BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Oktober 2011 di Laboratorium Struktur dan Perkembangan Hewan Departemen Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, mikrotom rotary, mikroskop, hotplate, blender, panci, beaker glass pyrex 1000 ml, freezer, inkubator, timbangan,
jarum suntik York 1cc dan 3 ml, tube, jarum gavage, gelas ukur pyrex 500 ml, kaca arloji, botol balsem, bak bedah, dissecting set, jarum pentul, objek glas, cover glas,
micrometer, kuas, skapel, chamber, camera digital.
Bahan yang digunakan adalah biji Carica papaya L., aquades, aqua bidestilata steril 500ml, mencit jantan Mus musculus L., Testosteron Undekanoat TU buatan
Schering AG Jerman, Coeleum ricini, pewarna hematoxylin-eosin, canada balsem, xylol, larutan bouin asam pikrat, formalin 4, asam asetat glasial, NaCl 0,9,
alkohol 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 96, dan alkohol absolut, aluminium foil, kertas label, kertas millimeter blok, kertas saring.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1
Hewan Percobaan
Penelitian ini menggunakan mencit Mus musculus L. jantan yang sehat dan fertil serta berumur 8-11 minggu dengan berat 24-26 g sebanyak 50 ekor, mencit tersebut
diperoleh dari Balai Penyidikan Penyakit Hewan Sumatera Utara Medan dan dibagi dalam kelompok perlakuan dan kontrol. Mencit diberi makan dan minum secara ad-
libitum Smith Mangkoewidjojo, 1988. Kandang mencit dijaga kebersihannya dan kenyamanannya. Penanganan hewan percobaan sesuai dengan persyaratan kode etik
Universitas Sumatera Utara
yang berlaku. Diantaranya penanganan dengan penuh kasih sayang, pemberian makanan yang cukup gizi dan sehat serta memperhatikan kebersihan kandangnya.
Sebelum penelitian dilakukan diajukan permohonan untuk mendapatkan ethical clearance ke Komisi Etik Penelitian Hewan di Wilayah Sumatera Utara Medan.
3.3.2 Metode Penelitian
Model rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap RAL yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5 kontrol. Pada Kontrol, K0 sampai K4
merupakan kontrol dari masing-masing perlakuan dengan jumlah mencit masing- masing 5 ekor. Pada Perlakuan, P0 sampai P4 merupakan penyuntikan TU interval 6
minggu dan pemberian ekstrak air biji pepaya 30 mg0,5 mlekormencit jantan setiap hari secara oral.
Tabel 3.1. Rancangan Penelitian Minggu Perlakuan
6 12
18 24
K.Kontrol K0 n=5
K1 n=5 K2 n=5
K3 n=5 K4 n=5
K.Perlakuan P0 n=5
P1 n=5 P2 n=5
P3 n=5 P4 n=5
Keterangan: K= kontrol, P= perlakuan dan n= ulangan 3.3.3 Pembuatan Ekstrak Air Biji Pepaya
Pembuatan ekstrak air biji pepaya dilakukan berdasarkan penelitian terdahulu menurut
Ilyas 2001. Ekstrak air biji pepaya disiapkan dengan mengumpulkan buah pepaya yang telah masak yang berasal dari Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan
Tuntungan Komplek Adam Malik Kota Madya Medan, Sumatera Utara. Biji pepaya diambil lalu dicuci, dan dikeringkan dengan inkubator dengan suhu 50
o
C ± 3 hari. Biji yang telah kering dimasukkan kedalam blender lalu dihaluskan hingga diperoleh 30 g
bubuk halus biji pepaya. 30 g bubuk yang telah halus kemudian di masukkan ke dalam bejana yang telah di isi air, selanjutnya dilakukan perebusan hingga mendidih dengan
suhu 90 C, setelah mendidih hasil rebusan disaring dengan kertas saring hingga
diperoleh hasil dan residu. Residu yang diperoleh di rebus kembali, hingga diperoleh hasil dan residunya lagi, begitu seterusnya sampai residu tidak dapat dipergunakan
kembali. Hasil rebusan dipanaskan hingga diperoleh rendaimen. Rendaimen yang dihasilkan kemudian dilarutkan kembali dengan aquabidestilata steril 500 ml sesuai
dengan kebutuhan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
3.3.3 Uji Skrinning Fitokimia Biji Pepaya
Uji skrinning fitokimia biji pepaya yang akan dilakukan meliputi pemeriksaan kandungan senyawa flavanoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Pemeriksaan senyawa
ini sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan oleh Harborne 1987 yaitu: a. Uji Flavanoid
Biji pepaya yang telah dibersihkandicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol.
Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan dimasukkkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi FeCl
3
, tabung II ditetesi MgHCl, tabung III ditetesi H
2
SO
4p
dan tabung IV ditetesi NaOH 10, masing-masing sebanyak 3-5 tetes. Warna merah atau jingga merupakan hasil positif
adanya senyawa flavonoid b. Uji Alkaloid
Biji pepaya yang telah dibersihkandicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml methanol.
Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan dimasukkkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi pereaksi Meyer, tabung
II ditetesi pereaksi Wagner, tabung III ditetesi pereaksi Bouchard dan tabung IV ditetesi pereaksi Dragendorf, masing-masing sebanyak 3-5 tetes. Terbentuknya
endapan putih keruh merupakan hasil positif adanya senyawa alkaloid. c. Uji Steroid
Biji pepaya yang telah dibersihkandicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml n-heksan.
Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan dimasukkkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO
4
1, tabung II ditetesi reagen Salkowsky H
2
SO
4 p,
tabung III ditetesi Libermen-Bouchard, masing- masing sebanyak 3-5 tetes. Warna hijau kebiruan merupakan hasil uji positif.
Universitas Sumatera Utara
d. Uji Terpenoid Biji pepaya yang telah dibersihkandicuci kemudian dikeringkan lalu dihaluskan
sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100 ml kloroform. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang dihasilkan
dimasukkkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO
4
1, tabung II ditetesi reagen Salkowsky H
2
SO
4 p,
tabung III ditetesi Libermen-Bouchard, masing- masing sebanyak 3-5 tetes. Warna cincin kecoklatan merupakan hasil positif.
3.3.4 Pemberian Kombinasi Testosteron Undekanoat TU dan Ekstrak Air Biji
Pepaya Carica papaya L.
Pemberian dosis testosteron undekanoat pada manusia disesuaikan dengan pemberian dosis pada manusia. Perbandingan berat relawan 50 kg=50.000 g dengan mencit
adalah 25 g adalah 2000:1. Pada uji klinik digunakan 500 mg TU, maka dosis penyuntikan pada tiap ekor mencit adalah 12000x500 mg TU = 0,25 mg TU
Moeloek et al., 2004; Ilyas, 2007. Sedangkan ekstrak air biji pepaya 30 mg0,5 mlharimencit jantan Ilyas, 2001. Interval waktu injeksi intramuskular TU 6 minggu
dan pencekokan ekstrak air biji pepaya setiap hari. Kondisi penelitian terdiri dari lima
5 bagian perlakuan dan kontrol.
Perlakuan penyuntikan TU dan pemberian ekstrak air biji pepaya secara oral ditampilkan dalam bentuk skema pada Gambar 3.1 berikut
`
Gambar 3.1. Jadwal Kegiatan Pemberian TU+Ekstrak Air Biji Pepaya selama 24
minggu.
Injeksi TU 0,25 mgekormencit jantan interval 6 minggu Perlakuan Minggu ke
6 12
18 24
Pemberian ekstrak air biji pepaya 30 mg0,5 mlekormencit jantan setiap hari
6 12
18 24
Kontrol Minggu ke
Universitas Sumatera Utara
Catatan: Dosis ekstrak air biji pepaya didasarkan pada dosis optimum penelitian Ilyas
2001 yakni 30 mg0,5 mlharimencit. Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus Federer 1963 t-1 n-1
≥ 15, dimana t = jumlah perlakuan, dan n = jumlah ulangan. Jumlah perlakuan dalam penelitian ini adalah 5 sehingga didapatkan ulangan
sebanyak 5 kali. Penggunaan dosis TU didasarkan pada penelitian sebelumnya yang merekomendasikan pemakaiannya yakni 0,25 mgmencit jantan6 minggu Moeloek et
al., 2008; Ilyas, 2007.
