BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah sebuah media yang digunakan manusia untuk memberitahu, menyatakan, dan mengungkapkan isi pikirannya. Dalam pengertian yang populer, bahasa
adalah percakapan, Hidayat dalam Sobur, 2004: 274; Wibowo dalam Sobur, 2004: 274 berpendapat bahwa dalam wacana linguistik, bahasa diartikan sebagai sistem simbol bunyi
bermakna dan berartikulasi yang bersifat arbitrer dan konvensional yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Bahasa dan
pikiran saling berkaitan erat. Anwar 1990: 86 mengatakan bahwa bahasa menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran manusia.
Jalan menuju pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Dijk dalam Lubis, 1993: 21 berpendapat bahwa teks sama dengan discourse, yaitu kesatuan dari
beberapa kalimat yang satu dengan yang lain saling terikat erat. Pengertian satu kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan tidak dapat ditafsirkan satu-satu kalimat melulu.
Dengan kata lain, teks adalah satu kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan dikarenakan bentuknya seperti morfem, klausa, kalimat tetapi kesatuan artinya.
Teks adalah suatu contoh proses dan hasil dari makna dalam konteks situasi tertentu. Pemahaman terhadap teks tidak terlepas dari konteks yang menyertai teks tersebut. Teks dan
konteks merupakan aspek dari proses yang sama. Ada teks dan ada teks lain yang menyertainya yang disebut konteks. Pengertian mengenai konteks tidak hanya meliputi hal-
hal tertulis melainkan juga hal-hal yang tanpa kata atau nonverbal Halliday dan Hasan, 1992:6.
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi adalah menerjemahkan gagasan ke dalam bentuk lambang, baik verbal maupun nonverbal. Lambang sering juga diistilahkan dengan simbol. Komunikasi nonverbal
adalah komunikasi tanpa bahasa atau tanpa kata Sobur, 2004: 122, dengan kata lain, komunikasi nonverbal adalah menerjemahkan gagasan-gagasan yang tidak berupa kata.
Sobur 2004: 157 mengatakan bahwa simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Simbol meliputi kata-
kata pesan verbal, perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan
sebagainya yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna merah merupakan simbol keberanian Alwi, dkk 2003: 490.
Konsep Pierce dalam Sobur, 2004: 156 tentang simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol dengan sesuatu
ditandakan dengan sifatnya yang konvensional. Berdasarkan konvensi itu juga masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu maknanya.
Simbol tidak selalu diungkapkan melalui bahasa verbal. Menurut Eickelman dan Piscatori dalam Sobur, 2004: 176 simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-
nilai dan sering-sering –meskipun tidak selalu- simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Salah satu simbol yang bukan berupa bahasa verbal adalah relief.
Pendapat Saussure dalam Sobur, 2004: 46 tentang simbol adalah sejenis tanda yang mempunyai hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer. Seperti
simbol relief sebagai penanda yang merupakan aspek material yaitu bunyi atau pahatan yang bermakna, sedangkan petanda adalah aspek mental yaitu gambaran mental, pikiran, atau
konsep dari identitas simbol relief itu sendiri. Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Suatu penanda tanpa petanda tidak mungkin disampaikan
atau ditangkap lepas dari penanda.
Universitas Sumatera Utara
Relief adalah pahatan yang menampilkan bentuk dan gambar dari permukaan rata disekitarnya, gambar timbul, dan
perbedaan ketinggian pada bagian permukaan bumi Alwi, dkk 2003: 943. Relief bisa merupakan ukiran yang berdiri sendiri maupun sebagai bagian
dari panel relief yang lain yang membentuk sebuah seri cerita atau ajaran. Relief sebagai hasil karya seni pahat dan ukiran tiga dimensi biasanya dibuat diatas medium batu berupa candi,
kuil, pilar atau monumen. Herusatoto 2000:10 berpendapat bahwa gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-
nilai merupakan hasil karya manusia. Relief yang terdapat pada pilar tebing di Berastagi adalah salah satu contoh simbol yang merupakan gambaran kehidupan dan kebudayaan
masyarakat Karo. Relief tersebut adalah pahatan manusia dengan berbagai macam, pola, dan bentuk yang maknanya disepakati bersama oleh masyarakat setempat sebagai simbol yang
mampu merepresentasi kebudayaan. Relief tersebut merupakan sebuah peninggalan hasil kebudayaan Karo yang pada masa sekarang tidak hanya berfungsi sebagai salah satu bentuk
hasil karya kebudayaan masyarakat Karo. Relief yang di buat pada medium tembok batu ini juga telah menjadi salah satu objek wisata yang sangat digemari oleh wisatawan baik lokal
maupun mancanegara. Itulah yang menjadi salah satu alasan penempatan relief tersebut di kota Berastagi mengingat daerah tersebut adalah salah satu daerah objek wisata yang sering
dikunjungi wisatawan, sehingga secara tidak langsung, semua wisatawan yang berkunjung ke daerah Berastagi dapat melihat dan mengetahui tentang masyarakat dan kebudayaan Karo.
