Keaslian Penulisan Metode Penulisan

a Manfaat Secara Teoritis Dapat memberikan suatu bahan masukan informasi bagi kalangan akademis dalam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pemikiran dalam hal hukum kehutanan. b Manfaat Secara Praktis Dapat memberikan masukan bagi instansi yang berkaitan, dan informasi untuk pemahaman bagi masyarakat yang memerlukan demi meningkatkan kesadaran hukum dalam hal problematika peraturan-peraturan kehutanan di Indoesia saat ini.

1.4 Keaslian Penulisan

Penulisan ini dilakukan atas inisiatif sendiri dan tentunya dengan berbagai masukan dari berbagai pihak yang membantu penulisan ini karena melihat sangat pentingnya kejelasan peraturan-peraturan kehutan bagi para pihak-pihak yang terkait sementara pada kenyataannya carut marutnya peraturan-peraturan kehutanan belakangan ini dan terdapat inkonsistensi peraturan-peraturan kehutanan terhadap peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan kehutanan ketidak jelasan ini lah yang melatar belakangin penulisan ini. Penulisan ini belum di buat oleh Mahasiswa Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya. Kalaupun ada kesamaan, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan tentunya dengan pendekatan masalah yang berbeda. Penulisan ini juga di lengkapi kutipan-kutipan dari beberapa sumber dengan tidak bermaksud untuk mengurangi manfaat, tujuan dan keaslian dari penulis ini. Universitas Sumatera Utara

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan merupakan salah satu bidang hukum yang sudah berusia 128 tahun yaitu sejak di undangkannya Reglemen Hutan 1865.istilah hukum hutan merupakan terjemahan dari Boswezen Recht belanda atau Forrest Law inggris .menurut hukum inggris kuno yang di maksud forrest law hukum kehutanan adalah : suatu system atau tatanan hukum lama yang berhubungan dan mengatur hutan-hutan kerajaan dari definisi tersebut hukum kehutanan mengatur hutan – hutan yang dikuasai oleh kerajaan ,sedangkan hutan rakyat hutan milik tidak mendapatkan pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Inggris kemudian hukum kehutanan di sempurnakan pada tahun 1971 di dalam Act 1971 ini tidak hanya mengatur hutan kerajaan tetapi juga mengatur hutan rakyat hutan milik. Menurut idris Sarong Al Mar, menyatakan bahwa yang disebut dengan hukum kehutanan adalah : “Serangkaian kaidah-kaidah norma-norma tidak tertulis dan peraturan- peraturan tertulis yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan” Defenisi senada dengan defenisi yang dirumuskan dalam biro hukum dan organisasi, departemen kehutanan yang di sebut hukum kehutanan adalah : “Kumpulan atau himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusnya” 3 3 Biro hukum , Dephut 1992:1 Universitas Sumatera Utara Hukum kehutanan dalam kedua defenisi di atas menitik beratkan pada kekuasaan Negara dalam pengolahan dan pengurusan hutan dan kehutanan semata-mata, padahal persoalan itu tidak hanya menjadi persoalan Negara, tetapi juga menjadi urusan manusia secara perorangan, jika ia mengusahakan penanaman kayu di atas tanah hak miliknya. Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa defenisi hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah ketentuaan hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan kehutanan, dan hubungan antar individu perseorangan dengan hutan dan kehutanan. Ada tiga unsur yang tercantum dalam rumusan hukum kehutanan, yaitu : 1 Adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis 2 Mengatur hubungan antara Negara dengan hutan dan kehutanan 3 Mangatur antara individu perseorangan dengan hutan dan kehutanan. 4 Hukum kehutanan tetulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat olah lembaga yang berwenang untuk itu yang mengatur hal-hal yan berkaitan dengan hutan dan kehutanan, hukum kehutanan tertulis ini dapat dilihat didalam peraturan perundang-undangan, baik yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda maupun yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR sejak bangsa Indonesia merdeka, misalnya Undang-undang Nomor 5 Tahun1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Hukum kehutanan tidak tertulis atau disebut juga hukum adat mengenai hutan adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat setempat, sifatnya lokal. 4 Salim,op.cit.,hlm6 Universitas Sumatera Utara Hal-hal yang diatur dalam hukum kehutanan tidak tertulis adalah : 1. Hak membuka tanah di hutan 2. Hak untuk menebang kayu 3. Hak memungut hasi hutan 4. Hak untuk mengembalakan ternak, dan sebagainya 5 Diberbagai daerah hak-hak tersebut diatur oleh desa, dan dahulu hak-hak itu dikuasai oleh raja, serta kini dikuasai oleh negara. Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta mengatur pengurusan hutan dalam arti luas. Hubungan antara individu perseorangan dengan hutan dan kehutanan mempunyai hubungan yang sangat erat, karena individu perseorangan tersebut telah mengusahaka tanah miliknya untuk menenanam kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga pengurusan dan pemanfaatannya diatur yang bersangkutan. Namun demikian, individu tersebut harus membayar beberapa kewajiban kepada Negara, seperti membayar biaya pengujian, dan iuran hasil hutan IHH. Pada UU Kehutanan Nomor 41 Tahun1999 memiliki asas-asas yang terdapat dalam undang-undang tersebut pada pasal 2 undang-undang Kehutanan 5 Salim,op.cit.,hlm6-7 Universitas Sumatera Utara dinyatakan bahwa, penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari 6 , kerakyatan dan keadilan, 7 kebersamaan, 8 keterbukaan 9 dan keterpaduan 10 .

