tantangan karena lahirnya undang-undang kahutanan saat itu adalah tidak murni atas keinginan pemerintah, tetapi ada tekanan dari pihak-pihak lain yang
mempunyai kepentingan.
35
Dari sisi substansi hukumnya, undang-undang ini masih bersifat sentralistik dan dominan pada Pemerintahan Pusat Mentri Kehutanan. Sebab
dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa, penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana di atur dalam penjelasan undang-undang tersebut. Dalam undang-
undang tersebut dinyatakan bahwa Negara bukan sebagai pemilik hutan, tetapi Negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan hasil hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan
hasil hutan, serta engatur mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan ijin dan hak kepada pihak lain untuk
melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
2.2 Kebijakan Hukum Kehutanan di Indonesia
Kebijakan hukum kehutanan di Indonesia berhubungan dengan hukum pidana, kebijakan hukum pidana yang terkait dengan pengelolahan hutan dan
perlindungan hutan di Indonesia sudah ada sejak dikeluarkannya undang –undang No.5 Tahun 1967 di dalam pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa “peraturan
pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana berupa hukuman pidana penjra atau kurungan dan denda”. Pengaturan selanjutnya diatur dalam
Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985, yaitu kejahatan dan pelanggaran . perbedaannya dapat dianalisis dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif.dari segi
35
Ibid.,hlm.21
Universitas Sumatera Utara
kualitatif, kejahatan merupakan delik hukum recht delic , yitubperbuatan yang bertentangan dengan keadilan sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-
undang wet delict, yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana , karena undang-undang menentukannya sebagai delik, jadi karena undang-
undang mengancamnya dengan pidana
36
. Kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukuman ancaman pidananya kejahatan ancaman
hukumannya lebih berat sedangkan terhadap pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan. Tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan diatur dalam
pasal 18 ayat 1 ayat2 ayat3 PP No. 28 Tahun 1985 sedangkan pelanggaran diatur dalam pasal 18 ayat 4, dan ayat 5. Terdapat empat macam sanksi pidana
yang diatur dalam pasal 18 yaitu 1 hukum penjara, 2 hukuman kurungan, 3 hukuman denda dan, 4 hukuman perampasan benda yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana.
37
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi pidana di dalam pasal 19 ayat 1
dan 21. Pasal 19 ayat1 setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
38
; dan pasal 21 ayat 1.
Undang-udang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan mengatar tentang ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa
terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan. Dalam rangka penegakan hukum, terutama yang terkait dengan
36
Salim HS,op.cit.,hlm.120 , ibid.,
37
Ibid.,hlm.24
38
Penjelasan pasal19 ayat 1 UU No.5 tahun1990 .yang dimaksudkan dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan dan ekosistemnya ,
perubahan satwa yang berada dalam kawasan hutan ,dan memasukkan jeni-jenis bukan asli.
Universitas Sumatera Utara
penyidikan dan penyelidikan di bidang kehutanan, selain penyidikan kepolisian, di dalam undang-undang ini juga ada penyidik Pegawai Negri Sipil PPNS
kehutanan yang mempunyai wewenang dalam melaksanakan tugas penyidikan patuh terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Dapat kita lihat selama setahun terakhir ini perkembangan kebijakan yang berhubungan dengan Pengelolahan Sumber Daya Alam sangatlah cepat
,khususnya sector kehutanan, perkembangan kebijakan tidak saja mulai dari surat keputusan mentri tetapi juga sampai pada pembahasan undang-undang baru,
misalnya Rancangan Peraturan Pemerintahan No.34 Tahun2002, PP No. 35 Tahun 2002 dan pada tingkat UU terdapat Revisi Undang-undang no.41 tentang
Kehutanan dan pembentukan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal atau sering disebut
dengan RUU Ilegal Logging. Kedua inisiaif UU tersebut merupakan bagian dari Program Legislatif Nasional PROLEGNAS yang dikeluarkan oleh DPR-RI .
meskipun terjadi perubahan peraturan perundangan di sektor kehutanan , tetapi dari sudut paradigma, isi dan pelaksanaannnya tetap saja berorientasi pada hal-hal
sempit dan jangka pendek. Bila kita lihat kebelakang pengelolahan hutan di Indonesia secara lebih
terarah dan terencana ,dimulai dengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-undang pokok Kehutanan atau disingkat UUPK, meskipun politik
dan kebijakan kehutanan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan tahun1945 yaitu zaman kolonial Belanda yang arah politik dan kebijakannya mengarah
kepada kepentingan penguasa kolonial.
