F. Jenis Musik Liturgi
1. Musik Gregorian
29
Musik Gregorian adalah khazanah dasariah musik liturgi Gereja. Hal ini ditegaskan dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi alinea pertama, yakni bahwa:
“
Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi Romawi. Maka dari itu bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting,
nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi
”.
30
Sebagaimana telah digambarkan, corak musik Gregorian lahir dari corak musik Yahudi. Musik ini mula-mula dikenal dengan nama musik monofoni satu
suara. Namun pada abad pertengahan, Paus Gregorius Agung secara resmi memperhatikan musik Gereja dengan mengumpulkan melodi-melodi yang sudah
dipakai di berbagai Gereja dan membentuk suatu kumpulan nyanyian resmi dalam ibadat umat dengan sistematika berdasarkan tahun liturgis. Sebagai tanda
peringatan akan jasa Paus Gregorius Agung, maka nyanyian monofoni itu dinamakan ‘Gregorian’. Nyanyian tersebut telah dirasakan dan dihayati oleh
Gereja selama berabad-abad sebagai nyanyian yang sakral, sebab menyatakan keindahan yang mulia atas dasar sifat kontemplatifnya. Nyanyian ini diartikan
pula sebagai mistik doa Gereja yang diekspresikan dalam nuansa monofon.
29
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991, h. 399.
30
. Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003.
Nyanyian Gregorian
31
memiliki tangga nada khusus. Tangga nada ini diperkenalkan oleh seorang musisi dari biara St. Amand, yakni Haubald 840-
930 dalam bukunya “The Harmonica Institutione” Pengajaran Ilmu Harmoni. Ada delapan tangga nada dalam musik Gregorian yang disusun menurut teori
modalitet Haubald, antara lain: doris, frigis, lidis, miksolidis, hipopodoris, hipofrigis, hipolidis, hipomiksolidis.
Setiap tangga nada pada nyanyian memiliki warta dan suasana khusus. Tangga nada doris dan hipodoris memiliki suasana yang bersifat serius dan berat.
Tangga nada firigis dan hipofrigis, suasana yang diciptakannya bersifat mistis, lebut dan menyambung, seakan-akan tidak selesai. Tangga nada lidis dan
hipolidis memberikan suasana senang, hidup dan gembira. Sedangkan, tangga nada miksolidis, dan hipomiksolidis memiliki kesamaan perannya dalam
menciptakan suasana yang agung dan megah. Nuansa setiap lagu justru yang menjadikan musik Gregorian sering dirasa selaras dengan jiwa perayaan liturgis.
Dinamika suasana yang diciptakan oleh sifat tangga nada tersebut, menjadikan musik Gregorian indah dan menawan dalam ritus-ritus peribadatan Gereja
Katolik. Bentuk-bentuk modus ini dipakai sesuai dengan suasana perayaan liturgi, baik meriah maupun meditatif.
Selain kekhasan modusnya, musik Gregorian juga memiliki kekhasan dalam iramanya. Dalam seni musik modern, kini dikenal dua prinsip susunan
gerakan, yaitu birama dan irama. Birama bersifat statis sedangkan irama bersifat dinamis. Irama merupakan suatu prinsip gerakan melodis yang penuh variasi,
31
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991, h. 399.
sedangkan birama merupakan prinsip gerakan yang sama monoton. Namun hal ini tidak berlaku dalam musik Gregorian. Susunan gerakan kalimat musik
Gregorian memiliki keunikan tersendiri. Pada musik Gregorian tidak terdapat prinsip birama yang tetap statis.
Keindahan musik Gregorian juga ditunjang oleh bahasa Latin yang mempunyai keistimewaan dalam hal aksentuasi. Pada frase lagu Gregorian
terdapat istilah sastra klasik yang disebut arsis dan tesis. Arsis adalah alunan melodi yang naik di mana nada-nada makin diangkat sampai mencapai puncak
ketinggian. Sedangkan tesis adalah alunan melodi yang turun di mana nada-nada seolah-olah makin tenang mencapai tempat istirahat.
Selain irama, musik Gregorian juga memiliki gaya bernyanyi tersendiri. Gaya bernyanyi ini dibentuk oleh Dom Andre Mosquereau, OSB 1984-1930,
seorang biarawan St. Piere dekat kota Solesma Prancis.