3.3.5 Pembuatan Preparat Histologis Ginjal Dengan Metode Parafin Urutan-urutan kerja pembuatan sediaan irisan dengan metode parafin berdasarkan
Suntoro Handari 1983 sebagai berikut: a. Fiksasi; setelah mencit Mus musculus L. didislokasi dan di bedah, diambil organ
ginjal kemudian dicuci dengan larutan NaCl 0,9, lalu difiksasi dengan menggunakan larutan bouin selama 1 malam.
b. Pencucian washing; setelah ginjal difiksasi, dilakukan pencucian dengan menggunakan alkohol 70 yang berguna untuk menghilangkan larutan fiksasi dari
jaringan. c. Dehidrasi; langkah ini dilakukan setelah proeses pencucian selesai, dengan
menggunakan alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 96, dan alkohol absolut. Botol yang berisi ginjal tersebut digoyang-
goyangkan terus menerus shaker dengan menggunakan tangan agar proses dehidrasinya lebih cepat.
d. Penjernihan clearing; penjernihan dilakukan dengan menggunakan perbandingan alkohol:xylol 3:1, 1:1, 1:3 masing-masing 1 jam dan berakhir di xylol murni
diinapkan selama 1 malam. e. Infiltrasi; proses infiltrasi dilakukan didalam oven dengan suhu 56
o
f. Penanaman embedding; setelah proses infiltrasi, selanjutnya dilakukan proses penanaman dalam parafin, sebelum melangkah ke proses ini yang harus disiapkan
adalah mencairkan parafin, membuat kotak-kotak dari karton atau kalender bekas untuk tempat penanaman, menyiapkan lampu spiritus, menyediakan pinset kecil,
C, menggunakan perbandingan xylol:parafin 3:1, 1:1, 1:3 dan berakhir diparafin murni
masing-masing selama 1 jam. Proses ini dimaksudkan untuk menghindari perubahan lingkungan yang sangat mendadak terhadap jaringan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
dan menyediakan label. Setelah semuanya telah siap, proses embedding dimulai dengan menuangkan parafin yang telah cair kedalam kotak-kotak karton tadi,
selanjutnya ambil organ tersebut dengan cepat dari parafin murni dengan menggunakan pinset kecil lalu dimasukkan ke dalam kotak yang telah berisi parafin
cair tadi, biarkan hingga parafin menjadi keras sampai terbentuk blok-blok parafin. g. Penyayatan section; penyayatan atau pemotongan dilakukan dengan memotong
blok parafin yang telah ditempelkan pada holder kemudian dipasang pada mikrotom, lalu mikrotom diputar sampai blok parafin yang berisi organ tadi
terpotong menjadi pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 6-10 µm. h. Penempelan affiksing; penempelan dilakukan dengan mengambil beberapa pita
paraffin yang telah terpotong dengan menggunakan skapel, kemudian ditempelkan pada objek glass, lalu dicelupkan ke dalam air dingin air biasa kemudian ke dalam
air panas. Lalu diletakkan diatas hotplate beberapa detik untuk melekatkan pita parafin ke objek glass.
i. Pewarnaan staining; pewarnaan sediaan ginjal, diwarnai dengan menggunakan pewarna Hematoxilin Eosin. Tahapan pewarnaannya adalah sebagai berikut:
- Deparafinasi; dilakukan dengan mencelupkan objek glass yang telah berisi irisan jaringan tadi ke dalam xylol selama ± 15 menit.
- Dealkoholisasi; dilakukan secara bertingkat dengan alkohol konsentrasi menurun, dengan alkohol absolut, alkohol 96, alkohol 90, alkohol 80, alkohol 70,
alkohol 60, alkohol 50 dan alkohol 30. - Pewarnaan; dilakukan dengan cara objek glass yang telah berisi irisan jaringan
tadi dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxilin Erlich selama 3-7 menit, dicuci dengan air mengalir ± 10 menit, dimasukkan ke dalam alkohol 30, 50,
dimasukkan ke dalam larutan pewarna eosin 0,5 dalam alkohol 70 selama 1-3 menit, preparat dimasukkkan berturut-turut ke dalam alkohol 60, 70, 80,
90, 96, dan alkohol absolut, dikeringkan dengan kertas pengisap selanjutnya, preparat dimasukkan ke xylol.
j. Penutupan mounting; dari xylol jaringan kemudian ditutup dengan cover glass setelah ditetesi dengan Canada balsam terlebih dahulu. Setelah itu diberi label dan
diamati dibawah mikroskop.