1.5.2 Sifat dan Tujuan Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus lex specialis karena hukum kehutanan ini hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan, apabila ada aturan lain yang mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka yang diberlakukan terlebih dahulu yaitu hukum kehutanan, oleh sebab itu, hukum kehutanan disebut Lex specialis, sedangkan hukum lainnya seperti hukum agrarian dan lain-lain sebagai hukum umum lex specilis drogaat lex generale. Tujuan hukum kehutanan adalah melindungi, memanfaatkan dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari . 11 6 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari , dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsure ligkungan ,social,dan budaya, serta ekonomi. 7 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggara kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya ,sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat,oleh karena itu,dalam pemberian wewenang pengelolahan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya prektik monopoli,monopsoni,oligopoly,dan oligopsoni. 8 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergi antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD dan BUMS Indonesia , dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah,dan koperasi. 9 Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksud agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat. 10 Penyelenggaraan kehhutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor ain, dan masyarakat setempat. 11 Salim,H.s.,Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,hlm.7-8 Universitas Sumatera Utara

1.5.3 Sejarah Hukum Kehutanan

Perjalanan panjang perangkat hukum pengelolahan hutand dapat ditelusuri dari zaman penjajahan Belanda, Zaman Jepang, dan juga zaman kemerdekaan sampai sekarang, ini sangat penting dikemukakan sebagai refleksi dari perjalanan panjang muatan peraturan-peraturan hutan, sehingga kita dapat menelusuri dan membandingkan dengan peraturan kehutanan yang berada pada era yang berbeda tersebut, dapat ditarik manfaat yang sangat berharga dalam menentukan dan mendesain peraturan kehutanan ke depan. Pembicaraan sejarah dan perkembangan perundang-undangan kehutanan di indonesia tidak lepas dari pembicaraan tentang perundang-undangan masa lampau.itu menunjukan hukum yang berlaku saat ini merupakan kelanjutan sistem hukum yang berlaku sebelumnya.pernyataan ini dapat dilihat dalam pasal 21 undang-undang nomor 5 tahun 1967 yang berbunyi : “Sambil menunggu keluarnya peraturan – peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini , segala peraturan dan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada sebelumnya,tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa undang-undang ini serta diberikan tafsiran yang sesuai dengan itu.” Tujuan di cantumkannya ketentuan pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1967, semata-mata untuk mencegah kekosongan hukum di bidang kehutanan .dengan demikian peraturan perundang-undangan sebelumnya terutama peraturan produk pemerintahan Hindia Belanda masih tetap di berlakukan.

A. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Pada zaman pemerintahan hindia belanda telah banyak produk hukum yang mengatur kehutanan awal dari pembentukan hukum di bidang kehutanan dimulai dari diundangkannya Reglemen 1865 pada tanggal 10 september 1865. Universitas Sumatera Utara

1. Reglemen Hutan 1865

Reglemen 1865 ini megatur tentang Pemangkuan Hutan dan eksploitasi hutan. Reglemen ini dirancang oleh komisi yang terdiri dari tiga orang anggota, yaitu 12 : a. Mr. F.H.der Kindiren, yaitu panitera pada Mahkamah Agung b. F.G.Bloemen Waanders , yaitu seorang Inspektur Tanaman Budi . c. E.van Roessler, yaitu seorang Inspektur Kehutanan . Komisi ini bertugas untuk menyusun rancangan reglemen peraturan untuk pemangkuan dan eksploitasi hutan, serta pemberian izin penebangan, dan cara pemberantasan kayu gelap.

2. Reglemen Hutan 1874

Reglemen Hutan 1874 timbul karena banyaknya masalah dalam pelaksanaan reglemen 1865.Ada dua masalah yang muncul dalam pelaksanaan Reglemen 1865 yaitu : 1 Musnahnya hutan yang dikelolah dengan secara tidak teratur ,hal ini disebabkan karena adanya pemisahan hutan jati yang di kelolah secara teratur dan tidak teratur. 2 Banyaknya keluhan dari pembabatan hutan dalam pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perlengkapan, bahan bakar dan lain-lain. Berdasarkan dua masalah di atas Pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Reglemen 1865 dan menggantinya dengan reglemen 1874 pada tanggal 14 april 1874 . Inti dari reglemen 1874 ini adalah seperti berikut : 1 Diadakan perbedaan hutan jati dengan hutan rimba; 12 Supriadi,S.H,.Hukum kehutanan Hukum Perkebunan Indonesia,hlm.22 Universitas Sumatera Utara 2 Pengelolahan hutan jati menjadi dua : hutan jati yang dikelolh secara teratur dan yang belum di tata akan dipancang ,diukur ,dan dipetakan .Hutan ini dibagi dalam listrik hutan 3 Distrik hutan dikelolah oleh houtsvester adspiran houtsversen calon houtsverter 4 Eksploitasi hutan sama dengan yang tercantum dalam Reglemen 1865 5 Untuk tujuan tertentu masyarakat dapat meminta surat izin penebangan mengeluarkan kayu dalam jumlah yang terbatas. Surat izin yang itu yang berwenang mengeluarkannya Direktur Binnenlands Bestuurpemerintahan dalam negri 6 Pemangkuan hutan rimba yang tidak di kelolah secar teratur berada di tangan Residen dan di bawah perintah Direktur Binnenlands Bestuur dibantu oleh seorang Houtsvester Reglemen hutan 1874 ini tidak hanya berlaku di jawa dan Madura tetapi berlaku juga di vorstenlanden tanah kasunan dan kesultanan. 13

3. Reglemen Hutan 1897

Reglemen hutan 1897 diubah dengan ordonansi 26 Mei 1882 dan ordonansi 21 november 1894 tetapi akhirnya diganti dengan ordonansi kolonial 1897, secara singkat disebut Boschreglement reglemen hutan. Resminya reglemen itu disebut “reglemen hutan untuk pengelolahan hutan-hutan Negara di jawa dan Madura 1897”. Reglemen Hutan 1897 dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan pemerintahan Nomor 21 tahun 1897 tentang “Reglemen untuk jawatan kahutanan jawa dan Madura” atau disingkat Dienstreglemen reglemen dinas 13 Salim,ibid.,hlm.19-20 Universitas Sumatera Utara tertanggal 9 februari 1897 Nomor 21 tahun 1897 .Dienstreglemen ini mengatur tentang organisasi jawatan kehutanan dan ketentuan pelaksanaan boschreglement Reglemen Hutan 1897 berbeda dengan reglemen 1874 ketentuan yang penting reglemen 1897, yaitu : 1 pengertian hutan Negara; 2 pembagian hutan Negara ; 3 pemangkuan hutan ; 4 eksploitasi hutan. 14