32
Ada tiga betuk gaya bernyanyi yang dikenal dalam Gereja Katolik hingga saat ini, yaitu: pertama, gaya
sylabis, yang merupakan gaya bernyanyi yang paling mudah dan sederhana di mana satu suku kata sulbe dinyanyikan dengan satu not. Kedua, gaya
melismatis, di mana satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa not. Ketiga, gaya neumatis, yaitu gaya campran antara sylabis dan melismatis, di mana
kelompok nada yang disusun, diselingi satu nada untuk satu suku kata. Selingan ini menjadi loncatan ke suku kata berikutnya, dengan susunan kelompok nada
dalam bentuk yang lain lagi. Gregorian di abad pertengahan menjadi semakin “berbunga-bunga” melodinya dan semakin melismatis, terutama akhiran “a” dari
32
“Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991, h. 399.
kata Alleluia. Akhirnya muncul kebiasaan di mana “a” tersebut dengan banyak not, melodinya diisi dengan syair baru yang bersifat silabis.
Dengan gaya bernyanyi yang unik, musik Gregorian dapat dirasakan sebagai musik sakral sebagai ‘doa yang dinyanyikan’apalagi dalam musik
Gregorian terdapat tiga bentuk nyanyian, yaitu nyanyian yang memiliki not resitatif, nyanyian biasa seperti dalam nyayian-nyanyian ordinarium dan nyanyian
yang memiliki perulangan, seperti litani dan hymne. Maka sudah selayaknya jika Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II menyatakan nyanyian ini sebagai
nyanyian khas dan paling utama dalam liturgi Romawi.
33
2. Musik Polifoni: Musik Klasik Gerejawi
34
Antara pertengahan abad IX sampai akhir abad XI, musik liturgi mengalami suatu perkembangan baru. Pada masa ini, para komposer mulai
menambah harmoni pada lagu-lagu sehingga terbentuk lagu yang terdiri dari banyak suara. Musik yang demikian kemudian dikenal dengan nama musik
polifoni. Giovani Perluigi seorang komponis dari Palestrina 1515-1594 adalah perintis tentang musik polifoni dengan membuat aransemen melodi yang banyak,
sehingga setiap nada atau titik point bergerak secara mandiri atau berlawanan, di sinilah lahir ‘teori kontrapun’. Istilah polifoni terbentuk dari kata poli yang berati
banyak dan fonem yang berarti bunyi, sehingga polifoni berarti bunyi yang banyak. Dalam perspektif ilmu musik, istilah polifoni diartikan sebagai gaya
komposisi musik yang menggabungkan dua suara atau lebih.
33
Konstitusi Vatikan II tentang Liturgi: Pembaharuan Upacara-upacara liturgi Gereja, khususnya perayaan Ekaristi. Karl-Edmund Prier SJ, Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad
ke-20, h. 45.
34
Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik jilid 1 Yogjakarta: PML, 1991, h. 74.
Musik polifoni kemudian berkembang sebagai cikal bakal lahirnya paduan suara. Dengan itu, istilah polifoni yang dimaksudkan dalam Konstitusi Liturgi
Konsili Vatikan II adalah musik dan nyanyian yang dikomposiskan dengan pembagian suara.
35
Namun hal ini tidak berarti bahwa semua musik yang bercirikan polifoni dapat digolongkan sebagai musik liturgi. Konsili Trente
menekankan bahwa Gereja melarang penggunaan nada-nada lagu sekular untuk musik keagamaan, dan mengharuskan agar kata-kata dalam setiap lagu harus
ditonjolkan dan dibuat mudah dipahamai umat. Maka, di akhir abad XVII, musik liturgi dikomposisi dengan aransemen orkestrasi yang dinilai mampu mendorong
umat kepada kehidupan devotif yang mendalam dengan berbasiskan teks Kitab Suci. Gagasan konsili Trente kemudian dipertegas dalam Konsili Vatikan II, yang
menegaskan tentang syarat dasariah sebuah musik dapat disebut musik liturgi. Hal ini tercantum dalam artikel 116 Konstitusi Liturgi, yang berbunyi:
“Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi”
.
