Perlindungan Lingkungan Hidup melalui Pengaturan Pengendalian Penanaman Modal

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Bacaan

Ilmar Aminuddin. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Prenanda Media. 2005.

Bagus Rahmadi Supacana Ida. Kerangka Hukum dan Kebijakan Investas Langsung di

Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2006.

Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi. Bandung: Nuansa Aulia. 2010.

Lusiana. Usaha Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012.

Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni 1996.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. 1993.

Umar, Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: raja Grafindo Persada. 2005.

Sutendi Adrian. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Helmi. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sianr Grafika. 2012.

H.R., Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.

Iman Santoso, Taufik. politik Hukum Amdal, Amdal dalam Perspektif Hukum

Lingkungan dan Administrasi. Malang: Setara Press. 2009.

Soemarwoto, Otto. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. 1999.

Silalahi, Daud. AMDAL dalam Sistem Lingkungan di Indonesia. Bandung: Alumni 2002.

Sundari Rangkuti, Siti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.

Surabaya: Airlangga University Press. 2005.

Siahaan, N.T.H. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancur Alam. 2009.

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012.


(2)

B. Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.

Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

C. Website

(diakses pada tanggal 22 Juli 2014 pukul 18.56 WIB)

pukul 22.23 WIB)

Agustus 2014 pukul 22.25

WIB)

Agustus pukul 22.13 WIB)

pukul

22.30 WIB)


(3)

Wkipedia, Badan Koordinasi Penanaman Modal,

id.wikipedia.org/wiki/Badan_Koordinasi_Penanaman_Modal. (diakses pada 22 Juli 2014 pukul 18.56 WIB)


(4)

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP MELALUI

PENGENDALIAN PENANAMAN MODAL

A. Perlindungan Terhadap Lingkungan Hidup melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(PTSP)

Konsep pembangunan masa lalu adalah konsep menghabiskan sumber daya alam, tanpa memikirkan dampak lingkungan, berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan. Ketamakan manusia yang lebih mengutamakan keuntungan akan sangat berbahaya kalau tidak diatasi secara benar.36

Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya satu dengan yang lain. Mengenai hal ini Koesnadi Hardjasoemantri mengatakan bahwa antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan, dan bahkan antara manusia dengan benda mati sekalipun. Demikian juga hewan.37

Atas dasar peranan manusia tersebut, khusunya di dalam pembangunan perlu ada pengaturan yang dapat mencegah atau menimbulkan kerusakan maupun pencemaran lingkungan. Konsep pembangunan yang akan diselenggarakan, haruslah memperhatikan dampak lingkungan, jauh ke depan, kalau perlu berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun ke depan, demi generasi masa depan. Dunia ini bukan hanya milik generasi sekarang dan masa lalu, tetapi juga milik generasi yang akan datang. Hal ini sudah menjadi keprihatian dunia secara global, masing-masing negara diharuskan untuk menaati prinsip-prinsip hukum dalam Pada bagian lain dari tulisan tersebut, dikatakan bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem, manusia adalah sebagai pengelola pula dari sistem tersebut. Alam dipengaruhi oleh manusia ( Man made nature ) dan manusia dipengaruhi oleh alam ( Nature made man ).

36

Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika. 2010), Hal 240.

37


(5)

hukum lingkungan. 38 Berlakunya UUPPLH menghendaki adanya suatu perizinan terpadu dalam bidang lingkungan hidup dan menimbulkan implikasi hukum bagi sistem perizinan di Indonesia.39

Penyelenggaraan perizinan erat kaitannya dengan sistem administrasi negara dan merupakan bentuk dari pelayanan publik. Sebagai sebuah sistem, administrasi negara terdiri dari subsistem lainnya seperti subsistem ekonomi, hukum, politik, sosial, dan budaya. Keseluruhan subsistem tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tuas negara dalam memberikan pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak sipil warga.40

1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik (Pasal 2). Pasal 3 undang-undang ini menyatakan, tujuan pelayanan publik :

2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;

3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai, dan regulasi yang berorientasi kolonial menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan

38

Adrian Sutedi, Op.Cit, Hal 240-241. 39

Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sinar Grafika. 2012), Hal 260 40


(6)

publik masih jauh dari harapan. Belum terciptanya budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat.41

Pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan publik.42 Kondisi sistem pelayanan publik, secara langsung telah mempengaruhi sistem perizinan dan memperburuk iklim investasi di Indonesia. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, perlu dilakukan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan terpadu. Upaya ini dilakukan dengan memperkenalkan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya disebut PTSP). Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, konsep ini mulai diterapkan.43

Konsep PTSP sudah cukup lama berkembang dan diimplementasikan baik tingkat nasional maupun daerah. Tingkat daerah Pemerintag Kabupaten dan Kota dilakukan dengan beragam nama, berbentu Unit Pelayanan Satu Atap (UPSA) atau Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Dilaporkan terdapat 29 pemerintah kabupaten/kota yang sudah menerapkan penerbitan izin usaha melalui satu pintu.44

Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal semakin memperkuat sistem perizinan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Berdasarkan Pasal 1 angka 10, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah kegiatan peyelenggaraan suatu perizinan dan non-perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonn sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang

41

Ibid, Hal 248 42

Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM), Hal 10.

43

Helmi, Op.Cit, Hal 249. 44

Maret Priyanta dan Amiruddin A. Dajaan Imami, Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Bagi Industri dalam Upaya Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, (Bandung: Laporan Penelitian Fakultas Hukum Unpad. 2008), Hal 38-39.


(7)

dilakukan dalam satu tempat.45

1. Koordinasi kebijakan Penanaman Modal di daerah

Pengaturan mengenai PTSP ini diatur lebih lanjut melalu Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu ( yang selanjutnya disebut Perpres PTSP).

Adapun yang menjadi fungsi PTSP yang dilaksanakan oleh instansi/lembaga yang dibentuk, meliputi :

2. Mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan Penanaman Modal di daerah 3. Memberi insentif daerah/kemudahan penanaman modal

4. Membuat peta penanaman modal daerah

5. Mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal dengan memerdayakan badan usaha

6. Mempromosikan penanaman modal daerah 7. Mengembangkan sektor usaha melalui pembinaan

8. Membantu menyelesaikan berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan penanaman modal yang dihadapi di daerah.

Pelayanan Terpadu Satu Pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan dan informasi mengenai penanaman modal. PTSP dilaksanakan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan di tngkat pusat atau lembaga, isntansi yang berwenang mengeluarkan perizinan di provinsi atau kabupaten/ kota. Karakteristik PTSP adalah sebagai berikut :46

45

BKPM, Op.Cit, Hal 8. 46

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami untuk Melayani: Pelayanan Perizinan dan Nonperizinan sebagai Wujud Tata Kelola Pemerintahan yang Baik. (Jakarta: Laporan hasil penelitian. 2006), Hal 16.


(8)

1. Berbagai macam jenis perizinan/non-perizinan bisa diurus dalam satu lokasi/tempat/gedung.

2. Tersedia customer service.

3. Masyarakat hanya berhubungan dengan customer service (satu pintu) untuk mengurus semua perizinan/non-perizinan.

4. Pembayaran seluruh jenis perizinan/non-perizinan biasanya terpusat di kasir/bank. 5. Pelayanan satu pintu memiliki tugas koordinasi dan administrasi.

6. Proses teknis dilakukan oleh instansi/unit teknis dengan mengikutsertakan petugas pelayanan satu pintu.

7. Surat perizinan/non-perizinan ditandatangani oleh Bupati atau sekda atau instansi/unit teknis.

Sistem pelayanan satu pintu umumnya transparan dalam waktu, prosedur, biaya, dan persyaratan. Batas waktu penyelesaian perizinan dan biaya sudah ditetapkan dan biasanya tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Daerah. Penandatanganan surat tetap dilakukan oleh Bupati atau Sekda atau Kepala Unit Kerja/Instansi. Berdasarkan hasil kajian KPK, mekanisme Pelayanan Terpadu Satu Pintu memiliki banyak kelebihan sebagai berikut :47

1. Daya jangkau masyarakat terhadap pelayanan perizinan menjadi lebih baik.

2. Proses perizinan terlaksana secara transparan, jelas biaya, waktu penyelesaian, syarat, dan prosedur.

3. Memberi kemudahan kepada masyarakat karena sistem yang efektif dan efisien.

4. Proses suap yang biasa diberikan oleh pengurus perizinan kepada petugas menjadi sangat berkurang, bahkan tidak ada.

5. Memungkinkan pengurusan perizinan secara paralel.

47


(9)

6. Meningkatkan kedisiplinan pengurusan perizinan (masyarakat) dan petugas, karena segalanya harus mengikuti sistem.

7. Efisiensi sumber daya (SDM dan sarana prasarana) karena setiap jenis perizinan yang masuk/keluar hanya melalui satu pintu.

Sebagaimana uraian sebelumnya, pembentukan dan penyelenggaraan PTSP untuk mengatasi persoalan administrasi perizinan khususnya bidang penanaman modal. Beberapa catatan penting berkaitan dengan pengaturan dan pelaksanaan PTSP selama ini. Pertama, berdasarkan Perpres No.27 Tahun 2009, PTSP dibentuk sebagai upaya penyederhanaan administrasi perizinan penanaman modal. Sementara kepentingan pelestarian lingkungan hidup kurang mendapat perhatian. Kedua, pada konsideran mengingat sebagai dasar hukum dibentuknya Perpres No.27 Tahun 2009 ternyata tidak mencantumkan Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.48

Artinya, secara administrasi walaupun PTSP saat ini dinilai sebagai sistem yang cukup baik,

Ketiga, pada konsideran Peraturan Menteri Kehutanan No. 1 Tahun 2010 tidak mencantumkan UUPPLH sebagai dasar hukum.