4. Reglemen Hutan 1913

Reglemen 1897 hanya berlaku selama 16 tahun, kemudian diganti dengan ordonansi kolonial 30 juli 1913 ditetapkan “Reglemen untuk pengangkutan hutan Negara untuk jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku 1 januari 1913 .” Hal-hal yang diatur dalam reglemen hutan 1913, adalah sebagai berikut : a. Pemangkuan hutan yang mencangkup penataan hutan ,penelitian hutan , pemangkuan hutan dalam arti sempit, berikut pengelolahan perkebunan getah getah susu dari pohon-pohon tertentu dan pengamanan hutan . b. Eksploitasii hutan. c. Pengamanan hutan. d. Pemberian izin kepada masyarakat untuk mengembala ternak dalam hutan Negara dan memungut pakan ternak, kecuali di hutan atau bagian hutan tertentu, yang keadaannya tidak mengizinkan bagi tindakan demikian. Disamping itu, rakyatmasyarakat di sekitar hutan diizinkan memungut buah- buahan, rumput, alang-alang, rotan, dan pemungutan kulit kayu. e. Pemberian izin untuk berburu dan menyandang senapan di dalam hutan jati dan hutan rimba yang ditata izin itu dikeluarkan oleh kepala pemerintahan daerah. 15 14 Salim,ibid.,hlm20-21 15 Ibid.,hlm.22 Universitas Sumatera Utara Dalam reglemen ini tidak diatur mengenai sanksi pidana .

5. Ordonansi Hutan 1927

Pada tahun 1927 Reglemen Hutan 1913 diganti dengan “ Reglemen voor het beheer der bossen van den lande op java en Madura 1927” pengaturan pengelolahan hutan Negara di jawa dan Madura ordonansi ini di umumkan dalam lembaran Negara 1927 Nomor 221 dan terakhir ditambah dengan Lembaran Negara 1940 Nomor 3. Ordonansi ini terdiri atas 7 bab dan 31 pasal . Hal-hal yang diatur dalam Ordonansi Hutan 1927 yaitu : 1 pengertian hutan pasal 1 sampai pasal 6 ; 2 susunan hutan pasal 7 ; 3 penyelidikan hutan pasal 8; 4 pengurusan hutan pasal 9 sampai pasal 13; 5 perlindungan hutan pasal 14 sampai pasal15 ; 6 pengumpulan hasil hutan pengembalaan hewan ,memotong makanan hewan ,dan pengembilan rumput-rumputan pasal 16 ampai pasal 18; 7 ketentuan pidana dan penutup pasal19 sampai pasal 31 ordonansi hutan 1927 ketentuan pidana yang diatur dalam ordonansi hutan 1927 berupa pidana denda dan pidana kurungan selama tiga bulan bagi perusak hutan sifat perbuatan pidananya adalah pelanggaran. Ordoanansi Hutan 1927 hanya berlaku untuk jawa dan Madura sedangkan untuk di luar jawa dan Madura belum diatur dalam ketentuan undang- undang apabila terjadi tindak pidana di luar ulau jawa dan Madura maka pelaku dibebaskan dengan pertimbangan tidak ada aturan hukumnya. 16 16 Supriadi,op.cit.,hal.27 Universitas Sumatera Utara

B. Zaman Jepang

Pada tanggal 7 maret 1942 pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon tela megeluarkan undang-undang nomor 1 tahun 1942 Pasal 3 Undang-undang nomor 1 tahun 1942 , berbunyi : “Semua badan-badan pemerintahan, kekuasaannya, hukum dan undang- undang dari pemerintahan yang terdahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan Militer” 17 Berdasarkan ketentuan di atas ,jelaskan bahwa hukum dan undang-undang yang berlaku pada zaman Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintahan Dai Nippon dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum rechtvacuum. Dengan adanya ketentuan tersebut mempermudah Pemerintahan Dai Nippon untuk menerima, memerkasa dan mengadili serta memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan demikian bahwa ketentuan yang diberlakukan oleh Pemerintahan Dai Nippon di bidan kehutanan adalah ordonansi hutan 1927 dan berbagai peraturan pelaksanannya.