Berastagi sendiri adalah tujuan wisata utama di kabupaten Karo yang terletak di ketinggian sekitar 4.594 kaki dari permukaan laut dan dikelilingi barisan gunung-gunung, memiliki
udara yang sejuk dari hamparan perladangan pertanian. Berastagi juga dikenal dengan julukan kota Markisa Jeruk Manis. Berastagi sudah di kenal sejak zaman Belanda. Hal ini
bisa kita lihat dan dapat kita buktikan dengan banyaknya bangunan bergaya eropa sebagai warisan zaman kolonial.
Universitas Sumatera Utara
Di kota Brastagi juga dilaksanakan beberapa upacara kebudayaan Karo yang pada masa sekarang menjadi salah satu produk kebudayaan yang sangat digemari wisatawan,
antara lain Pesta Bunga Buah dan festival kebudayaan Pesta Mejuah-Juah yang diadakan setiap tahun dan juga tradisi yang telah turun temurun dilakukan bahkan oleh hampir seluruh
masyarakat Karo yang yaitu Kerja Tahun pesta tahunan sebagai wujud ucapan syukur atas karunia pencipta yang telah memberikan kelimpahan hasil panen padi yang diselenggarakan
setiap tahun oleh orang-orang Karo yang tinggal di daerah tersebut ataupun yang sudah merantau datang kembali ke kampung halaman yang memiliki hubungan keluarga untuk
saling berkunjung dan bersilaturahmi. Secara keseluruhan, relief yang terdapat pada pilar tebing di Berastagi tersebut adalah
penggambaran keadaan masyarakat Karo mulai dari masa penciptaan hingga masa kehidupan tradisional. Relief tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian besar yaitu: Pertama, relief
yang menggambarkan jenis-jenis bunga, buah-buahan, sayur-mayur, alat-alat rumah tangga, perlengkapan upacara adat dan alat-alat musik tradisional masyarakat Karo. Kedua, relief
yang menggambarkan cerita penciptaan dunia pada masa awal menurut mitologi dan kepercayaan masyarakat Karo yang pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan
animisme Pemena. Ketiga, relief yang menggambarkan salah satu cerita yang dikenal dengan nama Kejadin Tungkat Penaluan Tungkat Malekat. Ketiga kelompok relief tersebut
masing-masing memiliki cerita dan makna tersendiri. Salah satu rangkaian cerita yang terdapat pada relief tersebut adalah Turi-Turin
Tembe Doni Nina-Nininta Kalak Karo, yang diyakini pada awalnya diberi nama Maka Hio Kute Ndube Asal Mula Tembe Doni Enda, yaitu sebuah seri cerita tentang asal usul
penciptaan dunia menurut nenek moyang masyarakat Karo. Rangkaian relief tersebut diyakini dibuat berdasarkan cerita lisan masyarakat Karo tentang cerita penciptaan dunia
pada masa awal. Berikut ini adalah salah satu contoh relief yang terdapat pada rangkaian
Universitas Sumatera Utara
relief yang membentuk sebuah cerita penciptaan dunia atau yang sekarang sudah dikenal dengan nama Turi-Turin Tembe Doni Nina-Nininta Kalak Karo.
Gambar 1 Contoh relief dalam Turi-Turin Tembe Doni Nina-Nininta Kalak Karo.
Relief tersebut adalah salah satu relief yang menggambarkan adanya tiga alam yang dikuasai oleh tiga Tuhan Dibata. Para penganut religi Pemena mempercayai adanya
penciptaan alam semesta yang disebut Dibata Kaci-Kaci atau lebih dikenal dengan nama Tonggal Sinasa. Masyarakat Karo juga mempercayai adanya tiga alam yaitu Banua Datas
alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Atas yang bernama Ompung Utara Diatas, Banua Teruh alam yang dikuasai oleh Dibata Teruh yang bernama Panglima Duokah Ni
Haji, dan Banua Tengah alam yang dikuasai oleh Dibata Tengah yang bernama Beru Noman Kaci-kaci.
Universitas Sumatera Utara
Hall dalam Yusuf, 2005: 10 tentang representasi yang memperoleh tempat penting dalam studi budaya. Representasi menghubungkan makna arti dan bahasa dengan budaya.
Representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh arti atau menggambarkan dunia yang penuh arti kepada orang lain. Makna direkonstruksi oleh sistem
representasi dan diproduksi melalui sistem bahasa yang fenomenanya tidak hanya disampaikan lewat ungkapan-ungkapan verbal, tetapi juga visual nonverbal.
