Fisika Kima Radionuklida Hasil Fisi
dan ini memperlemah bahan bakar zirconium di dalam inti ke pipa baja yang membawa pintu masuk air pendingin. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tegangan reaktor yang cepat menyebabkan bahan bakar terpragmentasi dan melakukan perpindahan panas dengan cepat dari fragmen bahan bakar kepada
pendingin, akhirnya menghasilkan gelombang udara yang bergerak cepat di dalam air pendingin. Sebagai akibatnya, air pendingin berubah menjadi uap air
bertekanan dalam sistem utama selanjutnya dilepaskan ke luar. Ledakan uap air tersebut terjadi diduga disebabkan inti reaktor telah
terangkat selama waktu ledakan ketika semua air meninggalkan inti reaktor. Ini mengakibatkan peningkatan kereaktifan cepat yang mendorong penguapan di
bagian pusat bahan bakar yang diakhiri oleh suatu ledakan dan penyebaran uap bahan bakar yang merusakan bagian inti dan merusakan bangunan. Bahan bakar,
komponen inti, dan struktural materi terlempar ke atap bangunan reaktor. Pecahan inti bekas ledakan mengenai material lain yang mudah terbakar yang ada di
sekitarnya berakibat pada pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan. Kira-kira 20 jam setelah ledakan, api mulai membesar sehingga material di reaktor menjadi
cukup panas untuk membakar gas yang terbebas dari inti seperti hidrogen dari reaksi zirconium-air dan karbon monoksida dari reaksi grafit panas dengan uap
air. Api mencapai sedikitnya 50 m di atas puncak reaktor yang rusak Purvis 2005. Bekas Ledakan baru dapat ditutup dengan waktu lebih dari 10 hari
menggunakan material kira-kira 5000 ton, meliputi sekitar 40 ton campuran borium, 2400 ton tanah liat, 600 ton dolomite campuran sodium fosfat dan cairan
polymer, dan 1800 ton pasir Sich 1994. Pada hari ke-8 setelah kecelakaan, lantai di daerah sub-reaktor mengandung corium dengan cepat terdistribusi di
atas area permukaan yang tersebar secara horizontal. Corium menghasilkan uap air ketika kontak dengan air sehingga membentuk aerosol dan telah
meningkatkan pelepasan radionuklida. Pengalaman kecelakaan dari PLTN Fukushima Jepang, PLTN Chernobyl
Uni Sovyet dan Three Mile Island Amerika Serikat perlu dikaji lebih dalam yang dapat memberi pelajaran bagi PLTN Muria agar terhindar dari kejadian
serupa yang membawa korban. Kecelakaan Chernobyl adalah rujukan yang baik dalam upaya menghindari kecelakaan parah dalam mengelola PLTN. Kecelakaan
tersebut telah mencemari luasan daratan Eropa 200.000 km
2
dengan radionuklida Ce-137. Daerah yang terkontaminasi oleh kecelakaan tersebut berupa lingkungan
darat seperti jalan, bangunan, halaman yang ditansformasikan oleh udara dan hujan; lingkungan perairan seperti sungai, danau dan laut; serta lingkungan udara
yang terkontaminasi karena dorongan angin. Distribusi radioaktif di lingkungan udara, tanah, air tersebut telah banyak merugikan manusia, hewan dan makhluk
hidup lain yang menimbulkan berbagai penyakit. Upaya untuk menghindari kecelakaan di PLTN Muria yang akan
dibangun, maka perlu seperangkat system antisipasi dan perkiraan serta langkah- langkah sistematis untuk memperkecil kerusakan lingkungan yang mungkin
terjadi untuk menghindari kecelakaan besar yang mencemari lingkungan. Pengoprasian PLTN perlu pengelolaan yang baik dengan kesalahan mendekati nol
agar tidak mempunyai dampak negatif bagi lingkungan, baik lingkungan air, tanah dan udara. Semua tahapan PLTN dari tahap perencanaan, selama proses dan pasca
proses memerlukan kontrol yang ketat dengan jaminan kualitas tinggi, sehingga PLTN memerlukan sistim-sistim deteksi dini dalam setiap langkah kegiatan untuk
menghindari kecelakaan yang menyebabkan kontaminasi radioaktif yang membahayakan lingkungan biotik dan abiotik.
Aspek-aspek keselamatan perlu dijaga agar kecelakaan tidak terjadi antara lain: 1 Keselamatan terpasang yang dirancang berdasarkan sifat-sifat alamiah air
dan uranium. Bila suhu dalam teras reaktor naik, jumlah neutron yang tidak tertangkap maupun yang tidak mengalami proses perlambatan akan bertambah,
sehingga reaksi pembelahan berkurang. Akibatnya panas yang dihasilkan juga berkurang. Sifat ini akan menjamin bahwa teras reaktor tidak akan rusak
walaupun sistem kendali gagal beroperasi; 2 Penghalang ganda yang merupakan sistem pengamanan yang ketat dan berlapis-lapis, sehingga kemungkinan terjadi
kecelakaan maupun akibat yang ditimbulkan sangat kecil agar radioaktif yang dihasilkan selama reaksi pembelahan inti uranium sebagian besar 90 akan
tetap tersimpan di dalam matriks bahan bakar. Selama operasi maupun jika terjadi kecelakaan, selongsong bahan bakar akan berperan sebagai penghalang
kedua untuk mencegah terlepasnya zat radioaktif tersebut keluar kelongsong. Kalau zat radioaktif masih dapat keluar dari dalam kelongsong, masih ada
penghalang ketiga yaitu sistem pendingin. Lepas dari sistem pendingin, masih ada penghalang keempat berupa bejana tekan terbuat dari baja dengan tebal lebih dari
20 cm. Penghalang kelima adalah perisai beton dengan tebal 1,5 – 2m. Bila saja zat radioaktif itu masih ada yg lolos dari perisai beton, masih ada penghalang
keenam, yaitu sistim pengukung yang terdiri dari pelat baja setebal lebih dari 7cm dan beton setebal 1.5 – 2m yang kedap udara; 3 Pertahanan Berlapis yang
meliputi lapisan keselamatan pertama dirancang, dibangun dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan yang sangat ketat, dengan mutu yang tinggi dan
teknologi mutakhir; Lapisan keselamatan kedua, dilengkapi dengan sistem pengamanan keselamatan yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi akibat-
akibat dari kecelakaan yang mungkin terjadi selama umur PLTN; Keselamatan ketiga, PLTN dilengkapi dengan sistim pengamanan tambahan, yang dapat
diandalkan untuk dapat mengatasi kecelakaan hipotesis, atau kecelakaan terparah yang diperkirakan dapat terjadi BATAN, 2009.
