Peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi : sebuah studi inkulturasi musik liturgi.
TEO
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
SKRIPSI
Oleh :
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
JURUSAN TEOLOGI
–
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(2)
ii
TEO
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Teologi
Program Studi Ilmu Teologi
Oleh :
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI
JURUSAN TEOLOGI
–
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(3)
iii
SKRIPSI
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Oleh:
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr tanggal, ...
Pembimbing II
(4)
iv
SKRIPSI
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Oleh:
HIERONYMUS RONY SURYO NUGROHO NIM: 096114044
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal ...
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama lengkap Tanda tangan
Ketua : Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr ...
Sekretaris : Dr. YB. Prasetyantha, MSF ...
Anggota : Karl-Edmund Prier, SJ., Lic. Phil. ...
Yogyakarta, ... Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
Dekan,
(5)
v
PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul:
PERAN DAN MAKNA TANGGA NADA PELOG
DALAM LITURGI:
SEBUAH STUDI INKULTURASI MUSIK LITURGI
Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 Juni 2013 Penulis,
Hieronymus Rony Suryo Nugroho NIM: 096114044
(6)
vi
Karya tulis ini saya persembahkan kepada: Gereja Keuskupan Agung Semarang dan para pembaca
Quaerite Deum per musicam
“Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Mzm 23:6).
(7)
(8)
vii
ABSTRAK
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Kekayaan budaya Jawa ini dipandang oleh Gereja sebagai peluang untuk pewartaan Injil dan ungkapan iman umat kepada Allah. Gereja secara positif memandang kebudayaan setempat, serta “memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi pelbagai suku dan
bangsa” (SC 37) tersebut. Keterbukaan dari Gereja dan budaya Jawa ini,
mendorong adanya inkulturasi demi pewartaan Injil kepada umat Jawa.
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Fakta menunjukkan bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi mulai dari gending-gending perintis ciptaan C. Hardjasoebrata pada tahun 1926 sampai sekarang. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi? Bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus? Bagaimana tangga nada pelog dapat menjadi dasar untuk nyanyian proprium maupun ordinarium, bahkan aklamasi dan lagu prefasi?
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog terutama yang terdapat dalam buku Kidung Adi, apakah cocok dengan teori-teori teologi inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
Tangga nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak sembarangan. Butuh konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian dan kerinduan manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga
(9)
viii
nada pelog. Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu umat untuk berkonsentrasi dalam menanggapi pewahyuan Allah melalui liturgi. Mencari Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain.
Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam liturgi (bdk. SC 14). Umat dapat mengetahui dan mengerti apa yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita rasa Jawa. Mereka dapat mengetahui dan mengerti apa yang terungkap dan diungkapkan melalui gending Gereja. Kerja sama dalam menyanyikan gending dan memainkan gamelan juga mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di dalam liturgi.
Gending Gereja semakin memperjelas Misteri Kristus. Syair gending Gereja dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan, karena dikarang dan diolah dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodinya pun menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai macam suasana.
(10)
ix
ABSTRACT
Java has a rich cultural wealth in the form of Javanese gamelan music, with all its musical instruments and gendings. The Church has a look at this cultural wealth as an opportunity for evangelization and expression of faith for the people
of God. The Church looks at the local culture positively, “to respect and foster the
genius and talents of the various races and peoples” (SC 37). The openness of both sides, the Church and Javanese culture, encourages inculturation for the evangelization to the Javanese peoples.
The concern to be addressed in this essay is the role and meaning of pelog scales in the liturgy. The evidences suggest that the pelog scales get more proportion in the Kidung Adi and in sacred gendings created by C. Hardjasoebrata. Basically the question is why pelog scales are used in the liturgy? How do the songs based on pelog scales can help the faithful in living the Paschal Mystery: the passion, death and resurrection of Christ? The method used by the author is the study of literature and interviews. The author uses books dealing with Javanese gamelan music, Javanese culture, liturgy in general, inculturation theology, liturgical inculturation music, and church documents regarding liturgical music. People who will be interviewed are the composers of sacred gendings. Analysis of the role and meaning of pelog scales in the liturgy will be pursued through analysis of the sacred gendings based on pelog scales which were matched with the theories of inculturation theology and church documents.
Pelog scales need special attention in intonation. It takes concentration when singing this scales. Concentration, searching, and longing of man to God, are similar to the process in singing pelog scales. Concentration in singing the pelog
scales helps the singers to concentrate on responding to God’s revelation through
liturgy. Finding God in unity with others.
The sacred gendings encourage the faithful to participate fully, consciously and actively in liturgy (cf. SC 14). People can know and understand what they express through the songs, for the songs are in accordance with the Javanese
(11)
x
culture. Javanese people can know and understand what is revealed and expressed through the sacred gendings. Team working in singing the gendings and playing the gamelan also reflects togetherness and participation of the faithful in the liturgy.
The sacred gendings clarify Christ’s Mistery. The texts of the sacred
gendings clarify the mistery, because they are composed based on the Scipture and liturgical sources. The melodies based on pelog scales, require contrentration in singing, the pelog scales can generate various moods.
(12)
xi
KATA PENGANTAR
Tidak jarang muncul komentar, bahwa Misa bahasa Jawa dengan iringan gending Gereja itu lama dan membosankan. Lagunya lambat, bahasanya kurang dimengerti, membuat ngantuk, dan hanya dihadiri oleh orang-orang tua.
Anak-anak muda yang gaul bisa jadi lebih memilih untuk Misa di tempat-tempat yang
iringannya bersemangat, bahasanya dimengerti, dan memungkinkan mereka untuk
bertemu dengan orang-orang seusia mereka. Kata gaul menjadi acuan bagaimana
mereka harus bersikap dan menciptakan relasi dengan yang lain.
Musik gamelan Jawa yang terkesan berat dan sulit untuk dipahami ini mencerminkan kedalaman maknanya. Musik gamelan Jawa mengandung nilai filosofis dan religius yang tinggi, sehingga tidak begitu saja bisa dicerna sambil sepintas lalu. Dibutuhkan refleksi yang mendalam dan konsentrasi yang penuh. Ketika musik gamelan Jawa mengalami inkulturasi dan menjadi gending Gereja, makna dan nilainya diperbarui sesuai dengan semangat liturgi Gereja. Gending Gereja pun menjadi bagian integral dari liturgi, yang dapat membantu umat dalam merayakan Misteri Paskah dan mengungkapkan imannya. Konsentrasi dan refleksi semakin dibutuhkan dalam menyanyikan dan memainkan gending Gereja. Gending Gereja memang menggunakan kedua tangga nada: slendro dan pelog. Namun, tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih di dalam gending Gereja. Tangga nada ini memang berbeda dengan tangga nada diatonis yang sudah biasa dikenali melalui musik Barat dan musik-musik popular. Ada suatu suasana tertentu yang dibawa dan muncul dari geding-gending Gereja yang dibuat dengan tangga nada ini. Dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk secara lebih jauh membahas mengenai “Peran dan Makna Tangga Nada Pelog di dalam Liturgi”.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami banyak kesulitan dan tantangan. Kendati demikian, banyak pihak telah membantu penulis untuk tetap bertahan dalam proses yang panjang ini. Untuk itu, penulis ingin menghaturkan
(13)
xii
rasa syukur kepada Allah atas kehadiran pribadi-pribadi yang membantu dan memberikan semangat kepada penulis:
1. Rm. Karl-Edmund Prier, SJ., selaku pembimbing pertama yang dengan
penuh kesabaran, kerendahan hati, ketelitian, ketekunan dan kasih, menuntun penulis, memberikan masukan dan komentar-komentar yang membangun.
2. Rm. J. Kristanto, Pr., selaku Rektor Seminari Tinggi Santo Paulus yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang dalam masa pendidikan di seminari tercinta ini. Terima kasih juga atas dukungan dan fasilitas yang disediakan.
3. Rm. Rubiyatmoko, Pr., selaku pembimbing rohani penulis, yang selalu
memberikan peneguhan dan bersedia mendengarkan keluh kesah penulis.
4. Keluarga tercinta: Bapak Suparjana (Pak John) dan Ibu Muryanti, yang
tidak henti-hentinya mendukung dan mengingatkan penulis untuk secara serius menjalani panggilan dan mengerjakan skripsi. Mas Raymond, Mbak Emtha, Arvin dan Mbak Ita (Sr. Rita, AK), yang dengan cara mereka masing-masing mendukung penulis.
5. Teman-teman angkatan: Ontong, Bang Jack, Yusti, Pras, Graha, Bang
Tom, Ipung, Adi, Nanung, Andri, Ari, dan Ivan, yang telah memberikan semangat dan inspirasi bagi penulis dalam hidup keseharian.
6. Komunitas Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, yang telah menciptakan
suasana kondusif dan mendorong penulis untuk mengerjakan dan menyelesakan skripsi ini.
