Kegiatan Penanaman Modal dan Sengketa Perlindungan Lingkungan Hidup

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP KEGIATAN PENANAMAN MODAL YANG TIDAK MEMENUHI KEGIATAN PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Kegiatan Penanaman Modal dan Sengketa Perlindungan Lingkungan Hidup

Kajian penanaman modal dan lingkungan hidup, dewasa ini mendapat perhatian luas, tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat awam. Korelasi antara penanaman modal dengan gejala kerusakan dan degradasi kualitas lingkungan kian kuat seiring dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan yang massif yang “diduga” disebabkan oleh aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia. Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia memang merupakan gejala sistemik, artinya tidak hanya disebabkan oleh eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab, tetapi juga andil dari pemerintah dan masyarakat. Birokrasi yang rumit ditambah budaya korup pejabat serta kultur masyarakat yang belum maju menjadi setumpuk masalah yang memicu kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah. 118 Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam pengertian luas, sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan kepentingan antara dua pihak atau yang lebih sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam di samping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga dapat menimbulkan kerugian kepada kelompok lain. 119 Sengketa lingkungan hidup environmental disputes sebenarnya tidak terbatas pada sengketa-sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa-sengketa yang terjadi karena adanya rencana-rencana kebijakan pemerintah dalam bidang pemanfaatan dan peruntukan lahan, pemanfaatan hasil 118 Natsir Asnawi, Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup Suatu Kajian dalam Konteks Hukum Visioner, http:natsirasnawi.blogspot.com201007penanaman-modal-dan-lingkungan-suatu.html , diakses pada 22 Juli 2014 pukul 18.56. 119 Takdir Rahmadi, Op.Cit, Hal 266. Universitas Sumatera Utara hutan, kegiatan penebangan, rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik, rencana pembangunana waduk, rencana pembangunan saluran udara tegangan tinggi. Dengan demikian, pengertian sengketa lingkungan mencakup konteks yang relatif luas. 120 Semuanya ini merupakan aspek dinamika sosio-environmental, yang mekanisme penyelesaiannya masuk kepada institusi-inst itusi penyelesaian sengketa. Ada pilihan yang diambil oleh mereka yang terlibat dalam sengketa, yakni dapat melalui pengadilan, dan dapat pula kepada institusi lain di luar pengadilan yang sifatnya alternatif, atau lazim disebut penyelesaian sengketa alternatif. Dikecualikan dari pilihan demikian, ialah jika menyangkut hal-hal kriminal environmental crime, sengketa demikian harus tetap melalui pengadilan. Kasus-kasus lingkungan, tidak hanya terjadi antara pelaku usaha dengan pihak masyarakat, tetapi juga antara sesama pelaku usaha dalam hal interaksi usaha yang berekses lingkungan dan sumber daya, antara pelaku usaha dengan pemerintahpengelola kebijakan, dan antara masyarakat dengan pemerintah pula. Bahkan antar sesama masyarakat sendiri bisa terjadi sengketa menyangkut lingkungan, misalnya perebutan atau penguasaan badan-badan air di desa, pembakaran sampah menimbulkan tetangga “ribut-ribut”. 121 1. Dampak kegiatan penanaman modal terhadap lingkungan hidup Sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH dirumuskan dalam pasal 1 butir 25 sebagai “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan berpotensi danatau telah berdampak pada lingkungan hidup”. Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya spesies tertentu adalah beberapa contoh dari masalah lingkungan hidup. Dalam literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelpmpokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan environmental pollution, pemanfaatan lahan secara salah land misuse, dan 120 Ibid. 121 N.T.H Siahaan, Hukum Lingkungan, Jakarta: Pancuran Alam. 2009, Hal 259-260. Universitas Sumatera Utara pengurasan atau habisnya sumber daya alam natural resource depeletion. 122 Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu pencemaran lingkungan environmental pollution dan perusakan lingkungan hidup. 