C. Zaman Kemerdekaan 1945-Sekarang

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang kehutanan.

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok

Agraria Yang di atur dalam undang-undang ini adalah hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan tanah semata-mata. Ada satu ketentuan yang mengatur 17 Salim,ibid.,hlm.24 Universitas Sumatera Utara tentang kehutanan yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum daplam pasal 46 Undang-undang Pokok Agraria. Pasal 46 Undang-undang Pokok Agraria berbunyi sebagai berikut 18 : 1 Hak membuka tanah dan menggugat hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah. 2 Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah. 19 Ketentuan ini di berikan kepada seluruh warga masyarakat di berikan untuk memungut hasil hutan seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain dan apabila suatu saat hutan diperlukan untuk kepentingan umum maka hak untuk memungut hasil hutan tersebut di cabut.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 merupakan undang-undang yang khusus mengatur tentang hutan dan kehutanan. Pertimbangan ditetapkan undang-undang Nomor 5 tahun 1967 seperti berikut : a. Bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat yang serba guna yang mutlak di butuhkan umat manusia sepanjang masa; b. Bahwa hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam dan salah satu unsur pertanahan nasional harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari ; 18 Salim,ibid.,hlm.25 19 Supriadi,op.cit.,hlm.29 Universitas Sumatera Utara c. Bahwa peraturan-peraturan dalam bidang hutan dan kehutanan yang berlaku sampai sekarang sebagian besar berasal dari pemerintahan jajahan yang bersifat kolonial dan bersifat kolonial dan beraneka ragam coraknya , sehingga tidak sesuai lagi dengan tuntutan revolusi . d. Bahwa untuk menjami kepentingan rakyat dan negara serta untuk menyelesaikan revolusi nasional diperlukan adanya undang-undang yang memuat ketentuan pokok tentang kehutanan yang bersifat nasional dan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan perundang-undangan dalam bidang hutan dan kehutanan . 20 Undang – undang Pokok kehutanan terdiri dari 8 bab dan 22 pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Pokok Kehutanan adalah 1 pengertian hutan, hasil hutan, kehutanan, hutan menurut pemiliknya. 2 perencanaan hutan; 3 pengurusan hutan 4 pengusahaan hutan; 5 perlindungan hutan; dan 6 ketentuan pidana dan penutup . 3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup Undang-undang nomor 4 tahun 1982 tediri atas 9 bab dan 24 pasal, pertimbangan ditetapkannya Undang-undang nomor 4 tahun 1982 adalah sebagai berikut : a. Bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan Bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan Bangsa Indonesia dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan Nusantara. 20 Salim,ibid.,hlm.26 Universitas Sumatera Utara b. Bahwa dalam mendayaguna sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum, seperti termuat dalam undang-undang Dasar 1945 dan untuk kebahagiaan hidup berdasarkan pancasila, perlu diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesenambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang terpadu dan yang menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. c. Bahwa kebijaksanaan melindungi dan mengembangkan lingkungan hidup dalam hubungan kehidupan antar bangsa adalah sesuai dan selaras dengan perkembangan kesadaran lingkungan hidup umat manusia. d. Bahwa dalam rangka mengatur pengelolahan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh, perlu ditetapkan undang-undang yang meletakkan ketentuan pokok untuk menjadi landasan bagi pengelolahan lingkungan hidup. 21 Ada empat cirri-ciri undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 yaitu : 1 sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat, 2 mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan pelaksanaan lebih lanjut. 3 mencakup semua segi di bidang lingkungan hidup agar dapat menjadi dasar bagi pengaturan lebih lanjut masing-masing segi yang dituangkan dalam peraturan tersendiri. 4 landasan untuk menilai yang menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan yang kini telah berlaku ,yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertambangan dan 21 Ibid.,hlm28-29 Universitas Sumatera Utara energi, kehutanan, perlindungan dan pengawetan alam, industri, pemukiman, tata ruang, tata guna tanah, dan lain-lain. Dapat kita lihat dari keempat ciri undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tampaklah bahwa Undang-undang ini sebagai alat instrument untuk menilai peraturan perundang-undangan yang memuat segi-segi lingkungan hidup. 22