7. Untuk semua orang yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang
telah memberikan berbagai macam dukungan: doa, sapaan, ejekan, canda, peringatan, paket, buku-buku, mengajari metode penelitian, dll. Penulis sungguh merasa diteguhkan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan di sana-sini yang perlu diperbaiki. Maka, sumbangan kritik dan saran demi semakin
(14)
xiii
baiknya skripsi ini sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi kecil ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Yogyakarta, 13 April 2013
Hieronymus Rony Suryo Nugroho Penulis
(15)
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Metode Penulisan ... 6
1.4 Tujuan Penulisan ... 6
1.5 Sistematika Penulisan ... 7
BAB II. TANGGA NADA PELOG DALAM MUSIK GAMELAN JAWA ... 9
2.1 Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa ... 10
2.2 Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa ... 20
2.1.1 Tangga Nada Slendro ... 23
2.1.2 Tangga Nada Pelog ... 26
2.3 Bentuk Gending pada Umumnya ... 29
(16)
xv
2.3.1.1 Tembang Macapat atau Alit ... 29
2.3.1.2 Tembang Tengahan atau Madya ... 31
2.3.1.3 Tembang Gedhe atau Ageng ... 31
2.3.1.4 Tembang Dolanan ... 32
2.3.1.5 Beberapa Jenis Tembang Lain ... 33
2.3.2 Jenis-jenis Gending ... 34
2.4 Perbandingan Musik Barat dan Timur ... 37
2.5 C. Hardjasoebrata sebagai Perintis Lagu-lagu Inkulturasi Jawa ... 39
2.6 Rangkuman... 43
BAB III. DASAR-DASAR INKULTURASI MUSIK LITURGI GEREJA ... 45
3.1 Inkulturasi Liturgi ... 45
3.1.1 Istilah Inkulturasi... 45
3.1.2 Teologi Inkulturasi ... 50
3.1.3 Magisterium Gereja Mengenai Inkulturasi ... 54
3.1.4 Tahap-tahap Inkulturasi Liturgi ... 61
3.1.4.1 Tahap Pertama: Pengambil-alihan (Imposition) ... 62
3.1.4.2 Tahap Kedua: Penerjemahan ... 63
3.1.4.3 Tahap Ketiga: Penyesuaian ... 65
3.1.4.4 Tahap Keempat: Inkulturasi yang Paling Mendalam ... 66
3.1.5 Metode-metode Inkulturasi ... 69
3.1.5.1 Metode Ekuivalen Dinamis (Dynamic Equivalence) ... 69
3.1.5.2 Metode Asimilasi Kreatif (Creative Assimilation)... 70
3.1.5.3 Metode Pengembangan Organis (Organic Progression) ... 71
3.2 Inkulturasi Musik Liturgi ... 73
3.2.4 Dimensi Liturgis ... 73
3.2.5 Dimensi Ekklesiologis... 75
3.2.6 Dimensi Kristologis... 78
(17)
xvi
BAB IV. SUMBANGAN TANGGA NADA PELOG DALAM
INKULTURASI MUSIK LITURGI ... 83
4.1 Perkembangan Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ... 84
4.1.1 Segi Historis ... 85
4.1.1.1 Langkah 1: Lagu Gregorian dengan Syair Jawa ... 85
4.1.1.2 Langkah 2: Lagu Jawa dengan Syair Latin ... 88
4.1.1.3 Langkah 3: Lagu Jawa dengan Syair Jawa... 90
4.1.1.4 Langkah 4: Gending Gereja dengan Paduan Suara ... 93
4.1.1.5 Langkah 5: Aklamasi, Prefasi dan Anamnese ... 95
a) Aklamasi... 95
b) Prefasi ... 97
c) Anamnesis ... 98
4.1.1.6 Kesimpulan Perkembangan Historis ... 99
4.1.2 Segi Komposisi ... 99
4.1.2.1 Syair Lebih Diutamakan... 99
4.1.2.2 Tangga Nada Pelog Diutamakan ... 101
4.1.2.3 Kesimpulan Segi Komposisi ... 108
4.2 Makna Tangga Nada Pelog dalam Liturgi ... 108
4.2.1 Dimensi Liturgis ... 109
4.2.2 Dimensi Ekklesiologis... 111
4.2.3 Dimensi Kristologis... 113
4.2.4 Kesimpulan... 116
BAB V. PENUTUP ... 118
5.1 Kesimpulan... 118
5.2 Saran ... 123
DAFTAR PUSTAKA ... 126
LAMPIRAN 1 ... 133
LAMPIRAN 2 ... 142
(18)
xvii
LAMPIRAN 4 ... 163 LAMPIRAN 5 ... 182
(19)
xviii
DAFTAR SINGKATAN
A. Kitab Suci
Kej : Kejadian
Mzm : Mazmur
Yoh : Yohanes
Kis : Kisah Para Rasul
B. Dokumen-dokumen Gereja
LRI : De Liturgia Romana et Inculturatione, Instruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II No. 37-40 secara Benar
LU : Liber Usualis
MS : Musicam Sacram, Instruksi tentang Musik Liturgi
PUMR : Pedoman Umum Misale Romawi, Terjemahan resmi Institutio
Generalis Missalis Romani, 2000
RM : Redemptoris Missio, Ensiklik Yohanes Paulus II tentang Tugas Perutusan Gereja
SC : Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci
UL : Universa Laus, Dokumen Lembaga Internasional untuk Musik Gereja, 1980
C. Lain-lain
Art. : artikel
Bdk. : bandingkan
KA : Kidung Adi, Buku Sembahyangan saha Kekidungan (Buku Doa dan Nyanyian)
KSG : Kula Sowan Gusti, Kumpulan Gending-gending Gereja Ciptaan C. Hardjasoebrata
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
Lih. : lihat
M : Masehi
PML : Pusat Musik Liturgi
PS : Puji Syukur
(20)
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Tangga nada slendro ... 24
Gambar 2.2 : Interval pertama tangga nada slendro ... 24
Gambar 2.3 : Interval kedua tangga nada slendro ... 24
Gambar 2.4 : Pelog pathet nem ... 26
Gambar 2.5 : Pelog pathet barang ... 27
Gambar 2.6 : Pelog pathet lima ... 28
Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431) ... 35
Gambar 2.8 : Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434) ... 35
Gambar 2.9 : Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378) ... 35
Gambar 2.10: Skema ketuk kerep ... 36
Gambar 2.11: Skema ketuk awis ... 36
Gambar 4.1 : Minggah Ing Pirdus (KA 93) ... 86
Gambar 4.2 : Bait pertama lagu Rawuha Roh Ingkang Murba (KA 384) ... 87
Gambar 4.3 : Bait pertama lagu Pange Lingua (LU hal. 957) ... 88
Gambar 4.4 : Bait pertama lagu Pange Lingua/ Tantum Ergo IV (KSG 23A) 89 Gambar 4.5 : Memujia Pangeran (KA 156) ... 91
Gambar 4.6 : Bait pertama lagu Kula Sowan Gusti (KSG 1) ... 94
Gambar 4.7 : Aklamasi salam pada Ritus Pembuka (KA 67) ... 96
Gambar 4.8 : Pola lagu 9 (TPE 2005) ... 97
Gambar 4.9 : Anamnese III (KA 127) ... 98
(21)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu bangsa dikenal lewat kebudayaannya. Kebudayaan tersebut dapat terwujud melalui berbagai macam hal, seperti bahasa, nyanyian, lukisan, tarian, sifat-perangai, ibadat, dll. Kebudayaan, dengan segala kompleksitasnya tersebut, ada dan berkembang beriringan dengan perkembangan bangsa. Kebudayaan tidak pernah bisa terlepas dari bangsa. Kebudayaan terdapat di mana manusia hidup bersama, kerja sama, mengungkapkan diri dalam acara bersama. Di dalamnya diungkapkan secara simbolis visi dan sikap inti yang menentukan hidup manusia,
asal-usulnya dan tujuannya1.
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Cara memainkannya yang komunal dan komposisinya yang unik membuat gamelan Jawa diminati oleh banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, musik gamelan Jawa menggunakan tangga nada pentatonis slendro dan pelog, yang intervalnya berbeda dengan tangga nada diatonis yang biasa dikenal.
1
Hans Bernhard Meyer SJ, seperti dikutip dalam Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 4-5.
(22)
Gamelan Jawa tidak dapat dimainkan sebagaimana mestinya, jika tidak dilakukan secara bersama-sama. Dibutuhkan suatu kerjasama dan gotong-royong antar pemain sehingga keindahan lagu dapat diproduksi. Suara bonang barung akan menjadi semakin indah, jika didampingi oleh bonang penerus. Demikian pula, suara gong akan menjadi indah dan bermakna, jika diletakan dalam kesatuan permainan seluruh instrumen gamelan. Lebih jauh dari itu, keindahan lagu tidak semata muncul dari ketepatan cara memainkannya, tetapi juga karena kesatuan rasa antar pemain dan antara pemain dengan musik yang dimainkannya.
Tembang-tembang, sebagai musik vokal, diciptakan dengan bentuk dan aturan yang ketat dan jelas, menggunakan permainan kata, serta memiliki syair yang bernas. Untuk tembangnya, orang harus memperhitungkan bunyi akhir, jumlah suku kata, banyaknya baris di dalam bait, dan bentuk lagunya. Sebagai contoh, tembang Maskumambang, yang termasuk dalam kelompok tembang macapat, memiliki aturan 12i, 6a, 8i, 8a. Ini berarti bahwa tembang Maskumambang terdiri dari 4 gatra (baris dalam satu bait), masing-masing gatra memiliki jumlah suku kata tertentu (gatra pertama sebanyak, 12 suku kata; gatra kedua sebanyak 6 suku kata; gatra ketiga dan keempat sebanyak 8 suku kata), dengan bunyi akhir masing-masing gatra adalah i, a, i, a. Berikut ini adalah contoh syair Maskumambang:
Ing sabanjure Ingsun wus ora bati Ngunjuk anggur uga
Nganti tekan tembe mburi Ngunjuk anggur wohing Swarga
(23)
Berbeda dengan musik Barat yang membagi dua bagian jenis musik ke dalam musik sakral dan musik profan, musik Timur tidak memisahkan antara
sakral-profan. Musik dan peribadatan menjadi satu kesatuan yang utuh2. Manusia
tidak mungkin hidup tanpa Tuhan, dan keyakinan ini terungkap dalam musik dan nyanyian, yang dalam arti sempit sebagai lagu ibadat; dalam arti luas sebagai lagu rohani; dan dalam arti lebih luas lagi, sebagai lagu pergaulan yang tetap berlatar
belakang kosmis3. Dimensi horisontal musik pun tetap dikaitkan dengan dimensi
vertikalnya. Melalui musik gamelan, masyarakat Jawa mengungkapkan refleksi kehidupannya dalam berhubungan dengan Tuhan dan sesama.