123 Pengurasan sumber daya alam natural resource depeletion diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam secara tidak bijaksana sehingga sumber daya alam itu baik kualitasnya maupun kuantitasnya menjadi berkurang atau menurun dan pada akhirnya akan habis sama sekali. Ancaman akan habisnya sumber daya alam, terutama terjadi pada sumber daya alam yang tidak terbarui., misalnya minyak bumi, gas alam, batu bara atau mineral pada umumnya. Jenis sumber daya alam yang tak terbarui akan habis sebelum waktunya jika pemanfaatannya tidak disertai dengan kebijakan konsevarsi. Meskipun beberapa jenis sumber daya alam tergolong ke dalam sumber daya alam yang dapat diperbarui atau tersedia secara tetap, kegiatan-kegiatan manusia dapat menyebabkan sumber daya alam itu menjadi kurang kualitasnya. 124 Perbedaan pokok antara pencemaran dengan terkurasnya sumber daya alam adalah bahwa pencemaran dapat terjadi karena hadirnya atau masuknya sesuatu zat, energi atau komponen ke dalam lingkungan hidup atau ekosistem tertentu. Dengan demikian, zat, energi, atau komponen itu merupakan sesuatu yang asing atau yang pada mulanya tidak ada di dalam suatu kawasan lingkungan hidup kemudian hadir dalam kuantitas atau kualitas tertentu karena dimasukkan oleh kegiatan manusia. Sebaliknya, pengurasan sumber daya alam mengandung arti sumber daya alam yang terletak atau hidup di dalam konteks asalnya atau kawasan asalnya, kemudian oleh manusai diambil secara terus menerus dan tidak terkendali 122 Richard Stewart and James E.Krier, Environmental Law and Policy, New York: The Bobbs Merril Co.inc.1978, Hal 3-5. 123 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012, Hal 1. 124 Ibid, Hal 2. Universitas Sumatera Utara dengan cara dan jumlah tertentu sehingga menimbulkan perubahan dan penurunan kualitas lingkungan hidup. 125 Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi economic cost, dan terganggunya sistem alami natural system. 126 a. Kesehatan Dampak terhadap kesehatan manusia terutaa bersumber dari pencemaran lingkungan. Dampak pencemaran lingkungan seringkali baru dapat dirasakan setelah beberapa tahun atau puluhan tahun sejak masuknya suatu zat ke dalam lingkungan hidup. b. Estetika Dewasa ini orang mengharapkan dapat menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak sekerdar terbebas dari pencemaran lingkungan hidup yang dapat membahayakan kesehatan mereka, tetap juga bebas dari gangguan-gangguan lain, yang meskipun tidak terlalu membahayakan kesehatan, tetapi dpat merusak segi-segi dari estetika lingkungan hidupmereka atau leingkungan tempat tinggal mereka. Jadi masalah keindahan estetika dan kebersihan juga merupakan kepedulian banyak orang. Banyak orang menolak adanya gangguan berupa bau, kebisingan, atau kabut yang melanda tempat tinggal mereka. c. Estetika Secara umum dapat digambarkan kerugian-kerugian ekonomi yang diderita oleh para penderita pencemaran berupa biaya pemeliharaan atau pembersihan rumah, biaya perobatan atau dokter, dan hilang atau lenyapnya mata pencaharian. Para petani akan mengalami kerugian karena sawahnya tau tambak ikannya rusak karena zat-zat pencemar. Kegiatankegiatan rekreasi seperti berenang, berperahu, memancing ikan menjadi terganggu 125 Ibid, Hal 3. 126 Richard Stewart and James E. Krier, Op.Cit, Hal 6-7. Universitas Sumatera Utara atau lenyap sama sekali karena sungai, laut, atau danau yang tercemar tidak lagi layak untuk rekreasi. d. Terganggunya ekosistem alami kegiatan manusia dapat mengubah sistem alami. Misalnya penenbangan atau penggundulan hutan dapat mengubah iklim global, terjadinya musim kering yang luar biasa atau timbulnya badai. Begitu pula penggundulan hutan dan penggembalaan terknak dalam jumlah besar secara tidak bijaksana dapat menimbulkan terjadinya gurun pasir atau memperluas gurun pasir yang telah ada seperti yang terjadi di Gurun Sahara, Afrika Utara. Pembangunan dam juga dapat mengubah sistem ekologis suatu kawasan, yang akibat- akibatnya tidak dapat segera diketahui oleh manusia. Masih banyak lagi dampak kegiatan penanaman modal terhadap lingkungan hidup. Kegiatan penanaman merupakan kebijakan yang dibentuk untuk mencapai tujan kesejahteraan warga masyarakat. Untuk hal tersebut, pengendalian terhadap kegiatan penanaman modal ini harus dilaksanakan dengan baik dan seksama oleh pemerintah dan pihak terkait lainnya, sehingga dapat memperkecil dampak negatif yang akan timbul. 