Universitas Sumatera Utara
3.4 Parameter pengamatan
3.4.1 Pengamatan Morfologi dan Berat Ginjal Mencit
Setelah hewan didislokasi dan di bedah, diamati kelainan morfologis pada organ yang dimaksud meliputi warna ginjal, sedangkan untuk menentukan berat ginjal dilakukan
dengan menimbang berat ginjal bagian kanan dan kiri mencit dengan timbangan. Kemudian berat kedua ginjal dirata-ratakan dan menjadi rata-rata ginjal masing-
masing mencit.
3.4.2 Pengamatan Preparat Histologis Jaringan Ginjal
Pengamatan preparat histologis jaringan ginjal dilakukan pada tiap-tiap perlakuan 0, 6, 12, 18, 24 . Pengamatan histologi ginjal mengikuti penelitian yang telah dilakukan
oleh Sihardo 2006 dengan menghitung persentase kerusakan tubulus proksimal. Penghitungan kerusakan tubulus proksimal menggunakan rumus nm x 100,
dimana n adalah jumlah tubulus proksimal yang telah menutup dalam satu lapangan pandang dan m adalah jumlah seluruh tubulus proksimal dalam satu lapangan
pandang. Pada pemeriksaan mikroskopis preparat ginjal, penghitungan dilakukan sampai 5 pergantian lapangan pandang yaitu pada bagian atas, bawah, tengah, dan
antara tengah dengan bagian atas dan bawah preparat, dengan perbesaran 100x. Kemudian hasilnya dirata-ratakan untuk mendapatkan presentase derajat kerusakan
ginjal disetiap mencit.
3.5 Analisa Data
Data yang didapat dari setiap parameter variabel pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif variabel dependen yang didapatkan, diuji
kemaknaannya terhadap pengaruh kelompok perlakuan variabel independen dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 13. Urutan uji
diawali dengan uji normalitas, uji homogenitas, jika didapatkan data dengan distribusi normal dan homogen, maka di uji sidik ragam ANOVA dan jika p0,05 pada
kelompok kontrol dan perlakuan maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc – Bonferroni taraf 5. Untuk melihat perbedaan 2 perlakuan dilakuan dengan uji t
paramatrik atau Mann-Whitney non-paramatrik.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil berupa hasil uji skrining fitokimia biji pepaya Carica papaya L., gambaran morfologi ginjal, berat ginjal,
serta gambaran histologi jaringan ginjal mencit Mus musculus L. setelah pemberian
ekstrak air biji pepaya dan testosteron undekanoat TU selama 24 minggu.
4.1 Hasil uji skrining fitokimia biji pepaya Carica papaya L.
Dari hasil pengujian skrining fitokimia terhadap biji pepaya yang telah dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam KBA Departemen Kimia Fakultas Matematika
Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara diperoleh hasil uji sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Uji Skrining Fitokimia
Sampel Uji Skrining Fitokimia
Hasil Uji
Biji pepaya Carica
papaya L.
Alkaloid +
Flavonoid -
Steroid +
Terpenoid +
Dari tabel uji skrining fitokimia diatas diperoleh hasil uji bahwa senyawa yang terdapat pada biji pepaya adalah golongan dari alkaloid, steroid, dan terpenoid.
Sedangkan senyawa flavonoid tidak dihasilkan dalam pengujiian. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Robinson 1995 bahwa flavonoid terdapat pada seluruh dunia
tumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Sukadana et al., 2008, hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit
sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Penelitian yang dilakukan oleh
Satriyasa 2010, zat-zat aktif yang terkandung dalam fraksi heksan ekstrak biji pepaya
lokal Bali yaitu golongan dari steriod dan triterpenoid, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
yang terkandung dalam fraksi methanol ekstrak biji pepaya muda lokal Bali yaitu dari
golongan alkaloid.
