Interpretasi Teks Relief Pilar Tebing di Berastagi Sebagai Suatu Representasi

mempertahankan wilayah territorial desa mereka ketika ada sekelompok lain yang ingin merebut atau melakukan perlawana terhadap kesejahteraan mereka. Tradisi semacam ini juga dikenal dengan sebutan Sar-Sar Lambe. Penggambaran tradisi dalam masyarakat Karo tersebut ditunjukkan pada gambar 4.4 berikut dibawah ini. Gambar 4.4 Relief yang menggambarkan tradisi dalam proses penguburan anggota masyarakat yang meninggal dunia atau dikenal dengan nama Nurun-Nurun

4.1.2 Interpretasi Teks Relief Pilar Tebing di Berastagi Sebagai Suatu Representasi

Relief Pilar Tebing di Berastagi merupakan identitas kebudayaan Masyarakat Karo. Masyarakat karo menjadikan relief Pilar Tebing di Berastagi sebagai dasar dan cikal bakal untuk membentuk pola kehidupan mereka. Lebih dari itu, masyarakat Karo meyakini bahwa semua relief tersebut memiliki muatan makna yang ingin disampaikan nenek moyang leluhur kepada semua generasi masyarakat karo untuk hidup sesuai pola yang telah dibuat tersebut Universitas Sumatera Utara agar kehidupan masyarakat Karo tetap sejahtera di bumi tempat mereka berada. Keempat jenis relief tersebut diinterpretasikan sebagai gambaran kehidupan dan segala sesuatu yang sudah dikenal masyarakat Karo di jagad raya pada masa-masa awal dimulainya peradaban kehidupan masyarakat Karo itu. Representasi teks relief Pilar Tebing di Berastagi selalu dijadikan sebagai dasar yang terutama dan memiliki peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Setiap tradisi yang ada dan yang sampai sekarang tetap berkembang dalam masyarakat Karo adalah bersumber dari penggambaran relief terebut. Baik berupa prosesi penguburan anggota masyarakat yang meninggal dunia, prosesi pernikahan, prosesi kelahiran, sistem pertanian dan pengelolaan hasil bumi dalam menunjuang kehidupan yang lebih teratur dan prosesi yang lain yang dikenal dalam kebudayaan masyarakat Karo. Relief ini telah menjadi realisasi konsep yang melatarbelakangi lahirnya ideologi masyarakat Karo dan menjadi pedoman hidup yang masih tetap dipegang teguh. Relief Pilar Tebing di Berastagi diinterpretasikan sebagai realisasi konsep simbol cita- cita luhur masyarakat Karo yaitu masyarakat yang berperadaban dan hidup menyatu dengan alam. Kekerabatan yang sangat kompleks yang dikenal dalam masyarakat Karo sekarang sebenarnya adalah bukti nyata dari komitmen masyarakat dari generasi ke generasi yang tetap memegang teguh nilai-nilai dan cita-cita luhur dari nenek moyang. Barthes dalam Susilo, 2006:24 mengatakan bahwa, Pada dasarnya semua anggota kebudayaan menggunakan bahasa yang sama, yakni tentang citra bunyi-bunyi yang berkembang menjadi tulisan yang berbentuk huruf-huruf, kata-kata, kalimat, sekumpulan kalimat, teks gambar, dan simbol sebagai ekspresi atau ungkapan berupa benda hidup atau benda mati. Universitas Sumatera Utara 4.1.2.1 Interpretasi Relief Perwujudan Tuhan Dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Karo Sebagai Suatu Representasi Penggambaran Tuhan dalam sistem kepercayaan masyarakar Karo yang lebih dikenal dengan nama Pemena pada awalnya adalah sebuah sistem kepercayaan tradisional karena pada masa itu belum ada agama modern yang masuk dalam kehidupan masyarakat Karo. Corak kepercayaan itu sendiri sedikit banyak memiliki