2. Pelanggaran-pelanggaran perlindungan lingkungan hidup dalam kegiatan penanaman modal Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bentuk masalah lingkungan hidup yang rentan terjadi akibat pelanggaran yang dilakukan, yaitu pencemaran lingkungan hidup dan perusakan lingkungan hidup. Di dalam UUPPLH dirincikan jenis tindak pelanggaran yang dapat dikani sanksi bagi pelakunya, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal sendiri tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun limbah B3, masalah pembakaran lahan, dan penyususnan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenai sanksi pidana. Mengenai pelanggaran ini diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 115 UUPPLH. Sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat berupa sanksi Universitas Sumatera Utara administratif dan sanksi pidana. Di dalam ketentuan pasal-pasal tersebut juga diatur mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan bagi pelanggaran yang dilakukan. Perusahaan atau korporasi merupakan subjek dalam kegiatan penanaman modal dalam menjalankan bidang usahanya. Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan dilengkap dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di dalamnya, sebagai institusi legal, suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, seringkali melanggar hukum. 127 Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo, kasus illegal logging yang melibatkan Adelin Lis Direktur Keuangan PT KNDi, dan kasus PT Selatnasik Indokwarsa dan PT Simbang Pesak Indokwarsa yang dihukum denda Rp 32 Miliar karena menambang pasir hingga merusak lingkungan hidup, merupakan beberapa kasus pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi.. Untuk kasus yang terakhir, kedua korporasi tersebut dihukuu dan harus menanggung kerusakan lingkungan yang diperbuatnya. Dalam hukum lingkungan, pertanggungjawaban korporasi ini diatur dalam Pasal 46 UUPLH 1997 yang pada intinya dapat dimintakkan pertanggungjawaban kepada setiap orang, badan hukum danatau pengurusnya. 128 Kerugian lingkungan dan dampak negatif yang timbul akibat pencemaran dan perusakan lingkungan dapat bersifat tidak terpulihkan irreversible. Oleh sebab itu, pengelolaan lingkungan semestinya lebih didasarkan pada upaya pencegahan daripada pemulihan. Fungsi preventif terhadap timbulnya masalah-masalah lingkungan yang Masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. 127 Untung Gundar, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Pencemaran Lingkungan Hidup, http:untunggundar.blogspot.com201311pertanggungjawaban-korporasi-dalam.html , diakses pada 08 Agustus 2014 pukul 22.20 WIB 128 http:news.detik.comread201408041632012652819102dihukum-rp-32-miliar-ini-dahsyatnya- kerusakan-lingkungan-ulah-pt-si , diakses pada 08 Agustus 2014 pukul 22.25 WIB Universitas Sumatera Utara bersumber dari kegiatan usaha diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. Jika pada fungsi pengawasan ditemukan terjadi pelanggaran-pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum lingkungan administrasi, maka pejabat berwenang dapat menjatuhkan sanksi hukum administarsi terhadap si pelanggar. 129 3. Penyelesaian sengketa pelanggaran perlindungan lingkungan hidup dalam kegiatan penanaman modal Bagi pikiran awam, istilah “penyelesaian sengketa”, sering dikaitkan dengan berperkara di forum yang ditunjuk pemerintah, misalnya pengadilan. Padahal sebenarnya istilah penyelesaian sengketa tidak hanya berhubungan atau diselesaikan melalui pengadilan., tetapi bisa juga di luar pengadilan. Ada banyak praktek penyelesaian perkara, atau melakukan upaya-upaya damai bagi yang bersengkata tanpa melalui pengadilan. Kini pola-pola penyelesaian seperti itu dilembagakan menjadi suatu sistem untuk menangani sengketa lingkungan, dengan tidak harus melalui pengadilan. Jadi, pola penyelesaian sengketa, dan pola demikian diakui oleh pemerintah sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa atau perkara di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa tersebut disebut Alternatif penyelesaian sengketa APS atau penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution ADR. Menurut Abdurrahman, pengaturan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan bagian inheren dari suatu pengaturan tentang pengelolaan lingkungan. Dengan demikian, penyelesaian sengketa alternatif di bidang lingkungan merupakan bagian dari kebijakan pengelolaan lingkungan, sekalipun khusus untuk pengaturan sistem penyelesaian 129 Takdir Rahmadi, Op.Cit, Hal 208 Universitas Sumatera