Alkaloid biasanya didapati sebagai garam organik dalam tumbuhan dalam bentuk senyawa padat berbentuk kristal dan kebanyakan tidak berwarna. Berbagai
perkiraan menyatakan bahwa persentase jenis tumbuhan yang mengandung alkaloid terletak dalam rentang 15-30. Konsentrasi alkaloid tertinggi yang pernah ditemukan
ialah pada Senecio riddelii yang mengandung alkaloid 18.
Menurut Simbala 2009, alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, sehingga banyak digunakan dalam
pengobatan. Dapat bersifat optis aktif dan dalam proses ekstraksi dapat mengakibatkan isomerisasi sehingga alkaloid yang diperoleh berupa campuran
resemik. Senyawa alkaloid pada tumbuhan seringkali dihubungkan dengan efek positif sebagai antioksidan dan mengurangi permeabilitas pembuluh darah. Turana, 2003
dalam Widyastuti et al., 2008.
Senyawa steroid dalam tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C-3, sering kali semuanya disebut sterol. Senyawa ini sering terdapat tidak bebas
tetapi sebagai turunan senyawa yang lebih rumit seperti glikosida Robinson, 1995.
Penelitian yang dilakukan oleh Sukadana et al., 2008, secara kualitatif berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan
pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya. Secara alami
terpenoid banyak terdapat dalam tumbuhan namun tidak dalam keadaan bebas, akan tetapi sebagai ester atau glikosida Robinson, 1995.
Penggunaan ekstrak air biji pepaya sebagai alternatif bahan kontrasepsi pada pria, walaupun bersifat tradisional dan alami namun tidak dipungkiri bahwa
keberadaan senyawa-senyawa fitokimia tersebut pada biji pepaya memberikan efek toksik terhadap ginjal walaupun dalam kerusakan yang minimal. Suatu bahan toksik
yang masuk kedalam tubuh akan di absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi.
Universitas Sumatera Utara
Ginjal adalah organ ekskresi utama, sehingga seringkali mengalami kerusakan jika terpapar oleh zat-zat toksik.
Menurut Lu 1994, efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Pada umumnya, suatu bahan toksikan yang
mempengaruhi organ sasaran didasari oleh kepekaan suatu organ, atau lebih tingginya kadar bahan kimia atau metabolitnya di organ sasaran. Kadar yang lebih tinggi itu
dapat meningkat pada berbagai keadaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Soeksmanto 2006 yang melihat pengaruh ekstrak butanol buah tua mahkota dewa Phaleria macrocarpa terhadap jaringan
ginjal mencit Mus musculus menunjukkan hasil bahwa ekstrak butanol buah tua dari tumbuhan mahkota dewa sampai dosis 170 mgkg berat badan yang diberikan dalam
dosis tunggal, dijumpai adanya nekrosis ringan pada tubulus proksimalis namun relatif tidak mengganggu fungsi ginjal. Mahkota dewa yang dikonsumsi secara berlebihan
dikhawatirkan dapat bersifat nefrotosik pada jaringan ginjal. Meskipun berat ginjal hanya 1 dari berat badan, tetapi ginjal secara terus menerus menerima sekitar 20
darah dari curah jantung. Hal tersebut menjadikan ginjal sangat peka terhadap bahan- bahan kimia berbahaya yang ada didalam sirkulasi darah.
4.2 Hasil gambaran morfologi ginjal Hasil pengamatan gambaran morfologi ginjal kelompok kontrol dan perlakuan
minggu ke 0, 6, 12, 18, 24 K0, K1, K2, K3, K4 dan P0, P1, P2, P3, P4 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.2 Gambaran morfologi ginjal kelompok kontrol dan perlakuan Minggu
Kontrol Perlakuan
K0P0
Keterangan; Ginjal kelompok K0
memiliki berat 0,29 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah, di bagian
bawah ujung ginjal terjadi penumpukan warna merah yang
lebih terang. Konsistensi kenyal.
Keterangan; Ginjal kelompok P0
memiliki berat 0,25 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah kecoklatan.