49

namun belum memberikan jaminan untuk dilaksanakannya amanat mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat pelaksanaan usaha atau kegiatan. Untuk itu, dalam bidang lingkungan hidup dibutuhkan suatu sistem perizinan terpadu di bidang lingkungan hidup untuk mewujudkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di Indonesia. 50

48

Ibid, Hal 258. 49

Kepada BKPM, Gita Wirjawan menyatakan, “Fasilitas PTSP yang diluncurkan BKPM merupakan sistem otomatis pelayanan lisensi dan nonlisensi melalui Sistem Pelayanan Informasi dan Pemberian Izin Secara Elektronik (SPIPISE) yang juga dikenal dengan nama Natinal Single Window od Investment (NSWI). Target nasional penerapan pelayanan terpadu ini sebenarnya pada 2012 namun akan dilakukan akselerasi, sehingga tahun ini seluruh provinsi sudah menerapkannya. BKPM menargetkan peningkatan investasi yang masuk ke Indonesia pada 2010 meningkat sekitar 10-15 % dari tahun lalu, tahun 2009 mencapai 115 Triliun rupiah (www.bkpm.go.id)

50


(10)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, PTSP menyelenggarakan fungsi pelayanan di bidang perizinan dan non-perizinan. Secara lebih lanjut akan diuraikan mengenai penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan.

1. Penyelenggaraan perizinan a. Pengertian perizinan

Tidak mudah memberikan definisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sjachran Basah.51 Pendapat yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan Van Der Pot, Het is uitersr moelijk voor begrip vergunning een definiti

te vinden ( sangat sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu ).52 Hal ini disebabkan oleh antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahakan ditemukan sejumlah definisi yang beragam.53

Utrecht memberikan pengertian vergunning sebagai berikut : Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu peruatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).54

Izin (Vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keberadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Izin dapat juga diartikan sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.55

51

Sjachran Basah, Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Adinistrasi, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi Negara dan Lingkungan di Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1995, Hal 1-2.

52

E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar. 1957), Hal 187. 53

Ibid, Hal 186. 54

Adrian Sutedi, Op.Cit., Hal 167 55


(11)

Adapun pengertian perizinan adalah suatu salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang baisanya harus dimilki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan. Dengan memberikan izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan.56

Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi. Misalnya, tentang hal ini adalah dilarang mendirikan suatu bangunan, kecuali ada izin tertulis dan pejabat yang berwenang dengan ketentuan mematuhi persyaratan-persyaratan.57

Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh,

58

atau Als Opheffing van een olgemene

verbodsregel in het concrete geval,59

Menurut Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukm administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

(sebagai peniadaan ketentuan larangan umum dalam

peristiwa konkret).

60

56 Ibid. 57

Ibid. 58

Ateng Syafrudin, Perizinan untuk Berbagai Kegiatan, Makalah tidak dipublikasikan, Hal 1. 59

M.M. van Praag, Algemeen Nederlands Administratief Rech, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon, ‘s-Gravehage, 1950. Hal 54

60


(12)

E. Utrecht mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat sautu izin (vergunning).61

Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.62

N.M.Spelt dan J.BJ.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan arti sempit, yaitu izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suat persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentua-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin.63

Selanjutnya N.M.Spelt dan J.BJ.M ten Berge, mendefinisikan izin dalam arti sempit yakni pengikatan-pengikan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mecapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya. Hal yang pokok pada izin ( dalam

61

E. Utrecht, Op.Cit, Hal 187. 62

Bagir Manan, Ketentuan-ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan Berkumpul Ditinjau dari Perspektif UUD 1945, Makalah Tidak Dipublikasikan, (Jakarta. 1955), Hal 8.

63

N.M.Spelt dan J.B.J.M ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Phillipus M.Hadjon, (Surabaya: Yundika. 1993), Hal 2-3.


(13)

arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan).64

Di dalam bukunya Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Adrian Sutendi mendefinisikan perizinan sebagai suatu instrumen kebijakan Pemerintah/ Pemda untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang ungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun ekonomi. Izin juga merupakan instrumen untuk perlindungan hukum atas kepemilikan atau penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebjakan Pemerintah sebagai acuan. Tanpa rasionalitas dan kebijakan yang jelas, perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk membela kepentingan koperasi atas tindakan yang berdasarkan kepentingan individu.65

Izin sebagai keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam pemerintahan sebagai konsekuensi dari jabatannya. Keputusan ini bersifat rutin dan melekat pada jabatan. Dengan demikian, biaya perizinan melekat pada anggaran rutin pemerintah dan tidak dibebankan sebagai biaya transaksi pada pemohon. Melekatnya biaya transaksi pada izin merupakan salah satu distorsi dalam pelaksanaan tata administrasi pemerintahan.

66

Pemberian izin harus memperhatikan rencana tata ruang Hukum yang mengatur kebijakan tata ruang masih semrawut atau tidak tersusun rapih. Masing-masing sektor pada

64

Ibid, Hal 3. 65

Adrian Sutedi, Op.Cit, Hal v. 66


(14)

instansi pemerintah masih mementingan diri sendiri, dan masing lemahnya koordinasi, keterpaduan, demi kepentingan rakyat banyak.67

Banyaknya izin yang diperlukan izin yang diperlukan dalam suatu kegiatan usaha, sangat membingungkan, dan berpengaruh terhadap upaya penengakan hukum lingkungan.68

Selain itu, masalah pengawasan terhadap perusahaan yang telah mendapat izin juga sangat penting dilakukan. Karena pemberian izin itu diberikan disertai dengan persyaratan, maka harus dilakukan kontrol baik oleh instansi pemberi izin maupun oleh pengadilan. Kontrol yang dilakukan oleh instansi pemberi izin pada dasarnya harus tetap mengacu dari persyaratan-persyaratan yang dituangkan dalam surat keputusan pemberi izin. Kontrol tersebut meliputi izin itu untuk di daerah mana.69

b. Sifat Perizinan

Perizinan atau yang dalam arti sempit disebut izin, pada dasarnya merupakan keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang berwenang., yang isinya/substansinya mempunyai sifat sebagai berikut.70

1) Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan atau hukum tertulis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin.

2) Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung pada kadar sejauh mana

67

Ibid, Hal 242. 68

Phillipus M. Hadjon, Penegakan Hukum Administrasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Makalah disampaikan pada Lokakarya Penegakan Hukum Lingkungan, diselenggarakan oleh PPLH Lembaga Peneliti Universitas Airlangga, 13 Agustus 1996), Hal 2. Undang-Undang Lingkungan Hidup tidak meletakkan dasar-dasar sistem perizinan yang membawa dampak lingkungan. Dengan tidak adanya pengaturan tersebt menyebabkan penegakan hukum administrasi dalam pengelolaan lingkungan hidup menjadi tidak sistematis, misalnya pendirian sebuah perusahaan harus memiliki izin lokas, izin undang-undang Gangguan oelh Pemerintah Daerah, dan izin usaha industri oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian.

69

Adrian Sutedi, Op.Cit, Hal 243. 70


(15)

peraturan perundang-undangan mengaturnya. Misalnya, izin yang bersifat terikat adalah IMB, izin HO, izin usaha industri, dan lain-lain.

Pembedaan pada izin yang bersifat bebas dan terikat adalah penting dalam hal apakah izin dapat ditarik kembali/dicabut atau tidak. Pada dasarnya hanya izin sebagai keputusan TUN yang terdapat persyaratan-persyaratan yang mengikat dimana izin tidak dapat ditarik kembali/dicabut.

Pada izin yang bersifat terikat, pembuat undang-undang menformulasikan syarat-syarat dimana izin diberikan dan izin dapat ditarik kembali/dicabut. Hal penting dalam pembedaan di atas adalah dalam hal menentukan kadar luasnya dasar pengujian oleh hakim tata usaha negara apabila izin sebagai keputusan tersebut digugat. Pada wewenang menetapkan izin yang terikat, hakim relatif akan menguji lebih lengkap dibanding dengan wewenang yang bebas dalam menetapkan izin, sehingga bila banyak kebebasan yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menetapkan izin, maka hakim akan membatasi diri pada pengujian ala kadarnya pada undang-undang dan asas- asas umum pemerintahan yang baik.

3) Izin yang bersifat menguntungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan merupakan titik pusat yang memberi anugerah kepada yang bersangkutan. Dalam arti, yang bersangkutan diberikan hak-hak atau pemenuhan tuntutan yang tidak akan ada tanpa keputusan tersebut. Misalnya izin yang menguntungakan adalah SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain.

4) Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan kepadanya. Di samping itu, izin yang bersifat memberatkan merupakan pula izin yang memberikan beban kepada orang lain atau masyarakat disekitarnya. Misalnya, pemberian izin kepada perusahaan


(16)

tertentu. Bagi mereka yang tinggal di sekitanya yang merasa dirugikan isin tersebut merupakan suatu beban. Pembedaan atas izin yang bersifat menguntungkan dengan izin yang bersifat memberatkan adalah penting dalam hal penarikan kembali/pencabutan dan perubahannya. Izin sebagai keputusan yang menguntungkan tidak begitu gampang dapat ditarik kembali atau diubah atas kerugian yang berkepentingan. Adapun penarikan kembali/pencabutan dan perubahan izin yang bersifat memberatkan biasanya tidak terlalu menjadi soal.