kesamaan dengan sistem kepercayaan animisme yang juga banyak dianut oleh beberapa etnis-etnis di Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya agama-agama modern dari luar. Menurut beberapa literatur sejarah yang meskipun belum mampu dibuktikan secara menyeluruh kebenarannya, nenek moyang masyarakat Karo diyakini berasal dari India yang beragama Hindu. Keadaaan ini juga melatarbelakangi berkembangnya kepercayaan yang banyak memiliki kesamaan dengan sistem kepercayaan Hindu di India seperti halnya kepercayaan Hindu di pulau Dewata, Bali. Ciri-ciri yang masih bisa dilihat dan masih terekam dalam sejarah adalah prosesi pembakaran mayat nutung atau juga dikenal dengan nama cremation yang abunya dibuang ke sungai seperti yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali. Relief yang menggambarkan Tuhan dalam rangkaian seri cerita Turi-Turin Tembe Doni Nina Nininta Kalak Karo tersebut memperlihatkan 3 tiga wujud mahluk yang diyakini sebagai jelmaan Tuhan Semesta Tonggal Sinasa. Ketiga Tuhan tersebut diyakini berada diatas awan dan memiliki kekuasaan masing-masing yang berbeda. Dalam melanjutkan proses kehidupannya, masyarakat Karo melakukan ritual untuk melakukan penyembahan dan sekaligus penghormatan kepada Tonggal Sinasa melalui Ketiga perwujuda n Tuhan itu sendiri. Kekerabatan masyarakat Karo juga digambarkan melalui kehadiran Tonggal Sinasa dalam wujud Tiga Tuhan ini. Sistem kekerabatan yang membagi masyarakat menjadi Tiga Universitas Sumatera Utara bagian yaitu, pihak pemberi istri Kalimbubu, pihak semarga senina, dan pihak saudara perempuan anak beru. Semua anggota masyarakat Karo mempercayai dan tetap memelihara semua nilai-nilai yang dikandung dalam relief ground tersebut dengan harapan agar kehidupan yang mereka jalani sekarang dan kelak tetap baik bahkan menjadi lebih baik dan teratur sebagai representamen sehingga dalam kehidupannya itu memperoleh berkat dan kemujuran dari Tuhan dalam mengejar dan mendapatkan apa yang menjadi cita-cita luhur sebagai interpretan. Perlambangan Tuhan dalam masyarakat Karo yang juga diwujudkan dalam sistem kekerabatannya senantiasa ada bersama dalam setiap tradisi dan kegiatan kebudayaan masyarakat. Hal ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Karo sangat menjunjung tinggi nilai kepercayaan dan penghormatan kepada leluhur dan rasa kekerabatan mereka sebagai masyarakat yang berperadaban. Masyarakat Karo sendiri menjadikan Tuhan sebagai sesuatu yang hubungannya tidak dapat dipisahkan dari sistem kekerabatan mereka, sehingga dapat dirasakan dengan jelas ketika sebuah ritual dalam tradisi masyarakat dilakukan maka akan selalu terlihat penggambaran Tuhan melalui kehadiran Kalimbubu sebagai Tuhan yang bisa dilihat Dibata Ni Idah. Sikap menuhankan Kalimbubu ini juga diyakini masyarakat Karo sebagai sebuah tindakan untuk meminta berkat dan kemurahan dari Tuhan melalui Kalimbubu sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Dari tradisi-tradisi tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat Karo membangun dan membesarkan citra kehadiran Tuhan dalam proses berkehidupan mereka. 