Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Setiap perusahaan yang berkembang grow up akan memerlukan dana untuk ekspansi danatau keperluan investasi baru. Salah satu alternatif sumber permodalan yang dipilih perusahaan yaitu melakukan go public. Proses go public ini melalui initial public offering IPO, merupakan penawaran saham perdana dari emiten kepada investor dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan sebelum saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder Khomsiyah, 2005. Keputusan Perusahaan untuk menjadi perusahaan publik go public merupakan suatu keputusan yang tidak tanpa perhitungan karena dengan go public perusahaan dihadapkan pada beberapa konsekuensi langsung baik yang bersifat menguntungkan benefit maupun yang merugikan cost. Salah satu alasan utama perusahaan untuk go public adalah adanya dorongan atas kebutuhan modal capital need. Perusahaan yang go public biasanya adalah perusahaan yang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Alasan lain dari keputusan go public adalah kemungkinan akses kepada pihak luar. Dengan go public, suatu perusahaan akan otomatis lebih dikenal oleh khalayak ramai publik. Apabila sebelumnya akses perusahaan mungkin terbatas pada pihak-pihak tertentu saja, maka go public akan semakin memungkinkan perusahaan untuk bersosialisasi dengan lebih baik. Keuntungan bagi para investor dari adanya IPO adalah mereka dapat memilih efek dalam upaya mendiversifikasikan portofolio efeknya, sehingga jika menginvestasikan dananya ke berbagai perusahaan yang dianggap potensial bisa mendatangkan keuntungan baik berupa dividen maupun capital gain. Setiap perusahaan, memiliki tujuan untuk dapat memaksimalkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang go public tercermin dalam harga pasar saham perusahaan Fama, 1978 ; Wrights Ferris,1997; Walker, 2000 dalam Sri Hasnawati 2005. Harga saham digunakan sebagai proksi nilai perusahaan karena harga saham merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila investor ingin memiliki suatu perusahaan. Jadi semakin tinggi nilai perusahaan semakin besar kemakmuran yang akan diterima pemilik perusahaan. Para investor menilai bahwa nilai perusahaan yang akan go public, tersirat dari beberapa sinyal yang melekat pada perusahaan tersebut. Untuk itu, para pemilik perusahaan harus selalu berusaha menunjukan kepada investor sinyal-sinyal yang menyiratkan bahwa nilai perusahan mereka tinggi. Penilaian investor terhadap kondisi dan prospek perusahaan akan menentukan besarnya dana yang dapat diakumulasi perusahaan emiten dari pasar modal. Bagi investor, harus diakui bahwa investasi saham di pasar perdana secara teoritis lebih sulit dibandingkan dengan investasi pada saham yang sudah go public. Hal ini terkait dengan keberadaan informasi untuk keperluan analisis. Pada perusahaan yang sudah listed, informasi yang terkait dengan perusahaan lebih mudah diperoleh karena memang perusahaan memiliki kewajiban untuk menerbitkan atau melaporkan segala aktifitasnya kepada publik. Perusahaan non publik tidak memiliki kewajiban untuk menerbitkan atau melaporkan segala kegiatan yang terjadi serta rencana yang akan dilakukan. Selain itu, ada kecenderungan bahwa kinerja keuangan perusahaan yang akan go public tidak dapat diketahui dengan mudah. Jadi, dalam banyak hal, informasi yang terkait untuk keperluan analisis pada perusahaan pribadi non public lebih sulit diakses. Investor perlu mengetahui sinyal-sinyal apa saja yang dapat menunjukkan bahwa prospek perusahaan tersebut baik di masa yang akan datang sehingga dapat meminimalisasi ketidakpastian. Bagi Issuer, penetapan pada harga berapa sebuah sekuritas saham seharusnya ditawarkan kepada calon pembeli merupakan pekerjaan yang tidak mudah, karena suatu kesalahan kecil dapat menyebabkan gagalnya suatu IPO. Harga saham pada saat IPO ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan emiten issuer dengan penjamin emisi underwriter. Penjamin emisi underwriter harus melakukan analisis menyeluruh untuk dapat menyimpulkan bahwa harga yang ditetapkan merupakan harga yang paling wajar. Perusahaan penerbit sekuritas issuer menghadapi biaya potensial terhadap kesalahan dalam penetapan harga sekuritas. Harga jual yang terlalu mahal akan menyebabkan sekuritas tidak laku. Sebaliknya, harga yang terlalu murah akan menyebabkan perusahaan menghadapi opportunity loss yang berdampak negatif pada tingkat kesejahteraan pemilik lama. Menurut Husnan 1996, bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan underpricing saat Initial Public Offering IPO yaitu harga saham hari pertama di pasar sekunder lebih tinggi dari harga saham penawaran perdananya Prihartanto, 2002 dalam Apriliani Triani dan Nikmah, 2006. Underpricing di satu sisi, merupakan keuntungan yang diterima oleh investor di pasar perdana, bila mereka menjual saham, tetapi sebaliknya, merupakan kerugian potensial bagi perusahaan yang melakukan penawaran saham issuers, karena perusahaan issuers dinilai lebih rendah dari kondisi yang sebenarnya sehingga potensi untuk meraup dana lebih besar tidak dapat diraih. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing, karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran wealth dari pemilik kepada para investor Beatty, 1989 dalam Apriliani Triani dan Nikmah, 2006. Hal yang sebaliknya dapat dikatakan terjadi pada adanya overpricing, yaitu investor di pasar perdana mengalami kerugian karena saham yang mereka beli di pasar perdana mengalami penurunan harga. Sementara di sisi issuers, overpricing tidak dapat dikatakan sebagai keuntungan, karena secara eksplisit memang tidak ada uang yang masuk ke perusahaan. Dari sudut pandang issuers, tidak terjadinya perubahan harga saham merupakan cermin dari ‘ketepatan’ dalam penentuan harga penawaran, dengan catatan bahwa selama hari perdagangan pertama di pasar ada perubahan harga, baik naik ataupun turun, dan ditutup dengan harga awal, yaitu harga pada saat penawaran. Guinness 1992 dalam Apriliani Triani dan Nikmah 2006 menjelaskan terjadinya underpricing karena adanya asymmetric information antara perusahaan emiten dengan penjamin emisi dan antara investor yang memiliki informasi tentang prospek perusahaan emiten dengan investor yang tidak memiliki informasi prospek perusahaan emiten. Informasi yang disajikan dalam prospektus memberikan gambaran perusahaan emiten yang berguna bagi investor untuk membuat keputusan. Adanya asymmetric information menyebabkan harga saham pada penawaran perdana lebih rendah dari pada harga saham di pasar sekunder Cheung et.al., 1994 dalam Khomsiyah, 2005. Ibbotson 1991 dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati 2007 mengemukakan bahwa asymmetric information pada saat IPO, underwriter memiliki informasi penting yang lebih baik dari emiten. Perusahaan menggunakan underpricing sebagai sinyal yang dapat dipercaya investor untuk menandai kualitas perusahaan Allen dan Faulhaber, 1988 dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati, 2007. Hal ini berarti bahwa perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan sinyal tentang tipe dan kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari pengiriman sinyal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. Hal tersebut serupa dengan yang dinyatakan Grinblat dan Hwang 1989 dalam Budhi Sumarno 2002, bahwa untuk mengatasi asymmetric information, issuer akan memberi sinyal akan nilai perusahaannya dengan cara melakukan underpricing. Hal ini dikarenakan investor menganggap bahwa hanya perusahaan yang berkualitas baik dapat menutupi kerugian akibat underpricing. Tatang A Gumanti 2004 melakukan penelitian tentang hubungan antara nilai perusahaan, underpricing, dan ownership retention pada perusahaan yang baru go public di BEJ yang hasil penelitiannya menunjukan bahwa ownership retention berpengaruh secara positif tetapi tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan underpricing berhubungan secara negatif dengan nilai perusahaan Presentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik insiders menunjukan adanya private information yang dimiliki pemilik Balvers et.al., 1988 dalam Khomsiyah, 2005. Entrepreneur pemilik sebelum perusahaan go public akan tetap menginvestasikan pada perusahaannya apabila mereka yakin akan prospek di masa mendatang. Informasi tingkat kepemilikan saham oleh entrepreneur akan digunakan oleh investor sebagai pertanda bahwa prospek perusahaannya baik. Semakin besar tingkat kepemilikan yang ditahan atau semakin kecil presentase saham yang ditawarkan akan memperkecil tingkat ketidakpastian di masa mendatang berarti semakin kecil tingkat underpricing. Hal ini berhasil dibuktikan oleh Beatty 1989; Caster dan Dark 1993; How et. al. 1995 dalam Khomsiyah 2005. Leland dan Pyle 1977 dalam Luciana Spica Almilia dan Meliza Silvy 2003 menyatakan bahwa prosentase retensi kepemilikan oleh pemilik insider ownership menunjukan adanya informasi privat yang dimiliki hanya oleh pemilik. Retensi kepemilikan oleh pemilik lama mengisyaratkan bahwa mereka yakin akan prospek perusahaan. Informasi ini digunakan oleh investor sebagai pertanda prospek perusahaan yang baik di masa mendatang sehingga menurunkan ketidakpastian investor. Penurunan persentase kepemilikan oleh pemegang saham lama adalah suatu konsekuensi yang harus dipertimbangkan ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan IPO. Bila mereka yakin bahwa saham perusahaan akan terjual pada harga yang cukup menguntungkan sehingga