Tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam
mengganggu gugat apalagi sampai memperjual belikan tanah wakaf yang notabene adalah milik Allah SWT.
Akan tetapi zaman terus berubah dan permasalahan kehidupan semakin kompleks begitu juga dengan permasalahan perwakafan tanah yang semakin
kompleks seiring dengan modernnya zaman ditambah lagi dengan kehidupan era ekonomi kapitalis global yang saat ini sungguh dominan dirasakan sehingga
memunculkan orang-orang dengan watak kapitalis yang tak lagi mengindahkan nilai- nilai Agama. Dan tanah wakaf yang tak mempunyai legalitas resmi sungguh sangat
riskan terhadap oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti itu, dan perwakafan tanah dengan tradisi lisan berdasarkan Hukum Islam dirasa belum cukup
karena tidak mempunyai kekuatan hukum jika sewaktu-waktu terjadi sengketa. Masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat Islam sudah lama mengenal
lembaga wakaf, tujuan pokok yang menjadi common basic idie wakaf sebagai salah satu lembaga keagamaan Islam adalah sebagai sarana pendukung pengembangan
kehidupan keagamaan, dan sejak Islam datang ke Indonesia, peraturan perwakafan diatur menurut hukum agama Islam fiqih. Tata cara perwakafan cukup dengan ikrar
dari wakif bahwa dia mewakafkan miliknya, seperti tanah, sawah, rumah dan lain- lain untuk kepentingan agama atau masyarakat, dengan tidak usah ada Kabul menurut
kitab kuning dari semua mazhab fikih.
74
74
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2009 hal. 118
Sesungguhnya dalam perspektif pengaturan masalah perwakafan ini tidak hanya menyangkut masalah dibidang keagamaan Islam belaka, namun kini
menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan, sehingga wakaf sebagai sebuah lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna
pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat yang beragama Islam.
75
Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pendaftaran tanah wakaf apalagi pensertifikasian tanah wakaf, karena memang dalam
Islam sendiri praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya
76
tanpa adanya syarat-syarat administrasi seperti yang dimaksud dan dituntut dalam hukum positif dalam hal ini Undang-undang No.41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Dan harus kita akui bahwa ketika Ulama-ulama fikih menyusun kitab-kitab
fikih terutama yang membahas masalah wakaf tidak sebutkan dan dicatatkan mengenai pembahasan masalah pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf karena
kehidupan umat ketika itu belum kompleks seperti saat ini, dan tingkat keimanan masyarakat muslim saat itu masih tinggi, tidak seperti saat ini dimana tingkat
keimanan masyarkat muslim sangat memprihatinkan, ditambah lagi berkembangnya
75
Ibid, hal. 119
76
Depag RI, Fiqih Wakaf, Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Depag RI, 2006 hal.21
faham kapitalisme dan materialisme yang mengubah cara berpikir mereka mengenai hal-hal kebendaan.
Seperti sudah kita ketahui dalam hukum Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan pencatatan, pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf, dalam
praktek wakaf. Begitu juga para ulama fiqih terutama para Imam mazhab yang empat tidak mencantumkan keharusan pengadministrasian dalam praktek berwakaf. Akan
tetapi dengan keadaan sekarang ini banyak terjadi persengketaan dalam wakaf maka selayaknya kita lihat Firman Allah SWT, yaitu
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah yang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya “ QS. Al-
baqarah: 282
Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang dan lain sebagainya. Selanjutnya
Adijani al-alabij meyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya seperti jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya, seperti yang dimaksud dalam ayat diatas, mengingat penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang
tidak terbatas. Jika untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk
mencatatkannya maka secara analogi untuk wakaf pun seyogyanya harus ditulis juga. Karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak
terjadi sengketa atau gugat menggugat diantara para pihak yang bersangkutan.
77
Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak menegaskan keharusan pencatatan wakaf akan tetapi jika kita mengacu pada kondisi saat ini akan kerawanan harta benda wakaf
yang tidak memiliki bukti tertulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk pencatatan dan pengadministrasian harta benda wakaf agar terhindar dari
penyelewengan, persengketaan dikemudian hari. Selain itu ada beberapa kaidah fiqhiyyah yang senada dengan pendapat diatas
yaitu: kaidah adh-dharaaru yuzaalu yang berarti “kemudharatan harus
dihilangkan” dan kaidah dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih yang berarti
“menolak kemudharatan dan menarik maslahah” dimana penyelewengan dan persengketaan akibat tidak adanya pengadministrasian tanah wakaf adalah mudharat
yang harus dihilangkan. Oleh karenanya berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa para Imam mazhab tidak memberikan keterangan atau membahas mengenai pengadministrasian tanah wakaf. Akan tetapi dengan pertimbangan argument-
argumen diatas yaitu surah al-baqarah ayat 282 dan beberapa kaidah fiqhiyyah bahwa sebenarnya pencatatan dan pengadministrasian tanah wakaf adalah sangat
dianjurkan dan bisa disimpulkan bahwa berdasarkan alasan tersebut tanah wakaf yang
77
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1992 hal.100
tidak dicatatkan dan didaftarkan adalah tidak sah menurut ketentuan tersebut. Maka berdasarkan hal tersebut status tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam
sejauh dia sudah terdaftar dan tercatat pada instansi yang berwenang maka tanah tersebut telah memiliki kekuatan dimata hukum. Karena hal ini senada seperti
dinyatakan dalam Undang-undang Nomer 41 tahun 2004 tanah wakaf adalah sah apabila telah dicatatkan dan didaftarkan, adapun mengenai apakah tanah tersebut
sudah memiliki sertifikat tanah wakaf atau belum dalam Undang-undang ini tidak dibahas apalagi dalam hukum Islam.