Kekhasan musik gamelan Jawa tersebut menjadi peluang bagi Gereja untuk suatu bentuk inkulturasi. Berkat Konsili Vatikan II, Gereja menjadi semakin terbuka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian demi semakin luasnya pewartaan Kabar Sukacita, terutama dalam konteks kebudayaan pribumi. SC 37 menjadi dasar inkulturasi:
Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli.
Kebudayaan setempat dipandang sebagai kekayaan yang menghiasi pelbagai suku bangsa, yang dapat menjadi bagian dari liturgi, sejauh tidak secara mutlak terikat pada takhyul dan ajaran sesat. Tanpa memperhitungkan budaya setempat,
2
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi Musik Liturgi, 15.
3
(24)
Gereja tidak akan tumbuh, semakin diperkaya dan memperkaya. Inkulturasi merupakan keharusan teologis yang muncul dari misteri inkarnasi. Sabda Allah telah mejadi manusia Yahudi, maka Gereja pun harus menjadi Gereja pribumi dimana pun ia berada. Menolak inkulturasi berarti mengingkari universalitas
keselamatan4.
Inkulturasi Gereja dengan budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa, menghasilkan gending Gereja, suatu bentuk musik gamelan yang khusus disajikan untuk keperluan peribadatan Gereja. Sesuai dengan fungsinya, penyajiannya bersifat sakral karena ada dalam konteks perayaan liturgi. Budaya Jawa, khususnya musik gamelan Jawa, pun dapat menjadi sarana pertemuan antara manusia dengan Allah.
Perkembangan inkulturasi gending Gereja di Keuskupan Agung Semarang tidak bisa dipisahkan dari peran C. Hardjasoebrata. Sebagai seorang seniman, ia melihat peluang pengembangan liturgi melalui musik gamelan Jawa. Pada tahun
1925, ia menciptakan lagu Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis, dan O
Kawula Punika. Syairnya diambil dari buku Rerepen Suci dan lagunya dibuat dengan tangga nada pelog. Percobaan-percobaan lain pun ia buat, dengan menciptakan gending berlagu Jawa dengan syair Latin. Awalnya gending-gending ini hanya boleh digunakan di dalam ibadat-ibadat. Usaha inkulturasi gending Jawa ini terus berlanjut, hingga pada tahun 1956 akhirnya Roma mengizinkan
gending-gending Gereja ini digunakan di dalam perayaan Ekaristi5.
4
Lih. Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Kanisius, Yogyakarta 1987, 107.
5
Pengantar Karl-Edmund Prier, SJ dalam C. Hardjasoebrata, Kula Sowan Gusti, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1987, 6-9.
(25)
Gending Gereja memang menggunakan tangga nada pelog dan slendro di dalam liturgi. Namun tampaknya tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak. Faktanya, seluruh gending Gereja yang dibuat oleh C. Hardjasoebrata menggunakan tangga nada pelog. Selain itu, dari 547 gending Gereja yang ada di Kidung Adi, 252 lagu di antaranya adalah lagu dengan tangga nada pelog. Lagu bertangga nada pelog itu sebesar 46,1%, dengan sisanya adalah lagu bertangga nada diatonis (38,8%), slendro (11,4%), dan Gregorian (3,7%). Ada kekhususan sehingga tangga nada pelog mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada tangga nada lainnya, di dalam liturgi Gereja.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Titik tolak permasalahan adalah fakta, bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi dan gending-gending Gereja ciptaan C. Hardjasoebrata. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi?
Inti dari teologi liturgi adalah Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Jika tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi, bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah ini?
(26)
1.3 Metode Penulisan
Dalam karya tulis ini, penulis akan menggunakan metode studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog ditatapkan pada teori-teori Teologi Inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
1.4 Tujuan Penulisan
Skripsi ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, skripsi ini dimaksudkan untuk
memperdalam pengetahuan penulis mengenai musik liturgi, khususnya gending Gereja. Dengan mengetahui secara lebih mendalam mengenai gending Gereja, penulis terbantu untuk menghayati liturgi, terutama Misteri Paskah yang menjadi
inti dari perayaan liturgi. Kedua, lewat skripsi ini penulis ingin memberikan
sumbangan pemikiran bagi umat beriman dalam menghayati liturgi melalui
gending Gereja. Ketiga, skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan
(27)
1.5Sistematika Penulisan
Secara garis besar, tema skripsi ini akan dijabarkan dalam lima bab. Bab I akan membahas mengenai latar belakang tulisan ini dibuat, rumusan masalah, metode penulisan, tujuan dan sistematika penulisannya. Bagian ini menjadi garis besar alur dan cara penulisan skripsi ini.
Bab II akan membahas musik gamelan Jawa dari sisi sejarah, sistem tangga nada gamelan Jawa (slendro dan pelog), bentuk tembang dan gending pada umumnya, dan C. Hardjasoebrata sebagai pelopor inkulturasi gending Gereja. Gamelan Jawa merupakan produk kebudayaan Jawa melalui interaksinya dengan kebudayaan Hindu-Jawa, dan Islam-Jawa. Tangganada yang digunakan adalah
tangganada slendro dan pelog, masing-masing dengan tiga pathet. Tangganada
pelog lah paling mendekati tangganada diatonis.
Bab III akan membahas istilah inkulturasi, teologi inkulturasi, tahap-tahap dan metode inkulturasi, serta dimensi-dimensi musik liturgi. Konsili Vatikan II membuka pintu dan jendela bagi perkembangan jaman. Tanpa terbuka pada adanya penyesuaian, Gereja hanya akan menjadi seonggok museum yang sekadar menyimpan dan meneruskan tradisi tanpa mempedulikan orang-orang yang ada di dalamnya. Perayaan liturgi pun menjadi kurang menyentuh karena hanya merupakan urusan hierarki saja, dan partisipasi umat kurang diperhitungkan. Konsili Vatikan II, di antaranya, memberikan pembaharuan liturgi dalam hal partisipasi aktif umat dan penghargaan terhadap kekayaan budaya sebagai upaya pengembangan Gereja lokal. SC 37 menunjukkan bahwa Gereja memelihara dan
(28)
memajukan kekayaan budaya setempat serta mempertimbangkannya untuk dapat dipelihara dengan semangat liturgi yang asli dan sejati.
Setelah membahas mengenai tangganada pelog dan dasar inkulturasi musik liturgi di dalam dokumen Gereja, bab IV akan membahas peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Gending-gending Jawa memuat nilai kerohanian yang tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa tidak memisahkan antara musik sakral dan musik profan. Dalam hidup sehari-hari, mereka pun menghubungkan tindakan-tindakan dan kebersamaan hidup dengan Yang Transenden. Musik gamelan yang memuat nilai kerohanian yang tinggi ini, pun disesuaikan dengan semangat liturgi Gereja. Dengan begitu kebudayaan Jawa dan liturgi Gereja dapat saling memperkaya.
Bab V adalah kesimpulan dan saran atas topik yang dibahas dalam skripsi ini. Bab ini diharapkan dapat menutup dan menyimpulkan rangkaian penjelasan dan analisis dari bab-bab sebelumnya.
(29)
BAB II
TANGGA NADA PELOG
DALAM MUSIK GAMELAN JAWA
Bentuk gending dan instrumen gamelan Jawa yang dijumpai sekarang sudah mengalami perkembangan. Pada beberapa dekade terakhir, muncul jenis musik campursari, yang menggabungkan antara gamelan dengan alat musik elektronik,
seperti gitar, bass, keyboard dan drum. Syairnya kebanyakan menggunakan
bahasa Jawa Ngoko, yang adalah bahasa pergaulan sehari-hari1. Lagu pentatonis
pun diaransemen dengan akor-akor.
Hal ini membuktikan bahwa kebudayaan Jawa, khususnya musik gamelan, terbuka terhadap perkembangan dan pembaruan yang diperlukan. Kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Manusia membentuk kebudayaan dan kebudayaan membentuk manusia. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan akan dapat terus berlanjut jika kebudayaan tersebut dapat terus ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan dan aktualitas zaman.
1 Fajar Sungkono, “Representasi Ideologi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari (Analisis
Semiotika Representasi Patriarki dalam Lirik Lagu Musik Campursari Bojo Loro, Mendem Wedoan, Tragedi Tali Kutang oleh Cak Diqin)”, 2009, Diakses dari
http://www.publiksi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/858/532. (12 Desember 2012)
(30)
2.1 Musik Gamelan Jawa sebagai Musik Khas Jawa
Gamelan Jawa tidak serta merta muncul sebagai satu kelompok alat musik lengkap. Dibutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai jumlah dan komposisi alat musik gamelan seperti yang ada pada zaman ini.
Kebudayaan Jawa memiliki kekhasan dan kekayaan. Dalam pertemuannya dengan kebudayaan lain, kebudayaan Jawa berkembang menjadi semakin kompleks dan kaya. Kebudayaan Hindu dan Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya, memberikan pengaruh yang kuat dan memberikan perubahan yang signifikan dalam kebudayaan Jawa, tapi ada pula yang kurang begitu berpengaruh. Dari dirinya sendiri, orang Jawa memiliki keterbukaan kepada kebudayaan dan gagasan-gagasan dari luar. Kebudayaan asing merangsang perkembangan
kebudayaan Jawa2.
Ada dua kebudayaan asing yang memiliki andil besar dalam perkembangan budaya Jawa, yaitu Hindu dan Islam. Dua kebudayaan ini relatif mudah beradaptasi dan mengalami penyesuaian karena keduanya menjadikan agama sebagai landasan kebudayaan. Hal ini sesuai dengan persepsi orang Jawa yang juga memiliki pandangan yang serupa. Hal ini pula yang menjadi penjelasan, mengapa lebih banyak digunakan istilah Hinduisasi daripada Indianisasi.
Hadirnya pengaruh Hindu tidak semerta-merta menggeser sistem kepercayaan Jawa. Proses penyesuaian berlangsung melalui proses yang disebut
2
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003, 3.