Konsistensi kenyal
K1P1
Keterangan; Ginjal kelompok K1
memiliki berat 0,21 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah gelap
kecoklatan. Konsistensi kenyal.
Keterangan; Ginjal kelompok P1
memiliki berat 0,29 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah gelap. Konsistensi
kenyal.
K2P2
Keterangan; Ginjal kelompok K2
memiliki berat 0,34 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah dan
sedikit lebih pucat dibandingkan dengan ginjal pada kelompok K0
dan K1. Konsistensi kenyal. Keterangan;
Ginjal kelompok P2 memiliki berat 0,31 g. Permukaan licin.
Warna ginjal merah pucat. Konsistensi kenyal.
K3P3
Keterangan; Ginjal kelompok K3
memiliki berat 0,34 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah gelap
kecoklatan, hampir sama dengan ginjal pada kelompok K1.
Konsistensi kenyal. Keterangan;
Ginjal kelompok P3 memiliki berat 0,38 g. Permukaan licin.
Warna ginjal merah pucat agak kecoklatan. Konsistensi kenyal.
K4P4
Keterangan; Ginjal kelompok K4
memiliki berat 0,42 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah segar.
Tampak bahwa ginjal kelompok K4 lebih berat dibandingkan dengan
kelompok K0, K1, K2, dan K3. Konsistensi kenyal.
Keterangan; Ginjal kelompok P4
memiliki berat 0,48 g. Permukaan licin. Warna ginjal merah dan lebih pucat
dibandingkan dengan kelompok P2 dan P3. Konsistensi kenyal.
Universitas Sumatera Utara
Dari gambaran morfologi di atas antara kelompok kontrol dan perlakuan memiliki berat dan warna yang tidak jauh berbeda baik setelah diberi perlakuan atau
pun tidak. Gambar di atas menunjukkan bahwa warna ginjal kelompok kontrol dan perlakuan memiliki warna yang tidak jauh berbeda, yaitu merah, merah kecoklatan,
merah gelap kehitaman sampai merah pucat. Konsistensi ginjal kenyal dan permukaan ginjal licin. Ginjal dengan berat yang paling tinggi pada kelompok kontrol adalah
pada minggu ke 24 K4 memiliki berat 0,42 g, dan yang paling rendah pada kelompok kontrol adalah pada minggu ke 6 K1 memiliki berat 0,21 g. Pada
kelompok perlakuan minggu ke 24 P4 memiliki berat ginjal tertinggi yaitu 0,48 g, sedangkan berat ginjal yang paling rendah pada kelompok perlakuan yaitu pada
minggu ke 0 K0 dengan berat 0,25 g. Pada umumnya perubahan morfologi sulit diukur Lu, 1994. Secara
morfologi, ginjal kelompok kontrol dan perlakuan tidak jauh berbeda baik setelah diberi perlakuan atau pun tidak. Hal ini dikarenakan dosis ekstrak air biji pepaya dan
testosteron undekanoat masih dapat ditolerir oleh ginjal mencit tersebut. Menurut Ariens et al., 1993 dosis ditentukan oleh konsentrasi dan lamanya
eksposisi zat yang diberikan. Keberadaan suatu bahan yang bersifat toksik akan mempengaruhi kerja organ yang bersangkutan. Dalam hal ini, ginjal merupakan organ
ekskresi utama. Ginjal mempunyai fungsi yang paling penting yaitu menyaring plasma dan memindahkan zat dari filtrat pada kecepatan yang bervariasi tergantung
pada kebutuhan tubuh. Akhirnya, ginjal membuang zat yang tidak diinginkan dengan filtrasi darah dan mensekresikanya dalam urin, sedangkan zat yang dibutuhkan
kembali ke dalam darah Syaifuddin, 2001. Peristiwa tersebut menyebabkan ginjal bekerja dengan sangat keras, sehingga dapat mempengaruhi perubahan berat dan
morfologi ginjal. Akan tetapi kemampuan ginjal dalam mentolerir setiap bahan toksikan yang masuk kedalam tubuh, perubahan morfologi dan berat ginjal tidak
begitu terlihat baik sebelum atau sesudah diberi perlakuan.
4.3 Hasil berat ginjal