Utara sengketa alternatif yang berlaku umum sudah diatur pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 130 Sebenarnya diterapkannya konsep berperkara di luar pengadilan tidak semata-mata timbul karena ketidakpuasan disstatisfied terhadap lembaga pengadilan. Di negara-negara maju, sistem ini tumbuh pesat, seperti di Amerika, Canada, dan negara-negara Eropa. Perkembangan ini terdorong oleh kenyataan bahwa pada umumnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan court system, jadi tidak hanya dalam kasus lingkungan saja, membutuhkan biaya yang sangat besar, di samping itu pula bahwa begitu rumitnya birokrasi pengadilan, dimana para ahli hukum pun terkadang mengeluh, apalagi bagi masyarakat awam. 131 130 N.T.H.Siahaan, Op.Cit, Hal 309 131 Ibid, Hal 311 Khususnya dalam masalah lingkungan, sistem penyelesaian sengketa demikian lebih rumit lagi complicated. Karena dalam sistem pembuktian khususnya, banyak dijumpai faktor-faktor non yuridis, yang sifatnya teknis untuk kemudian harus dihubungkan dengan aspek yuridis, sementara faktor-faktor non yuridis masih merupakan hal yang masih problematik bagi kalangan hukum. Namun terlepas dari faktor kesulitan demikian, hakim harus pula melihat perkembangan yang lebih kompherensif demi mencapai keadilan masyarakat, yang karenanya sudah tentu menyebabkan prosesnya menjadi tambah lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa di pengadilan sifatnya sangat kaku dan formalistik. Dibandingkan dengan sistem penyelesaian di luar pengadilan out court system, prosesnya diupayakan sedemikian rupa sehingga mekanismenya tidak kaku dan tidak begitu formal; suasananya dirancang lebih bersifat kekeluargaan. Sementara sistem putusan yang diambil oleh pengadilan, pada dasarnya sifatnya memenangkan satu pihak atau mengalahkan pihak lain win-lose system. Dalam proses pengambilan putusan di dalam alternatif penyelesaian Universitas Sumatera Utara sengketa, sifatnya bukan memberikan kalah atau menang, tetapi dicapai dengan sistem secara menang bagi pihak-pihak win-win solution. Sebagian besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan UUPPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH diatur dalam padal 84 hingga pasal 93. Menurut Pasal 84 ayat 1 dan 2 UUPPLH penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan mekanisme, yaitu mekanisme proses pengadilan dan mekanisme di luar pengadilan. Jika para pihak telah sepakat untuk memilih mekanisme di luar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika mekanisme di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak Pasal 84 ayat 3. Pasal 85 ayat 1 UUPPLH mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai : a. Bentuk dan besarnya ganti rugi; b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran danatau perusakan; c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran danatau perusakan; danatau d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam hal penyelesaian sengketa yang timbul, penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini Pasal 85 ayat 2. Untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, dapat digunakan jasa mediator danatau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup Pasal 85 ayat 3. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan bermula dari adanya gugatan dari adanya gugatan dari pihak yang merasa dirugikan terhadap pihak lain yang dianggap penyebab kerugian itu. UUPPLH menyediakan dua bentuk tuntutan yang dapat Universitas Sumatera Utara diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti kerugian dan meminta tergugat melakukan tindakan tertentu, sebagaimana diatur pada Pasal 87 ayat 1 UUPPLH. Agar tergugat dapat dijatuhi hukuman seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentukan lebih dahulu, bahwa tergugat bertanggungjawab atas kerugian yang timbul. Di dalam ilmu hukum terdapat dua jenis tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan kesalahan liability based on fault dan tanggung gugat tidak berdasarkan kesalahan liability withou fault atau yang juga disebut strict liability. 