dapat mengumpulkan dana yang signifikan bagi pembiayaan perusahaan. Aggarwal et. al., 2001 dalam Helen dan Sulistio, 2005 membuktikan bahwa underpricing berasosiasi positif dengan semakin rendahnya jumlah saham yang diterbitkan dan semakin tinggi pemegang saham lama. Konsisten dengan penelitian Aggarwal, penelitian Ljunfqvist dan Wilhelm 2003 dalam Helen dan Sulistio 2005 mendapati kecenderungan initial return yang semakin tinggi dengan semakin tingginya proporsi pemegang saham lama. Proporsi kepemilikan saham yang ditahan pemilik saham lama menggambarkan tingkat kepercayaan manajemen dan pemegang saham lama akan keberhasilan IPO. Pemegang saham lama dan manajemen tidak akan melepaskan proporsi kepemilikan dalam perusahaan bila mereka tidak yakin akan keberhasilan IPO sehingga proporsi kepemilikan yang ditahan oleh pemegang saham lama dapat dipertimbangkan sebagai factor yang turut membangun keyakinan investor akan keberhasilan IPO perusahaan. How dan Low 1993 dalam Almira Santosa dan Titik Indrawati 2007 menyatakan bahwa nilai perusahaan firm value yang melakukan IPO bisa dihubungkan dengan volume penawaran. Perusahaan pada umumnya memiliki proyek tunggal. Nilai perusahaan tersebut akan sangat tergantung pada pembiayaan investasi pada proyek tunggal tersebut. IPO disinyalir merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendanai proyek tunggal. Jadi semakin besar volume penawaran semakin besar dana yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Semakin tinggi investasi, semakin tinggi pula penilaian pasar terhadap nilai perusahaan. Ukuran perusahaan firm size turut menentukan tingkat kepercayaan investor. Semakin besar perusahaan maka semakin dikenal masyarakat, hal ini berarti semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan. Kemudahan mendapatkan informasi akan meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi faktor ketidakpastian karena investor dapat mengambil keputusan lebih tepat bila dibandingkan dengan pengambilan keputusan tanpa informasi. Banz 1981 dalam Helen dan Sulistio 2005 mengungkapkan kecenderungan perusahaan berukuran kecil mengalami abnormal return yang besar dibandingkan dengan perusahaan besar. Ritter 1987; Hanley 1993 dalam Helen dan Sulistio, 2005 menyatakan bahwa perusahaan berukuran kecil cenderung mengalami underpricing. Reese, Jr 1998 menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara ukuran perusahaan dengan terjadinya underpricing dan besarnya volume penjualan. Hasil penelitian Andri Rachmawati dan Hanung Triatmoko 2007 membuktikan bahwa firm size berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, hal ini menandakan bahwa pasar lebih mengapresiasi perusahaan besar. Ukuran perusahaan yang besar dapat menjadi indikasi bahwa perusahaan mempunyai komitmen yang tinggi untuk terus memperbaiki kinerjanya, sehingga pasar akan mau membayar lebih mahal untuk mendapatkan sahamnya karena percaya akan mendapatkan pengembalian yang menguntungkan dari perusahaan tersebut. Apriliani Triani dan Nikmah 2006 menunjukkan bahwa firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap return awal dan kinerja perusahaan satu tahun setelah IPO. Ini mengindikasikan bahwa investor menggunakan ukuran perusahaan untuk membeli saham perusahaan pada saat IPO. Sehingga dimata investor, ukuran perusahaan pun dapat memproksikan nilai perusahaan yang akan go public. Almira Santosa dan Titik Indrawati 2007 melakukan penelitian untuk menelaah apakah ownership retention, underpricing dan investment dapat dijadikan sebagai sinyal dalam menunjukan nilai perusahaan emiten yang melakukan IPO. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa tingkat ownership retention, underpricing, dan investment berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan kembali penelitian serupa, dengan menambah rentang waktu penelitian dari tahun 2001 sampai dengan 2007. Dengan memperpanjang periode penelitian, jumlah sampel penelitian yang didapatkan lebih banyak sehingga diharapkan akan memberikan hasil yang lebih akurat. Selain itu, alasan dipilihnya tahun 2001 sampai dengan 2007 karena merupakan periode setelah krisis moneter. Hal ini memungkinkan ada perubahaan perilaku investor pasca krisis. Selain itu, periode tersebut dinilai sangat aktual untuk menggambarkan kondisi bursa saat ini. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian kali ini menambahkan variabel firm size sebagai faktor yang berhubungan dengan underpricing dan initial return dan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Dengan demikian, penelitian ini berjudul “Pengaruh Ownership Retention, Underpricing, Investment, dan Firm Size terhadap Nilai Perusahaan Yang Melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia BEI.”

