pengikutnya telah menyebar ke berbagai daerah dan berbaur dengan pengikut agama lain, tetapi pada saat pelaksanaan ritual kepercayaan mereka yaitu upacara
Sipaha Lima yang dilakukan di pusat kepercayaan Parmalim mereka dapat berkumpul dan bersatu di dalam pelaksanaan upacara tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Adapun masalah pokok yang akan di analisis dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana kepercayaan Parmalim bisa membangun kepercayaan mereka
ditengah-tengah agama yang lebih mendominasi pada saat ini. Dari permasalahan diatas maka muncul beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut: 1.
Bagaimana sejarah kepercayaan Parmalim? 2.
Bagaimana struktur dan kesatuan Parmalim? 3.
Bagaimana kehidupan kepercayaan Parmalim? 4.
Bagaimana bentuk Upacara Sipaha Lima?
1.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir khususnya Huta Parmalim yang merupakan
perkampungan kecil yang ada di dalam Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi dan hanya di huni oleh umat Parmalim saja. Daerah ini merupakan tempat tinggal dari
Raja Mulia Naipospos yang dipilih oleh Raja Sisingamaraja untuk meneruskan ajaran Parmalim, saat ini Huta Parmalim atau yang lebih sering disebut dengan
Universitas Sumatera Utara
Hutatinggi menjadi pusat dari kepercayaan Parmalim yang ada di seluruh tanah
air.
1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menggambarkan kepercayaan Parmalim yang semakin berkembang di tengah-tengah agama lain
yang telah di akui oleh negara, tetapi para pengikut kepercayaan ini mampu membangun kepercayaan mereka hingga dapat bertahan sampai saat ini meskipun
kepercayaan ini hanya diakui oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata saja..
Manfaat dari Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Religi dan juga
menambah pemahaman masyarakat khususnya masyarakat Batak Toba mengenai salah satu budaya dan tradisi tua pada masyarakat Batak Toba yang mulai tidak
dikenal dan dipahami oleh masyarakat Batak toba sendiri.
1.5. Tinjauan Pustaka
Perhatian terhadap keragaman budaya yang ada di Indonesia sangatlah mewarnai kehidupan tiap-tiap kelompok etnik untuk tetap dapat mempertahankan
budaya mereka sendiri, dimana budaya yang mereka miliki merupakan suatu identitas diri mereka untuk dapat diperkenalkan pada dunia luar.
Parmalim yang merupakan suatu kepercayaan tua dimana dalam tujuh unsur kebudayaan kepercayaan disebut sebagai religi. Van Baal 1978;175
mengatakan religi sebagai keseluruhan anggapan yang benar yang mempunyai hubungan kepada kebenaran yang tidak empiris dan segala perbuatan yang
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan anggapan tersebut, secara ringkas bahwa religi yaitu suatu sistem kepercayaan dan upacara-upacaranya yang terdapat dalam setiap
kebudayaan manusia, jadi religi bersifat universal. Awalnya Parmalim hanya sebagai kepercayaan biasa
untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan tua yang terancam agama baru
yang dibawa belanda, dimana K. T Preusz dalam Koentjaraningrat 1987;68-69 . mengatakan bahwa wujud religi yang tertua berupa tindakan- tindakan manusia
untuk mengadakan keperluan-keperluan hidupnya yang tak dapat dicapainya secara naluri atau dengan akalnya dan kemampuan akal manusia yang terbatas
dan kebodohan akal manusia yang asli merupakan awal dari permulaan religi. Kemudian kepercayaan ini menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan
politik atau parhudamdam yang menyatukan orang Batak menentang Belanda, kepercayaan ini muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian
Raja Sisingamangaraja XII, seiring dengan perkembangannya kepercayaan ini menempatkan Sisingamangaraja sebagai pemimpin tertinggi.