132 a. Perbuatan tergugat harus bersifat melawan hukum; Tanggung gugat berdasarkan kesalahan ditemukan dalam rumusan Pasal 1365 KUH Perdata. Bahwa ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata ini menganut tanggung gugat berdasarkan kesalahan dapat dilihat dari unsur-unsur rumusan pasal tersebut, yaitu : b. Pelaku harus bersalah; c. Ada kerugian; d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian. Penggugat yang mengajukan gugatan, berdasarkan Pasal 1365 BW harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tersebut agar gugatannya dapat dipenuhi oleh Hakim. Salah satu unsur itu adalah bahwa tergugat bersalah. Dalam ilmu hukum kesalahan dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu kesengajaan dan kelalaian atau kealpaan. Jadi, berdasarkan asas tanggung gugat berdasarkan kesalahan, adalah tugas penggugat untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan atau kelalaian pada diri tergugat, sehingga telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat. Selain tetap menganut tanggung gugat berdasarkan kesalahan, UUPPLH juga memberlakukan tanggung gugat tanpa kesalahan strict liability yaitu untuk kegiatan- kegiatan yang “menggunakan bahan berbahaya dan beracun atau menghasilkan danatau 132 Takdir Rahmadi, Op.Cit, Hal 268-269. Universitas Sumatera Utara mengelola limbah bahan berbahaya dan beracun danatau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 88 UUPPLH. Terdapat dua perbedaan penting antara rumusan tanggung gugat mutlak berdasarkan UULH 1997 dan berdasarkan UUPPLH. Perbedaan pertama adalah bahwa dalam rumusan UULH 1997 menggunakan istilah penanggung jawab “membayar ganti rugi secara langsung dan seketika”, sedangkan dalam UUPLH tidak lagi menggunakan istilah atau klausula itu, tetapi menggunaan istilah bertaggung jawab secara mutlak tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.perbedaan kedua adalah dalam UULH 1997 terdapat pengecualian atas berlakuya tanggung gugat mutlak, yaitu penanggung jawab usaha atau kegiatan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul jika kerugian yang timbul akibat dari tiga hal, yaitu: adanya bencana alam atau peperangan, adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia, adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Dalam UUPPLH ketentuan pengecualian tidak ada. Pada dasarnya pembuktian yang paling sulit adalah bukan membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dari pelaku, tetapi membuktikan unsur hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian penderita. Jika dikaitkan dengan kasus pencemaran lingkungan hidup, maka si penggugat harus dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya disebabkan oleh aktivitas pabrk atau industri menjadi tergugat. Pembuktian hal ini sangat sulit karena kompleknya sifat-sifat zat kimiawi dan reaksinya satu sama lain maupun reaksinya dengan komponen abiotik dan biotik di dalam suatu ekosistem yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan manusia. 133 Mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan, terutama di pengadilan mengalami perkembangan yang cukup pesat belakang ini. Perkembangan demikian, dapat dilihat dengan bergesernya mekanisme hukum acara perdata ke arah yang lebih luwes, dan mulai 133 Ibid, Hal 270. Universitas Sumatera Utara meninggalkan dimensi-dimensi hukum acara perdata yang bersifat konvensional selama ini, yang mendasarkannya kepada sumber-sumber hukum acara yang ada terutama HIR. Misalnya dalam hal sengketa kerugian yang bersifat masal mass victim, dalam dilakukan secara gugatan perwakilan class action, pihak lain dapat melakukan gugatan atas nama kepentingan meskipun sebenarnya tidak merupakan korban legal standing, dan lainnya. Hal-hal demikian merupakan kebijakan-kebijakan hukum yang meluaskan prinsip demokrasi di tengah masyarakat, khususnya dalam rangka menghubungkan semua lapisan masyarakat untuk mendukung hak-hak dan kepentingannya melalui saluran-saluran institusi yang terbuka lebar acces to justice. 134 a. Sengketa yang merupakan wilayah hukum administratif Penyelesaian sengketa lingkungan, ditangani pengadilan menurut sifat perbuatan yang dilakukan terhadap lingkungan, sebagaimana telah diatur di dalam hukum lingkungan. Masalah lingkungan yang dapat menimbulkan sengketa, yang dapat dibawa ke pengadilan, adalah sengketa-sengketa yang dapat digolongkan kepada : Sengketa yang disengketakan adalah sengketa tata usaha negara yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan. Yang menjadi objek sengketa tidak hanya beschiking atau keputusan administrasi negara saja. Artinya, sengketa-sengketa yang bisa diajukan di bidang administrasi negara. Jadi, aparatur pemerintah pejabat TUN yang tidak mengeluarkan keputusan atau sesuatu hal, sedang hal dmeikian merupakan kewajibannya, maka hal tersebut merupakan atau disamakan dengan keputusan administrasi negara Pasal 3 ayat 1 UU No 5 Tahun 1986. Demikian pula, jika suatu aparatur negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan 134 N.T.H.Siahaan, Op.Cit, Hal 260. Universitas Sumatera Utara dimaksud telah lewat, maka aparatur negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan tersebut Pasal 3 ayat 2 UU No 5 Tahun 1986. 