(31)
sebagai lokalisasi. Lokalisasi adalah proses materi-materi India yang cenderung diretak-retak dan diwujudkan kembali dalam konteksnya yang baru. Makna aslinya dikuras dan disesuaikan dengan sistem agama, sosial dan politik konteksnya yang baru. Fragmen-fragmen ini akan memiliki arti dalam suasana
yang baru jika proses tersebut sudah tercapai3.
Kerajaan Hindu-Buddha pada periode setelah abad ke-5, menjadi tempat berkembangnya kehidupan sosial, agama, politik, kesusastraan dan kesenian.
Sistem tulisan dan puisi Hindu diadaptasi oleh budaya Jawa. Kawya, karya sastra
dan nyanyian India, mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan Jawa,
hingga muncul puisi kekawin Jawa. Isinya sesuai dengan kebudayaan Jawa,
namun aturan metrisnya berciri India4. Pada periode selanjutnya, lagu-lagu baru
sejenis dinamakan sekar ageng (nyanyian luhur). Kekawin Jawa ini ditampilkan di
kalangan bangsawan kerajaan5.
Pengaruh Hindu dapat dibagi dalam dua periode, yaitu Hindu Jawa Tengah pada abad ke-9, dan Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15. Pada periode antara abad ke-11 sampai abad ke-14, pendidikan musik pertunjukan merupakan suatu keharusan bagi seluruh warga istana dan keluarga bangsawan. Seluruh warga istana dari berbagai macam strata sosial diharuskan untuk belajar kesenian tersebut. Seorang pangeran yang ideal tidak hanya dinilai dari
3
O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 7.
4
Dengan sedikit perkecualian, aturan metris pada kakawin sama dengan aturan pada kawya. Aturan-aturan tersebut dirumuskan sebagai berikut: satu bait (stanza) terdiri dari empat baris, dan setiap baris memiliki jumlah suku kata yang sama, serta dibentuk pada pola metris yang sama. Pada pola ini, jumlah setiap suku kata diatur berdasarkan kebutuhan di dalam baris; dan sebuah suku kata dihitung panjang pendeknya, jika suku kata tersebut diikuti oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir pada sebuah baris dapat panjang maupun pendek. P. J. Zoetmulder,
Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, Martinus Nijhoff, Hague 1974, 102.
5
(32)
ketampanannya saja, tetapi juga bagaimana ia memiliki keterampilan dalam hal
seni6. Kemampuannya dalam seni dan musik dipertunjukkan dalam suatu acara
hiburan bersama, dengan juga adanya penampilan dari para penyair kerajaan dan dayang-dayang. Musik menjadi sarana keakraban untuk para anggota dan abdi
istana dari berbagai kedudukannya7.
Data mengenai pengaruh Hindu Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai abad ke-10, sangatlah kurang. Beberapa candi dan monumen memang memberikan gambaran sekilas mengenai alat musik periode tersebut. Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9 oleh dinasti Syailendra, menggambarkan adanya beberapa alat musik India kuno, yaitu seruling, gendang berbentuk kerucut, dan alat musik petik seperti lute, tetapi alat-alat ini sudah tidak ada lagi di Jawa. Memang ada alat musik yang menyerupai kethuk dan saron yang ada sekarang,
tetapi kepastiannya masih perlu ditegaskan kembali8. Orang Jawa mengklaim
bahwa musik gamelan sudah ada jauh sebelum periode Prambanan dan
Borobudur9.
Beberapa ahli memperkirakan bahwa absennya gamelan pada relief candi
Borobudurdikarenakan alasan politis10. Pada masa itu, Jawa dikuasai oleh bangsa
India. Maka, segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Jawa, termasuk alat musik, tidak boleh ditampilkan. Alasan ini masih perlu dibuktikan validitasnya, karena tidak ada data yang secara lengkap dan gamblang yang
6
P. J. Zoetmuder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature, 152, 154.
7
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 19.
8
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359.
9
Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia, Oxford University Press, Singapore-Oxford-New York 1986, 3-4.
10
Mantle Hood seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359.
(33)
mengatakan bahwa Jawa pernah dijajah oleh India. Gagasan mengenai Asia Tenggara yang pernah dijajah oleh India, ditolak. Laporan sejarah lebih menunjuk
pada proses Indianisasi yang menekankan kekuatan adaptasi lokal11.
Periode Hindu Jawa Timur pada abad ke-12 sampai abad ke-15 diwarnai dengan kontak antara musik Jawa dan Bali. Hubungan tersebut sudah ada sejak abad ke-10, berlanjut pada masa Raja Erlangga di Kediri pada abad ke-12, dan memuncak pada masa Majapahit pada abad ke-14. Majapahit melakukan pengiriman barang dan mendirikan kerajaan-kerajaan Jawa di Bali. Bahasa Jawa
kuno digunakan di Bali dengan penyesuaian-penyesuaian12, dan masih digunakan
sampai saat ini, terutama dalam pertunjukan teater tradisional Bali berbentuk
naratif maupun musikal13.
Beberapa alat musik Jawa ditemukan di Bali. Gamelan Gambuh dan empat macam ansambel keramat yang terdiri dari selonding, caruk, gambang dan luang, berasal dari Hindu Jawa. Gamelan Gambuh yang memiliki tujuh nada merupakan kelanjutan dari musik Jawa Timur pada abad ke-12. Sistem tujuh nada memang
digunakan pada abad ke-12, bahkan sebelumnya14.
Bonang dan saron pada Gamelan Luang yang ada di Bali, sama dengan instrumen musik Jawa dengan nama yang sama. Teknik permainan yang
dinamakan sekatian pun ada hubungannya dengan Sekaten, suatu jenis gamelan
11
O. W. Wolters seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 359.
12
O. W. Wolters, History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives, Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang 1982, 26.
13
Walis seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22.
14
(34)
Jawa kuno15. Berdasarkan kesamaan-kesamaan tersebut, diambillah suatu kesimpulan bahwa instrumen musik Jawa yang dibawa ke Bali mengalami suatu
penyesuaian sehingga sesuai dengan perasaan lokal16.
Kontak kebudayaan antara Hindu Jawa Timur dan Bali terputus dengan
datangnya Islam17. Kekuasaan kerajaan Hindu-Jawa mulai surut karena adanya
ekspansi Islam pada abad ke-15 melalui jalur perdagangan. Konflik antara para pedagang Islam dan bangsawan Hindu-Jawa mengakibatkan kemunduran
pusat-pusat kerajaan Hindu seperti Majapahit18.
Islam sudah masuk dan tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-12 dan abad ke-13. Masuknya Islam ke Indonesia tidak melalui jalan yang sama. Cerita mengenai orang suci dan para penyebar agama
Islam dan tanah asal usul mereka sangat beragam19. Kenyataan yang pasti adalah,
bahwa di Aceh, Sumatera Utara, para penguasa di beberapa kota pelabuhan penting sudah menganut Islam sejak paruh kedua abad ke-13. Pada masa itu, hegemoni politik di Jawa Timur masih dipegang oleh raja-raja beragama Hindu Syiwa dan Buddha di Kediri dan Singasari. Majapahit, yang berperan penting di abad ke-14, belum berdiri. Besar pula kemungkinan bahwa sudah ada orang-orang Islam yang menetap di Jawa pada abad ke-13. Penyebabnya adalah karena jalur perdagangan melalui pantai timur Sumatera melewati Laut Jawa menuju ke
15
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 22-23.
16
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 23.
17
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 21.
18
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 24.
19
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa,Grafiti Pers, Jakarta 1985, 18.
(35)
kepulauan rempah-rempah di Maluku20, Indonesia bagian timur, sudah sejak lama ditempuh. Para pelaut, baik yang beragama Islam atau pun tidak, singgah di
pusat-pusat permukiman di pantai utara Jawa21.
Bandar-bandar di sepanjang laut Jawa juga menarik perhatian para
pedagang karena tiga hal. Pertama, bandar-bandar di pantai utara Jawa
merupakan pangkalan. Mereka membeli beras dan air sebagai perbekalan untuk
berlayar selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan22. Kedua, bandar-bandar
di pantai utara Jawa telah menjadi tempat penimbunan dan penjualan rempah-rempah. Para pelayar dapat membeli rempah-rempah di bandar tersebut, jika mereka datang pada musim yang tepat. Perkawinan campur antara para pedagang dengan kaum bangsawan daerah, pegawai-pegawai raja, atau anggota keluarga
raja, dijadikan sebagai tanda jalinan relasi dan pendukung perdagangan23. Ketiga,
bandar-bandar laut tersebut juga menjadi tempat kedudukan para pengusaha dan pemilik kapal. Mereka menyediakan kapal-kapal laut untuk perdagangan dengan daerah seberang lautan. Usaha ini membutuhkan modal yang sangat besar. Maka, dibutuhkanlah kerja sama antara pedagang dari golongan masyarakat yang bermodal kuat. Dalam pelayaran yang dilakukan, ada orang yang berasal dari berbagai tempat dan bahasa yang ikut menyusuri pantai-pantai Asia Tenggara, Kepulauan Indonesia dan India. Karena keragaman inilah Islam cukup lambat
dalam melakukan perubahan-perubahan besar24.
20
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa,24.
21
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa,18-19.
22
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa,24.
23
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa,25.
24
(36)
Periode Islam-Jawa pada abad ke-15 sampai abad ke-17, menjadi periode transisi dan krisis kebudayaan. Krisis kebudayaan terjadi bukan hanya karena peperangan antara pedagang Islam dan bangsawan Hindu, tetapi juga antara
kalangan Islam sendiri25. Islam legalis dan Islam Jawa sinkretis-mistis saling
bertentangan26. Keduanya mempertimbangkan pengaruh profan dari seni
pertunjukan terhadap ajaran dan kehidupan religius mereka. Islam legalis cenderung menolak seni pertunjukan yang dapat mereduksi iman mereka. Sedangkan, Islam Jawa sinkretis-mistis menerima seni pertunjukan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Para Sufi Islam, seperti akan dijelaskan selanjutnya, mendukung adanya sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa. Contoh ini dapat dilihat dari digunakannya terbangan sebagai iringan pertunjukkan wayang dan
slawatan27.
