Dialog Teologis Dialog Spiritual

62 agama-agama, aspek esoterisme ini biasanya disebut dengan istilah mistik mysticism. Dalam Islam, dimensi mistik diperkenalkan di dalam tradisi tasawuf. Dialog spiritual melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama. Sebab sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sementara kaum sufi meyakini bahwa tuhan hanya bisa di jumpai di tempat dimana tidak ada perpecahan. Perpecahan itu, kata Muhammad muhayyadin, menjauhkan kita dari sifat-sifat tuhan, dari ilmu pengetahuannya, dari kebenarannya, dari kedamaiannya. Orang- orang yang memiliki rasa perbedaan itu dalam dirinya, kata muhayyadin lebih lanjut, tidak akan pernah menemukan kedamaian Madjid, 2004: 224-230. Berdasarkan pemahaman inilah dialog antar agama dilaksanakan untuk menyatakan bahwa setiap agama memiliki dasar keyakinan yang berbeda-beda. Berdialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antara pelbagai macam agama. Dalam dialog, masing-masing pemeluk tidak boleh meninggalkan agama dan kepercayaannya tetapi harus memegang teguh agamanya disertai dengan sikap penghargaan kepada pemeluk lain yang tidak seagama dengannya. Dialog antar agama pada masa kekinian dipahami masyarakat sebagai percakapan antar berbagai elemen agama untuk mengungkapkan pendangan mereka secara terbuka tanpa apriori yang berlebihan. Bagi masyarakat dialog bukanlah ajang perdebatan, polemik atau pemaksaan kebenaran dan intimidasi ajaran dari satu agama. melainkan salah satu proses yang mampu menghilangkan rasa saling curiga, takut dan saling menumbuhkan rasa saling percaya, untuk hidup dan berbuat bersama.Dan dialog yang dilaogis, dapat mengubah gambaran yang salah dan menghargai nilai-nilai kebenaran orang lain. Dialog juga sebagai pertukaran 63 timbal balik dari pandangan-pandangan dan terbuka untuk belajar satu sama lain. Dialog sebagai bentuk perwujudan yang tulus dari sikap toleransi dan penghargaan terhadap keyakinan pemeliknya. Masyarakat paham bahwa dialog tidak harus menghasilkan kesepakatan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan hal yang sama. dalam dialog bisa muncul kesepakatan untuk tidak sepakat. 56 Dan melalui proses dialog, masing-masing pihak saling belajar daripandangan dan pengalaman satu sama lain, saling terbuka dan respek untuk lebih memahami keyakinan, pemikiran dan problem yang dihadapi mitra dialog dengan lebih tepat dan utuh. Ahmad Gaus membagi dua golongan yang pesimis terhadap dialog agama, antara lain: pertama, mereka yang berpandangan bahwa agama-agama sejak awal sudah saling berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Akhirnya dialog hanya dipandang sebagai basa-basi dan tata krama sosial yang jika dihadapkan pada persoalan menyangkut ketegangan antar pemeluk agama, melarikannya pada masalah yang kurangnya toleransi, menipisnya budaya kerukunan dan sebagainya, yang cenderung tidak menyentuh akar permasalahan. Kedua, adalah mereka yang memang sejak semula tidak menganggap agama sebagai faktor dalam berbegai kerusuhan sosial. Agama hanyalah faktor yang diselipkan sehingga kerusuhan muncul dengan nuansa agama, dan karenanya kambing hitam dari kerusuhan itu mudah diidentifikasikan, misalnya pada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, dan bukan pada akar masalahnya sendiri.Itulah sebabnya, mereka tidak menganggap dialog agama sebagai suatu langkah yang strategis, bahkan hal terapi dialog agama dianggap sebagai ikut menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya. 56 lihat h. 40. 64 Kedua pemahaman itu muncul disinyalir akibat tidak terumuskannya platform dialog agama dalam suatu kerangka kerja yang operatif yang bisa didefinisikan secara sosial. Sebab lainnya, karena dialog agama yang muncul selama ini lebih bersifat reaktif terhadap persoalan-persoalan sekitar kehidupan beragama yang muncul dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibat dari kenyataan itu, dialog agama cenderung menjadi ekslusif dalam arti terjebak pada tema-tema yang elitis dan intelektualistik sehingga dengan sendirinya tidak menjadi bagian dari kesadaran masa. Ini jelas akan berbeda seandainya dialog agama merapatkan dirinya dengan tema-tema populer atau dekat dengan persoalan kerakyatan. 