135 b. Sengketa yang merupakan wilayah hukum pidana Beberapa contoh dari pelanggaran hukum lingkungan administrasi adalah menjalankan usaha tanpa memiliki izin-izin yang diperlukan, kegiatan usaha misalkan industri, hotel, dan rumah sakt, membuang limbah tanpa izin pembuangan air limbah, tetapi mutu air limbah yang dituangkan dalam izin pembuangan air limabhnya, serta menjalankan kegiatan usaha yang wajib Amdal, tetapi tidak atau belum menyelesaikan dokumen Amdalnya. Rumusan ketentuan pidana dalam UUUPPLH merupakan pengembangan dan revisi terhadap rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982. Jika UULH 1982 hanya memuat rumusan ketentuan pidana yang bersifat delik materil, maka UULH 1997 memuat rumusan delik materil dan juga delik formil. Dibandingkan dengan UULH 1997, UUPPLH memuat jenis delik formil lebih banyak, tidak saja yang ditujukan kepada para pelaku usaha, tetapi juga kepada pejabat pemerintah dan orang-orang yang menjadi tenaga penyusun Amdal. UUPPLH juga memuat ancaman sanksi minimal dan maksimal untuk membatasi diskersi Hakim dalam menjatuhkan hukuman. 136 c. Sengketa yang bersifat perdata Di dalam hukum lingkungan, terdapat ruang mengenai hukum perdata, yakni perangkat-perangkat hukum yang mengatur hubungan-hubungan privat pribadi antara sesama warga masyarakat. Berbagai penegasan mengenai hak-hak keperdataan ditetapkan di dalam hukum lingkungan. Hubungan perdata menyangkut banyak hal di dalam hukum lingkungan, yakni sistem hubungan perdata antar sesama warga masyarakat, misalnya hukum atatkebiasaan, hukum perdata nasional, atau hukum perdata internasional. Hukum perdata 135 Ibid, Hal 261-262 136 Takdir Rahmadi, Op.Cit, Hal 224-225 Universitas Sumatera Utara apabila sampai bersifat perselisihan conflict, maka akan diwarnai pula dengan aspek penyelesaian perdata yang bersifat khas sesuai dengan hukum lingkungan. Misalnya dalam hal pengajuan gugatan yang bersifat masal, bisa dilakukan dengan sistem perwakilan class action, bahkan tanpa seseorang mengalami kerugian pun atau menjadi korban pun dapat menjadi pihak di dalam mengajukan gugatan ke pengadilan legal standing. Kedua contoh disebutkan ini tidak dijumpai dalam aspek hukum perdata biasa. 137 Salah satu aspek mengenai keperdataan di dalam hukum lingkungan adalah mengenai pertanggungjawaban ganti rugi liability. Ganti rugi liabity dalam lingkungan adalah sebagian dari hal-hal yang berhubungan dengan tanggungjawab mengenai kerusakan lingkungan oleh perbuatan seseorang environmental responsibility. Environmental responsibility dapat bersifat privat dan juga bersifat publik, dalam arti jika seorang pencemar telah memenuhi tanggungjawabnya kepada orang perorangan, tidak berarti dengan sendirinya sudah selesai dan tidak lagi dalam hal pemulihan lingkungan atau demikian sebaliknya. 138 d. Sengketa hukum internasional. Ada dua sumber potensi yang menjadi ancaman merugikan lingkungan dan bersifat dampak internasional. Pertama dampak yang bersumber secara eksternal, dan dampak yang bersumber internal. Media potensi pencemaran khususnya adalah perairan laut dan udara. Negara kita bisa menerima bahaya-bahaya pencemaran dari luar diakibatkan oleh aktivitas eksternal, yakni dari perbuatan-perbuatan pihak luar melalui media laut dan udara. Sebaliknya wilayah RI menjadi sumber pencemaran lingkungan karena aktivitas-aktivitas yang terjadi secara lokal di wilayah RI. B. Sanksi terhadap Kegiatan Penanaman Modal yang Tidak Memenuhi Kegiatan Perlindungan Lingkungan Hidup 137 N.T.H.Siahaan, Op.Cit, Hal 330-331. 138 Ibid, Hal 331-332. Universitas Sumatera Utara Secara umum sanksi merupakan suatu ganjaran atau hukuman terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap sesuatu aturan atau karena tidak dilakukannya sesuatu kewajiban yang menurut aturan harus dilakukan fiktif negatif. 