Perpaduan antara ajaran Islam dan seni pertunjukan Jawa ini mengalami banyak perdebatan di dalam prosesnya. Ceritera wayang yang menggunakan
keluarga Muhammad sebagai tokohnya, melanggar ajaran agama Islam28. Iringan
musik terbangan pun tidak boleh dipergunakan sebagai iringan pertunjukan wayang. Sifat sakral dan profan tidak boleh dicampur-adukkan dalam suatu pertunjukan. Pertentangan antara tradisi lama dan baru menunjukkan perlunya para pemimpin agama Islam untuk merangkul tradisi lama demi perkembangan
dan penyebarluasan agama Islam29.
25
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 25.
26
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 31.
27
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33.
28
Serat Cabolek seperti dikutip dalam Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33.
29
(37)
Budaya Jawa memang memiliki keterbukaan dan toleransi terhadap budaya lain. Namun, hal ini juga tergantung dari kondisi sosial-politik yang mewarnai proses keterbukaan dan toleransi dalam penerimaan unsur-unsur baru tersebut. Kendati orang Jawa sudah berinteraksi selama dua abad dengan Islam, keraguan dalam eksperimen penggabungan dua musik dari masing-masing budaya tersebut,
tetaplah ada30.
Keberhasilan penyebaran agama dan musik Islam didukung oleh adanya Islam Sufi. Sufisme berkembang pada pertengahan abad ke-9 dan masuk ke
Indonesia melalui para pedagang Islam31. Sufisme adalah Islam mistik yang
hidupnya menekankan sikap asketik32. Mereka lebih menekankan: hal-hal batiniah
melebihi lahiriah, kontemplasi atas tindakan, pembinaan jiwa di atas interaksi
sosial, dan perkembangan spiritual di atas aturan hukum33. Manusia dan Yang
Transenden ada pada komunikasi langsung melalui intuisi dan pancaindera
spiritual dan emosional34.
Proses perkenalan dan diterimanya Islam mistik ini relatif tenang35. Para
pedagang Islam yang datang ke Indonesia, telah terlebih dahulu mengalami
kontak dengan Hinduisme di Gujarat, tempat asal mereka36. Keadaan ini
mempermudah proses mereka diterima oleh orang Jawa, karena
30
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 33.
31
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35.
32
John L. Esposito (eds.), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Mizan, Bandung 2001, 222.
33
John L. Esposito (eds.), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern,223.
34
J. Spencer Trimingham seperti dikutip dalam Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35.
35
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 35.
36
(38)
orang Jawa pun sudah mengalami kontak dengan Hinduisme dalam kurun waktu 11 abad sebelum Islam datang.
Para Sufi berpandangan bahwa musik memiliki arti yang esensial untuk kebersatuan dengan Allah dan kebaktian agama. Musik dapat mengantarkan mereka pada keadaan ekstase. Pendekatan emosional untuk mencapai pencerahan
agama (religious enlightenment), ditekankan. Alasan inilah yang menyebabkan
musik memiliki fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Islam37.
Pada akhirnya, mereka tidak hanya menerima musik terbangan sebagai musik yang dapat membantu dan memiliki peran dalam kehidupan religius mereka, tetapi juga musik gamelan Jawa. Para pemimpin Sufi juga melihat kepentingan dan peran dari seni pertunjukan yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa. Salah satu contohnya adalah acara doa mingguan Islam pada setiap
hari Jumat (Jumungahan) dan setiap hari kelahiran Pangeran Mangkunegara38.
Dzikir dan musik terbangan tampil bergantian dengan pertunjukan non-Islam39:
tari serimpi, tari bedhaya40, termasuk minum-minum dan judi41. Ritual yang
dilakukan di kraton mengembangkan hubungan yang erat antara budaya Islam dan
Jawa baik dalam konteks sekular maupun keagamaan42. Hiburan sekular dan
aktivitas keagamaan adat Islam dan Jawa hidup berdampingan dengan relatif tidak
bertentangan43.
37
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36.
38
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 36.
39
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37.
40
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 38.
41
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 39.
42
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, 37.
43
(39)
Rebab juga masuk seiring masuknya Islam ke Indonesia. Rebab adalah alat musik gesek khas daerah Timur Dekat yang berkembang pada abad ke-8. Orang Arab membawanya ke daerah timur sejauh Indonesia, Afrika Selatan dan
Spanyol44. Pada abad ke-15, rebab berkembang menjadi beberapa alat musik
dengan jumlah senar yang bervariasi mulai dari satu sampai lima senar45, dan
menjadi awal mula dari biola46.
Rebab dipertimbangkan sebagai alat musik pemimpin yang membawakan nada inti di dalam musik gamelan. Wilayah nada rebab seluas wilayah nada alur lagu gending. Rebab slendro berwilayah dua oktaf dan dua nada, sedangkan rebab
pelog berwilayah dua oktaf dan tiga nada47. Luas lagu gending juga tidak akan
melebihi luas wilayah nada rebab ini. Rebab dapat digunakan pada tangga nada
apapun, sesuai dengan kehendak para pemain rebab itu sendiri48. Karakter
suaranya yang vokal dan melodis membedakannya dari suara alat-alat ritmis
lain49, seperti bonang, slentem, kenong, demung, saron, dan peking. Pada
kebanyakan gending, rebab berperan sebagai pemimpin dengan membuka gending, menentukan laras, dan pathet gending yang akan dimainkan. Rebab juga
menuntun pergantian gending dari seksi yang satu ke seksi yang lain50.
44
Christine Ammer, The Facts of File Dictionary of Music, Facts on File, New York 2004, 333.
45
Michael Kennedy, The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press, Oxford 1980, 522.
46
Arthur Jacobs, The New Penguin Dictionary of Music, Penguin, London 1978.
47
Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, STSI, Surakarta 2002, 22.
48 “Nanging sajatosipun rebab punika kenging kangge raras punapa kemawon, miturut
sakajengipun ingkang ngrebab.”, R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating
Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, Agape, Sala 1990, 6.
49
Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, 23.
50
(40)
Hubungan Hindu dan Jawa tetap berlangsung melalui jalur perdagangan. Kebudayaan Hindu masih tetap dapat berjalan dan dihidupi karena Islam tidak serta merta dapat mengubah dan mempengaruhi budaya Hindu. Para penguasa Islam tampaknya telah mengenal budaya Hindu, karena mereka telah lama berada di bawah pengaruh budaya tersebut.
2.2 Sistem Tangga Nada Gamelan Jawa
Gamelan Jawa memiliki dua sistem tangga nada, yaitu slendro dan pelog. Asal mula kedua tangga nada tersebut tidak dapat dirunut lebih jauh, karena kurangnya data historis. Beberapa ahli mencoba untuk meneliti asal mula dua tangga nada tersebut, terutama melalui keterkaitannya dengan konteks zaman. Jawaban-jawaban mereka pun masih berupa hipotesis.
Kunst mengutip beberapa pendapat Raden Mas Surjaputra dan E. M. Von Hornbostel. Raden Mas Surjaputra berpandangan bahwa tangga nada pelog memiliki hubungan dengan tangga nada Hindustan, tapi pada lain waktu ia berpikir bahwa tangga nada ini adalah asli Jawa. Berdasarkan pemahaman umum yang diwarnai oleh mitos, tangga nada slendro adalah hadiah dari salah satu dewa Hindu. Tangga nada pelog merupakan hasil perubahan slendro yang dilakukan oleh tangan orang yang tidak sopan dan berani. Professor von Hornbostel, seorang
etnomusikolog Jerman51, berpendapat bahwa kedua tangga nada tersebut berasal
51 Hornbostel, “Music of the Orient”, Diakses dari
(41)
dari Cina, yang juga kemungkinan berasal dari tempat yang lebih jauh dan waktu
yang lebih lampau, yaitu dari Turki di Asia Tengah52.
Kunst menyatakan bahwa berdasar pada fakta historis yang dapat dilihat secara jelas, pelog datang lebih dahulu beberapa abad ke Jawa dan Bali dibandingkan dengan slendro. Pelog masuk ke Jawa melalui orang-orang Malay-Polinesian yang datang beberapa abad sebelum masehi. Perkembangan politik pun mendukung masuknya pelog ke Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali. Sedangkan, slendro masuk ke Jawa pada abad ke-8, saat dinasti Syailendra sedang berkuasa. Syailendra menurunkan namanya pada gamelan slendro. Kata Syailendra sama
dengan kata slendro53.
Sebaliknya, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tangga nada slendro lebih tua daripada pelog. Ia sendiri tidak memberikan keterangan lebih lanjut dari pendapatnya tersebut. Namun, ia mengungkapkan bahwa tangga nada yang paling tua adalah tangga nada Barang-miring. Tidak ada gamelan untuk tangga nada ini, karena pada zaman tangga nada ini digunakan, belum ada orang Jawa yang dapat
membuat gamelan. Mereka baru memiliki suling, gambang calung dan kendang54.
Slendro memang sempat menggantikan pelog kuno, tetapi penemuan-penemuan saat ini memastikan bahwa keduanya, slendro dan pelog, digunakan oleh orang Jawa. Sebagai contoh, slendro digunakan untuk mengiringi Wayang Purwa; sedangkan, pelog digunakan untuk seni-seni bernuansa pra-Hindu, atau
52
J. Kunst, The Music of Java, Koninklijke Vereeniging „Koloniaal Instituut‟, Amsterdam 1973,
2-3.
53
J. Kunst, The Music of Java, 2.
54
Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936, 52.
(42)
juga non-Hindu dengan upacara tertentu, beberapa bentuk tarian, dan dengan
wayang gedog yang menceritakan kisah Pandji yang asli berasal dari Jawa55.