36
Istilah polifoni semakin kurang digunakan, sebab khazanah polifoni sangat berkembang sangat baik dalam musik Klasik, Barok dan Romantik. Maka dewasa
ini, salah satu bentuk musik polifoni yang dikenal adalah musik klasik Gerejawi. Namun musik klasik dewasa ini dipandang sebagai musik yang bernilai seni
35
Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.
36
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 116.Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003.
sangat tinggi sebagai warisan kebudayaan Eropa pada abad pertengahan. Sampai saat ini musik klasik Gerejawi sering digunakan khususnya dalam perayaan-
perayaan besar. Karena nilai panghayatan akan aspek liturgis, kristologis dan eklesiologis yang dapat ditampakan dari apresisasi musiknya, maka musik klasik
Gerejawi dianggap layak menjadi corak musik liturgi. Menurut Ensiklopedi Indonesia, kata “klasik” adalah suatu karya cipta dari
zaman lampau dengan nilai seni yang bermutu tinggi, yang keindahannya tidak akan luntur sepanjang masa.
37
Hal ini terwujud dalam seni musik klasik Gereja yang memiliki nilai estetika yang tinggi yang mampu mengangkat kewibawaan
liturgi Gereja. Lagu dan iringan musik ‘Malam Kudus’ karya F. Gruber dan ‘Halleluya’ karya G.F. Handel misalnya, merupakan musik klasik gerejawi
dengan ‘daya mistik’ yang kuat dan menggema sepanjang masa. Mula-mula musik klasik untuk liturgi Gereja terapresiasi dalam aspek
vokal nyanyian, sebab yang diutamakan dalam liturgi ialah syair. Sedangkan instrumen musik lebih dipandang sebagai unsur komplemen. Tetapi dalam
perkembangannya, keindahan musik instrumen organ pipa yang bernuansa musik klasik dianggap penting di dalam sebuah perayaan liturgi. Pada abad ke-14 musik
instrumental organ kemudian dipakai dalam liturgi. Musik ini dipakai dalam liturgi untuk menciptakan nuansa khidmad dalam peribadatan, entah dengan
mengiringi nyanyian, maupun dengan melantunkan instrumen-instrumen klasik yang indah.
37
Hassan shadly. Ensiklopedi Indonesia terbitan Ichtiar Baru- Van Hoeve, Jakarta 1982, jilid 3. h.1793.
Musik klasik Gerejawi adalah musik yang memiliki mutu tinggi yang mampu membentuk peribadatan yang agung dan semarak di samping musik
Gregorian. Ulrich Michels, dalam bukunya Atlas zur Musik, Band 2 berpendapat bahwa musik klasik Gerejawi tidak sebatas pada apresiasi keindahan nuansa
musik tetapi juga memiliki pula suatu pewahyuan kebenaran yang jika direfleksikan dapat memberikan makna yang bernilai sepanjang sejarah.
38
Salah satu faktor yang menjadikan musik klasik seakan memiliki nilai mistik yang tak terungkapkan karena para pemusik klasik mencipta musik lewat
refleksi dan penghayatan iman yang mendalam. Selain itu juga musik klasik menjadi sangat berkesan karena diciptakan dalam situasi di mana manusia abad
ke-18 merasakan kesatuan dengan dunia kosmos, dan berada dalam harmoni dengan sesama, bukan berdasarkan agama tetapi berdasarkan humanisme yang
dipengaruhi oleh para filsuf eksistensial abad ke-18 seperti Kant, Hegel dan Ashopenhauer. Pada zaman klasik tersebut, iman terbuka untuk dunia maka
semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap terbuka ini diangkat ke dalam musik gereja musik klasik gerejawi, sehingga musik tersebut memiliki daya
mistik dan bahkan memiliki efek psikologis yang berguna untuk ketenangan hati dan kejernihan budi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musik klasik gerejawi dapat dihayati sebagai khaznah musik liturgi Gereja Katolik yang memberikan inspirasi
bagi perkembangan musik Gereja. Di Indonesia misalnya, komposisi musik Gereja bereferensi pada kaidah-kaidah komposisi musik klasik. Selain itu dalam
38
Prier, Sejarah Musik II, h. 93.