139 1. Meningkatkan kompetensi tenaga kerja Indonesia WNI melalui pelatihan kerja sesuai ketentuan yang berklaku; Sekaitan dengan pelaksanaan kegiatan penanaman modal, penanam modal memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, yang apabila tidak dilaksanakan akan memperoleh sanksi sebagai akibatnya. Adapun kewajiban penanam modal sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUPM, yaitu : 2. Melaksanakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja Indonesia WNI bila perusahaannya mempekerjakan tenaga kerja asing, sesuai ketentuan yang berlaku; 3. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; 4. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; 5. Membuat laporan kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman modal; 6. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan 7. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Mengalokasikan dana secara bertahap untuk memulihkan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidu bila perusahaannya mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sesuai ketentuan yang berlaku. 139 Modul Diklat BKPM, http:kumpulanperaturanp2t.files.wordpress.com20120814-pengawasan- pelaksanaan-penanaman-modal.pdf , diakses pada 08 Agustus 2014 pukul 22.30 WIB, Hal 23. Universitas Sumatera Utara Terhadap pelaksanaan kegiatan penanam modal yang tidak sesuai dengan hak, kewajiban, dan tangung jawabnya, maka pemerintah dapat memberikan sanksi-sanksi berupa sanksi administratif danatau sanksi pidana. 1. Sanksi Administratif Sanksi hukum administrasi negara adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup memuat empat jenis sanksi hukum administrasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 ayat 2 yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Pasal 81 UUPPLH memuat ketentuan yang menjadi dasar hukum bagi pejabat pemberi izin lingkungan atau penegak hukum administrasi untuk menerapkan sanksi denda atas tiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Dengan demikian UUPPLH menyediakan lima jenis sanksi administrasi yaitu teguran terrtulis, paksaan pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Kelebihan UUPPLH jika dibandingkan dengan UULH 1997 yaitu UUPPLH memuat sanksi teguran tertulis, sedangkan UULH 1997 tidak mengenal sanksi teguran tertulis. Namun, dalam praktik penegakan hukum lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak hukum lingkungan administrasi sering kali menggunakan teguran tertulis tentang telah terjadinya pelanggaran ketentuan hukum lingkungan administrasi. Oleh sebab itu, perancang UUPPLH memformalkan teguran tertulis sebagai salah satu sanksi hukum administrasi. Secara jelas UUPPLH menguraikan kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah yang diberikan kepada tiga pejabat, yaitu Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur, BupatiWalikota sebagaimana dinyatakan Pasal 76 ayat 1 dan 2 UUPPLH. Sanksi paksaan Universitas Sumatera Utara pemerintah dalam bentuk tindakan pencegahan dan penghentian pelanggaran dapat dilakukan misalkan jika seorang pengusaha sedang membangun tempat usaha atau membuang limbah tanpa izin, maka pejabat yang berwenang setelah melalui pemeriksaan mengetahui bahwa tem[at usaha tersebut tidak memiliki izin dimaksud, dapat melakukan tindakan paksa guna menghentikan kegaitan terlarang tersebut atau menghentikan mesin peralatan yang digunakan oleh kegiatan usaha tersebut sampai kegiatan usaha tersebut mematuhi ketentuan-ketentuan hukum administrasi, yaitu memiliki izin. Pasal 80 ayat 1 UUPPLH menyebutkan beberapa entuk tindakan paksaan pemerintah, yaitu : a. Penghentian sementara kegiatan produksi; b. Pemindahan sarana produksi; c. Penutupan saluran pembuangan air limbah emisi; d. Pembongkaran; e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f. Penghentian sementara seluruh kegiatan; g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Pada dasarnya penerapan sanksi paksaan pemerintah dikenakan setelah didahului dengan teguran Pasal 80 ayat 2. Sanksi paksaan dapat dikenakan tanpa didahului oleh teguran jika pelanggaran yang dilakukan menimbulkan : a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup. b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran danatau perusakan. Universitas Sumatera Utara c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pemcemaran danatau perusakannya. Sanksi pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum administrasi setelah penanggung jawab tidak melaksanakan paksaan pemerintah Pasal 79 UUPPLH. UUPPLH tidak