Ada pula penjelasan mengenai asal mula terciptanya tangga nada slendro. Namun, penjelasan ini lebih bersifat legenda. Seperti legenda yang mengatakan, bahwa pada tahun 187 M, Sang Hyang Indra membuat suatu gamelan bernama Surendra, yang lama kelamaan berubah nama menjadi Salendro (slendro).
Gamelan ini memiliki lima instrumen, yaitu gendhing (rebab), kala (kendang),
sangka (gong), pamatut (kethuk), dan sauran (kenong)56. Lagu gendingnya masih
berasal dari sekar kawi atau tembang ageng, yang nadanya juga diikuti oleh rebab
bertangga nada slendro57.
Menurut Karl-Edmund Prier, SJ, ada kemungkinan bahwa tangga nada pelog merupakan tangga nada asli Jawa. Memang beberapa daerah di Indonesia, seperti Sumatera, Bali, dan Papua, juga memiliki tangga nada pentatonisnya. Sumatera pun sekali-sekali menggunakan tangga nada pelog dalam nyanyiannya. Namun tampaknya tangga nada pentatonis bernama pelog memang hanya ada di Jawa58.
Tangga nada pelog membutuhkan konsentrasi tinggi dan kesungguhan hati untuk menyanyikannya. Dalam suatu pengalaman lokakaryanya di Papua, Karl-Edmund Prier mengalami bahwa seseorang dapat mencapai tangga nada pelog dengan konsentrasi yang tinggi. Padahal, sebelumnya orang tersebut menyanyikan
55
J. Kunst, The Music of Java, 3.
56
R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, 5.
57
R. Ng. Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan Wedhapradangga (Serat Saking Gotek) Jilid I-IV, 6.
58
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, pukul 12.00 WIB, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
(43)
bertangga nada pentatonis: la-sol-mi-re-do-la, yang berubah menjadi do-si-so-fa-mi-do59.
Dari sisi ilmu melodi, tangga nada slendro dan pelog masuk dalam kategori tangga nada pentatonis modal, yaitu tangga nada lima nada yang memakai nada tertentu sebagai nada finalis. Tangga nada pentatonis dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tangga nada lima nada tanpa setengah laras dan tangga nada lima nada dengan setengah laras. Tangga nada slendro masuk dalam kategori tangga nada lima nada tanpa setengah laras, sedangkan pelog masuk dalam kategori
tangga nada lima nada dengan setengah laras60.
2.2.1 Tangga Nada Slendro61
Satu oktaf terdiri dari 1200 cent. Dalam musik Barat, 1200 cent ini dibagi dalam 12 kali setengah nada (sekon kecil). Setiap sekon kecil memiliki jarak 100
cent. Nada-nada kromatik pun tersusun: C – Cis – D – Dis – E – F – Fis – G – Gis
– A – Ais – B – C62.
Dalam gamelan slendro, satu oktaf dibagi dalam lima interval yang sama besar, yaitu 240 cent. Nada ji dan ro berjarak 240 cent; nada ro dan lu berjarak
59
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
60
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1979, 82-83.
61
Teori ini berdasarkan pada wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
62
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
(44)
240 cent; nada lu dan ma berjarak 240 cent; nada ma dan nem berjarak 240 cent; nada nem dan ji berjarak 240 cent. Masing-masing nada pun memiliki interval yang lebih besar satu nada dibandingkan dengan nada kromatik musik barat, maka tidak mungkin dibunyikan pada piano atau organ.
Berikut ini adalah skala interval tangga nada slendro:
Nada : ji ro lu ma nem ji
Jarak (cent) : 240 240 240 240 240
Gambar 2.1: Tangga nada slendro
Kendati teori menyatakan bahwa setiap sekon memiliki besar interval yang sama, kenyataan membuktikan, bahwa terdapat berbagai jenis interval slendro. Karl-Edmund Prier mengungkapkan, bahwa paling tidak ada dua macam slendro:
1. Tangga nada slendro misalnya dengan interval
Nada : ji ro lu ma nem ji
Jarak (cent): 235 245 235 235 245
Gambar 2.2: Interval pertama tangga nada slendro
Ada interval yang lebih kecil, yaitu 235 cent; dan, ada interval yang lebih besar, yaitu 245 cent. Bunyinya pun mirip dengan sol-la-do-re-mi-sol.
2. Tangga nada slendro misalnya dengan interval
Nada : ji ro lu ma nem ji
Jarak (cent): 245 235 235 245 235
(45)
Maka, bunyinya mirip dengan la-do-re-mi-sol-la.
Tangga nada slendro memiliki tiga pathet. Pathet adalah suatu sistem yang mengatur tugas-tugas nada di dalam suatu lagu. Ada nada yang berperan penyalur
atas, maupun penyalur bawah63. Sistem pathet sama dengan sistem modal yang
memuat modus-modus (modi), yaitu dengan mengunakan nada tertentu sebagai
nada finalis atau tujuan.
Tiga pathet tersebut adalah sebagai berikut:
1. Slendro pathet sanga, dengan nada finalis 5, bertangga nada:
mo-nem-ji-ro-lu-ma. Contoh: Mangga-mangga Sesarengan (KA. 161), Mugi
Gusti Kersaa Nampi (KA. 210), Pralambang Kraton Swarga (KA.
418), Kidung Para Suci (KA. 445), dan Ing Dalu Punika (KA. 450).
2. Slendro pathet nem, dengan nada finalis 2, bertangga nada:
ro-lu-mo-nem-ji-ro. Contoh: Suci (KA. 222), Sembah Nuwun (KA. 246).
3. Slendro pathet manyura, dengan nada finalis 6, bertangga nada:
nem-ji-ro-lu-ma-nem. Contoh: Paring Padhang (KA. 197), Sembah Nuwun
(KA. 257), Mendah Kita Tanpa Panuwun (KA. 391), O Tyas Dalem
Lir Samudra (KA. 408).
Sebetulnya masih ada dua pathet slendro, tetapi hanya ada tiga yang
terkenal. Dua pathet tersebut masing-masing bertonika nada 1 dan 364.
63
M. Siswanto, Tuntunan Karawitan I, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 2011, 26.
64
(46)
2.2.2 Tangga Nada Pelog65
Tangga nada pelog termasuk dalam tangga nada hemitonis/ dengan setengah nada, yang terdiri dari lima nada. Interval tangga nada ini tersusun atas terts besar dan sekon kecil, misalnya do-mi-fa; sol-si-do. Keunikan susunan nada pada saron adalah bahwa terdapat tujuh nada yang memungkinkannya untuk dapat dipakai dalam tiga pathet yang berlainan. Sepintas memang tampak bahwa tangga nada ini memiliki tujuh nada, tapi pada kenyataannya nada heptatonik ini adalah suatu kumpulan nada pentatonis biasa. Ketujuh nada tersebut tidak dipakai sekaligus
dalam satu permainan66.
Tangga nada pelog memiliki tiga pathet:
1. Pelog pathet nem, dengan nada pangkal 6, bertangga nada: ji-ro-lu-ma-nem-ji. Modus ini tidak memiliki nada pat dan pi.
Nada : ji ro lu ma nem ji
Jarak (cent): ±125 175 ±375 125 375
Gambar 2.4 : Pelog pathet nem
Nada ji-ro berinterval sekon kecil (125 cent), ro-lu berinterval sekon (175 cent), lu-ma berinterval terts besar (375 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-ji berinterval terts besar
65
Teori ini berdasarkan pada wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi, Kota Baru, Yogyakarta.
66
Wawancara dengan Karl-Edmund Prier, SJ, pada hari Rabu, 17 Oktober 2012, di Pusat Musik Liturgi; lihat pula J. Kunst, The Music of Java,3.
(47)
(375 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut
berbunyi kurang lebih: D-Es-F-A-Bes-D‟, atau mi-fa-sol-si-do-mi.
Contoh lagu dari tangga nada ini: Memujia Pangeran (KA. 156),
Andher Pra Abdi (KA. 158), Klawan Sukeng Wardaya (KA. 206), Amba Asih Mring Pangeran (KA. 240), O Sakramen Maha Suci (KA.
245), Dak Sawang Mareming Ati (KA. 254), Magnificat (KA. 255).
2. Pelog pathet barang, dengan nada pangkal 3, bertangga nada: ro-lu-ma-nem-pi-ro. Modus ini tidak memiliki nada ji dan pat.
Nada : ro lu ma nem pi
Jarak (cent): 125 375 125 175
Gambar 2.5 : Pelog pathet barang
Nada ro-lu berinterval sekon kecil (125 cent), lu-ma berinterval terts besar (375 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-pi berinterval sekon (175 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut berbunyi kurang lebih: Es/E-F-As/A-Bes-C‟, atau si-do-mi-fa-sol. Contoh lagu dari tangga nada ini: Bumi Horeg (KA. 356), Cempeku Paskahan (KA. 357), Cempe Paskah
(48)
3. Pelog pathet lima, dengan nada pangkal 5, bertangga nada: ji-ro-pat-ma-nem-ji. Modus ini tidak memiliki nada lu dan pi.
Nada : ji ro pat ma nem ji
Jarak (cent): ±125 ±375 175 125 375
Gambar 2.6: Pelog pathet lima
Nada ji-ro berinterval sekon kecil (125 cent), ro-pat berinterval terts besar (375 cent), pat-ma berinterval sekon (175 cent), ma-nem berinterval sekon kecil (125 cent), dan nem-ji berinterval terts besar (375 cent). Dalam gamelan dengan nada nem=Bes, nada-nada tersebut
berbunyi kurang lebih: D-Es-G-As/A-Bes-D‟, atau mi-fa-sol-si-do-mi.
Contoh lagu untuk tangga nada ini: Para Kadang Galilea (KA. 368),
Allah Minggah (KA. 369), Kawula Aturi (KA. 376).