pola iringan organ Gereja, komposisi musik klasik menjadi warna khusus iringan organ Gereja, baik untuk mengiringi nyanyian klasik Gerejawi itu sendiri,
maupun dalam mengiringi nyanyian Gregorian dan nyanyian inkulturatif. Pada dasarnya, iringan organ dalam musik liturgi tersebut disusun menurut pola
“kantionalsatz” gaya klasik, yakni iringan yang menggunakan sistem pembalikan akor dan bas berjalan. Organis Gereja yang mempelajari iringan
tersebut, akan merasakan keindahan iringan musik liturgi. 3. Musik Inkulturatif
Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam dokumen penutup sinode para uskup “Ad Populum Dei nuntius” tahun 1979, dalam Himbauan Apostolik
Paus Yohanes Paulus II “Catechesae trandendae”. Secara etimologis inkulturasi berasal dari kata “in”, yang berarti masuk ke dalam, dan “cultura” yang kata
kerjanya “colore” berarti pengolahan tanah; pembinaan, budaya.
39
Dari kedua arti kata tersebut, inkulturasi berarti “masuk ke dalam budaya”. Kata ini kemudian
dipakai secara populer dalam konteks liturgi Gereja Katolik. Anscar J. Chupungco mengartikan ‘inkulturasi liturgi’ sebagai proses di mana upacara-upacara
keagamaan pra kristen diberi arti kristen. Istilah ini dipakai dalam Gereja Katolik Roma, yakni di mana unsur-unsur dan bentuk asli dari adat-istiadat diberi arti
baru, yaitu arti kristiani. Dalam bukunya yang berjudul ‘Penyesuaian Liturgi dalam Budaya’ ,
Anscar Chupungco menulis bahwa sebuah inkulturasi bila dilaksanakan dengan tepat, merupakan sarana yang ideal untuk mengkristenkan segenap kebudayaan.
39
Prier, Perkembangan Musik Gereja, h. 89.
Namun hal ini membutuhkan tahapan yang cukup panjang. Oleh karena itu inkulturasi harus terjadi secara berkesinambungan, sebab dalam upaya
membaharui Gereja, Konsili Vatikan II pertama-tama memugar liturgi Gereja. Jadi Konsili Vatikan II telah menjamin unsur-unsur hakiki dari ibadat Kristen
dalam rangka memantapkan pertumbuhannya yang homogen.
40
Dalam Konsili Vatikan II, salah satu bentuk inkultursi dalam bidang liturgi yang diangkat secara khusus adalah inkulturasi musik liturgi. Hal ini
tertuang dalan artikel 119 Konstitusi Liturgi yang berbunyi: Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa
yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
41
Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya , baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam
menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40.
42
Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan
musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat. Artikel di atas secara jelas telah memberikan sebuah rekomendasi bagi
seni musik tradisional untuk memberi warna yang khas bagi perayaan liturgi yang
40
Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003.
41
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 119.Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003.
42
Paus Paulus VI, “Sacrosanctum Concilium”, 1963. artikel 39-40.Dokumen Konsili Vatikan II. Sacrosantum Consillium, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2003.
bercorak budaya. Hal inipun didasarkan pada iman akan misteri inkarnasi, sehingga segala unsur kebudayaan termasuk di dalamnya adalah musik-musik
tradisi mendapat ‘bobot kudus’ dengan menyatu dalam sebuah perayaan liturgi. Dengan demikian, musik inkulturatif dapat diartikan sebagai kesenian musik dari
berbagai tradisi kebudayaan tempat Gereja bermisi, yang dimasukkan ke dalam liturgi sehingga memiliki ‘bobot kudus’ nilai kesakralan sebagai salah satu
corak musik liturgi. Namun tentang hal ini, Gereja tetap memberikan peringatan tertentu dalam
berbagai kreativitas bermusik dalam liturgi, sehingga tidak menjadi ‘sangat bebas dan tidak terkendali’. Melalui instruksi pelaksanaan Konstitusi Liturgi, Gereja
memberi catatan dalam pelaksanaan inkulturasi musik liturgi. Salah satu hal mendasar yang ditekankan adalah pada alinea ketiga dokumen liturgi Romawi dan
inkulturasi nomor 40, bahwa bentuk musik, lagu dan alat-alat musik dapat digunakan dalam ibadat asal “cocok” atau dapat disesuaikan dengan penggunaan
dalam liturgi, dan asal sesuai dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh- sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman.
43
G. Instrumen Pengiring dalam Musik Liturgi