4.1.2.2 Interpretasi Relief Penggambaran Kekuatan Panglima Doukah Ni Haji Sebagai Suatu Representasi Relief yang menggambarkan kekuatan Panglima Doukah Ni Haji ini adalah sebuah rangkaian cerita tentang penciptaan dunia pada masa awal menurut kepercayaan nenek Universitas Sumatera Utara moyang masyarakat Karo. Panglima Doukah Ni Haji selain dikenal sebagai seseorang yang memiliki kekuatan yang maha dahsyat, juga dikenal sebagai tuan atas semua bencana yang dapat mengancam keberadaan manusia dan dunia. Panglima memiliki kekuatan pada angin yang dikenal dengan sebutan angin kaba-kaba sijenggi mabuk, kaba-kaba siperus mane- mane, kaba-kaba simbongkar kaciwer, pada petir yang dikenal dengan nama perkas petir, perkas pa hedi, kalingsungsung ras bindawas simultakken deleng, dan juga kekuatan pada gempa linur, yang dikenal dengan nama linur singelengas batu napal. Penggambaran kekuatan Panglima Doukah Ni Haji tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 diatas. Relief ground yang menggambarkan kekuatan Panglima Doukah Ni Haji ini adalah sebuah bukti kekuatan Tuhan yang juga ada dalam diri manusia, namun kekuatan itu dapat menjadi petaka jika manusia menggunakannya untuk hal yang bersifat negatif. Masyarakat Karo sendiri meyakini kekuatan yang dimiliki Panglima Doukah Ni Haji ini adalah sebuah karunia Tuhan Semesta untuk menjadikan Panglima Doukah Ni Haji sebagai pelindung manusia dari segala macam bencana dan petaka sebagai representamen. Masyarakat Karo mengenal kekuatan-kekuatan gaib yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari, tapi dibalik itu, masyarakat Karo juga dikenal sebagai masyarakat yang mengenal banyak tangkal terhadap kekuatan-kekuatan gaib tersebut. Relief yang menggambarkan kekuatan Panglima Doukah Ni Haji ini juga memperlihatkan kekuatan yang dimiliki oleh Beru Noman Kaci-Kaci sebagai pencipta dunia berusaha menangkal kekuatan Panglima Doukah Ni Haji ketika ingin menghancurkan dunia. Beru Noman Kaci- Kaci terlihat bersujud dengan tangan yang menyembah berada diatas sebuah benda menyerupai perahu dan terbang bersama awan untuk meminta pertolongan Tonggal Sinasa agar Panglima Doukah Ni Haji tidak menghancurkan dunia. Tangkal yang dipakai Beru Noman Kaci-Kaci untuk menghalangi kekuatan Panglima Doukah Ni Haji adalah dengan mengucapkan kata ‘suku mat’ yang diberikan Tonggal Sinasa Universitas Sumatera Utara untuk menangkal kekuatan Panglima Doukah Ni Haji, tapi menurut ceritanya, tangkal yang diucapakan itu tidak sanggup menghalangi kekuatan Panglima Doukah Ni Haji. Beru Noman Kaci-Kaci tetap bersujud meminta kekuatan kepada Tonggal Sinasa agar dunia tidak hancur karena kekuatan Panglima Doukah Ni Haji. Tonggal Sinasa memberikan tangkal yang lain, Tonggal Sinasa ‘dalam suara’ menyuruh Beru Noman Kaci-kaci dan Ompung Utara Diatas untuk membuat tipak salah sipitu-pitu, tapi mereka tidak mengerti membuatnya. Kemudian Tonggal Sinasa mendatangkan petir berbentuk bintang tujuh yang salah dan menyuruh Ompung Utara Diatas mengambil galah dan melukiskan tipak salah sipitu-pitu di tanah menyerupai petir bintang tujuh yang salah. Setelah membuat itu, Tonggal Sinasa menyuruh Ompung Utara Diatas mengucapkan tangkal yang baru ‘suku mat-mat-mat-mat-mat-mat- mat’ ‘mat’ sampai tujuh kali. Maka berhentilah Panglima Doukah Ni Haji mengeluarkan semua kekuatannya untuk menghancurkan dunia. Relief ground yang menunjukkan kekuatan Panglima Doukah Ni Haji adalah sebuah perwujudan representasi yang diinterpretasikan dengan harapan agar Panglima Doukah Ni Haji sebagai