57 Kita tidak bisa mengklaim kebenaran agama kita dengan mengklaim kesalahan dalam agama orang lain. Karena hanya merupakan jalan manusia untuk mencapai Tuhan, dan jalan mana yang paling tepat dan cepat untuk mencapai Tuhan, hanya Tuhan yang tahu. Manusia hanya mampu berusaha menapaki jalan itu, dengan kemungkinan berhasil atau gagal. Oleh karena itu, masyarakat Kota Serang harus tetap menghargai agama dan kepercayaan orang lain dengan tidak perlu terjebak pada anggapan “menyamakan semua agama”. Orang yang menghormati jati diri masing-masing agama pasti tidak akan mengatakan, semua agama adalah sama. Setiap agama tentu memiliki perbedaan.Untuk bisa menghidari masalah ini, maka membangun dialog dalam mengimplementasikan konsep pluralisme agama merupakan jalan yang baik untuk mencapai suatau keharmonisan demi terjaganya kerukunan hidup antar umat beragama di Kota Serang. 57 Ahmad Gaus, Dialog Agama: Kekuatan Yang Membisu?,dalam Nur Achmad ed, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman Jakarta: Buku Kompas, 2001, h.. 155-156. 65 Menurut Rusiani, setidaknya ada dua hal penting yang seharusnya dilakukan umat beragama untuk melakukan dialog yang konstruktif. Pertama, melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat untuk menuju era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial. Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis yang ekslusif menuju kritisisme radikal dan pemikiran teologis yang inklusif, terbuka dan pluralis dan bersedia menerima umat beragama lain sebagai teman dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman keagamaan kita. 58 Knitter menamakan dialog antar agama ini dengan sebutan Dialog Korelasional, artinya dialog yang bertanggung jawab secara global di antara berbagai agama. Suatu dialog yang bertanggungjawab secara global harus didasarkan pada kesadaran bahwa semua pertemuan antar agama tidak lengkap, barangkali bahkan berbahaya, jika tidak memperhatikan masalah keprihatinan serta upaya mengatasi penderitaan umat manusia dan lingkungan yang terdapat di seluruh bumi. Agar dialog korelasional ini dapat berlangsung, perjumpaan dialogis harus dilakukan dalam suatu komunitas yang egaliter, bukan hierarkis. Walaupun para peserta saling mengemukakan pendapat serta kebenaran, tidak satu pun akan mengemukakannya dari satu posisi teologis yang mengklaim dominasi agamanya atas yang lain atau menghakimi yang lain. 59 Di sini menurut penulis yang dimaksudkan Paul Knitter adalah wacana dialog yang dibangun hendaknya tidak memaksakan muatan teologis setiap agama. Biarlah muatan teologis tersebut menjadi kekayaan setiap agama masing-masing dan janganlah hal tersebut 58 Rusiani, Dialog Antar Agama dalam Nur Achmad ed, Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman Jakarta: Buku Kompas, 2001, h. 146. 59 Knitter,Satu Bumi Banyak Agama : Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab GlobalJakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, h. 22. 66 menjadi pemicu ketidakseimbangan dalam dialog. Dengan demikian agar dialog ini bisa dibangun dengan baik maka perlu adanya interaksi antar pemeluk agama, bukan sekedar dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Namun, mereka juga dituntut harus tetap memiliki komitmen terhadap agama yang dianutnya.Dalam rangka itu. Dalam rangka itu, diperlukan satu hal mendasar, yaitu masing-masing hendaknya memiliki informasi dan pemahaman yang baik mengenai agama lain, dan gama mereka sendiri. Penguasaan ini pada gilirannya mengantarkan para penganut agama pada keimanan yang kukuh dan sekaligus toleransi yang signifikan terhadap penganut agama lain. 60 Dalam setiap dialog, masalah yang hendak dibicarakan harus lebih terarah pada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap nila-nilai kebebasan beragama.Lefebure menuliskan dalam salah satu bentuk dialognya, bahwa dialog yang hendak dibangun lebih berfokus dalam masyarakat untuk keadilan sosial, pembangunan dan kebebasan. Dari sekian banyak dimensi dialog antar agama, mungkin yang paling mendesak adalah perlunya kerja sama agama- agama di Indonesia umumya dan di Kota Serang khususnya dan kesediaan untuk saling belajar dari yang lain dalam menjawab masalah-masalah yang digadapi masyarakat, seperti kekerasan, kemiskinan, pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan ekologi. 