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Analisis Perusahaan yang Mengalami Underpricing di Bursa Efek Indonesia

24 157 108

Pengaruh Financial Leverage, Return on Equity (ROE), Ukuran Dan Umur Perusahaan Terhadap Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

1 30 95

Pengaruh variabel keuangan dan non keuangan Terhadap underpricing pada perusahaan yang melakukan initial public offering (ipo) Di bursa efek indonesia

0 5 120

PENGARUH MANAGERIAL OWNERSHIP, FAMILY OWNERSHIP, FIRM SIZE DAN FIRM RISK TERHADAP FIRM VALUE (Studi pada perusahaan terdaftar di BEI)

0 4 71

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, AUDITOR TYPE, UNDERWRITER REPUTATION DAN LEVERAGE TERHADAP PENGUNGKAPAN MODAL INTELEKTUAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2004 – 2008

2 5 114

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERWRITER REPUTATION DAN FIRM SIZE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010 – 2012 SKRIPSI.

0 7 54

PENGARUH OWNERSHIP RETENTION, UNDERWRITER REPUTATION DAN FIRM SIZE TERHADAP PENGUNGKAPAN INTELLECTUAL CAPITAL PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010 – 2012.

2 6 52

PENGARUH INSIDER OWNERSHIP, FIRM SIZE, DAN STRUKTUR MODAL TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN PADA INDUSTRI KEUANGAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2012-2015

0 0 2

PENGARUH ANALISIS INFORMASI KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP TINGKAT UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 18

PENGARUH ANALISIS INFORMASI KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP TINGKAT UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN IPO DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 13