salah satu Tuhan dalam kepercayaan masyarakat Karo tidak lagi mendatangkan bencana yang besar yang dapat mengancam keselamatan manusia di bumi, bahkan diharapkan agar dapat menjadi sahabat manusia ketika ada kekuatan gaib yang lain yang mencoba mengganggu kehidupan manusia di dunia. Sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung tentram. Keadaan ini menjadi salah satu alasan masyarakat Karo sangat menghormati kekuatan-kekuatan gaib dengan berharap agar kekuatan gaib itu dapat menjadi sahabat. 4.1.2.3 Interpretasi Relief Penggambaran Proses Penciptaan Perempuan Pertama Dari Tanah Liat Sebagai Suatu Representasi Universitas Sumatera Utara Relief yang menggambarkan proses penciptaan perempuan pertama yang berasal dari tanah liat dalam rangkaian relief Pilar Tebing di Berastagi ini terdiri dari tiga relief yang mencakup semua tahapan penciptaan. Ketiga rangkaian relief tersebut menunjukkan urutan tahap penciptaan. Urutan yang pertama adalah pembentukan wujud permpuan itu sendiri dari tanah liat. Pada awalnya perempuan pertama itu dibentuk dari tanah liat oleh Ompung Utara Diatas, Beru Noman Kaci-Kaci, dan Panglima Doukah Ni Haji dengan maksud kelak akan menjadi pendamping hidup Panglima Doukah Ni Haji. Relief yang menunjukkan kegiatan pembentukan tubuh perempuan pertama itu dapat dilihat pada gambar 4.5 seperti berikut dibawah ini. Gambar 4.5 Relief yang menunjukkan proses penciptaan perempuan pertama dari tanah liat Universitas Sumatera Utara Setelah selesai membentuk tubuh perempuan pertama tersebut, Ompung Utara Diatas, Beru Noman Kaci-Kaci, dan Panglima Utara Diatas menyadari mereka tidak punya kekuatan untuk memberikan kehidupan pada tanah liat bentukan mereka itu. Mereka kembali menghadap Tonggal Sinasa meminta agar memberikan kehidupan dalam tubuh perempuan yang telah mereka buat itu. Menurut cerita lisan yang dipercaya masyarakat Karo, ketika mereka menghadap Tonggal Sinasa yang hanya mendengar suara saja, Tonggal Sinasa memberikan nafas kehidupan itu melalui tangan Beru Noman Kaci-Kaci. Tonggal Sinasa meminta Beru Noman Kaci-Kaci untuk membukakan tangannya dan memberikan nafas kehidupan itu dan meminta Beru Noman Kaci-Kaci menutup tangannya serta tidak membuka kepalan tangan itu apapun yang terjadi sebelum berhadapan dengan perempuan dari tanah liat yang telah mereka bentuk. Setelah itu, Tonggal Sinasa menyuruh mereka bertiga untuk kembali ke dunia dengan pesan agar nafas kehidupan yang ada dalam kepalan tangan Beru Noman Kaci-kaci ditiupkan di hidung tanah liat bentukan mereka itu sebanyak tujuh kali, di ubun-ubun sebanyak tujuh kali, dan di hati tujuh kali. Selama dalam perjalanan, Beru Noman Kaci-Kaci sempat membuka kepalan tangannya yang berisi nafas kehidupan. Ketika mereka sudah berhadapan dengan tanah liat bentukan mereka itu, Beru Noman Kaci-Kaci melakukan semua yang dipesankan Tonggal Sinasa tapi tanah liat bentukan mereka itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Beru Noman Kaci-Kaci mengulanginya hingga dua kali tetapi tetap saja tidak ada kehidupan yang mengalir dalam tubuh tanah liat bentukan mereka itu. Melihat keadaan tersebut, mereka bertiga kembali menghadap Tonggal Sinasa dan menceritakan kejadian yang terjadi. Tonggal Sinasa kembali memberikan nafas kehidupan dalam kepalan tangan Beru Noman Kaci-Kaci dan memberikan