Menurut Karl-Edmund Prier, keunikan dari tangga nada pelog adalah nada ro yang menjadi nada kompromi. Dalam pathet nem nada ro ditafsirkan sebagai fa (ro rendah), dan dalam pathet barang ditafsirkan sebagai si (ro tinggi). Sedangkan nada ma dalam pathet nem ditafsirkan sebagai si (ma tinggi), dan dalam pathet lima ditafsirkan sebagai fa (ma rendah).
(49)
2.3 Bentuk Gending pada Umumnya
Dalam karawitan, bentuk gending dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu gending dalam arti balungan dasar gending dan tembang atau nyanyian. Balungan adalah kerangka lagu gending yang dimainkan menggunakan instrumen
gamelan. Kata balungan berasal dari kata balung dalam bahasa Jawa, yang berarti
tulang atau kerangka. Balungan sendiri dapat digunakan dalam dua arti, yaitu sebagai kerangka lagu pokok gending dan sebagai kelompok instrumen tertentu (saron, demung, dan slentem) di dalam gamelan yang khusus memainkan
nada-nada inti67. Sedangkan istilah tembang didefinisikan sebagai musik vokal, suatu
karya sastra yang harus dilagukan dalam penyajiannya68.
2.3.1 Jenis-jenis Tembang
Tembang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu:
2.3.1.1 Tembang Macapat atau Alit
Tembang Macapat atau Alit adalah tembang yang biasa digunakan untuk
membaca buku dan juga sebagai gerongan (dibawakan dalam paduan suara
67
R. L. Martopangrawit seperti dikutip dalam Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif, 13.
68
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, STSI Press, Surakarta 2006, 45.
(50)
dengan irama yang metris) dengan menggunakan bahasa Jawa baru69.
Tembang-tembang macapat terdiri dari: Dandanggula, Mijil, Asmaradana, Sinom, Pangkur,
Durma, Kianti, dan Pucung70. Dalam perkembangannya, beberapa tembang
tengahan pun masuk dalam kelompok tembang ini, yaitu Gambuh, Megatruh atau
Duduwuluh, Balabak, Wirangrong, dan Jurudemung. Tembang ageng yang masuk
dalam kelompok ini adalah Girisa71.
Setiap tembang macapat diatur dalam ketentuan gurulagu (jatuhnya bunyi
akhir pada tiap baris), guruwilangan (jumlah suku kata pada tiap baris), dan
gurugatra (jumlah baris pada tiap bait). Aturan ini bersifat tetap dan ketat, kendati
tembang ini dinyanyikan dengan cengkok atau lagu yang berbeda-beda.
Masing-masing tembang macapat memiliki lebih dari satu cengkok72.
Berikut ini adalah contoh syair Sinom73:
Pawarta Kratoning swarga Mangsa cacawis mring Gusti Bakal rawuh paring warta Kratoning Allah wus prapti King Yoanes Pambaptis Pawarta ing ngrara samun Jroning tlatah Yudhea Martobata sira aglis
Mrih widada ing tembene bagya mulya.
69
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 47.
70
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu, Sadubudi, Solo 1957, 38.
71
J. Kunst seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 46.
72
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 46-47.
73 Diambil dari “II. Pawarta Bab Kratoning Swarga: A. Mangsa Cacawis: Gusti Bakal Rawuh
Martakake Kratoning Allah” dalam G. P. Sindhunata, SJ dan Ag. Suwandi, Injil Papat: Piwulang Sang Guru Sejati Ing Tembang Macapat, Boekoe Tjap Petroek, Yogyakarta 2008, 67.
(51)
2.3.1.2 Tembang Tengahan atau Madya
Tembang Tengahan atau Madya adalah tembang yang banyak dipergunakan
sebagai bawa, untuk memulai suatu gending. Tembang ini menggunakan bahasa
Jawa tengahan dengan diatur dalam ketentuan tembang yang sama seperti
tembang macapat74. Contoh dari tembang jenis ini adalah Kuswarini,
Kuswawirangrong, Jurudemung, Blabak, Pamiwalkung, Lontang, Girisaja, Megatruh, Dudukwuluh, Maskumambang, Kelingan, Pamungu, Raradenok, Onanganing, dan Kalajaran75.
Berikut ini adalah contoh tembang Megatruh76:
Sigra milir
Sang getek sinangga bajul Kawan dasa kang jageni
Ing ngarsa miwang ing pungkur Tanapi ing kanan kering
Kang getek lampahnya alon.
2.3.1.3 Tembang Gedhe atau Ageng
Tembang Gedhe atau Ageng adalah tembang yang digunakan sebagai bawa
atau suluk dalam pedalangan. Tembang ini adalah jenis tembang yang tertua dan
masih menggunakan bahasa Jawa Kawi atau Jawa Kuna. Secara ketat, jenis
74
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 47.
75
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu,34-37.
76
Gending Ketawang Megatruh, dari M. Siswanto, dkk., Gending-gending Beksan II Ketawang,
(52)
tembang ini diatur dalam ketentuan dalam satu bait (sapadeswara) terdiri dari 4
baris (padapala); satu bait dibagi menjadi dua, masing-masing terdiri dari dua
baris yang disebut sapadadirga; jumlah suku kata dalam tiap baris disebut
salampah/ salaku, dan paling sedikit terdiri dari lima suku kata (lampah 5);
menggunakan pedhotan, khususnya bagi tembang ageng yang berlampah tujuh
atau lebih77. Contoh dari jenis tembang ini adalah Citramengeng78, Sikarini,
Bangsapatra79, Citrarini dan Madayanti80. Berikut ini adalah syair tembang Citrarini yang diciptakan oleh KRT Madukusuma81:
Langen pradangga, ngesti lebdeng pra siswa Mardi mardawa kagunan karkarena
Mung haywa kemba miwah mengeng ing karna Antep ing sedya lir parta mangsah yuda.
2.3.1.4 Tembang Dolanan
Istilah tembang dolanan pada awalnya digunakan untuk menyebut jenis tembang permainan anak. Namun pada perkembangannya, istilah ini pun digunakan untuk menyebut tembang-tembang hasil kreasi baru dan digunakan
untuk membedakannya dengan tembang-tembang klasik yang adi luhung82.
77
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 47.
78
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu,22.
79
R. Ng. Ranggawarsita, Mardawalagu,26.
80
Purwadi, dkk., Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Bina Media, Yogyakarta 2005, 528.
81
Purwadi, dkk., Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, 528.
82
Rahayu Supanggah seperti dikutip dalam Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 48.
(53)
Beberapa tembang dolanan karya C. Hardjasoebrata yang cukup populer adalah Sinten Nunggang Sepur, Sapa Munggah Gunung, Kupu Kuwe, Go Jago, Bagong Ngamuk83, Kursi Jebol, Adiku, Omahku, Buta Cakil Untu Telu, Kathok Putih, Palang Sepur84. Berikut ini adalah contoh syair tembang Omahku85:
Kowe tak kandhani prenahe omahku Nurut dalan iki ana omah jejer telu Latar jembar gilar-gilar
Omah gedhong anyar lawang kaca nganggo gambar Sing wetan cete ijo, sing kulon cete kuning.
Sing tengah campuran ijo royo-royo sulak kuning Aja wedi-wedi kowe ndang mlebua wae,
Nanging aja gedhong kuwi, omahku presis mburine.
2.3.1.5 Beberapa Jenis Tembang Lain
Sindhenan adalah tembang yang dinyanyikan secara tunggal oleh seorang pesinden atau waranggana. Sulukan adalah tembang yang dinyanyikan oleh
dalang pada awal atau akhir suatu gending, atau di tengah-tengah pocapan dengan
tujuan untuk menciptakan suatu suasana tertentu yang diharapkan. Sebagai
contoh, tlutur digunakan untuk menciptakan suasana prihatin dan sedih, kawin
digunakan untuk menciptakan suasana bersemangat, dan ada-ada digunakan
83
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 66.
84
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 85.
85
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 85.
(54)
untuk suasana tegang atau marah. Laras dan pathet sulukan disamakan dengan
laras dan pathet gending yang akan atau sudah dimainkan86.
2.3.2 Jenis-jenis Gending
Ada berbagai macam perbedaan jenis-jenis gending menurut para ahli. Hal
ini lebih disebabkan karena perbedaan persepsi mengenai definisi kata ageng,
tengahan dan alit. Mereka tetap menggunakan ketiga kriteria ukuran tersebut dengan penerapan yang agak berbeda.
Ki Hajar Dewantara membagi gending dalam tiga kelompok, yaitu alit,
tengahan, dan ageng. Gending yang termasuk dalam kelompok gending alit
adalah Ketawang, Ladrang, Gangsaran, Tropongan, dan Bibaran. Kecuali bentuk
tersebut, gending alit lain memiliki pola tabuhan instrumen struktural yang
berbeda, yaitu Sampak, Playon, Srepegan, Ayak-ayak dan Prenesan. Gending
tengahan terdiri dari gending-gending dengan pola kendang Candra, Sarayuda, Gandrung-gandrung, dan Lahela. Beberapa lagu yang termasuk kategori gending ageng adalah gending-gending dengan pola kendang Mawur, Jangga, Semang87.
86
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 48-49.
87
Ki Hadjar Dewantara- M. Ng. Najawirangka, Kawruh Gending Djawa¸ Sadubudi, Solo 1936, 50-51.
(55)
Berikut ini adalah contoh-contoh balungan88:
1. Gending ketawang
Gambar 2.7 : Ketawang O Sang Sinuci (KA 431)
2. Gending ladrang
Gambar 2.8: Ladrang Dhuh Sang Sekar (KA 434)
3. Gending lancaran
Gambar 2.9: Lancaran Rawuha Roh Kang Suci (KA 378)
88
(56)
Penggolongan gending dengan menyebutkan ketuk kerep atau awis, sebenarnya kurang begitu umum digunakan di Yogyakarta, yang biasa menyebut gending hanya dengan menyebutkan jenis kendangannya saja. Kendati demikian,
penyebutan ketuk kerep atau awis ini dirasa baik karena membantu para pemain
untuk segera mengetahui bentuk dan cara memainkan gending tersebut89.