5) Izin yang segera berakhir, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang akan segera berakhir atau izin yang masa berlakunya relatif pendek, misalnya izin mendirikan bangunandan berakhir saat bangunan selesai didirikan.

6) Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, misalnya izin usaha industri dan izin yang berhubungan dengan lingkungan. Pembedan antara izin yang segera berakhir dengan izin yang berlangsung lama adalah penting dalam hak penarikan kembali dan masa berlakunya izin. Secara umum diakui bahwa setelah berlakunya tindakan-tindakan yang memerlukan izin seperti IMB berakhir, maka berakhirlah masa berlakunya izin tersebut. Di samping mengenai masa berlakunya izin, pembedaan di atas penting dalam hal penarikan kembali/pencabutan izin manakala izin diberkan secara salah karena perbuatan tercela dari pemegang izin.

7) Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat atau kualitas pribadi pemohon izin. Misalnya izin mengemudi (SIM).

8) Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat dan objek izin, misalnya izin HO, SITU, dan lain-lain.

Pembedaan antara izin yang bersifat pribadi dengan izin yang bersifat kebendaan adalah penting dalam hal kemungkinan mengalihkannya kepada pihak lain. Izin yang bersifat


(17)

pribadi tidak dapat dialihkan pada pihak lain, misalnya SIM tidak dapat dialihkan pada pihak lain, maka izin HO-nya secara otomatis beralih pada pihak lain dengan syarat nama perusahaan (nama PT) tidak berubah. Izin seperti itu harus ditaati oleh mereka yang secara nyata mengeksploitasi lembaga tersebut.

c. Elemen pokok perizinan

Berdasarkan pemaparan beberapa pakar mengenai pendefinisian perizinan, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu beradasrkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu sebagai berikut.71

1) Wewenang

Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi pelayanan, harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Om positief recht ten kunnen vasstellen en handhaven is een

bevoegheid noodzakelijk. Zonder bevoegheid kunnen geen juridisch concrete besluiten genomen worden,72

2) Izin sebagai bentuk ketetapan

(untuk dapat melaksanakan dan menegakkan ketentuan hukum positif perlu wewenang. Tanpa wewenang tidak dapat dibuat keputusan yuridis yang bersifat konkret.

Dalam negara hukum modern tugas dan kewenangan pemerintah tidak hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde), tetapi juga mengupaya kesejahteraan umum (bestuurzorg). Tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan keamanan

71

Ridwan.H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006), Hal 210-217. 72

F.A.M Stroink en J.G.Steenbeek, Inleiding in het Staats Administratief Recht. ( Alphen aan den Rijn: Samson H.D.Tjeenk Wilink. 1985), Hal 26


(18)

merupakan tugas klasik yang sampai kini masih tetap dipertahankan. Dalam rangka melaksanakan tugas ini kepada pemerintah diberikan wewenang dalam bidang pengaturan, yang dari fungsi pengaturan ini muncul beberapa instrumen yuridis untuk menghadapi peristiwa individual dan konkret, yaitu dalam bentuk ketetapan. Sesuai dengan sifatnya, individual dan konkret, ketetapan ini merupakan ujung tombak dari instrumen hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan,73 atau sebagai norma penutup dalam rangkaian norma hukum.74

Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang ynag namanya tercantum dalam ketetapan itu, atau beschikkingen welke iets

toestaan wat tevoren niet geoorloofd was,

Salah satu wujud dari ketetapan ini adalah izin.

75

(ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.76

3) Lembaga pemerintah

Lembaga atau kelembagaan, secara teoretis adalah suatu rule of the game yang mengatur tindakan dan menentukan apakah suatu organisasi dapat berjalan lancar secara efisien dan efektif.77

73

Sjachran Basah, Op.Cit, Hal 2. 74

Phillipus.M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998), Hal 125.

75

C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, (Alphen aan den Rij: Samson H.D.Tjeenk Wilink. 1984), Hal 69.

76

Ridwan.H.R, Op.Cit, Hal 211-212 77

North, 1990, dalam Lembaga Administrasi Negara, Standar Pelayanan Publik, Cetakan Pertama, Juli 2009, Hal 49.

Dengan demikian, tata kelembagaan dapat menjadi pendorong (enabling) pencapaian keberhasilan dan sekaligus juga bila tidak tepat dalam menata, maka


(19)

dapat menjadi penghambat (constaint) tugas-tugas termasuk tugas menyelenggarakan perizinan.

Menurut Bromly kelembagaan tidak hanya berperan dalam aturan main, tetapi juga menyangkut masalah kebijakan. Kelembagaan yang dimaksud mencakup pengaturan tentang distribusi kewenangan, organisasi yang mewadahi kewenangan yang ada.78

Lembaga pemerintah adalah lembaga yang menjaankan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Menurut Sjachran Basah, dari penelusuran berbagai ketentuan penyelenggaraan pemerintahan dapat diketahui bahwa mulai dari administrasi negara tertinggi (presiden) sampai dengan administrasi negara terendah (lurah) berwenang memberikan izin. Ini berarti terdapat aneka ragam administrasi negara (termasuk instansinya) pemberian izin, yang didasarkan pada jabatan yang dijabatnya baik d tingkat pusat maupn daerah.

79

Pengaruh pemerintah pada masyarakat melalui tugas mengurus mempunyai makna pemerintah terlibat dalam bidang kesejahteraan sosial dan ekonomi maupun pemeliharaan kesehatan dengan secara aktif menyediakan sarana, prasarana finansial, dan personal. Adapun pengaruh pemerintah pada masyarakat melalui tugas mengatur mempuyai makna bahwa pemerintah terlibat dalam penerbitan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan sistem-sistem perizinan. Melalui instrumen pengaturan tersebut pemerintah mengendalikan masyarakat dalam bentuk pengaturan termasuk izin yang

Antara pemerintah dan masyarakat terjalin suatu hubungan timbal balik, yakni pada satu sisi masyarakat mempengaruhi pemerintah dalam menjalankan tugasnya, pada sisi lain pemerintah memberi pengaruh tertentu pada masyarakat melalui tugas mengurus dan mengatur.

78

Adrian Sutedi, Op.Cit., Hal 181. 79

Sjachran Basah, “Sistem Perizinan Sebagai Instrumen Pengendali Lingkungan”. Makalah pada Seminar Hukum Lingkungan, diselenggarakan oleh KLH bekerja sama dengan Legal Mandate Compliance end Enforcement Program dari BAPEDAL 2-3 Mei 1996, Jakarta, Hal 3.


(20)

mengandung larangan dan kewajiban. Izin sendiri sebagai instrumen pengaturan yang paling banyak digunakan oleh pemerintah dalam mengendalikan masyarakat. Dengan demikian, izin sebagai salah satu instrumen pemerintah yang berfungsi mengendalikan tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 80

Terlepas dari beragamnya lembaga pemerintahan atau administrasi negara yang mengeluarkan izin, yang pasti adalah bahwa izin hanya boleh dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan. Menurut N.M.Spelt dan J.B.J.M ten Berge, keputusan yang memberikan izin harus diambil oleh lembaga yang berwenang, dan hampir selalu yang terkait adalah lembaga-lembaga pemerintahan atau administrasi negara. Dalam hal ini lembaga-lembaga-lembaga-lembaga pada tingkat penguasa nasional (seorang menteri) atau tingkat penguasa-penguasa daerah.

kenyataannya terdapat berbagai sistem izin dengan motif sejenis yang berdiri berdampingan yang diterapkan pada satu kegiatan usaha. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha industri dalam skala besar yang pada pendirnya ataupun pada pelaksanaannya dibutuhkan berbagai jenis izin mulai IMB, izin HO, izin usaha industri, izin tempat usaha (SITU), izin usaha kegiatan dagang, dan izin-izin lainnya yang menyertainya. Hal ini terjadi berhubung dengan adanya perkembangan bahwa di dalam bidang-bidang kebijaksanaan penguasa telah terjadi pengkhususan dari tujuan-tujuan kebijaksanaan. Oleh karena itu, timbul berbagai bidang bagian dan kebijaksanaan penguasa yang masing-masing diharuskan melalui sistem perizinan.

81

Beragamnya lembaga pemerintah yang berwenang memberikan izin dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran yang hendak dicapai. Artinya campur tangan pemerintah dalam bentuk regualasi perizinan dapat menimbulkan kejenuhan bagi pelaku kegiatan yang

80

Ridwan.H.R, Op.Cit, Hal 213-215. 81


(21)

membutuhkan izin, apalagi bagi kegiatan usaha yang menghendaki kecepatan pelayanan dan menuntut efisiensi.