Berbagai kecaman dilontarkan belanda untuk memberhentikan pengikutnya dan dimulai dari sebutan pembangkang, penyembah berhala, dan
pemakan sesama manusia serta upacara keagamaan pun dilarang. Pada tahun 1895 tujuh tahun setelah kematian Sisingamangaraja Guru Somalaing yang
merupakan salah satu panglima dari Sisingamangaraja ditangkap oleh belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan bersama Raja Mulia Naipospos yang juga salah
satu panglima dari Sisingamangaraja tetapi Raja Mulia Naipospos berhasil kembali ke tanah Batak sedangkan Guru Somalaing meninggal di tempat
pembuangan dan kemudian Raja Mulia Naipospos memperoleh restu dari
Universitas Sumatera Utara
Sisingamangaraja dan kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim dan kemudian kepercayaan ini kembali memusatkan diri pada spritiual dan tata cara
hidup berdasarkan adat. Tongkat kepemimpinan pun diwariskan secara turun temurun kepada anak
dan cucu dari Raja Mulia Naipospos, saat ini dipegang oleh Raja Marnangkok Naipospos cucu dari Raja Mulia Naipospos dan berpusat di Huta Parmalim bagian
dari Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
Ciri kelompok etnik yang utama yaitu kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama dan dapat memberikan dampak yang lebih luas, apalagi dengan
asumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budaya sendiri dimana kelompok etnik mampu untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok tersebut
http:tano batak.blogspot.com Saat ini pengikut Parmalim telah menyebar ke berbagai daerah di
nusantara seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat 2000; 242 mengenai migrasi manusia jaman dahulu yaitu kelompok manusia lama kelamaan akan
pindah wilayah juga, karena di wilayah yang lama binatang perburuan misalnya sudah mulai berkurang atau karena dalam wilayah yang lama jumlah manusia
sudah mulai terlampau banyak, dan migrasi ini terjadi dengan lambat. Pengikut Parmalim yang menyebar di berbagai daerah di Nusantara ini
tetap memiliki rasa kesatuan diantara sesama pengikutnya, adat batak yang mereka pertahankan sampai saat ini dan sangat diterapkan pada kehidupan sehari-
hari membuat para pengikut Parmalim dapat berinteraksi dengan sesama pengikut Parmalim di seluruh tanah air.
Universitas Sumatera Utara
serta adanya penyesuaian diri dari kelompok etnik ini untuk menghadapi berbagai faktor-faktor dari luar Barth 1988 : 12-13
Cara hidup pengikut Parmalim yang berbeda dari kelompok etnik lainnya seperti mentaati aturan agama, bersatu dengan alam, dan memelihara alam dengan
akal dan pikiran membuat cara hidup pengikut Parmalim ini menjadi berbeda dengan masyarakat lain di luar pengikut Parmalim.
Manusia harus mensatukan dirinya sendiri. Dia adalah multikompleks. Pada kebhinnekaan itu ada macam-macam tendensi. Dia harus membangun
semuanya itu, sehingga menjadi kesatuan, keseluruhan, keutuhan, sehingga dia betul-betul menjadi diri sendiri…Dia harus mempribadi Widyasusanto 1996:32
Pengikut Parmalim dalam membangun ajaran kepercayaannya ditengah- tengah agama lain maka pengikut kepercayaan ini haruslah dapat menyatukan
dirinya sendiri terlebih dahulu dengan ajaran kepercayaannya sehingga ajaran Parmalim dapat terus bertahan hingga saat ini. Dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya manusia memerlukan sarana ataupun alat untuk mempermudah pencapaian hasil, peralatan dan perlengkapan hidup sesuai dengan tingkat
masyarakatnya, maupun tingkat hidupnya Widyasusanto 1996:38. Demikian halnya dengan pengikut Parmalim dalam mempertahankan kepercayaannya
adalah dengan membangun rumah-rumah parsantian di berbagai daerah dan melakukan parpunguan setiap hari sabtu yang akan dipimpin oleh Ihutan.