Universitas Sumatera Utara
Setelah dikeluarkannya Reglement Hutan No. 6 Tahun1865 penguasaan sumber daya hutan oleh Negara dan hutan termasuk sebagai sumber kehidupan
sehari-hari masyarakat mulai sangat penting setelah dikelurkannya peraturan tersebut . dengan di tentukannya batas kawasan yang ditetapkan Belanda
berdasarkan “Domeinverklaring” pada tahun 1870, justru dapat menyelamatkan kawasan hutan di jawa hingga seperti sekarang ini meliputi 22 dari luar jawa.
“Domeinverklaring pada intinya bahwa semua tanah yan dimiliki pihak lain individu dan komunal jika tidak dapat membuktikan tanah eigendomnya
,merupakan domein dikuasai oleh Negara. Perkembangan politik dan kebijakan kehutanan selanjutnya seiring dengan
perkembangan perkebunan besar di luar jawa, khususnya tanaman karet di sumatera, yang ditandai dengan banyak masyarakat jawa dikirim dan dipekerjakan
sebagai kuli diperkebunan-perkebunan besar diluar jawa Konentjaraningrat,1982 dengan demikian secara administrasi sektor perkebunan menjadi satu dengan
kehutanan, sebelum akhirnya di pisahkan alaw abad ke -20. Pada masa kolonial Belanda ada beberapa hal positif kebijakan di bidang
kehutanan yaitu : lahirnya jawatan kehutanan, pembentukan lembaga penelitian kehutanan dan penerbitan berbagai kebijakan khususnya jawa dan Madura , dan
pada akhirnya politik kehutanan kolonial belanda pada akhir tahun 40 –an ditandai dengan politik bumi hangus yang berakibat pada kerusakan sumber daya hutan
dan timbulnya penyerobotan tanah di beberapa tempat. Politik dan kebijakan kehutanan untuk luar jawa menjadi tidak jelas pada
masa penjajahan jepang, hutan-hutan yang ada di jawa khususnya mejadi tempat basis atau dimanfaatkan bagi kepentingan perang untuk mendukung industry
Universitas Sumatera Utara
persenjataan dan bahan baku pembuatan kapal banyak arel hutan dialihkan ke areal pertanian, guna menjamin kesedian pangan oleh para serdadunya.
Setelah revolusi fisik hingga awal orde baru pada pertengahan tahun 60- an, pembenahan administrasi kehutanan dan upaya-upaya pemanfaatan hutan bagi
usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian Negara baru dimulai dalam perkembangan mulai dibentuknya Jawatan Kehutanan Republik Indonesia
dibawah mentri kehutanan, pada tahun 1964 menjadi departemen kehutanan keppres No.170 Tahun 1966, dilakukan perintis pendirian industry perkayuan
diluar jawa Kalimantan dan rancangan untuk membangun hutan industry . untuk desentralisasi dalam hubungan dengan pengelolahan kehutanan keluarlah PP
No.54 Tahun 1957. UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria merupakan undang-
undang yang tidak ada hubungannya dengan kebijakan kehutanan, namun sangat mempengaruhi dalam pengusahaan hutan . Melalui pasal 33 ayat 3 UUD 1945,
menyebutkan, “ Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat . ini memperjelas posisi Negara sebagai pengusaha sumber daya hutan, termasuk hutan . Kemudian pada pasal 2 ayat1 UU No. 5 Tahun1960 tegas
bahwa , “atas dasar pasal 31 ayat3 UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara; sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”
Perubahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, dengan keluarnya UU No. 1 Tahun1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahun 1968
Universitas Sumatera Utara
tentang Penanaman Modal Dalam Negri, serta UU No.5 Tahun 1967 . Telah terjadi perubahan pada masyarakat local sekitar hutan pada waktu itu .Dalam pola
Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan HPHH selanjutnya kebijakan hutan mulai di dukung dengan aspek perlindungan alam, ditandai
keluarnya UU No.5 Tahun1990 tentang Keanekaragaman Alam Hayati dan Ekosistemnya , UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup.
Perubahan UU No.22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , dan UU No.25 Tahun 1999 jo. UU No.33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. ada juga perubahan dibidang kehutaan dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004
tentang kehutanan. Adanya perubahan kebijakan dan perubahan UU kehutanan, namun dalam
pelaksanaannya kebijakan kehutanan yang ada membuat hutan semakin hancur, dan carut marutnya kebijakan -kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, dan banyak
terdapat ketidak sinkronan peraturan-peraturan lain dengan peraturan kehutanan, sehingga sering terdapat ketidakjelasan kebijakan atau peraturan dalam suatu
peraturan di lapangan.
2.3 Kebijakan Hukum Pidana yang Megatur Kehutanan di Indonesia