Memahami Makna Pluralisme Sikap teologis pengurus MUI Kota Serang Banten terhadap agama-agama

19 Jika kita perhatikan penggalan terakhir kutipan tulisan di atas, dapat dipahami bahwa pluralisme meliliki urgensi demikian besar dalam kehidupan bersama umat manusia. Oleh sebab itu, pluralisme agama bukan hanya sekadar toleransi moral yang telah dibiasakan, bukan pula sekadar koesistensi yang dapat menerima pihak lain tanpa menyulut konflik, tetapi lebih dari itu, pluralisme adalah suatu bentuk kelembagaan yang secara sah dan legal dapat melindungi kesetaraan, kerja sama, pengembangan diri atau pun kelompok, hak-hak dan kewajiban secara setara. Kendati demikian pluralisme tidak menafikan adanya perbedaan-perbedaan, hanya saja perbedaan-perbedaan itu dapat dibiasakan tanpa konflik. Pluralisme dalam agama mengakui keragaman kelompok-kelompok keagamaan, hak keimanan, penampilan aktivitas, eksistensi jamaah, dan kegiatan- kegiatan yang sah untuk setiap orang maupun kelompok. 30 Sesungguhnya segala bentuk perbedaan merupakan khazanah kekayaan dalam pluralisme. Seandainya elemen-elemen kehidupan sosial itu diabaikan, terutama dalam era global dewasa ini, sudah pasti kedamaian hidup akan terusik. Pendeknya, pluralisme merupakan basis bagi terciptanya kerukunan dinamis dan dialogis dalam mayarakat majemuk, baik menyangkut perbedaan bawaan, seperti ras dan etnis, maupun perbedaan perolehan, seperti pengetahuan, gagasan dan sebagainya. Dalam pada itu, agama, oleh Osman, ditempatkan pada ruang antara perbedaan dan bawaan dan perolehan.Sebab agama boleh jadi merupakan warisan dari orang tua atau sebaggai perolehan yang di dapat dari 30 Lebih jauh pelajari dalam Mohamad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keaamaan: Pandangan Al Qur’an Kemanusiaan dan Peradaban, diterjeahkandari edisi Inggris oleh Ifran Abu Bakar Jakarta: Yayasan Paramadina, 2007, h. 2-10. 20 suatu sistem kepercayaan melalui keyainan pribadi. 31 Kalau perbedaan-perbedaan itu dapat ditata dengan baik di atas basis pluralisme, roda kehidupan sosial akan berjalan lancar. Konsep pluralisme yang demikian, menurut Alawi Shihab, pada garis besarnya dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata-mata meunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, tetapi mengandung makna “keterlibatan aktif” terhadap keyataan keajemukan itu. Oleh sebab itu, orang dikatakan pluralis apabila ia mampu ikut berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme meunjuk kepada suatu realitas di mana aneka agama, ras, bangsa bisa hidup berdampingan pada suatu lokasi, kendati tanpa interaksi positif. Ketiga, konsep pluralisme tidak sama dengan relativisme. Relativisme berasumsi bahwa kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandanggan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat, sehingga aliran ini tidak mengenal kebenaran universal. Keempat, pluralisme agama bukan sinkretisme, yakni agama baru yang diracik dari ajaran agama-agam yang tidak mapan secara parsial. 32 Khusus mengenai pluralisme agama, yang selama ini sering dituding mencampuradukan agama-agama, menghilangkan kemutlakan kebenaran dan keimanan, dan lain sebagainya adalah salah satu praduga yang perlu ditanggapi secara serius. Karena memang pada satu sisi kita menginginkan keselamatan abadi dengan memeluk suatu agama, sementara pada sisi lain kita juga menginginkan 31 Ibid . h. 1. 32 Lihat Alawi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Agama Bandung: Penerbit Mizan,1997, h. 41-2. 21 keselamatan temporer dalam kehidupan sosial-duniawi sekarang. Bertolak dari kehidupan sosial dalam era kekinian, dimana kita sudah berada dalam lingkup kehiduan global yang heterogen, maka kita tidak bisa menghindar dari interaksi sosial dengan berbagai ras, etnis, dan agama. Sementara itu, sebagai umat beragama kita yakini pula bahwa kebahagiaan yang sesunguhnya bukan hanya terbatas di dunia, tetapi menembus waktu masa depan yang jauh akhirat. Kita tidak ingin salah satunya menjadi korban yang lain. Oleh sebab itu, kita berupaya mencari solusi yang adil, yang dapat dijadikan pegangan untuk kedua sisi kehidupan itu. Dalam kajian agama-agama kontemporer setidaknya ditemukan tiga paradigma keberagamaan: eksklusifisme, inklusifisme dan pluralis. 33 Pertama, eksklusifisme, adalah pandangan yang mengklaim bahwa kebenaran dan keselamatan hanya satu, diluar itu adalah kebatilan dan kesesatan. Pandangan seperti inilah yang mendasari rumusan: extra eccelesiam nulla salus tidak ada keselamatan di luar gereja, dalam agama Katolik. Dan juga penafsiran tekstual dalam Sûrah ali Imrận’3: 19 yang atrinya: “Sesungguhnya agama yang disisi Allah adalah Islam”. Kedua, inklusifisme, adalah pandangan yang melihat agama-agama sebagai jalan-jalan keselamatan yang menuju kepada satu tujuan inti, yakni Yang Mutlatk; yang satu melengkapi yang lain. Dalam Islam Sûrah ali Imrận’3: 64 dikenal adanya “ruang temu agama-agama” kalimat sawa. Atau sebagai 33 Budhy Munawar-Rachman, mengutip, Jhon Hick-menyebut yang ketiga adalah paralelisme, yakni keyakinan bahwa setip agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Lihat budhy munawar-rachman. Islam dan Pluralisme: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman Jakarta: Penerbit, paramadina, 2001, h, 48. 22 diungkapkan hadis: “para nabi adalah saudara satu Ayah; Ibu mereka banyak, namun nama mereka satu ” HR. Bukhari. Jadi, inklusifisme memandang kebenaran yang inklusif dalam banyak agama, tetapi kebenaran itu secara lengkap ada dalam satu agama dan inilah agama yang paling unggul. Ketiga, pluralimse, identik dengan paralelisme, pandangan bahwa masing-masing agama merupakan jalan keselamatan, satu setara dengan yang lain, yang masing-masingnya mengantarkan orang pada satu realitas Mutlak. Pluralisme merupakan pengembangan secara liberal inklusifisme. Di sini, perbedaan-perbedaan yang ada pada agama-agama yang benar dilihat bukan sebagai perbedaan yang substansif, tetapi merupakan suatu keharusan formatif. Karena memang untuk masing-masing agama telah Allah ciptakan suatu undang- undang syari’ah dan jalan yang terang minhaj, namun substansinya adalah satu. 34

B. Sejarah Pluralisme Agama

Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern.Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal rasionalisme dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang 34 Lihat Yunarsil Ali dalam bukunya Sufi dan Pluralisme Jakarta: penerbit, Gramedia, 2012. h. 70-74. 23 dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. 35 Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir 1440-1518 dan muridnya, yaitu Guru Nanak 1469- 1538 pendiri “Sikhisme”.Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama scientific study of religion, mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal. 36 Yang perlu digarisbawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnyabukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan sosioreligius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh 35 Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Gema Insani, 2005, h. 16- 17. 36 Ibid. h. 17-18.