Yusuf 2005: 10 mengatakan ada dua proses sistem representasi yaitu: “Pertama, sistem yang menandai bentuk-bentuk representasi yang kehadirannya dapat
dilihat seutuhnya, bentuk objek, orang, atau kejadian yang dihubungkan dalam suatu konsep yang mengacu pada bentuk factual objek. Kedua, representasi yang maknanya
bergantung atas sistem dan bentuk-bentuk penggambaran pada pengetahuan kita mewakili sesuatu yang terepresentasi pada kehidupan nyata. Hal tersebut
menimbulkan bentuk-bentuk metafora terhadap suatu hal yang maknanya tidak bisa dilacak hanya berdasarkan kemiripan bentuk, tetapi ada sistem ide yang
membangunya”.
Oleh karena itu, terdapat dua prinsip yang menyebabkan representasi dikatakan sebagai produksi makna lewat bahasa yaitu:
1 mengartikan dalam pengertian menjelaskan atau menggambarkan sesuatu dalam
pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi untuk menempatkan persamaan dalam pikiran kita.
2 representasi digunakan untuk menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol.
Teks relief yang mengandung makna digunakan untuk merepresentasikan identitas kebudayaan Karo. Fromm dalam Yusuf, 2005: 17 mengatakan bahwa identitas sepadan
Universitas Sumatera Utara
dengan permasalahan “integritas”. Seseorang yang tidak mempunyai identitas yang jelas atau kabur dapat dikatakan sebagai individu yang tidak mempunyai “integritas” pribadi yang kuat.
Liliweri dalam Yusuf, 2005: 18 melihat identitas sebagai kajian yang sifatnya psikologis. Jika ingin menetapkan identitas, tidak sekedar karakteristik atau ciri-ciri fisik
biologis semata, tetapi mengkaji identitas sekelompok manusia melalui tatanan berpikir cara berpikir, orientasi berpikir, perasaan cara merasa, orientasi perasaan, dan cara bertindak
motivasi tindakan atau orientasi tindakan. Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata
Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo.
Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Masyarakat Karo mempunyai kesatuan teritorial yang dihuni oleh keluarga yang
berasal dari satu klen yang disebut kuta. Kuta ini biasanya dikelilingi parit, suatu dinding tanah yang tinggi, dan rumpun bambu yang tumbuh rapat sebagai pertahanan terhadap
serangan-serangan musuh dari kuta lain. Golongan pendiri kuta adalah merga taneh atau juga dikenal dengan Simanteki Kuta yang memiliki tanah paling luas, sedangkan golongan lainnya
biasanya hanya memiliki tanah yang sekedar cukup. Mata pencaharian masyarakat Karo kebanyakan bercocok tanam padi. Masyarakat
Karo memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, kelompok kekerabatan dihitung dengan dasar satu ayah, satu kakek, dan satu nenek moyang. Masyarakat karo
dominan memeluk agama Kristen Protestan. Sebelum masuk dan berkembangnya sistem kepercayaan modern seperti Kristen, Islam, masyarakat Karo telah memiliki sistem
kepercayaan tradisional yaitu Pemena. Nilai-nilai religi Pemena ini sebagian masih dapat kita lihat sampai sekarang. Para penganut religi Pemena mempercayai adanya penciptaan alam
semesta yang disebut Dibata Kaci-Kaci. Mereka juga mempercayai adanya tiga alam yaitu
Universitas Sumatera Utara
Banua Datas alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Atas yang bernama Ompung Utara Diatas, Banua Teruh alam yang dikuasai oleh Dibata Teruh yang bernama Panglima
Doukah Ni Haji yang juga bernama Panglima Doukah Ni Haji Perjanggut Simole-ole, dan Banua Tengah alam yang dikuasai oleh Dibata Tengah yang bernama Beru Noman Kaci-
kaci. Takari 2008: 69 berpendapat bahwa menurut konsep Pemena, alam sebagai tempat
kehidupan manusia terbagi atas delapan arah sesuai arah mata angin. Kedelapan arah itu adalah Purba timur, Aguni tenggara, Deksina selatan, Nariiti barat daya, Pusima
barat, Mangadia barat laut, Batara utara, dan Irisan timur Bangun 1990: 66 mengatakan, masyarakat Karo memiliki sistem kemasyarakatan
yang disebut merga silima. Sistem ini adalah pengelompokan masyarakat menjadi lima marga merga induk, yaitu Ginting, Sembiring, Karo-Karo, Tarigan, dan Perangin-angin.
Selain itu, masyarakat Karo mengenal istilah rakut sitelu yaitu pengelompokan tiga struktur sosial: kalimbubu pihak pemberi istri, anak beru pihak penerima istri, dan senina orang
satu marga. Berdasarkan konsep dan realitas di atas, peneliti merasa perlu untuk mengkaji makna
teks relief sebagai simbol yang merepresentasikan identitas kebudayaan masyarakat karo. Adapun judul penelitian ini adalah, “Teks Relief Pilar Tebing Di Berastagi Sebagai
Representasi Identitas Masyarakat Karo”.
1.1.2 Masalah