP PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2004 – 2008

2 5 114

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERWRITER REPUTATION DAN FIRM SIZE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010 – 2012 SKRIPSI.

0 7 54

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERWRITER REPUTATION DAN FIRM SIZE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010 – 2012.

2 6 52

PENGARUH INSIDER OWNERSHIP, FIRM SIZE, DAN STRUKTUR MODAL TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN PADA INDUSTRI KEUANGAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2012-2015

0 0 2

PENGARUH ANALISIS INFORMASI KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP TINGKAT UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 18

PENGARUH ANALISIS INFORMASI KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP TINGKAT UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 13