memperjelas perbedaan anatar pembekuan izin dan pencabutan izin. Perbedaan itu dapat dipahami melalui draf RPP tentang Pengawasan dan Sanksi Administrasi, dokumen tanggal 23 Desember 2010, pembekuan lebih dahulu dilakukan daripada pencabutan izin. 140 2. Sanksi Pidana Pengaturan tentang sanksi pidana pada UUPPLH tidak jauh berbda dengan UUPLH. Tindak pidana dibagi dalam delik materil dan delik formil. Namun, dalam UUPPLH pengaturan pasal sanksi pidananya lebih banyak jika dibandingkan pengaturan dalam UUPLH. Dalam UUPLH hanya ada 6 enam pasal yang menguraikan sanksi pidana dalam kaitannya dengan tidak pidana lngkungan hidup Pasal 41- Pasal 46, sedangkan UUPPLH adal 19 Pasal Pasal 97 – Pasal 115. Jika diamati dan dibandingkan pengaturan pasal tentang saksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPL lebih terperinci jebis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal sendiri tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun limbah B3, masalah pembakaran lahan, dan penyususnan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenai sanksi pidana. 141 Pendekatan hukum pidana dalam UUPPLH tidak sebagai upaya hukum terakhir-yang lazim disebut dengan istilah “ultimum remedium”- untuk menghukum perilaku usaha yang menimbulkan masalah lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 sanksi pidana menjadi usaha 140 Takdir Rahmadi, Op.Cit, Hal 217. 141 Javier Zanetti, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, http:www.academica.edu5073962Hukum_lingkungan_Hukum , diakses pada 08 Agustus 2014 pukul 22.13 WIB Universitas Sumatera Utara terakhir setelah penegakan hukum administrasi negara tidak efektif. 142 1 Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah. Dalam UUPPLH, “ultimum remedium” hanya berlaku untuk satu pasal saja, yaitu Pasal 100 UUPPLH yang menyatakan : 2 Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Dari rumusan Pasal 100 ayat 2 jelas dapat dipahami bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 100 ayat 1 baru dapat dikenakan jika sanksi administratif tidak efektif atau pelanggaran dilakukan berulang. Hal ini berarti sanksi pidana berfungsi sebagai upaya terakhir. Secara tegas UUPPLH meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan badan usaha yang telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Di dalam UULH tidak disebut secara tegas pimpnan atau pengurus badan usaha dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. UULH 1997 hanya menggunakan istilah “yang memberi perintah” atau “yang bertindak sebagai pemimpin” dalam tindak pidana. Dalam UUPPLH pertanggungjawaban pidana pimpinan badan usaha dirumuskan dalam Pasal 116 hingga Pasal 119. Namun, UUPPLH telah mengadopsi pertanggungjawaban badan usaha corporate liability. Pasal 116 UUPPLH memuat kriteria bagi lahirnya pertanggungjawaban badan usaha atau siapa-siapa yang harus bertanggungjawab. Jika ditilik, rumusan Pasal 116, pertanggungjawaban badan usaha timbul dalam salah satu kondisi berikut, yaitu 1 tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau 2 oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau 142 Takdir Rahmadi, Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, http:www.mahkamahagung.go.idrbnews.asp?bid=3854 , diakses pada tanggal 08 Agustus 2014 pukul 22.23 WIB Universitas Sumatera Utara berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia, yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian kerja misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian pemborongan kerja. Konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan Pasal 118 UUPPLH yang menyatakan : “ Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasala 116 ayat 1 huruf a, sanksi pidana diatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional” Dengan demikian, dari rumusn Pasal 116 dan 118 UUPPLH dapat diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman, yakni : 1. Badan usaha itu sendiri; 2. Orang yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; 3. Pengurus. UUPPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan lingkungan. Pemberlakuan delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pemidanaan yang maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-sungguh melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materil tersebut dirumuskan dalam Pasal 112 UUPPLH. 143 143 Ibid. Universitas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan