Dari Toleransi ke Dialog

52 Islam memang mengandung ajaran-ajaran yang mendukung gagasan pluralitas.Bahwa gagasan pluralism agama itu akan mendukung integrasi nasional,menjadi alasan sekunder atau faktor ikutanhasil produk. Tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Abdul Rahman Wahid, tercatat yang paling bersuara dalam menyuarakan ide pluralisme Islam. Bahkan bisa dipastikan reputasi kedua tokoh tersebut dibangun di atas hamparan ide-ide mereka mengenai pluralism agama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah membimbing masyarakat Kota Serang untuk hidup lebih toleran, rukun dan damai dengan mengimplementasikan sikap teologis agama, di bawah naungan negara kesatuan. Bentuk kerukunan itu sendiri dituangkan dalam program yang disebut dengan triologi kerukunan, yaitu: Kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Pemerintah yang merupakan pihak pemerakarsa, namun secara resmi sering dinyatakan bahwa esensi kerukunan merupakan tanggung jawab agama itu sendiri, bukan pemerintah.Karena itu apabila terjadi perselisihan baik intern suatu agama maupun antar umat beragama, diselesaikan oleh umat beragama itu sendiri.Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penengah. Dengan kata lain bahwa pemerintah bukanlah faktor dominan dalam menjaga kerukunan hidup Umat beragama. Hubungan agama dan pemeritah adalah hubungan konsultatif dan partnership, dan bukan hubungan dominatif.Ketika kerukunan antar agama ini diambilalih oleh masyarakat itu sendiri, maka masyarakat akan menemukan berbagai corak yang lahir dari kreatifitas sosial sebagai hasil perjumpaan agama-agama.Persentuhan agama dengan ide-ide demokrasi yang telah ramai di suarakan sejak awal 1990-an, yakni 53 pasca runtuhnya komunisme yang diklaim sebagai kemenangan demokrasi liberal, membuat forum-forum keagamaan menjadi lebih terbuka terhadap ide-ide. Dalam konteks Indonesia misalnya sudah cukup sering dilakukan seminar-seminar ilmiah berskala internasional yang mengambil tema-tema seperti dialog antar peradaban, agama dan globalisasi, dan sebagainya. Semua itu tidak lain merupakan bukti bahwa agama-agama kini tidak bisa lagi mengisolasi diri, apalagi menghindar dari pergaulan global atau pengaruh globalisasi. Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan itu. Sebab, dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara masing-masing pihak yang berdialog. Dialog agama dinilai sangat penting, karena dialog dapat menyingkap ketertutupan antar agama. Dalam historisnya pengalaman selama Orde Baru, sebenarnya menunjukkan bahwa ketertutupan hubungan antaragama mudah memicu kesalahpahaman, dan mudah terjebak ke alam prasangka yang berakibat kontraproduktif bagi hubungan antar agama itu sendiri. Untuk meminimalisasi akibat-akibat negatif ketertutupan itu,maka kalangan tokoh agama dan aktivis merintis tradisi dialong. Mereka membangun lembaga-lembaga dialog yang menampung para aktifis yang memiliki aspirasi yang sama. Lembaga-lembaga tersebut menjadi wahana bagi kerinduan antar ummat beragama untuk bertemu secara sejati, karena selama Orde Baru lebih bersipat formil-birokratis. Topik perbincangan mereka jauh lebih kaya dari sekedar toleransi Yang mereka kembangkan adalah dialog agama dalam berbagai bentuk dan coraknya. Interfidei di Yogyakarta ,misalnya, mengembangkan satu bentuk dialong teologis, di mana masing-masing pendialog memulai perbincangan dengan keberanian meletakkan 54 iman mereka pada posisi yang setara. Dialog semacam ini hampir mustahil dilakukan dimasa lalu, ketika hubungan antaragama berada di bawah tekanan pemerintah untuk mensukseskan program kerukunan ummat beragama. Dalam kondisi semacam itu, pertemuan agama-agama bersifat formal, dan kurang melibatkan hati nurani, sehingga kurang ada kejujuran dan keterbukaan. Padahal hati nurani, kejujuran,dan keterbukaan, merupakan faktor penting jika ingin membangun dialog yang sejati. Tanpa itu, yang akan muncul hanyalah bentuk- bentuk kerukunan yang bersifat semu. Kerukunan semu inilah yangakan membuat hubungan agama-agama di Kota Serang berada dalam suasana rawan komflik atau tidak terjaga. Dialog antar agama dapat berlangsung dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah dialog kehidupan,dialog kerja sosial,dialog teologis, dan dialog spiritual. Dialog kehidupan, merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat beragama. Di sini, para pemeluk agama yang berbeda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari.Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal.Mereka melakukan kerjasama dalam berbagai bidang kegiatan sosial tanpa memandang identitas agama masing masing. Dialog kerja sosial, merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan, dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan. Dasar historis dari dialog kerja sosial dan kerjasama antar agama banyak ditemukan dalm tradisi berbagai agama. Dasar sosiologisnya adalah pengakuan akan pluralitas, sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam konteks ini, pluralisme agama sebenrnya lebih dari sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk dalam hal beragama,melainkan 55 juga terlibat aktif dalam kemajemukan tersebut. Dialog teologis, tidak bisa diabaikan apabila kita ingin membangun hubungan antar agama yang sejati, yang melahirkan persahabatan yang juga sejati. Dialog teologis bertujuan untuk membangun kesadaran bahwa di luar keyakinan dan keimanan kitayag selama ini kita yakini, ternyata ada banyak sekali keyakinan dan keimanan dari tradisi agama agama selain kita. Jika dialog sosial berangkat dari problem bagaimana kita menempatkan agama kita di tengah tengah agama orang lain, maka dialog teologis, menghadapi persoalan bagaimana kita memposisikan iman kita di tengah tengah iman orang lain. Dialog spiritual, Dialog ini bergerak dalam wilayah esoteris, yaitu sisi dalam agama-agama. Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama memiliki aspek eksoterik dan aspek Esoteris.Inilah sistem yang dijadikan masyarakat Kota Serang sebagai metode titik temu antar umat beragama demi terjaganya sebuah kerukunan. Tidak ada kerjasam tanpa didahului oleh dialog. Karena pada umumnya dialog dan kerjasama adalah dua hal yang bertalian satu sama lain. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerja sama merupakan dialog setengah hati, bahkan verbalisme. Di Indonesia, rintisan yang dilakukan oleh berbagai lembaga dialog, seperti Dialogue in Indonesia atau dialog antar Iman, disingkat InterfideiDIAN di Yogyakarta, dan Masyarakat Dialog Antar Agama MADIA di Jakarta. Kedua lembaga itu lahir untuk merespon kebutuhan umat beragama akan dialog-dialog yang mungkin dilakukan diantara mereka. Lembaga ini merupakan ajang pertemuan bagi berbagai kalangan agama untuk berdialog secara bebas dan terbuka, namun tetap dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan.Ada banyak bentuk dialog dan kerjasama, atau gabungan antara dialog dan kerjasama yang 56 bisa dilakukan oleh kalangan lintas agama. Kerjasama tersebut bisa di sesuaikan dengan kebutuhan lokal para pemeluk agama itu sendiri.Azsyumardi Azra menyebut bidang-bidang yang bisa menjadi lahan garapan bersama adalah pada tingkatan etis, sosial, politis dan ekonomis. Diantara bentuk kerjasama yang paling mudah dan paling sering dilakukan adalah aliansi antar agama untuk tujuan-tujuan spesifik, seperti:aliansi antar agama untuk penangkalan narkoba, aliansi antar agama untuk pemberantasan judi, aliansi antar agama untuk pemberantasan pornografi, aliansi lintas agama untuk memerangi minuman keras aliansi antar agama untuk penanganan kriminalitas,dan aliansi antar agama untuk penyantunan sosial. Demikianlah refleksi dan gagasan yang saya dapat dari hasil data observasi, dan semiar dan dilaog yang saya dapatkan dalam programpemerintah dan Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB baik tigkat provinsi maupu kabupatenkota, yang menjadi bagian dari upaya keras masyarakat Kota Serang untuk mengimplementasikan sikap teologis dalam menjaga dan memperdayakan kerukuna hidup beragama.

B. Membangun Dialog dengan Sikap Teologis di Kota Serang

Dialog yang merupakan ujung dari kensicayaan pluralisme yang secara teologis, merupakan ciri khas bagi alam semesta, di luar Tuhan. Hal ini dengan indah dipaparkan oleh Muhammad Wahyuni Nafis dalam rentetan kalimat berikut: pluralisme merupakan suatu kensicayaan, maka dengan sendirinya inklusivisme pun merupakan kensicayaan pula. Selanjutnya, inklusivisme melahirkan interaksi 57 sosial antar keyakinan dan ideologi.Interaksi demikian itulah yang kita sebut dengan dialog. Dialog dalam bahasa Yunani dialogos yang artinya bicara antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dialog dapat juga diartikan dengan kata-kata yang akan diucapkan seseorang untuk mengungkapkan melalui jalan pikiran atau perasaannya tanpa ditujukan kepada orang lain. Dialog merupakan jalan lebih baik, dan dialog adalah upaya kerjasama dalam mewujudkan kerukunan. Menurut Olaf Schumann, dialog bukanlah “percakapan antardua pihak”, percakapan di antara dua mitra, seperti kadang-kadang kita dengar atau baca, yang menjadi “trialog” jika ada mitra ketiga yang ikut. Andai kata dialog adalah “percakapan a ntardua” seharusnya disebut “dylog”. Namun bukan begitu halnya. Jadi dialog adalah percakapan atau pembicaraan tentang hal yang menyentuh kepentingan dan relevansi bersama, atau pembicaraan tentang hal yang menyentuh kepentingan dan relevansi bersama, atau pembicaraan bersama tentang masalah yang harus diteliti dan jika perlu diatasi secara bersama dialegein. Kalau tidak ada hal yang menyentuh kepentingan dan relevansi bersama, dialog menjadi sia-sia atau tidak punya arti. Kalaupun dialog terjadi, dapat diandaikan bahwa ada sesuatu yang perlu diselesaikan melalui pembicaraan bersama. 54 Komaruddin Hidayat memaparkan bahwa, sejak semula manusia didesain dan diciptakan sebagai makhluk yang dialogis. Di samping manusia disebutkan sebagai makhluk berakal, ia juga merupakan makhluk rohani. Di dalamnya terdapat roh Ilahi yang hidup kekal tak kenal kematian.Oleh karenanya tak pernah manusia itu sendiri tanpa kehidupan yang menyertainya.Hidup juga berarti 54 Olaf Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, h. 75.