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam dan Ekosistemnya Undang-undang ini disebut sebagai undang-undang Konservasi Hayati UUKH diundangkan pada tanggal 10 agustus 1990 undang-undang konservasi hayati ditetapkan dengan pertimbangan sebagai berikut. a. Bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan dan peranan yang penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena iu perlu dikelolah dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan. b. Bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan pancasila. c. Bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling bergantung antara satu sama yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsure akan berakibat terganggunya ekosistem. 22 Ibid.,hlm29-30 Universitas Sumatera Utara d. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-lankah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemna selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. e. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional. f. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. g. Bahwa sehubung dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-undang . 23 Undang-undang konservasi Hayati terdiri atas empat belas bab dan empat puluh lima pasal .Ada empat macam peraturan perundang-undangan produk pemerintahan belanda yang telah dicabut berdasarkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yaitu : 1 ordonansi Pemburuaan Jachtordonantie 1931 Stb.1931 Nomor133, 2 Ordonansi perlindungan Binatang Liar Dierenbeshermingsordonantie 1931 stb.1931 Nomor 134, 3 Ordonansi Perburuhan Jawa dan Madura Jachtordonantie Java en Madura 1940 Stb.1939 Nomor 733, 4 Ordonansi Perlindungan Alam Natuurbeschermingordonnantie 23 Ibid.,hlm.30-31 Universitas Sumatera Utara 1941 Stb .1941 Nomor 167. Pertimbangan dicabutnya keempat peraturan tersebut karena : 1 merupakan ketentuan yang berasal dari Pemerintahan Hindia Belanda, 2 bersifat parsial yaitu tidak mengatur secara keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dan 3 tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasioal bangsa Indonesia. 24 Keempat peraturan perundang-undangan yang dikemukakan di atas merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan kegiatan kehutanan di Indonesia. Tetapi dari keempat peraturan tersebut hanya ada dua undang-undang yang khusus mengatur tentang kehutanan yaitu : Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 ,sedangkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang undang-undang pokok agrarian dan undang-undang Nomor 4 Tahun1982 merupakan Undang-undang yang bersifat umum.

D. Sumber Hukum Kehutanan di Indonesia

Sumber kehutanan dapat dilihat dari dua aspek yaitu sumber hukum materiil isi dan sumber hukum formal bentuk. Sumber hukum materiil kehutanan dapat dilihat dari aspek sejarah, aspek sosiologis, dan aspek filosofis 25 . Dari aspek sejarah, sumber hukum kehutanan berupa dokumen-dokumen yang pernah berlaku dan memuat ketentuan-ketentuan tentang pengelolahan hutan, seperti : Reglement Hutan 1865, Reglement 1874, Reglement Hutan 1879, Reglement Hutan 1913 dan Reglement Hutan 1927 Ketentuan-ketentuan hukum positif di bidang kehutanan. 26 Aspek sosiologis yaitu aturan hukum tidak tertulis yang mengatur hubungan masyarakat adat atau kelompok masyarakat yang 24 Ibid.,hlm32 25 Supriadi,op.cit.,hlm7-8 26 Op.cot.,hlm8 Universitas Sumatera Utara bermukim di dalam dan di sekitar hutan dalam melakukan interaksinya sejak turun temurun. Dari aspek filosofis, yaitu suatu aturan hukum untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya belum diatur .dengan tujuan supaya ada tatanan hukum kehutanan, ada keteraturan dalam pengelolahan hutan dan ada sesuatu yang dapat diharapkan berlaku adil dalam pemanfaatan hasil hutan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dapat kita lihat sumber formal hukum kehutanan berdasarkan hukum positif sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945

Undang-undang Dasar 1945 merupakan sumber hirarki tertinggi peraturan perundang-undangan di Indonesia .dalam artian Undang-udnang Dasar 1945 merupakan sumber segala peraturan perundang-undangan .Keterkaitan UUD 1945 sebagai sumber hukum kehutanan dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat 3 yang dinyatakan bahwa, Bumi, air , dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . Ketentuan yang tercakup dalam Pasal 33 ayat 3 ini dapat disimpulkan 1 memberian “hak penguasaan” kepada Negara atas seluruh sumber daya alam di Indonesia ; 2 kewajiban kepada Negara untuk mengelolah sumber daya alam tersebut untuk kemakmuran sebesar-besarnya seluruh rakyat Indonesia .dengan demikian ,secara konseptual ketentuan yang tercakup pada pasal 33 ayat3 UUD 1945 merupakan landasan filosofi dan ladasan ekonomi pembentukan peraturan hukum kehutanan. 27 27 Penjelasan pasal33 ayat 3 UUDS 1945 Universitas Sumatera Utara

2. Undang-Undang dan Peraturan Pengganti UU Perpu

Undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang Perpu merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat implementatif , yakni peraturan yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan masalh ketatanegaraan dan lain-lain sejalan dengan perjalanan waktu di mana UUD 1945 tersebut perlu dilakukan penesuaian-penyesuaian sehingga sesuai dengan perkembangan zaman, pada tahun 1999 dilakkan perubahan pertama terhadap UUD 1945 degan melakukan penambahan ketentuan-ketentuan pasal-pasal yang terdapat didalamnya, termasuk pasal 5 ayat 1 ditambah dengan kalimat presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada dewan perwakilan rakyat ayat1 . Selain keentuan yang terdapat pada Pasal 5 ayat1 UUD 1945 yang merupakan dasar pijakan Presiden dan Dewan Perwakilan dalam membentuk undang-undang, maka dalam pasal 20 ayat 1 merupakan landasan kedua setelah Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa ,tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu ayat 2. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 1 sampai dengan ayat 5 di atas yang merupakan rujukan dalam mengeluarkan peraturan perundang-undangan di bidang kahutanan, baik peraturan perundang-undangan yang bersentuhan langsung dengan kehutanan maupun yang tidak berkaitan langsung. Adapun peraturan perudang-undangan yang bersentuhan langsung dengan hukum kehutanan yakni : 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan ; 2 Undang- Universitas Sumatera Utara undang Nomor 5 Tahun1990 tentang Konservasi Hayati UUKY. Selain itu undang-undang yang tidak langsung dengan hukum kehutanan, yaitu : 1 Undang-undang Nomor Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ; 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan ;3 Undang-undang Nomor 11 Tahun1974 tentang Pengairan yang telah diubah dengan undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ; 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup ; 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun1992 tentang Penataan Ruang yang telah diubah menjadi UU Nomor 26 Tahun2007 6Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah . 28 Keberadaan Udang-undang Nomor 41 Tahun1999 tentang Kehutanan dalam perjalanannya mengalami perubahan dengan protes dari beberapa prtusahaan pertambangan yang telah mendapatkan izin pengelolahan dari pemerintahan, khusus perusahaan pertambangan yang mendapatkan konsessi di kawasan hutan , baik hutan prodksi maupun hutan lindung.

3. Peraturan Pemerintah

Keberadaan peraturan pemerintah diadakan sebagai peraturan pelaksana dari sebuah udang-undang , sehingga keberadaannya bersifat implementasi dan masih perlu di tindaklanjutin oleh peraturan yang lebih rendah misalnya Keputusan Presiden maupun Keputusan Mentri maupun Peraturan Daerah . oleh karena itu adanya kaitannya dengan pengaturan kebijakan di bidang hukum kehutanan yang di atur oleh Peraturan Pemerintah dapat dilihat sebagai berikut : 28 Supriadi,op.cit.,hlm9-11 Universitas Sumatera Utara 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang perlindungan hutan ;2Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Huta Produksi ; 3 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolahan Hutan , Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan kawasan Hutan ;4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan ; 5 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota .

4. Peraturan Presiden

Dalam peraturan presiden pada kenyataannya atau praktiknya terdapat dua muatan, yakni keputusan Presiden dan peraturan presiden. Presiden mengeluarkan keputusan presiden kalau muatannya berkaitan dengan pengangkatan mentri, gubernur, rector dan lain-lain. Sementara itu , jika presiden akan mengeluarkan peraturan presiden, maka muatannya berkaitan dengan peraturan yang lebih rinci yang menjelaskan suatu masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan pembangunan ,misalnya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk kepentingan Pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan sumber hukum yang berhubungan dengan Peraturan Presiden akan dibahas dengan menggunakan da muatan tersebut. Kaitannya dengan pengaturan hukum kehutanan diatur dengan Keputusan Presiden, diantaranya : 1 Keppres Nomor 32 Tahun1990 tentang Pengelolahan Kawasan Lindung ; 2 Keppres Nomor 40 Tahun 1993 tentang Dana Reboisasi ; 3 Keppres Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengenaan, Pemungutan dan pembagian Iuran Hasil Hutan ;4Keppres Nomor 25 Tahun 1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan ; dan 5 Keppres Nomor 41 Universitas Sumatera Utara Tahun 2004 tentang Perizinan dan perjanjian di bidang Pertambangan yang berada di Kawasan Hutan. 29

5. Keputusan Menteri Kehutanan

Keputusan Menteri yaitu menteri sebagai pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya memiliki kewenangan untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas yang lazim . dalam kaitannya dengan pengaturan bidang kehutanan yang diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan dapat dikemukan diantaranya : 1 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:6882KPTS-II2002 tanggal 12 juli 2002 tentang kriteria dan Tata Cara Evaluasi terhadap Industri Primer Hasil Hutan Kayu ; 2 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:6885KPTS-II2002 tanggal 12 Juli 2002 tentang Tata Cara Persyaratan Perpanjangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan ; 3Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:178KPTS-II2003 tanggal 12 Juli 2003 tentang Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan HUtan Tanaman Unit Manajemen dalam Rangka Pengelolahan Hutan secara Lestari; 4Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:SK.279Menhut-II2004tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126KPTS-II2003 tentang Penatausahaan Hasil Hutan tangga 2 Agustus 2004 ; 5 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:p.26Menhut- II2005 tanggal 16 agustus 2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak ;6 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: P.20Menhut-II2005 tanggal25 juli 2005 tentang Kerja Sama Operasi KSO pada Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman ; 7 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:P.03- Menhut-II2005 tanggal 18 Januari 2005 tentang Pedoman Verifikasi Izin Usaha 29 Supriadi,op.cit.,hlm.13 Universitas Sumatera Utara Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan atau pada HutanTanaman yang Diterbitkan Oleh Gubernur atau Bupati Walikota ; dan 8 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:P.18Menhut-II2005 tanggal 13 Juli 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:126KPTS-II2003 tentang Penataan Hasil Hutan. 30

1.6 Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan dua metode penelitiian , yaitu penelitian kepustakaan Library Research dan metode penelitian lapangan Field Research. Metode penelitian kepustakaan Library Research merupakan pengumpulan data yang dilakukan literatur atau sumber bacaan berupa buku-buku ,peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini untuk digunakan sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi. Metode penelitian lapangan field research penulis lakukan dengan teknik wawancara dan mengambil data-data sekundur berupa peraturan-peraturan pemerintah, peraturan-peraturan daerah dan data-data tertulis yang mendukung penulisan skripsi ini. Data sekunder ini mecakup dokumen-dokumen resmi, buku- buku karya ilmiah, artikel dan juga berita dari internet yang bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori atas asas atau doktrin yang berkenaan dengan hukum kehutanan. Yang semuanya ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang sifatnya teoritis yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian dan menganalisis permasalahn yang dihadapi. 30 Supriadi,op.cit.,hlm14 Universitas Sumatera Utara

1.7 Sistematika Penulisan