Sistematika Pembahasan Sikap teologis pengurus MUI Kota Serang Banten terhadap agama-agama

17 urutan penelitian yang digambarkan secara sekilas dalam bentuk bab-bab.Garis besarnya, penelitian ini memuat tiga bagian yaitu pendahuluan pada bab pertama, isi atau hasil penelitian terdapat di dalam bab dua, bab tiga dan bab empat, sementara kesimpulan ada pada bab lima. Bab Pertama,adalah pendahuluan yang merupakan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini adalah kerangka pemikiran penelitian yang dimaksudkan untuk lebih memfokuskan proses penelitian yang dilakukan. Bab Kedua, membahas tentangpengertian dan sejarah perkembangan plualisme agama. Bab ini dimaksudkan memberikan gambaran tentangpengertian pluralisme yang menjadi latar belakang Pemahaman Konsep Pluralisme Agama. Pemaparan rangkaian arti pluralisme agama yang akandiimpemlmentasikan unuk mencapai suatu kerukunan antar umat beragama.Bab ini sebagai aplikasi bab pertama dan sebagai pengantar atas bab selanjutnya. Bab Ketiga, membahas tentang Kerukunan Umat Beragama di Kota Serang Banten. Yang di dasari dengan hakikat, hubungan dan peran pemuka agama untuk meningkatkan kerukunan antaragama. Bab Keempat, membahas Kehidupan Beragama di Kota Serang Banten. Yang didasari dengan sikap teologis, serta membangun dialog untuk mencapai suatu pemahaman konsep pluralisme agama untuk sebuah kerukunan. Bab Kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran. 18 BAB II TINJAUAN HISTORIS OBYEKTIF PLURALISME AGAMA

A. Memahami Makna Pluralisme

K osakata “plural” berasal dari kata “plures” dalam bahasa Latin, yang berarti jamak, banyak, beragam, beraneka, Bhineka, atau majemuk dengan implikasi perbedaan. Akan tetapi definisi pluralisme yang menjadi pokok kajian tidak sesederhana itu.Pluralisme bukan sekadar masyarakat yang majemuk semata, yang justru menggambarkan fragmentasi. Pluralisme tidak boleh pula dipahami sekadar sebagai ”kebaikan negative” negative good, yang hanya berguna untuk menyingkirkan fanatisme. Demikian ungkapan Nurcholish Madjid, dalam salah satu tulisannya. Lalu ia kemudian menekankan bawa pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan kebudayaan” genuine enggement of deversities within the bonds of civility. Bahkan, pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Mengutip Kitab Suci QS. Al-Baqarah2: 251 Nurcholish Madjid melihat bahwa sesungguhnya ada rekayasa Yang Maha Kuasa dengan menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia, guna memelihara keutuhan bumi. 29 29 Lihat Nurcholis Madjid, Cendekiawan Reliiuitas Masyarakat Jakarta: penerbit paramadiana, 1999, h. 63. 19 Jika kita perhatikan penggalan terakhir kutipan tulisan di atas, dapat dipahami bahwa pluralisme meliliki urgensi demikian besar dalam kehidupan bersama umat manusia. Oleh sebab itu, pluralisme agama bukan hanya sekadar toleransi moral yang telah dibiasakan, bukan pula sekadar koesistensi yang dapat menerima pihak lain tanpa menyulut konflik, tetapi lebih dari itu, pluralisme adalah suatu bentuk kelembagaan yang secara sah dan legal dapat melindungi kesetaraan, kerja sama, pengembangan diri atau pun kelompok, hak-hak dan kewajiban secara setara. Kendati demikian pluralisme tidak menafikan adanya perbedaan-perbedaan, hanya saja perbedaan-perbedaan itu dapat dibiasakan tanpa konflik. Pluralisme dalam agama mengakui keragaman kelompok-kelompok keagamaan, hak keimanan, penampilan aktivitas, eksistensi jamaah, dan kegiatan- kegiatan yang sah untuk setiap orang maupun kelompok. 30 Sesungguhnya segala bentuk perbedaan merupakan khazanah kekayaan dalam pluralisme. Seandainya elemen-elemen kehidupan sosial itu diabaikan, terutama dalam era global dewasa ini, sudah pasti kedamaian hidup akan terusik. Pendeknya, pluralisme merupakan basis bagi terciptanya kerukunan dinamis dan dialogis dalam mayarakat majemuk, baik menyangkut perbedaan bawaan, seperti ras dan etnis, maupun perbedaan perolehan, seperti pengetahuan, gagasan dan sebagainya. Dalam pada itu, agama, oleh Osman, ditempatkan pada ruang antara perbedaan dan bawaan dan perolehan.Sebab agama boleh jadi merupakan warisan dari orang tua atau sebaggai perolehan yang di dapat dari 30 Lebih jauh pelajari dalam Mohamad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keaamaan: Pandangan Al Qur’an Kemanusiaan dan Peradaban, diterjeahkandari edisi Inggris oleh Ifran Abu Bakar Jakarta: Yayasan Paramadina, 2007, h. 2-10.