Setiap tahun para pengikut Parmalim yang berasal dari segala cabang akan berkumpul pada satu tempat yang menjadi pusat dari kepercayaan Parmalim yaitu
di desa Hutatinggi untuk merayakan upacara Sipaha Lima yang merupakan suatu bentuk upacara untuk penyampaian rasa syukur pengikut Parmalim atas segala
Universitas Sumatera Utara
berkat yang telah mereka terima dari Debata Mulajadi Nabolon serta untuk memohon berkat untuk kehidupan mendatang serta kesiapan pengikut Parmalim
dalam menghadapi setiap tantangan yang mereka peroleh dari kehidupan diluar mereka
Anthony F. C. Wallace dalam William A.Haviland 1988;195 - 196 yang mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi
mitos yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau
alam, dimana fungsi upacara keagamaan yang utama adalah untuk mengurangi kegelisahan dan untuk memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri, yang
penting untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap untuk menghadapi realitas.
Upacara Sipaha Lima dilaksanakan setiap bulan kelima pada kalender Batak, atau sekitar bulan juli - bulan agustus pada bulan masehi, dan upacara ini
biasanya jatuh pada hari ke 12, 13, dan 14 menjelang bulan purnama Rajamarpodang 1992: 194. Untuk pelaksanaan upacara Sipaha lima maka
Parmalim tidak membentuk panitia-panitia yang akan turut membantu di dalam persiapan upacara tetapi persiapan Upacara akan dibantu oleh para Ulu Punguan
dan Suhi Ni Ampang Na Opat, pemilihan hari yang tepat, hingga ke penutupan upacara. Ihutan yang ada di pusat akan memberitahukan kepada seluruh Ulu
Punguan tentang pelaksanaan upacara dan Ulu Punguan akan memberitahukan kembali kepada seluruh Parmalim pada saat melakukan parpunguan setiap hari
Sabtu.
Universitas Sumatera Utara
Setelah pemberitahuan maka seluruh Parmalim akan bersiap-siap untuk melaksanakan kegiatan Upacara tersebut, mulai dari biaya, persiapan diri,dll.
Parmalim memiliki rasa solidaritas yang tinggi baik dari individunya hingga pada masyarakat Parmalim, hal ini tampak pada setiap persiapan upacara Sipaha Lima
dimana pengikutnya akan bergotong royong secara penuh mulai dari persiapan Upacara hingga penutupan upacara dimana Solidaritas sosial dipertahankan sejauh
kesadaran individu pada masyarakat sama kuatnya, dengan sendirinya akan memelihara unsur-unsur pengintegrasian yang ada pada masyarakat tersebut Neni
1993; 12 Lysen dalam Neni 1993; 12 mengatakan bahwa kesadaran masyarakat
adalah unsur tertentu dalam kesatuan sosial yang menetapkan dan mempengaruhi kelakuan manusia yang menjadi bagian dari kesatuan itu. Unsur-unsur yang
dimaksud adalah situasi- situasi yang memuat individu-individu dalam masyarakat terlibat langsung serta berbuat sesuai dengan keinginan situasi
tersebut. Pada pelaksanaan upacara Sipaha Lima seluruh Parmalim harus
menghadirinya sehingga mereka dapat bersatu dengan pengikut parmalim yang berdatangan dari berbagai daerah di Nusantara. Haviland 1988; 197 mengatakan
bahwa keikutsertaan dalam upacara keagamaan dapat menimbulkan suatu rasa “ transendensi pribadi”, suatu gelombang keyakinan, rasa keamanan dan bahkan
rasa ekstase atau rasa bersatu dengan sesama yang beribadat. Perayaan Upacara pada Parmalim inilah yang dijadikan sebagai cara agar
mereka dapat membangun kepercayaan mereka yang terasing dari masyarakat luas, serta ketaatan pada adat istiadat yang selalu dipertahamkam dari dulu hingga
Universitas Sumatera Utara
sekarang sehingga para pengikutnya bisa membangun kepercayaan untuk tetap bisa bertahan sampai saat ini.
1.6. Metode Penelitian