61 Gerrit Singgih menambahkan, bahwa dalam rangka kehidupan yang memungkinkan kerukunan beragama dalam arti kata yang sebenarnya, orang dari agama yang berbeda-beda perlu berkumpul dan bergaul bersama.Bukan hanya sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita bersama, 60 Qamaruddin edit, Melampaui Dialog Agama Jakarta: Buku Kompas, 2002, h. 166. 61 Lefebure memberikan empat bentuk dialog, antara lain: Dialog kehidupan, Dalam pada tindakan dalam masyarakat, Dialog Pertukaran Teologis, dan Dialog Pengalaman Religius Leo Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2003, h. 11-13 67 melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu, ada yang mengusulkan supaya istilah dialog karya diperluas menjadi “dialog kehidupan”. Dalam pengertian ini orang dari berbagai agama diajak untuk hidup berdampingan secara damai, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan secara menyeluruh, yang meliputi baik aspek rohani maupun aspek jasmani. 62 Dari beberapa pendapat di atas, bahwa dialog merupakan jalan terbaik demi terjaganya impian akan kerukunan hidup umat beragama di Kota Serang. Sebagai Kota yang majemuk dan pluralis, sudah selayaknya para elitpemuka agama mencari solusi tidak hanya dalam menjaga kerukunan yang telah ada, lebih dari itu, mereka mampu mengembangkan dan memberdayakan pemahaman- pemahaman akan konsep pluralisme agama kepada semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali demi menunjangnya kerukunan dengan berbagai kegiatan yang dapat memberikan nilai positif. Suparman Usman sebagai guru besar IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten dan Fakultas Hukum di UNTIRTA juga menuturkan, bahwa kedepannya dialog antarumat beragama juga akan menjadi agenda penting di kalangan mahasiswa khususnya di Kota Serang.Karena mahasiswa merupakan elemen yang ideal untuk menembus tembok kekerasan, penindasan, dan tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama.

C. Sikap Teologis Pengurus MUI Kota Serang

MUI adalah tempat berkumpulnya para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki fungsi untuk membimbing dan membina umat. Hal 62 Gerrit Singgih, Hidup Kristiani Dalam Masyarakat Keagamaan Yang Bersifat Majemuk dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, h. 102-103. 68 tersebut dilakukan karena para ulama dan cendekiawan muslim menyadari bahwa dirinya adalah penerus dan pewaris para nabi dalam membawa rislah Allah dalam menyampaikan tugas para rasul Allah dalam menyampaikan ajaran islam kepada umat manusia. MUI diharapkan dapat berperan aktif dalam membangun masyarakat. Berdasarkan hal tersebut pula, maka mui selalu mengupayakan kebaikan yang ditunjukan bagi kemajuan agama, Bangsa dan Negara. Menginggat umat islam di Indonesia paling mendominasi maka wajar jika umat islam memliki peran dalam kemajuan bangsa Indonesia. Peran mui MUI sebagai lembaga swadaya memiliki peran yang sangat pening bagi umat islam yang ada di Nusantara ini. Karena MUI adalah wadah temat berkumpulnya para ulama dan cendekiawan muslim, maka MUI memiliki peran sebagai pembimbing umat islam untuk menciptakan kehidupan dan beragama serta bermasyarakat yang diridhai Allah. MUI juga memiliki peran sebagai pemberi nasihat serta fatwa tentang permasalahan agama dan kemasyarakatan agar tidak terjadi polemik di masyarakat berkaitan dengan suatu masalah keagamaan. Selain itu MUI berperan sebagai penjaga hubungan antara intern dan antaragama dengan pemetintah agar terciptanya persatuan dan kesatuan Bangsa. Lebih dari itu MUI pun berperan sebagai penghubung antarorganisasi, lembaga islam dan cendekiawan muslimin dalam rangka menyampaikan bimbingan pada masyarakat terutama umat muslim dengan memberikan informasi