Kasus utama yang harus dihindari dari kegiatan PLTN adalah rusaknya reaktor atau terjadinya kebocoran pada reaktor yang menyebabkan terjadinya
pelepasan radioaktif ke luar reaktor baik disebabkan karena faktor kerusakan material pelindung ataupun sebab-sebab lain seperti kesalahan fatal oprasional dan
kecelakaan yang diakibatkan adanya gempa bumi hebat dan lain-lain di luar batas perkiraan. Kejadian kecelakaan tenaga nuklir yang disebabkan kerusakan material
pelindung berasal dari tidak berfungsinya sistem pendingin, kebocoran, dan ledakan pada sistem pendukung. Risiko kecelakaan PLTN yang terjadi dapat
menimbulkan kerugian antara lain berupa kematian dan cedera. Kecelakan diklasifikaskan dalam dokumen WASH-1250 terdapat sembilan
kelas kecelakaan yang dapat terjadi, antara lain: Kelas 1 : insiden trivial
Kelas 2 : pelepasan sejumlah kecil zat radioaktif keluar pengungkung Kelas 3 : kegagalan sistem limbah radioaktif
Kelas 4 : pelepasan zat radioaktif kedalam sistem primer Kelas 5 : pelepasan zat radioaktif kedalam sistem sekunder
Kelas 6 : kecelakaan penggantian bahan bakar didalam pengungkung Kelas 7 : kecelakaan pada bahan bakar bekas diluar pengungkung
Kelas 8 : peristiwa-peristiwa inisiasi kecelakaan yang telah
diperhitungkan di dalam dasar perancangan Kelas 9 : deret kegagalan hipotesis
Klasifikasi ini direvisi ke dalam bentuk skala peristiwa nuklir Internasional [INES-International Nuclear Event Scale] yang dibagi menjadi tujuh
tingkat skala kecelakaan nuklir, sebagai berikut: Skala 0 : untuk tingkat kejadian penyimpangan dibawah skala
Skala 1 : untuk tingkat kejadian anomali Skala 2 : untuk tingkat kejadian insidentil
Skala 3 : untuk tingkat kejadian insiden serius Skala 4 : untuk tingkat kecelakaan tanpa adanya risiko yang berarti
diluar tapak PLTN off site risk . Skala 5 : untuk tingkat kecelakaan risiko diluar tapak PLTN .
Skala 6 : untuk tingkat kecelakaan serius serious accident Skala 7 : untuk tingkat kecelakaan besar severe accident
Tingkat kecelakaan nuklir INES telah menetapkan standar untuk berbagai pengguna PLTN dan instalasi pendukungnya yang memberi acuan skala standar
dalam mengantisipasi kecelakaan pada setiap kategori kecelakaan PLTN, karena keberadaan PLTN akan memberikan suatu risiko kecelakaan meskipun daya yang
dihasilkannya sekecil apapun. Risiko kecelakaan tersebut akibat perlakuan dan pengendalian terhadap bahan bakar U-235 dan hasil belahnya. Risiko radiasi
nuklir tidak hanya berasal dari kecelakaan PLTN dapat juga berasal dari sistem penambangan, transportasi, pengolahan dan pemanfaatannya untuk pembangkit
tenaga listrik. Setiap tahapan kegiatan sebelum dan selama proses pembangkitan PLTN
dapat menimbulkan kejadian kecelakaan yang selalu menimbulkan konsekuensi kerugian baik berupa kematian, cedera atau kehilangan harta benda. Tingkat
konsekuensi kerugian dari suatu kejadian yang merupakan kecelakaan disebut risiko kejadian. Besarnya risiko kejadian dapat dihitung untuk setiap periode
waktu tertentu dan besarnya risiko kejadian berbanding lurus terhadap frekuensi kejadian jumlah kejadian per satuan waktu dan tingkat parahnya kejadian tingkat
konsekuensi kerugian persatuan waktu Karliana 2000. Besarnya risiko kejadian rata-rata untuk setiap orangpenduduk di suatu tempat disebut risiko rata-rata
penduduk yang besarnya sama dengan nilai risiko di suatu tempat dibagi oleh jumlah penduduk ditempat tersebut.
Kejadian kecelakaan PLTN umumnya terjadi karena tidak berfungsinya sistem pendingin primer di teras reaktor mengakibatkan terjadinya ledakan,
kebocoran, kerusakan sistem pendukung dan kebakaran transformer. Kejadian kecelakaan tersebut tidak selalu di teras reaktor, tetapi dapat juga terjadi diluar