Menurut Soehardjo, pada tingkat tertentu regulasi ini menimbulkan kejenuhan dan timbul gagasan yang mendorong untuk menyederhanakan pengaturan, prosedur, dan birokrasi. Keputusan-keputusan pejabat serng membutuhkan waktu lama, misalnya pengeluaran izin memakai waktu berbulan-bulan, sementara dunia usaha perlu berjalan cepat, dan terlalu banyaknya mata rantai dalam prosedur perizinan banya membuang waktu dan biaya.82 Oleh karena itu biasanya dalam perizinan banyak dilakukan deregulasi, yang mengandung arti peniadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang dipandang berlebihan itu pada umumnya berkenaan dengan campur tangan pemerintah atau negara, deregulasi itu pada dasarnya bermakna mengurangi campur tangan pemerintah atau negara dalam kegiatan bermasyarakat tertentu terutama di bidang ekonomi, sehingga deregulasi itu pada ujungnya bermakna debirokratisasi.83

Secara umum dapat dikatakan bahwa deregulasi dan debirokratisasi merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, yang umumnya dibuat dalam bentuk peraturan kebijaksanaan karena itu deregulasi dan debirokratisasi itu harus ada batas-batas yang terdapat dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan harus memperhatikan hal-hal berikut :

Meskipun deregulasi dan debirokratisasi ini dimungkinkan dalam bidang perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam kegiatan pemerintahan namun dalam suatu negara hukum tentu saja harus ada batas-batas atau rambu-rambu yang ditentukan oleh hukum.

84

a) Jangan sampai menghilangkan esensi dari sistem perizinan itu sendiri, terutama dalam fungsinya sebagai pengarah kegiatan tertentu.

82

Soehardjo, Hukum Administrasi Negara Pokok-Pokok Pengertian serta Perkembangannya di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1991), Hal 25.

83

Bagir Manan, Bentuk-Bentuk Perbuatan Keperdataan yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Daerah, ( Majalah Ilmiah Universitas Padjajaran, No 3 Volume 14. 1996), Hal 33.

84


(22)

b) Deregulasi hanya diterapkan pada hal-hal yang bersifat teknis administratif dan finansial. c) Deregulasi dan debirokratisasi tidak menghilangkan hal-hal prinsip dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar perizinan.

d) Deregulasi dan debirokratisasi harus memerhatikan asas-asas umum pemerintahan yang layak (oigemene beginselen van behooritjk bestuur).

Tata kewenangan dan organisasi di setiap instansi pemerintah dalam penyelenggaraan perizinan harus dilakukan dengan teratur, benar, dan tepat. Penataan kewenangan yang tidak tepat bisa berdampak pada :85

a) Terjadinya tumpang tindih kewenangan tugas-tugas penyelenggaraan perizinan di antara instansi atau unit kerja atau satuan kerja perangkat daerah;

b) Terjadinya konsentrasi kekuasaan terhadap tugas-tugas penyelenggaraan perizinan dalam satu atau beberapa instansi atau unit kerja atau satuan kerja perangkat daerah yang tidak dapat dikendalikan oleh unit yang lebih tinggi;

c) Terjadinya kewenangan tugas-tugas penyelenggaraan perizinan yang semu yang berjalan melampaui kewenangan yang seharusnya.

Adapun penataan organisasi yang tidak tepat bisa berdampak pada :86

a) Terjadinya tumpang tindih atau dobel tugas-tugas penyeleggaraan perizinan dalam instansi atau unit kerja atau satuan kerja atau perangkat daerah;

b) Terjadinya ketidakpastian dan ketidakjelasan power position;

c) Terjadinya keterputusan rangkaian data dan pengambilan keputusan dari suatu rantai ke rantai organisasi lainnya.

4) Peristiwa konkret

Izin merpakan instrumen yuridis berbentuk ketetapan, yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual. Peristiwa konkret artiya

85

Ibid, Hal 184 86


(23)

peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peritiwa konkret ini beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, izin pun memiliki berbagai keragaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dan kewenangan pemberi izin, macam izin, dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya.

Sekedar contoh, Dinas Pendapatan Daerah menerbitkan 9 macam jenis izin, Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan menerbitkan 5 jenis izin, Bagian Perekonomian menerbitkan 4 jenis izin, Bagian Kesejahteraan Rakyat menerbitkan 4 jenis izin, dan sebagainya.87 Berbagai jenis izin dari instansi pemberi izin dapat saja berubah seiring dengan perubahan kebijakan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin tersebut. Meskipun demikian, izin akan tetap ada dan digunakan dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kemasyarakatan.88

5) Proses dan prosedur89

Proses dan prosedur perizinan dapat meliputi proses pelayanan perizinan, proses penyelesaian perizinan yang merupakan proses inernal yang dilakukan oleh aparat/petugas. Dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut, masing-masing pegawai dapat mengetahui peran masing-masing dalam proses penyelesaian perizinan.

Pada umumnya permohonan izin harus memenuhi prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh prosedur tertentu, permohonan izin juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, pemohon izin juga harus memnuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan syarat perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin.

87

Sjachran Basah, Perizinan di Indonesia, (Makalah untuk Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan, Fakultas Hukum Unair Surabaya. November 1992), Hal 4-6.

88

Ridwan. H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajagrafindo. 2006), Hal 215-216. 89


(24)

Seiring dengan pelaksanaan perizinan, lack of competencies sangat mudah untuk dijelaskan. Pertama, proses perizinan membutuhkan adanya pengetahuan tidak hanya sebatas aspek legal dari proses perizinan, tetapi lebih jauh dari aspek tersebut. Misalnya untuk memberikan izin, pihak pelaksana juga harus mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari izin tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Seseorang yang dapat memperkirakan dampak yang bersifat multidimensi memerlukan pengetahuan yang luas baik dari segi konsepsional maupun hal-hal teknis. Dalam beberapa kasus, sangat sering ditemui aparatur pelaksana yang tidak memiliki syarat pengetahuan yan dimaksud. Alhasil, izin yang diberikan bisa jadi akan menimbulkan dampak yang buruk di masa depan.

Kedua, proses perizinan memerlukan dukungan keahlian aparatur tidak hanya

mengikuti tata urutan prosedurnya, tetapi hal-hal lain yang sangat mendukung kelancaran proses perizinan itu sendiri. Pengoptimalam penggunaan teknologi informasi, misalnya dianggap menjad solusi yang sangat tepat untuk mengefisienkan prosedur peizinan. Dengan demikian hampir di semua sektor perizinan dituntut untuk menggunakan sistem komputerisasi dan aparat yang tidak memiliki keahlian untuk mengoperasikan teknologi tersebut akan menjadi ganjalan. Aparat yang demikian, masih sangat banyak ditemui di lapangan.

Ketiga, proses perizinan tidak terlepas dari interaksi antara pemohon dnegan pemberi

izin. Dalam interaksi tersebut terkadang muncul perilaku menyimpang baik yang digunakan aparatur maupun yang dipicu oleh kepentingan bisnis pelaku usaha, sehingga aparatur pelaksana perizinan dituntut untuk memiliki perilaku yang positif dengan tidak memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Masih sangat sering dijumpai praktik-praktik yang tercela dalam proses perizinan seperti suap dan sebagainya. Di samping itu, Masalah perilaku juga menjadi persoalan manakala prinsi good governancedituntut untuk


(25)

dilakukan dalam pelayanan perizinan. Tidak selalu ditemui aparatur pelayanan yang memiliki sikap profesionalisme dan mengedepankan prinsip customer relationship manakala berhubungan dengan pihak yang diberi layanan.

Inti dari regulasi dan deregulasi peroses perizinan adalah pada tata cara dan prosedur perizinan. Untuk itu, isi regulasi dan deregulasi haruslah memenuhi nilai-nilai berikut: sederhana, jelas, tidak melibatkan banyak pihak, meminimalkan kontak fisik antar pihak yang melayani dengan yang dilayani, memiliki prosedur operasional standar, dan wajib dikomunikasikan secara luas.

6) Persyaratan90

Persyaratan merupakn hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh izin yang dimohonkan. Persyaratan perizinan tersebut berupa dokumen kelengkapan atau surat-surat.

Menurut Soehino, syarat-syarat dalam izin itu bersifat konstitutifatau kondisional. Bersifat konstitutif, karena ditentukan suatu perbuatan atau tigkah laku tertentu yang harus (terlebih dahulu) dipenuhi, artinya dalam hal pemberian izin itu ditentukan suatu perbuatan konkret, dan bila tidak dipenuhi dapat dikenai sanksi. Bersifat kondisional, karena karena penilaian tersebut baru ada dapat dilihat serta dapat dinilai setelah perbuatan dan tingkah laku yang diisyaratkan itu terjadi.91

90

Ibid, Hal 186. 91

Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan, (Yogyakarta: Liberty. 1984), Hal 97.

Penentuan prosedur dan persyaratan perizinan ini dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Meskipun demikian, pemerintah tidak boleh membuat atau menentukan prosedur dan persyaratan menurut kehendaknya sendiri secara arbiter (sewenang-wenang), tetapi harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari perizinan tersebut. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menentukan


(26)

syarat yang melampaui batas tujuan yang hendak dicapai oleh peraturan hukum yang menjadi dasar perizinan bersangkutan.92

Dalam regulasi dan deregulasi, persyaratan dalam proses perizinan menjadi satu yang paling utama. Arah perbaikan sistem perizinan ke depan, paling tidak memenuhi kriteria berikut :93

a) Tertulis dengan jelas

Regulasi sulit terlaksana dengan baik tanpa tertulis dengan jelas. Oleh karena itu regulasi perizinan pun harus dituliskan dengan jelas.

b) Memungkinkan untuk dipenuhi

Perizinan harus berorientasikan pada asas kemudahan untuk dilaksanakan oleh si pengurus izin. Meskipun tetap memperhatikan sasaran regulasi yang bersifat ideal.

c) Berlaku universal

Perizinan hendaknya tidak menimbulkan efek diskriminatif.

d) Memperhatikan spesifikasi teknis dan aspek lainnya yang terkait (termasuk memenuhi ketentuan internasional).