pesan yang sama seperti pesan yang pertama. Tonggal Sinasa juga memperingatkan mereka agar tidak melakukan Universitas Sumatera Utara kesalahan. Relief yang menunjukkan proses pemberian nafas kehidupan oleh Tonggal Sinasa kepada Beru Noman Kaci-Kaci ditunjukkan pada gambar 4.6 berikut dibawah ini. Gambar 4.6 Relief yang menggambarkan Tonggal Sinasa ketika Memberikan nafas kehidupan kepada Beru Noman Kaci-Kaci Setelah sampai di dunia dan berhadapan dengan tanah liat bentukan mereka itu, Beru Noman Kaci-Kaci menghembuskan nafas kehidupan yang ada dalam genggamannya itu sebanyak tujuh kali ke hidung, tujuh kali ke ubun-ubun, dan tujuh kali di jantung tanah liat bentukan mereka itu. Beru Noman Kaci-Kaci tidak melakukan kesalahan dan melakukan semua tepat seperti yang dipesankan Tonggal Sinasa. Setelah selesai melakukan semua pesan Tonggal Sinasa itu, mereka menunggu sampai sembilan bulan sepuluh hari untuk melihat tanah liat bentukan mereka itu akhirnya bernafas dan hidup seperti mereka. Perempuan pertama itu tidak mengalami masa kanak- kanak dan remaja. Masyarakat Karo berkembang menjadi masyaakat yang sangat menghormati perempuan dan memberikannya tempat yang khusus dalam sistem kekerabatan. Perempuan Universitas Sumatera Utara dianggap sebagai pembawa kehidupan dan pembawa rejeki dalam hidup. Relief penggambaran penciptaan perempuan pertama ground diyakini menjadi sebuah simbol kehidupan dalam masyarakat Karo sebagai representamen. Relief ini dijadikan sebagai acuan dalam memberikan sikap penghargaan kepada perempuan sebagai perantara kehidupan dari Tuhan semesta Tonggal sinasa. Relief ini dijadikan sebagai produk dari representasi yang diinterpretasikan dengan harapan agar manusia tetap memiliki keturunan yang berkesinambungan di dunia yang telah disediakan. 4.1.2.4 Interpretasi Relief Penggambaran Tradisi Dan Ritual Masyarakat Karo Sebagai Suatu Representasi Relief yang menggambarkan tradisi dan ritual yang dikenal masyarakat Karo ini adalah sebuah penggambaran sistem kekerabatan yang mengikat setiap anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kedudukan yang sama dan tidak dibedakan oleh apapun. Meskipun dalam prakteknya sehari-hari, kedudukan tersebut akan berbeda sesuai kelas mereka masing-masing dalam sebuah acara atau perayaan dalam masyarakat, namun kedudukan tersebut akan mereka alami secara bergantian sesuai kelas masing-masing tersebut. Relief yang menunjukkan penggambaran tradisi dan ritual yang dikenal masyarakat Karo ditunjukkan pada gambar 4.6 diatas. Relief ini juga menunjukkan tingkat keperdulian terhadap sesama anggota masyarakat. Relief penggambaran tradisi dan ritual yang dikenal masyarakat Karo ground dijadikan sebagai alasan untuk senantiasa hidup bersama dan dijadikan ikatan yang tidak dapat dipisahkan oleh apapun. Relief ground ini dijadikan sebagai sebuah produk dari representasi yang diinterpretasikan dengan harapan agar masyarakat Karo itu dapat selalu hidup bersama dengan tenteram di dunia yang telah diberikan untuk mereka. Selain itu juga Universitas Sumatera Utara diharapkan dapat membawa dampak yang baik dalam perkembangan kekeluargaan dengan masyarakat yang lebih luas dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi luhur yang ada.

4.2 Fungsi Teks Relief Pilar Tebing Di Berastagi Sebagai Representasi Identitas