Pengertian ketuk kerep adalah pukulan ketuk yang dilakukan setiap 8
tabuhan balungan atau 2 gatra dimulai dari gatra pertama setelah gong. Sedangkan
ketuk awis adalah pukulan ketuk yang dilakukan setiap 16 tabuhan balungan atau
4 gatra, dimulai dari gatra kedua setelah gong.90
Ketuk kerep (tanda + adalah bunyi ketuk):
Gambar 2.10: Skema ketuk kerep
Ketuk awis:
Gambar 2.11: Skema ketuk awis
89
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 54.
90
Subuh, Gamelan Jawa Inkulturasi Musik Gereja: Studi Kasus Gending-gending Karya C. Hardjasoebrata, 55.
(57)
2.4 Perbandingan Musik Barat dan Timur
Musik Barat umumnya harmonis dengan tonalitas mayor dan minor sebagai
nada pusat91. Nada-nada dan akor-akor dibentuk berdasar pada kedua tonalitas ini,
dengan adanya suatu perpaduan antara keselarasan dan ketegangan. Permainan akor menjadi dominan, dan lompatan-lompatan nada yang besar dimungkinkan
sejauh memiliki hubungan dengan akornya92.
Musik Barat sangatlah dinamis93 dan memiliki suatu bentuk yang siklis
dengan mengandalkan pengulangan-pengulangan94. Variasi di dalam pengulangan
menunjukkan adanya gerak dinamis di dalam siklus tersebut. Sebagai contoh, sonata memiliki suatu alur yang tetap. Di bagian awal, tema disajikan sebagai perkenalan, tanpa suatu pengembangan apapun. Tema ini menjadi suatu garis besar yang akan dikembangkan di dalam lagu. Selanjutnya tema tersebut dikembangkan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan diberi motif, modulasi, dan perubahan ritme. Pada akhir sonata, disajikanlah suatu bentuk kesimpulan berupa tema awal dengan segala perkembangannya. Selain itu, musik Barat ditulis dalam notasi balok yang memastikan nada.
Gaya homofon menjadi bentuk yang banyak dipakai dalam musik Barat sejak abad ke-17. Perpaduan nada secara vertikal atau akor sangatlah penting untuk menunjukkan suatu kekompakan. Gaya polifon memang digunakan, namun tetap perlu menjaga kecocokan nada dengan memperhatikan perpaduan vertikal
91
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 83.
92
Karl-Edmund Prier, SJ., Ilmu Harmoni, 84.
93
J. Kunst, The Music of Java, 1.
94
(1)
Pak Budi : Diatonisnya intervalnya tetep diatonis. Lagu-lagu saya diatonis terus. Tapi nuansannya diatonis itu tak nuansa pentatonis. Ha... pentatonis pelog itu re dan la hilang, misalnya. Ha re dan la tak ilangin aja, tapi kan intervalnya diatonis kan tetep. Cuma nada re sama la saja sing tak hilangin. Yang lain tak pake. Cuma itu. Haa... itu. Tapi itu kalo kalo misalnya diii.. mau jadi diatonise tus, pentatonise tus. Lah itu sebetulnya dua dunia itu kalo dicampur ya ndak isa kok mas. Itu ndak isa itu, diatonis sama pentatonis itu dicampur itu ndak bisa. Kalo diukur intervale itu ya mesti geseh. Mesthi ngalor ngidul. Air sama... he’eh
Rony : Selisih?
Pak Budi : He eh. Tapi karena itu suasanane dipentatoniske, ya nyatanya ya kok bisa diterima, bisa sejalan. Sejalan.
Rony : Kayaknya segitu dulu, pak..hehehehe....
Pak Budi : Njih. Pokokke setiap saat, saya bantu, saya bantu. Sini saya kerep kok. Kemarin itu orang dari... eee.... orangnya itu diii...
-selesai-
(2)
LAMPIRAN 5
DAFTAR PERTANYAAN
1. Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan inkulturasi (musik liturgi)? 2. Bagaimana pendapat Anda tentang musik gamelan Jawa yang digunakan
dalam liturgi Gereja?
3. Menurut pengalaman Anda, bagaimana hubungan antara budaya Jawa dan musik Gereja?
4. Melihat fenomena yang ada, mengapa tangga nada pelog banyak digunakan dalam lagu-lagu liturgi? (fungsi, makna)
5. Bagaimana gending Gereja (bertangga nada pelog) dapat membantu umat dalam berdoa/berliturgi?
(3)
vii
ABSTRAK
Masyarakat Jawa memiliki kekayaan budaya dalam bentuk musik gamelan Jawa dengan segala instrumen dan bentuk gendingnya. Kekayaan budaya Jawa ini dipandang oleh Gereja sebagai peluang untuk pewartaan Injil dan ungkapan iman umat kepada Allah. Gereja secara positif memandang kebudayaan setempat, serta
“memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi pelbagai suku dan
bangsa” (SC 37) tersebut. Keterbukaan dari Gereja dan budaya Jawa ini, mendorong adanya inkulturasi demi pewartaan Injil kepada umat Jawa.
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah peran dan makna tangga nada pelog di dalam liturgi. Fakta menunjukkan bahwa tangga nada pelog mendapatkan proporsi yang lebih banyak di dalam buku Kidung Adi mulai dari gending-gending perintis ciptaan C. Hardjasoebrata pada tahun 1926 sampai sekarang. Pertanyaan dasarnya adalah mengapa tangga nada pelog digunakan di dalam liturgi? Bagaimana nyanyian-nyanyian dengan tangga nada pelog ini dapat membantu umat beriman dalam menghayati Misteri Paskah, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus? Bagaimana tangga nada pelog dapat menjadi dasar untuk nyanyian proprium maupun ordinarium, bahkan aklamasi dan lagu prefasi?
Metode penulisan yang digunakan penulis adalah studi pustaka dan wawancara. Buku-buku yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan musik gamelan Jawa, kebudayaan Jawa, liturgi secara umum, teologi inkulturasi, inkulturasi musik liturgi, dan dokumen-dokumen Gereja mengenai musik liturgi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah para pencipta gending Gereja. Analisis peran dan makna tangga nada pelog dalam liturgi akan ditempuh melalui analisis gending-gending Gereja bertangga nada pelog terutama yang terdapat dalam buku Kidung Adi, apakah cocok dengan teori-teori teologi inkulturasi dan dokumen-dokumen Gereja.
Tangga nada pelog secara struktur memilki intonasi yang tidak sembarangan. Butuh konsentrasi dalam menyanyikannya. Konsentrasi, pencarian dan kerinduan manusia kepada Allah, serupa dengan proses menyanyikan tangga
(4)
viii
nada pelog. Konsentrasi dalam menyanyikan tangga nada pelog membantu umat untuk berkonsentrasi dalam menanggapi pewahyuan Allah melalui liturgi. Mencari Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain.
Gending Gereja mendorong umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam liturgi (bdk. SC 14). Umat dapat mengetahui dan mengerti apa yang mereka ungkapkan lewat lagu, karena lagu tersebut sesuai dengan cita rasa Jawa. Mereka dapat mengetahui dan mengerti apa yang terungkap dan diungkapkan melalui gending Gereja. Kerja sama dalam menyanyikan gending dan memainkan gamelan juga mencerminkan kebersamaan dan partisipasi umat di dalam liturgi.
Gending Gereja semakin memperjelas Misteri Kristus. Syair gending Gereja dapat memperjelas misteri yang sedang dirayakan, karena dikarang dan diolah dengan bersumber pada Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi. Melodinya pun menggunakan tangga pelog yang, selain membutuhkan konsentrasi dalam menyanyikannya, dapat diolah menjadi gending-gending Gereja dengan berbagai macam suasana.
(5)
ix
ABSTRACT
Java has a rich cultural wealth in the form of Javanese gamelan music, with all its musical instruments and gendings. The Church has a look at this cultural wealth as an opportunity for evangelization and expression of faith for the people of God. The Church looks at the local culture positively, “to respect and foster the
genius and talents of the various races and peoples” (SC 37). The openness of
both sides, the Church and Javanese culture, encourages inculturation for the evangelization to the Javanese peoples.
The concern to be addressed in this essay is the role and meaning of pelog scales in the liturgy. The evidences suggest that the pelog scales get more proportion in the Kidung Adi and in sacred gendings created by C. Hardjasoebrata. Basically the question is why pelog scales are used in the liturgy? How do the songs based on pelog scales can help the faithful in living the Paschal Mystery: the passion, death and resurrection of Christ? The method used by the author is the study of literature and interviews. The author uses books dealing with Javanese gamelan music, Javanese culture, liturgy in general, inculturation theology, liturgical inculturation music, and church documents regarding liturgical music. People who will be interviewed are the composers of sacred gendings. Analysis of the role and meaning of pelog scales in the liturgy will be pursued through analysis of the sacred gendings based on pelog scales which were matched with the theories of inculturation theology and church documents.
Pelog scales need special attention in intonation. It takes concentration when singing this scales. Concentration, searching, and longing of man to God, are similar to the process in singing pelog scales. Concentration in singing the pelog scales helps the singers to concentrate on responding to God’s revelation through liturgy. Finding God in unity with others.
The sacred gendings encourage the faithful to participate fully, consciously and actively in liturgy (cf. SC 14). People can know and understand what they express through the songs, for the songs are in accordance with the Javanese
(6)
x
culture. Javanese people can know and understand what is revealed and expressed through the sacred gendings. Team working in singing the gendings and playing the gamelan also reflects togetherness and participation of the faithful in the liturgy.
The sacred gendings clarify Christ’s Mistery. The texts of the sacred gendings clarify the mistery, because they are composed based on the Scipture and liturgical sources. The melodies based on pelog scales, require contrentration in singing, the pelog scales can generate various moods.