7) Waktu penyelesaian izin94

Waktu penyelesaian izin harus ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan samapi dengan penyelesaian pelayanan.

Dimensi waktu selalu melekat pada proses perizinan karena adanya tata cara dan prosedur yang harus ditempuh seseorang dalam mengurus perizinan tersebut. Dengan demikian regulasi dan deregulasi harus memenuhi kriteria berikut:

a) Disebutkan dengan jelas

b) Waktu yang ditetapkan sesingkat mungkin

92

Ridwan.H.R, Op.Cit, Hal 217. 93

Adrian Sutendi, Op.Cit, Hal 187. 94


(27)

c) Diinformasikan secara luas bersama-sama dengan prosedur dan persyaratan. 8) Biaya perizinan95

Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian izin. Penetapan besarnya biaya pelayanan izin perlu memperhatikan hal-hal berikut :

a. Rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran, dan pengajuan;

b. Ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan atau memperhatikan prosedur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembiayaan menjadi hak mendasar dari pengurusan perizinan. Namun, perizinan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk mengatur aktivitas masyarakat sudah seharusnya memenhi sifat-sifat sebagai publics good. Dengan demikian, meskipun terdapat pembiayaan, sesungguhnya bukan untuk sebagai alat baudgetaire negara. Oleh karena itu, harus emenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Disebutkan dengan jelas

b. Terdapat (mengikuti) standar nasional

c. Tidak ada pengenaaan biaya lebih dari sekali untuk setiap objek (syarat) tertentu. d. Perhitungan didasarkan pada tingkat real cost (biaya yang sebenarnya).

e. Besarnya biaya diinformasikan secara luas. 9) Pengawasan penyelenggaraan izin96

Saat sekarang kinerja pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah dituntut untuk lebih baik. Dalam abnyak hal memang harus diakui bahwa kinerja pelayanan perizinan pemerintah masih buruk. Hal ini disebabkan oleh: Pertama, tidak ada sestem insentif untuk melakukan perubahan. Kedua, buruknya tingkat pengambilan inisiatif dalam pelayanan

95 Ibid. 96


(28)

perizinan, ayng ditandai dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule

driven) dan petunjuk pimpinan dalam melakukan tugas pelayanan.

Pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah digerakkan oleh peraturan dan anggaran bukan digerakkan oleh misi. Dampaknya adalah pelayanan menjadi kaku, tidak kreatif dan tidak inovatif, sehingga tidak dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat yang selalu berkembang. Ketiga, budaya aparatur yang masih kurang disiplin dan sering melanggar aturan. Keempat, budaya paternalistik yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas utama, bukan kepentingan masyarakat.

Masalah pelayanan masyarakat yang diberikan oleh aparat birokrasi pemerintah merupakan suatu masalah penting bahkan seringkali variabel ini dijadikan sebagai alat ukur menilai keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas pokok pemerintah. Begitu juga halnya di daerah masalah pelayanan perizinan sudah menjadi program pemerintah yang secara terus-menerus ditingkatkan pelaksanaannya.

Adanya perbuatan metode atau sistem pelayanan perizinan ternyata tidak otomatis mengatasi masalah yang terjadi, sebab dari hari ke hari keluhan masyarakat bukannya berkurang malah semakin sumbang terdengar. Hal ini menunjukkan bahwa misi pemerintah, yaitu sebagai public service belum mampu memnuhi kebutuhan masyarakat. Sudah mulai sekaranglah seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang serius dalam upaya peningkatan dan perbaikan mutu pelayanan.

Antisipasi terhadap tuntutan pelayanan yang baik membawa suatu konsekuensi logis bagi pemerintah untuk memberikan perubahan-perubahan terhadap pola budaya kerja aparatur pemerintah. Sebagai upaya melakukan perubahan tersebut telah lahir Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang dalam Pasal 39 ayat (3) mengamanatkan agar masyarakat dilibatkan dalam pengawasan pelayanan publik. Namun,


(29)

tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (Pasal 39 ayat (4))

Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik mengemukakan bahwa pengawasan pelayanan publik dimaksudkan untuk menngkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan perizinan oleh aparatur pemerintah diberikan arahan mengenai prinsip-prinsip pelayanan pemerintah perizinan, yaitu antara lain prinsip kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, dan tanggung jawab serta kedisiplinan.

Untuk menerapkan prinsip-prinsip pelayanan perizinan di atas, tentunya memerlukan suatu dukungan pembuatan kebijakan. Salah satu dar kebijakan tersebut adalah dengan melakukan Pengawasan Melekat di lingkungan pemerintah telah lama diterapkan. Istilah Pengawasan Melekat setidaknya telah digunakan secara formal untuk pertama kalinya dalam Instruksi Presiden No.15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Kemudian, dalam instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 198 tentang Pedoman Pengawasan Melekat.

Pengertian Pengawasan Melekat seperti yang termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pengawasan Melekat merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendali yang terus-menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun, suatu kebijakan tidak begitu saja dapat diimplementasikan dengan baik. Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan perizina terus meningkat seiring dengan meningkatnya dinamika masyarakat itu sendiri. Apabila tidak diimbangi dengan konsistensi pelaksanaan kebijakan atau betapa banyaknya


(30)

kebijakan yang telah diambil pemerintah, maka hasilnya tetap saja dirasakan kurang memuaskan.

Keberadaan Ombudsman selain untuk menghadapi penyalahgunaan oleh aparatur pemerintah, juga membantu aparatur negara dalam melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil serta memaksa para pemegang kekuasaan untuk melaksanakan pertanggungjawaban yang baik.

10)Penyelesaian pengaduan dan sengketa97

Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan perizinan wajib menyelesaikan setiap pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan izin sesuai kewenangannya. Untuk menampung pengaduan masyarakat tersebut, unit pelayanan perizinan harus menyediakan loket/kotak pengaduan dan berbagai sarana pengaduan lainnya dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat. Apabilla pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pemberi izin yang bersangkutan dan terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui mekanisme penanganan pengaduan oleh instansi atau unit kerja yang memberikan pelayanan perizinan.

Mekanisme pengaduan merupakan mekanisme yang dapat ditempuh oleh pemohon izin atau pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin. Mekanisme pengaduan merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki kualitas pelayanan secara terus-menerus.

Untuk dapat menjadikan pengaduan sebagai sumber perbaikan pelayanan perizinan, maka pengaduan itu sendiri harus dikelola dengan baik dan benar.

Mekanisme penanganan pengaduan yang baik dan benar harus memenuhi unsur-unsur antara lain:

a) Penentuan prioritas pengaduan yang masuk ke loket atau kotak pengaduan dan berbagai sarana pengaduan lainnya;

97


(31)

b) Adanya prosedur penyelesaian pengaduan;

c) Adanya pejabat/petugas yang secara khusus bertanggung jawab atas pengaduan; d) Adanya standar waktu penyelesaian pengaduan.

Apabila penyelesaian pengaduan tersebut oleh pemohon atau pihak yang dirugikan akibat dikeluarkannya izin, maka dapat melakukan penyelesaian melalui jalur hukum, yakni melalui mediasi, Ombudsman, atau ke pengadilan untuk menyelesaikan sengketa hukum perizinan tersebut.

Regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia ke depan yang menjunjung tinggi good

governance, harus diwujudkan dnegan adanya berbagai pihak yang terlibat. Berikut ini yang

harus diperhatikan dalam hal tersebut;

a) Prosedur sederhana dibuka (dapat diakses) secara luas; b) Menjaga kerahasiaan pihak yang melakukan komplain; c) Menggunakan berbagai media;

d) Dilakukan penyelesaian sesegera mungkin;

e) Membuka akses penyelesaian sengketa melalu jalur pengadila atau nonpengadilan. 11)Sanksi98

Sebagai produk kebijakan publik, regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia ke depan perlu memperhatikan materi sanksi dengan kriteria berikut.

a) Disebutkan secara jelas terkait dengan unsur-unsur yang dapat diberi sanksi dan sanksi apa yang akan diberikan.

b) Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan. c) Mekanisme pengguguran sanksi

12)Hak dan kewajiban99

98

Ibid, Hal 192. 99

Ibid, Hal 192-193.


(32)

Hak dan kewajiban antara pemohon dan instansi pemberi izin harus tertuang dalam regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia. Dalam hal ini juga harus diperhartikan hal-hal berikut.

a) Tertulis dengan jelas b) Seimbang antar para pihak c) Wajib dipenuhi oleh para pihak

Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga dikemukakan hak dan kewajiban masyarakat (yang memohon izin) dan instansi pemberi pelayanan perizinan. Hak-hak masyarakat yaitu :

a. Mendapatkan pelayanan perizinan yang berkualitas sesuai dengan asa dan tujuan pelayanan;

b. Mengetahui sistem, mekanisme, dan prosedur pelayanan

c. Mendapatkan advokasi, perlindungan, dan pemenuhan pelayanan. Adapun kewajiban masyarakat adalah:

a) Mengawasi dan memberitahukan kepada instansi pemberi layanan perizinan untuk memperbaiki pelayanannya apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku;

b) Melaporkan penyimpangan pelaksanaan pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku;

c) Mematuhi dan memenuhi persyaratan, sistem, dan mekanisme prosedur pelayanan perizinan;

d) Menjaga dan turut memelihara berbagai sarana dan prasarana pelayanan umum; e) Berpartsispasi aktif dan mematuhi segala keputusan penyelenggaraan.


(33)

2. Penyelenggaraan Non-Perizinan

Ruang lingkup pelayanan penanaman modal yang diselenggarakan BKPM selain mecakup kegiatan pelayanan perizinan juga mencakup pelayanan non perizinan. Pasal 1 ayat (6) Perka BKPM Nomor 12 Tahun 2009 atau selanjutnya disebut Perka BKPM 12/2009 menyebutkan definisi pelayanan non-perizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Pedoman dan Tata Cara Permohonan Non-Perizinan Penanaman Modal selain diatur dalam Perka BKPM 12/2009, juga diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi teknis/kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) terkait, gubernur dan bupati/walikota.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (3) Perka BKPM 12/2009, yang termasuk pelayanan non-perizinan dan kemudahan lainnya adalah :

a. Fasilitas bea masuk impor mesin. Jangka waktu penerbitan surat persetujuan pemberian fasilitas menurut Pasal 46 ayat (4) Perka BKPM 12/2009 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Jangka waktu pemberian fasilitas ini diberikan 2 tahun dan dapat diperpanjang;

b. Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan. Jangka waktu penerbitan Surat Persetujuan pemberian fasilitas menurut Pasal 50 ayat (6) Perka BKPM 12/2009 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimnya permohonan yang lengkap dan benar. Sama dengan failitas impor mesin, jangka waktu ini diberikan 2 tahun dan dapat diperpanjang;

c. Usulan untu mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) badan. Jangka waktu penerbitan surat usulan untuk mendapatkan fasilitas PPh menurut Pasal 53 ayat (4) Perka


(34)

BKPM 12/2009 selambat-lambatnya 5 (lima) har kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar;

d. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) adalah angka pengenal yang dipergunakan sebagai izin untuk memasukkan (impor) mesin atau peralatan, barang, dan bahan untuk dipergunakan sendiri dalam proses produksi perusahaan penanaan modal yang bersangkutan. Jangka waktu penerbitan API-P menurut Pasal 54 ayat (5) Perka BKPM 12/2009 selambat-lambatnya 4 (empat) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Perusahaan pemilik API-P wajib mendaftarkan diri ulang di PTSP BKPM setiap 5 (lima) tahun sejak penerbitan;

e. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), adalah pengesahan rencana jumlah, jabatan, dan lama penggunaan tenaga kerja asing yang diperlukan sebagai dasar untuk persetujuan pemasukan tenaga kerja asing dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Jangka waktu penerbitan Surat Keputusan Pengesahan RPTKA menurut Pasal 56 ayat (4) Perka BKPM 12/2009 selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar;

f. Rekomendasi Visa Untuk Bekerja (TA.01), adalah rekomendasi yang diperlukan guna memperoleh visa untuk maksud kerja bagi tenaga kerja warga negara asing. Jangka waktu penerbitan rekomendasi TA.01 menurut Pasal 58 ayat 4 Perka BKPM 12/2009 selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Rekomendasi ini berlaku untuk jangka waktu 2 bulan sejak diterbitkan;

g. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), adalah izin bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing dalam jumlah, jabatan, dan periode tertentu. Perusahaan Penanaman Modal dan KPPA dapat mengajukan permohonan IMTA atas tenaga kerja asing yang telah memiliki visa untuk bekerja. Jangka waktu penerbitan Surat Keputusan IMTA menurut Pasal 59 ayat 5 Perka BKPM 12/2009


(35)

selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar;

h. Insentif Daerah;

i. Layanan informasi dan layanan pengaduan.

Fasilitas Fiskal mencakup fasilitas bea masuk atas impor mesin, fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan, dan usulan untuk mendapatkan fasilitas PPh badan. Sementara, fasilitas non-fiskal mencakup API-P, RPTKA, TA.01, dan IMTA. Permohonan fasilitas fiskal dan permohonan baru fasilitas non-fiskal bagi penanaman modal diajukan kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam hal perubahan/ perpanjangan fasilitas non-fiskal, permohonan diajukan kepada PTSP BKPM, PTSP Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) atau PTSP Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM).

Dihubungkan dengan prinsip sistem perizinan terpadu PTSP dalam UUPPLH, penjelasan umum angka 9 yang mengatakan “dibutuhkan suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan dan mengawasi dalam rangka keterpaduan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. PTSP menjadi upaya pemerintah melakukan terobosan mengatasi persoalan egosektoral dan birokrasi perizinan penanaman modal di Indonesia. Penyelenggaraan PTSP diharapkan dapat memberikan jaminan untuk dilaksanakannya pencegahan terhadap terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sebagai akibat pelaksanaan usaha atau kegiatan. Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem perizinan terpadu bidang lingkungan hidup untuk mewujudkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Penyelenggaraan PTSP masih perlu ditingkatkan kembali pada segi substansial, yakni mengandung keterpaduan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.100

100


(36)

B. Perlindungan terhadap Lingkungan Hidup melalui Izin Lingkungan

Manusia memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Aktivitasnya mempengaruhi lingkungannya, sebaliknya manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Hubungan timbal-balik demikian terdapat antara manusia dengan individu atau kelompok atau masyarakat dan lingkungan alamnya.101

Masalah lingkungan telah ada dan berkembang sedemikian cepatnya, baik di tingkat nasional maupun internasional (global dan regional) sehingga tidak ada suatu negara pun dapat terhindar daripadanya. Setiap keputusan yang diambil terhadapnya menyangkut kehidupan setiap anak yang sudah lahir dan menjangkau nasib setiap anak yang lahir kemudian. Hanya ada satu dunia dan penumpangnya adalah manusia seutuhnya.102

Salah satu sarana untuk memberikan perlindugan hukum preventif adalah dengan menempatkan instrumen perizinan pada posisi yang kuat. Selama ini instrumen perizinan khususnya yang berkaitan dengan lingkungan sering dalam posisi yang tidak tepat atau dapat dikatakan lemah, serta tidak memperhatikan terhadap kepentingan lingkungan itu sendiri. Dengan kedudukan yang demikian maka perlindungan lingkungan tidak maksmal dan tanpa disadari mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan ekologis yang sulit dipulihkan dalam jangka panjang. Oleh karena itu menegaskan kembali peran dan posisi Analsis Mengenai Dampak Lingkungan (selanjutnya disebut Amdal) dalam sistem hukum sehingga memperbaiki kedudukannya di mata hukum.

103

1. Kewajiban dokumen analisis mengenai dampak lingkungan

Pengertian Amdal sebagaimana dikemukakan oleh Otto Soemarwoto, berasal dari

National Environmental Policy Act (NEPA) 1969 Amerika Serikat, Environmental Impact

101

Daud Silalahi, Op.Cit, Hal 8. 102

Ibid, Hal 9. 103

Taufik Iman Santoso, Politik Hukum Amdal, Amdal dalam perspektif Hukum Lingkungan dan Administrasi, (Malang: Setara Press. 2009), Hal 4.


(37)

Assessment/ Amdal dimaksud sebagai alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap

kerusakan lingkungan yang mungkin timbul oleh suatu aktivitas pembangunan.104 Konsep Amdal merupakan bagian dari ilmu ekologi pembangunan yang mempelajari hubungan timbal balik atau interaksi antara pembangunan dan lingkungan. Secara fundamental fungsi Amdal adalah dalam rangka internalisasi pertimbangan lingkungan dalam proses perencanaan, pembuatan program, dan pengambilan keputusan. Hal tersebut dikuatkan seperti ungkapan dalam buku pegangan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (US Agency for International Development / AID) menyatakan bahwa tujuan Amdal adalah untuk menjamin bahwa pertimbangan lingkungan telah diikutsertakan dalam perencanaan, rancang bangun (design) dan pelaksanaan proyek.105

Dengan demikian Amdal merupakan bagian dari sistem perencanaan, Amdal seharusnya dapat memberikan landasan bagi pengelolaan lingkungan. Sebagai “scientific

prediction”, Amdal memberikan gambaran yang jelas secara ilmiah tentang analisis kegiatan

dan dampak yang mungkin akan ditimbulkan oleh sebuah kegiatan. Amdal seharusnya ditempatkan pada posisi yang strategis dalam upaya memberikan perlindungan preventif dalam perizinan suatu kegiatan yang berwawasan lingkungan. Admal sudah seharusnya instrumen pencegahan dan penataan serta pengendalian masalah lingkungan yang utama dalam komponen pemberian izin, hal ini karena Amdal memberikan antisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi terhadap lingkungan. Amdal merupakan suatu instrumen preventif yang menganalisa secara kompherensif seluruh komponen lingkungan dan kegiatan serta dampaknya. Berbagai aspek dianalisa secara terpadu dalam dokumen Amdal, oleh karena itu penetapan perizinan sebagai upaya perlindungan preventif selayaknya mengacu pada hasil analisis Amdal.106

104

Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1999), Hal 36.

105

Taufik Iman Santoso, Op.Cit, Hal 4. 106

Ibid, Hal 5-6.


(38)

Daud Silalahi menyatakan bahwa implikasi terhadap penerapam hukum lingkungan telah memberikan nuansa hukum baru dimana ketentuan hukum mengenai Amdal dalam perundang-undangan Amerika Serikat memperlihatkan sifat-sifat teknis dan ilmiah yang mempengaruhi penafsiran kaidah hukumnya, sehingga tidak terbatas pada prinsip legalitas saja, akan tetapi juga analisis yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekologi yang menekankan pada analisis ilmiah.107

Dari pendapat tersebut maka dapat dipahami bahwa Amdal adalah bagian sistem perizinan yang mempertemukan masalah hukum dan teknis lingkungan yang diintegrasikan dalam suatu sistem hukum lingkungan yang baru. Oleh karena itu, Amdal dan izin harus menjadi satu kesatuan hukum, Amdal dan izin harus menjadi satu kesatuan hukum, Amdal sebagai teknis analisa lingkungan dengan izin sebagai legalitasnya.108 Hal ini karena dari fungsinya menurut Philipus M.Hadjon bahwa izin adalah instrumen yuridis preventif, dimana fungsinya izin dapat mengarahkan/mengendalikan terhadap aktifitas tertentu, di samping itu izin juga dapat melindungi obyek tertentu serta mencegah adanya bahaya.109

Dalam konteks perlindungan represif untuk masyarakat adalah putusan kelayakan lingkungan/Amdal yang menjadi landasan keputusan(beschiking), Badan atau pejabat Tata Usaha Negara dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam penetapan sanksi dan standar perbuatan yang sepatutnya harus dilaksanakan sehingga dapat dilakukan pembatalan perizinan kegiatan atau usaha. Apabila secara tegas pemrakarsa telah melanggar ketentuan teknis pengelolaan lingkungan sebagaimana yang telah dijelaskan secara jelas dan tegas dalam dokumen Amdal yang direkomendasikan dan sebagai batu uji atau tolok ukur bahwa pemrakarsa telah sepatutnya diduga melakukan perbuatan melawan hukum.110

107

Daud Silalah, AMDAL Dalam Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia, (Bandung: Alumni. 2002), Hal 29.

108

Ibid, Hal 6. 109

Philipus M. Hadjon, Aspek-aspek Hukum Administrasi dari Keputusan Tata Usaha Negara, (KTUN) Izin, (Bandung: Makalah di Pelatihan Hakim PTUN. 1995).

110

Taufik Iman Santoso, Op.Cit, Hal 8-9


(39)

a. Amdal sebagai dokumen hukum

Kata dokumen terdiri dari dua kata. Menurut kamus hukum, pengertian “dokumen” yang berasal dari bahasa Belanda “document” mempunyai arti surat asli sebagai simpanan yang dianggap sebagai surat yang bernilai. Sedangkan pengertian hukum menurut Land adalah keseluruhan daripada peraturan-peraturan yang mana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib menaatinya, dan bagi pelanggaran terdapat sanksi. Oleh karena itu, hukum adalah hukum negara yang mempunyai peran untuk membimbing tingkah laku para pejabat negara dalam menjalankan tugasnya dan untuk menghukum pelanggar.

Sedangkan apabila kata dokumen dihubungkan dengan kata ilmiah, maka dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang tertulis yang berisi keterangan ilmiah, sedangkan apabila dikaitkan dengan kata hukm (dokumen hukum) maka dapat diartikan sebagai keterangan tertulis yang secara resmi dan mengikat siapapun yang terkait dengan keterangan-keterangan tersebut.

Oleh karena itu pengertian dokumen hukum berarti suatu surat asli dan yang mempunyai arti sebagai simpanan yang berisi tentang ketentuan-ketentuan dimana setiap orang wajib untuk mentaatinya dan dapat memberikan sanksi apabila orang tersebut melanggarnya. Pengertian “dapat” mengandung arti atau keterangan-keterangan atau ketentuan-ketentuan

b. Amdal sebagai kajian ilmiah dalam upaya perlindungan

Amdal telah merubah konsep hukum pengelolaan yang bersifat ekologis dan bersifat komprehensif.111

111

Daud Silalahi, AMDAL Op.Cit, Hal 23

Perubahan konsep ini didasarkan pada peran Amdal sebagai alat prediksi (scientifi prediction). Sebagai “scientific prediction” dalam konsep hukum Indonesia Amdal diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, dimana dinyatakan bahwa


(40)

Amdal adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.

2. Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan

Sesuai dengan makna Pasal 1 angka 35 UUPPLH , izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.Setelah memiliki Amdal, perusahaan wajib memiliki izin lingkungan yang merupakan prasayratan untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan. Aturan ini mendorong perusahaan harus mengikuti ketentuan baku mutu udara, baku mutu air, baku mutu air laut, dan baku kerusakan lingkungan hidup.

Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup mengamanatkan peraturan pemerintah tentang izin lingkungan. Pada tahun 2010, Kementrian Lingkungan Hidup menyusun rancangan peraturan pemerintah tenag izin lingkungan seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin lingkungan sebagai syarat pemberian izin usaha atau kegiatan bukan ancaman bagi bisnis dan investasi, sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi perusahaan. Penyususan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sempat dipertanyakan. Izin lingkungan dikhawatirkan memperumit proses perizinan. Izin itu justru memberikan kepastian hukum bagi pengusaha, bahwa sejak awal mereka telah memenuhi semua ketentuan di bidang lingkungan hidup.112

Izin lingkungan yang termuat dalam UUPPLH menggabungkan proses pengurusan keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin pembungan limbah, dan izin limbah bahan beracun berbahaya (B3). Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, keputusan kelayakan lingkungan hidup diurus di awal kegiatan usaha. Izin bidang

112


(41)

pertambangan, misalnya diurus sebelum pembangunan konstruksi tambang. Setelah konstruksi selesai, pengusaha harus mengurus surat izin pembuangan limbah cair dan B3. Sekarang ketiga perizinan itu digabungkan, diurus menjadi satu kali dalam menjadi izin lingkungan. Syaratnya yaitu analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL), dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Tanpa ketiga dokumen tersebut, izin lingkungan tidak akan diberikan.113

Pada UUPPLH, izin lingkungan bukan birokrasi perizinan, tetapi merupakan intrumen pengendalian dan pengawasan risiko lingkungan dari berbagai kegiatan. Izin lingkungan justru menghindarkan pengusaha dari ekonomi biaya tinggi karena cukup mengurus satu isi satu kali saja. Perusahaan tidak bisa “main-main” dengan UU ini, karena pelanggaran izin ingkungan mengakibatkan sanksi adinistratif dan pidana. Sanksi administratif bisa berupa teguran tertulis, paksaan, hingga pembekuan, dan pencabutan izin lingkungan. Tanpa izin lingkungan, tentu perusahaan tidak bisa menjalankan usahanya. Sedangkan sanksi pidana bisa berupa penjara belasan tahun dan denda hingga puluhan miliar rupiah.

114

Sebelum pemberlakuan UU Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 (UULH), Indonesia belum mengenal jenis “izin lingkungan” ( milieuvergunig atau environmental

licence) sebagaimana umumnya diterapkan di negara maju. Misalnya, pada saat merumuskan

ketentuan Pasal 7 UULH para konseptor undang-undang tidak menambah jenis izin baru ke dalam sistem hukum Indonesia, mengingat sudah cuku banyak jenis izin yang berlaku.115

113

Ibid, Kompas Harian

Perumusan Pasal 7 UULH menyebutkan bahwa kewajiban memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

114

Menteri Negara Lingkungan Hidup, 115

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press. 2005), Hal 165.


(42)

Setelah berlakunya UULH dalam perkembangannya tak dapat dihindari muncul jenis izin baru di bidang pengelolaan lingkungan, yaitu izin pembuangan limbah cair, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Menurut Siti Sundari Rangkuti, ketentuan tentang jenis izin lingkungan yang sebelumnya tidak mempunyai landasan undang-undang yaitu UULH, sehingga perlu ditingkatkan kekuatan hukumnya dalam bentuk undang-undang. Perizinan menyangkut pembatasan hak dan kewajiban warga negara, sehingga hanya layak diatur sebagai muatan undang-undang seperti yang termaktub dalam PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.

Secara yuridis, hukum positif yang mengatur izin lingkungan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan atau yang selanjutnya disebut UU Izin Lingkungan. Dalam pasal 1 ayat (1) UU Izin Lingkungan disebutkan bahwa izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL, dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan.

Ketentuan mengenai permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan diatur dalam Bab IV Pasal 42-53 peraturan ini. Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis oleh penanggungjawab Usaha dan/atau Kegiatan selaku Pemrakarsa kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Permohonan Izin Lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL-UPL.

Permohonan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), harus dilegkapi dengan:

a. Dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;

b. Dokumen pendirian Usaha dan atau/atau Kegiatan c. Profil Usaha dan/atau Kegiatan.


(43)

Setelah menerima permohonan Izin Lingkungan tersebut, Menteri. Gubernur, dan bupati/walikota wajib mengumumkan permohonan Izin Lingkungan yang dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi Usaha/Kegiatan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen Andal dan RKL-RPL yang diajukan dinyatakan lengkap secara adminisrtasi. Terhadap hasil pengumuman tersebut, masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak diumumkan, yang disampaikan melalui wakil masyarakat yang terkena dampak dan/atau organisasi masyarakat yang menjadi Komisi Penilai Amdal.

Dalam rangka penerbitan Izin Lingkungan, maka Izin Lingkungan diterbitkan oleh : a. Menteri, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL

yang diterbitkan oleh Menteri;

b. Gubernur, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang dterbitkan oleh gubernur; dan

c. Bupati/walikota, untuk Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan oleh bupati/walikota.

Setelah pemohon izin lingkungan tersebut memperoleh izin lingkungan, maka pemegang izin lingkungan memiliki kewajiban :

a. Menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam izin lingkungan da izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. Membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, dan

c. Menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Penyelenggaraan izin lingkungan merupakan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya lingkungan hidup memperhitungkan kemampuan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup itu sendiri. Di sisi lain, penyelenggaraan izin lingkungan justru dianggap mempersulit aktivitas investasi di Indonesia. Izin


(44)

lingkungan merupakan hambatan bagi pengusaha melakukan akivitas sementara oleh beberapa instansi pemerinta, izin lingkungan dianggap penyelenggaraan kewenangan untuk mendapatkan pemasukan pendapatan bagi keuangan negara, sehingga pemberlakuan UUPPLH yang mengintegrasikan beberapa izin lingkungan menjadi satu sistem izin lingkungan terpadu memunculkan pertentangan antar institusi di Pemerintahan.116

Berdasarkan makna lingkungan hidup dan makna perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup sangat luas. Tidak saja tentang kualitas air, polusi udara, tanah, dan kebisingan, juga tentang pengeloaan sumber daya alam seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya.

Di dalam UUPM, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Penyelenggaraan izin lingkungan merupakan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup akibat usaha/kegiatan yang wajib Amdal dan UKL-UPL. Demikian hal nya dalam pelaksanaan penanaman modal juga harus menjamin kelestarian lingkungan hidup, sebagaimana yang menjadi tanggung jawab penanam modal. Kegiatan penanaman modal sangat rentan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup, yaitu pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan. Untuk itu, izin lingkungan juga menjadi “pintu” pengendalian yang dibentuk guna menciptakan penanaman modal yang menjamin perlindungan lingkungan hidup. Upaya ini dilakukan melalui penerapan kewajiban Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan penerbitan Izin Lingkungan yang telah diuraikan sebelumnya.

116


(45)

Pengelolaan sumber daya lingkungan hidup memperhitungkan kemampuan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup itu sendiri. Di sisi lain, penyelenggaraan izin lingkungan justru dianggap mempersulit aktivitas investasi di Indonesia. Izin lingkungan merupakan hambatan bagi pengusaha melakukan akivitas sementara oleh beberapa instansi pemerintah, izin lingkungan dianggap penyelenggaraan kewenangan untuk mendapatkan pemasukan pendapatan bagi keuangan negara, sehingga pemberlakuan UUPPLH yang mengintegrasikan beberapa izin lingkungan menjadi satu sistem izin lingkungan terpadu memunculkan pertentangan antar institusi di Pemerintahan.117

117

Ibid, Hal 199.

Upaya perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan melalui pelaksanaan penanaman modal agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta mahkluk hidup lain.

Pemerintah harus mengedepankan upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan/usaha penanaman modal, sehingga perlu mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan lingkungan hidup, salah satunya melalui instrumen izin lingkungan.


(1)

sekerja dalam pelayanan. Tetap semangat dan jangan menyerah. Ut Omnes Unum Sint ;

11. Rekan-rekan Pengurus Komisariat GMKI FH USU MB 2012-2013, terkhusus Ketuaku Ricky Aritonang dan Bendaharaku Defina Simangunsong, SH. Tetaplah menjadi teladan baik ;

12. Rekan-rekan Badan Pengurus Cabang GMKI Medan MB 2013-2015, terkhusus Ruben Panggabean, Agnas Nainggolan, Erwin Sinaga, Marisi Panggabean, Christison Pane, Gunawan Purba dan BPC lainnya yang memberikan banyak motivasi dan inspirasi bagi Penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini di tengah kewajiban tugas pelayanan. Tetaplah setia dan jangan menyerah ;

13. Rekan-rekan Badan Pengurus Cabang se-Indonesia yang menjadi inspirasi dan motivasi bagi Penulis dalam perjuangan studi dan pelayanan. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya. Ut Omnes Unum Sint ;

14. Rekan-rekan Leadership Capacity Building, terimakasih kepada Panitia. Fasilitator, dan seluruh Peserta LCB 2014 yang memberikan inspirasi yang luar biasa bagi rencana perjuangan masa depan Penulis.

15. Saudara-saudari terkasih Kelompok Kecil Rogate ( Bang Bona Manihuruk, Merty Pasaribu, Dona Manalu, Meirita Pakpahan) yang telah memberikan banyak doa dan dukungan penuh kasih dan kesabaran sehingga Penulis selalu bersemangat menyelesaikan skripsi ini ;

16. Rekan-rekan MCC Udayana 2013 dan Komunitas Peradilan Semu FH USU yang telah memberikan inspirasi bagi penulis selama masa perkuliahan ;

17. Adik-adik “Anak Kos Bolang Berdikari 3” (Meilinda, Fredrik, Frans, Scott, Mazmur) yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat. Sungguh mengasihi kalian ;


(2)

18. Rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Hukum Eknomi (IMAHMI) FH USU. Semoga ikatan ini semakin kuat dan bermanfaat luas dikemudian hari. Jaya IMAHMI.

19. Rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu selama proses penulisan skripsi ini.

Demikianlah Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir semua.

Medan, Agustus 2014 Penulis,


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Penanaman Modal ... 9

2. Pengertian Pengendalian Penanaman Modal ... 13

3. Ruang Lingkup Pengendalian Penanaman Modal ... 14

4. Pengertian Perlindungan Lingkungan Hidup ... 16

5. Ruang Lingkup Perlindungan Lingkungan Hidup ... 17

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA A. Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal ... 26

1. Tata Cara Pemantauan Pelaksanaan Penanaman Modal ... 26

2. Tata Cara Pembinaan Pelaksanaan Penanaman Modal ... 30

3. Tata Cara Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal ... 32


(4)

B. Lembaga yang Berwenang Melakukan Pengendalian

Pelaksanaan Penanaman Modal ... 32 1. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ... 32 2. Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal

(PDPPM) ... 35 3. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman

Modal (PDKPM) ... 37 C. Pengaturan Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

di Indonesia ... 38 1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal ... 38 2. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) ... 41 3. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

RI Nomor 3 Tahun 2012 ... 43

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PENGENDALIAN PENANAMAN MODAL

A. Perlindungan terhadap Lingkungan Hidup melalui

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) ... 45 1. Penyelenggaraan Perizinan ... 52 2. Penyelenggaraan Non-Perizinan ... 80 B. Perlindungan terhadap Lingkungan Hidup melalui Izin

Lingkungan ... 83 1. Kewajiban Dokumen Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan ... 84 2. Permohonan dan Penerbitan Izin

Lingkungan ... 88

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP KEGIATAN PENANAMAN MODAL YANG TIDAK MEMENUHI KEGIATAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP A. Kegiatan Penanaman Modal dan Sengketa Perlindungan

Lingkungan Hidup ... 96 1. Dampak Kegiatan Penanaman Modal terhadap


(5)

Lingkungan Hidup ... 98 2. Pelanggaran-pelanggaran Perlindungan Lingkungan

Hidup dalam Kegiatan Penanaman Modal ... 101 3. Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Perlindungan

Lingkungan Hidup dalam Kegiatan Penanaman Modal ... 103 B. Sanksi terhadap Pelaksanaan Penanaman Modal yang

Tidak Memenuhi Kegiatan Perlindungan Lingkungan Hidup ... 113 1. Sanksi Administratif ... 114 2. Sanksi Pidana ... 117 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 120 B. Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA


(6)

Perlindungan Lingkungan Hidup melalui Pengaturan Pengendalian

Penanaman Modal

ABSTRAK

Ruth Sonya Octavia *

Budiman Ginting ** Mahmul Siregar ***

Penanaman modal merupakan salah satu sumber dana dalam pembangunan ekonomi nasional negara dengan mengundang investor (penanam modal) terutama asing agar bersedia menanamkan modalnya. Kegiatan penanaman modal juga memberikan dampak terhadap eksistensi lingkungan hidup, sehingga diperlukan suatu upaya untuk menjaga keberlangsungannya. Pengendalian penanaman modal merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan fungsi penanaman modal yang berwawasan lingkungan. Untuk itu, penting rasanya mengkaji pengaturan pengendalian penanaman modal sebagai upaya perlindungan lingkungan hidup. Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan pengendalian pelaksanaan penanaman modal, perlindungan lingkungan hidup melalui pengendalian penanaman modal, dan akibat hukum terhadap kegiatan penanaman modal yang tidak memenuhi perlindungan lingkungan hidup.

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang dikumpulkan mealui studi pustaka yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

Berwawasan lingkungan merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan sebagai dasar pelaksanaan penanaman modal, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan penanaman modal wajib menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh penanam modal dalam setiap usaha/kegiatannya (Pasal 6 huruf d Perka BKPM Nomor 3 Tahun 2012). Untuk menjamin keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup, maka Pemerintah membentuk suatu kebijakan pengendalian pelaksanaan penanaman modal, sebagai bentuk upaya mengendalikan penanaman modal yang berwawasan lingkungan. Pengendalian pelaksanaan penanaman modal berperan dalam rangka perlindungan lingkungan hidup karena dalam setiap penanam modal berkewajiban untuk mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup bila perusahaannya mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sesuai peraturan yang berlaku (Pasal 5 huruf j Perka BKPM Nomor 3 Tahun 2012). Penanaman modal yang tidak memenuhi tanggungjawab pelestarian lingkungan dapat dikenai sanksi, baik administratif maupun pidana.

Kata kunci : perlindungan, lingkungan, pengendalian, modal.

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II