Pendahuluan LATAR BELAKANG MASALAH
terminologi islam biasa disebut dengan hablum minallah, Maupun ibadah yang bersifat horizontal yaitu antara si hamba dengan sesama mahluk ciptaan sang Khalik.
Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pastinya ibadah tersebut mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri
kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat.
Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik.
1
Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong
berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini
implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang
menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa. Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi
masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan
1
A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama
seseorang yang mantap dan rasa sosialitas yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “ hablum minallah wa hablum minannas”,
hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama manusia.
2
Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab
klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti wakaf secara bahasa adalah al-habs menahan, Sedangkan secara istilah adalah
menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak
berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.
3
Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang
memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.
4
2
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat : Ciputat Press.2005 hal 3
3
Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, Semarang Toha Putra hal.42
4
Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia hal.87
Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat
muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini
wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf
sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja
tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT. Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan
perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf
yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain.
5
Dalam masalah perwakafan banyak sekali ditemui kasus-kasus sengketa tanah wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern
adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan
pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga
5
Paradigma baru wakaf di Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam: 2006 hal 98.
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa
peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU
no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan
kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan
peraturan lama, atau mengikut pada UU yang baru? apakah UU yang baru dalam hal ini UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf mengakomodasi permasalahan ini?
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, penulis berpikir sungguh sangat menarik mengkaji masalah ini lebih lanjut ke dalam sebuah penelitian dan
menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: “KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO. 41
TAHUN 2004 TENTANG WAKAF Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok
Ranji Ciputat